Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN


KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA
CONGESTIVE HEART FAILURE
DI IGD RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

Oleh :
MEI NUR FATIMAH
NIM. 40219014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : MEI NUR FATIMAH


NIM : 40219014
PRODI : PENDIDIKAN PROFESI NERS

PEMBIMBING INSTITUSI PEMEBIMBING LAHAN (CI)

(…………………………………..….) (...................................................)
LAPORAN PENDAHULUAN

CHF (CONGESTIVE HEART FAILURE)/ GAGAL JANTUNG KONGESTIF

A. Definisi
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien
dan oksigen secara adekuat. Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi)
guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau
mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah
untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu
memompa dengan kuat. Sebagai akibatnya, ginjal sering merespons dengan menahan air
dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan dalam beberapa organ tubuh
seperti tangan, kaki, paru, atau organ lainnya sehingga tubuh klien menjadi bengkak
(congestive) (Udjianti, 2010).
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan/ kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
volume diastolik secara abnormal (Mansjoer dan Triyanti, 2007).
Gagal jantung adalah sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur atau fungsi
jantung sehingga mengakibatkan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke
jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Darmojo, 2004 cit Ardini 2007)
Gagal jantung merupakan salah satu penyebab morbiditas & mortalitas. Akhir- akhir
ini insiden gagal jantung mengalami peningkatan. Gagal jantung merupakan tahap akhir
dari seluruh penyakit jantung dan merupakan masalah kesehatan dunia. Di Asia, terjadi
perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan industri, urbanisasi dan perubahan gaya
hidup, peningkatan konsumsi kalori, lemak dan garam, peningkatan konsumsi rokok, dan
penurunan aktivitas. Akibatnya terjadi peningkatan insiden obesitas, hipertensi, diabetes
mellitus, dan penyakit vaskular yang berujung pada peningkatan insiden gagal jantung.
Dari beberapa faktor eksternal tersebut, secara kesehatan dapat dijelaskan bahwa ada
beberapa faktor yang mengganggu pengisian ventrikel seperti stenosis katup
atrioventrikularis yang dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti
perikarditis konstriktif dan temponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui
gabungan beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel.
Dengan demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologis atau
gabungan beberapa mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung.
Efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan
patofisiologis. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penurunan sirkulasi yang mendadak dapat berupa (1) aritmia, (2) infeksi sistemis dan
infeksi paru-paru, dan (3) emboli paru (Muttaqin Arif, 2012).
.

B. Klasifikasi
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4
kelas: (Mansjoer dan Triyanti, 2007)
kelas 1 : Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tampa keluhan
kelas 2 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan.
kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan.
kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus tirah
baring.
C. Etiologi
Menurut Wajan Juni Udjianti (2010) etiologi gagal jantung kongestif (CHF)
dikelompokan berdasarkan faktor etiolgi eksterna maupun interna, yaitu:
1. Faktor eksterna (dari luar jantung); hipertensi renal, hipertiroid, dan anemia kronis/
berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung)
a. Disfungsi katup: Ventricular Septum Defect (VSD), Atria Septum Defect
(ASD), stenosis mitral, dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel fibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark miokard.
d. Infeksi: endokarditis bacterial sub-akut
D. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari normal. Dapat
dijelaskan dengan persamaan CO = HR x SV di mana curah jantung (CO: Cardiac output)
adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) x Volume Sekuncup (SV: Stroke
Volume).
Frekuensi jantung adalah fungsi dari sistem saraf otonom. Bila curah jantung
berkurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang
harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi, yang
tergantung pada 3 faktor, yaitu: (1) Preload (yaitu sinonim dengan Hukum Starling pada
jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung
dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung); (2)
Kontraktilitas (mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel
dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium); (3)
Afterload (mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriole).
Jika terjadi gagal jantung, tubuh mengalami beberapa adaptasi yang terjadi baik pada
jantung dan secara sistemik. Jika volume sekuncup kedua ventrikel berkurang akibat
penekanan kontraktilitas atau afterload yang sangat meningkat, maka volume dan tekanan
pada akhir diastolik di dalam kedua ruang jantung akan meningkat. Hal ini akan
meningkatkan panjang serabut miokardium pada akhir diastolik dan menyebabkan waktu
sistolik menjadi singkat. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akan terjadi dilatasi
ventrikel. Cardiac output pada saat istirahat masih bisa berfungsi dengan baik tapi
peningkatan tekanan diastolik yang berlangsung lama (kronik) akan dijalarkan ke kedua
atrium, sirkulasi pulmoner dan sirkulasi sitemik. Akhirnya tekanan kapiler akan meningkat
yang akan menyebabkan transudasi cairan dan timbul edema paru atau edema sistemik.
Penurunan cardiac output, terutama jika berkaitan dengan penurunan tekanan
arterial atau penurunan perfusi ginjal, akan mengaktivasi beberapa sistem saraf dan
humoral. Peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis akan memacu kontraksi miokardium,
frekuensi denyut jantung dan vena; yang akan meningkatkan volume darah sentral yang
selanjutnya meningkatkan preload. Meskipun adaptasi-adaptasi ini dirancang untuk
meningkatkan cardiac output, adaptasi itu sendiri dapat mengganggu tubuh. Oleh karena
itu, takikardi dan peningkatan kontraktilitas miokardium dapat memacu terjadinya iskemia
pada pasien dengan penyakit arteri koroner sebelumnya dan peningkatan preload dapat
memperburuk kongesti pulmoner.
Aktivasi sitem saraf simpatis juga akan meningkatkan resistensi perifer. Adaptasi ini
dirancang untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ vital, tetapi jika aktivasi ini
sangat meningkat malah akan menurunkan aliran ke ginjal dan jaringan. Salah satu efek
penting penurunan cardiac output adalah penurunan aliran darah ginjal dan penurunan
kecepatan filtrasi glomerolus, yang akan menimbulkan retensi sodium dan cairan. Sitem
rennin-angiotensin-aldosteron juga akan teraktivasi, menimbulkan peningkatan resistensi
vaskuler perifer selanjutnya dan penigkatan afterload ventrikel kiri sebagaimana retensi
sodium dan cairan.
Gagal jantung berhubungan dengan peningkatan kadar arginin vasopresin dalam
sirkulasi, yang juga bersifat vasokontriktor dan penghambat ekskresi cairan. Pada gagal
jantung terjadi peningkatan peptida natriuretik atrial akibat peningkatan tekanan atrium,
yang menunjukan bahwa disini terjadi resistensi terhadap efek natriuretik dan vasodilator
(Wajan, 2010).
Patogenesis gagal jantung
Menurut Soeparman (2000) beban pengisian (preload) dan beban tahanan
(afterload) pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan adanya
peningkatan daya kontraksi jantung yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat.
Pembebanan jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin
dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung.
Pembebanan jantung yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka
akan terjadi redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal
dan vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (Venous
return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolik dan menaikkan
kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi, takikardi dan redistribusi cairan badan
merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam
memenuhi kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi
jantung tersebut diatas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga tepenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung.
Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastoldalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena - vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda -
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir
ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil).

Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan
merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan mengalami hipertropi dan
dilatasi sampai batas kemampuannya, dan bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat
terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan.
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada daya pompa
ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung
kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volum akhir diastole
ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium kanan dalam kerjanya mengisi
ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atr
ium kanan. Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran
masuknya darah dalam vena kava superior dan inferior ke dalam jantung sehingga
mengakibatkan kenaikan dan adanya bendungan pada vena -vena sistemik tersebut
(bendungan pada vena jugularis dan bendungan dalam hepar) dengan segala akibatnya
(tekanan vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut,
maka terjadi bendungan sistemik yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau
tungkai bawah dan asites.

E. Manifestasi klinik
1. Peningkatan volume intravaskular.
2. Kongesti jaringan akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah
jantung.
3. Edema pulmonal akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis yang menyebabkan
cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli; dimanifestasikan dengan batuk dan nafas
pendek.
4. Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat peningkatan tekanan vena
sistemik.
5. Pusing, kekacauan mental (confusion), keletihan, intoleransi jantung terhadap latihan
dan suhu panas, ekstremitas dingin, dan oliguria akibat perfusi darah dari jantung ke
jaringan dan organ yang rendah.
6. Sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan, serta peningkatan volume intravaskuler
akibat tekanan perfusi ginjal yang menurun (pelepasan renin ginjal), (Niken, 2010).
F. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah:
1. Meningkatkan oksigenasi dengan terapi O2 dan menurunkan konsumsi oksigen dengan
pembatasan aktivitas.
2. Meningkatkan kontraksi (kontraktilitas) otot jantung dengan digitalisasi.
3. Menurunkan beban jantung dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator.
Penatalaksanaan Medis
1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2
melalui istirahat/ pembatasan aktifitas.
2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung
a. Mengatasi keadaan yang reversible, miksedema, dan aritmia.
b. Digitalisasi
1). dosis digitalis
a). Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 mg dalam 4 - 6 dosis selama 24
jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari.
b). Digoksin IV 0,75 - 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
c). Cedilanid IV 1,2 - 1,6 mg dalam 24 jam.
2). Dosis penunjang untuk gagal jantung: digoksin 0,25 mg sehari. untuk pasien
usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.

3). Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.


Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang
berat:
a). Digoksin: 1 - 1,5 mg IV perlahan-lahan.
b). Cedilamid 0,4 - 0,8 IV perlahan-lahan.
(Mansjoer dan Triyanti, 2007).
Terapi Lain:
1. Koreksi penyebab-penyebab utama yang dapat diperbaiki antara lain: lesi katup
jantung, iskemia miokard, aritmia, depresi miokardium diinduksi alkohol, pirau
intrakrdial, dan keadaan output tinggi.
2. Edukasi tentang hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
3. Posisi setengah duduk.
4. Oksigenasi (2-3 liter/menit).
5. Diet: pembatasan natrium (2 gr natrium atau 5 gr garam) ditujukan untuk
mencegah, mengatur, dan mengurangi edema, seperti pada hipertensi dan gagal
jantung. Rendah garam 2 gr disarankan pada gagal jantung ringan dan 1 gr pada
gagal jantung berat. Jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter
pada gagal jantung ringan.
6. Aktivitas fisik: pada gagal jantung berat dengan pembatasan aktivitas, tetapi bila
pasien stabil dianjurkan peningkatan aktivitas secara teratur. Latihan jasmani
dapat berupa jalan kaki 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5
kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal
pada gagal jantung ringan atau sedang.
7. Hentikan rokok dan alkohol
8. Revaskularisasi koroner
9. Transplantasi jantung
10. Kardoimioplasti
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto torax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusi
pleura yang menegaskan diagnosa CHF.
2. EKG dapat mengungkapkan adanya tachicardi, hipertrofi bilik jantung dan iskemi
(jika disebabkan AMI).
3. Pemeriksaan Lab meliputi : Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium
yang rendah sehingga hasil hemodelusi darah dari adanya kelebihan retensi air, K,
Na, Cl, Ureum, gula darah.
H. Komplikasi
Penyakit Congestive Heart Failure (CHF) apabila tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan komplikasi serius seperti syok kardiogenik, episode tromboemboli,
efusi perikardium dan tamponade perikardium. Meskipun berbagai macam penyakit
jantung seperti gangguan katup telah menurun akibat teknologi penatalaksanaan yang
canggih, namun Congestive Heart Failure CHF masih tetap merupakan ancaman
kesehatan yang dapat menimbulkan kematian.
I. Indikasi Masuk ICU
Pada dasarnya setiap pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut
yang masih reversible mengingat ICU membutuhkan biaya tinggi dilihat dari segi
peralatan dan tenaga yang khusus.
1. Pasien Prioritas Satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif seperti dukungan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu, dan lainnya.
Contoh pasien ini antara lain pasca bedah kardiotoraksik, pasien shock septic. Pasien
prioritas satu umumnya tidakmempunyai batas ditinjau dari macam terapi yang
diterima
2. Pasien Prioritas Dua
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien ini
berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karena pemantauan intensif
menggunakan metode seperti pulmonary arterial cathetersangat menolong. Contoh
jenis pasien ini antara lain mereka yang menderita penyakit dasar jantung, paru, atau
ginjal akut danberat yang telah mengalami pembedahan major. Pasien prioritas dua
umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya mengingat kondisi mediknya
senantiasa berubah.
3. Pasien Prioritas Tiga
Pasien jenis ini sakit kritis, yang mana status kesehatan sebelumnya tidak
stabil,yang disebabkan penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik
masing-masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan
atau mendapat manfaat dari terapi diICU. Contoh pasien dengan keganasan metastase
disertai penyulit infeksi, pericardial temponade, sumbatan jalan nafas, pasien
menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat.
Pasien ini mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi
usaha terapimungkin tidak sampai melakukanintubasi atau resusitasi kardiopulmoner.
J. Dekompenasi Cordis
Fase dekompensasi terjadi setelah kegagalan dari fase kompensasi. Fase
ditandai dengan remodeling dan aktivitas aktivasi neurohormonal yang terus
menerus. Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya; Aktivasi
ReninAngiotensin-Aldosteron (RAA), Sistem Syaraf Adrenergik dan dilatasi
ventrikel. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal dengan cara retensi
cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output maka akan terjadi
perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan arkus aorta,
kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di cardioregulatory
centeryang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari
hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus
sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008). Kemudian sinyal aferen juga
mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh
darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan
sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan
aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan dan garam melalui
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi neurohormonal
ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural jantung serta retensi
cairan dan garam pada gagal jantung yang lebih lanjut, dengan waktu aktivasi
berkelanjutan sistem ini dapat menyebabkan kerusakan end-organ sekunder
dalam ventrikel, dengan memburuknya remodeling ventrikel kiri dan berikutnya
dekompensasi jantung (Mann, 2010).
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling
ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa
(1) hipertrofi miosit;
(2) perubahan substansi kontraktil miosit;
(3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan kematian sel
autophagia;
(4) desensitisasi beta adrenergic;
(5) kelainan metabolism miokardium;
(6) perubahan struktur matriks ekstraselular miosit (Mann, 2010).
Remodeling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa, volume, bentuk,
dan komposisi jantung. Remodeling ventrikel kiri merubah bentuk jantung menjadi
lebih sferis sehingga beban mekanik jantung menjadi semakin meningkat. Dilatasi
pada ventrikel kiri juga mengurangi jumlah afterload yang mengurangi stroke
volume. Pada remodeling ventrikel kiri juga terjadi peningkatan enddiastolic
wall stress yang menyebabkan (1) hipoperfusi ke subendokardium yang akan
memperparah fungsi ventrikel kiri; (2) peningkatan stress oksidatif dan radikal bebas
yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel (Mann, 2010).
Perubahan struktur jantung akibat remodeling ini yang berperan dalam
penurunan cardiac output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga
hal diatas berkontribusi
dalam progresivitas penyakit gagal jantung (Mann, 2010). Aktivitas simpatik dalam
jangka panjang memberikan efek toksik secara langsung pada jantung dan
menyebabkan hipertrofi serta kematian sel. Aktivasi katekolamin yang terlalu
lama dapat menyebabkan vasokontriksi yang memperburuk overload serta
iskemik dan stress pada dinding ventrikel jantung. Selain itu, efek simpatis
dapat menyebabkan penurunan sirkulasi dan arteri di ginjal. Hal ini akan
menyebabkan penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang akan meningkatkan
retensi narium dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal akan mengaktifkan system
renin-angiotensin yang salah satu efeknya akan meningkatkan retensi nantrium
dan air. Proses ini menyebabkan peningkatan volume darah hingga lebih dari 30%
dan terjadilah edema (Black & Hawks, 2009).

K. ASUHAN KEPERAWATAN

A) Pengkajian Keperawatan
1) B1 (breathing)

Gejala-gejala kongesti vascular pulmonal adalah dipsnea, ortopnea, dispnea

nocturnal pasroksismal, batuk dan edema pulmonal akut, takipnea. Adanya sputum

mungkin bersemu darah.

2) B2 (Blood)
a) Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut pada dada, keluhan kelemahan fisik dan

adanya edema ektremitas. Ujung jari kebiruan, bibir pucat abu-abu.

b) Palpasi : Denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.

c) Auskultasi : Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan volume sekuncup.

Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup biasanya ditemukan apabila gagal jantung

adalah kelainan katup. Irama jantung disritmia. Bunyi jantung S3 (Gallop) adalah

diagnostik, S4 dapat terjadi. S1 dan S2 mungkin melemah.

d) Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan adanya hipertrofi

jantung (kardiomegali).

3) B3 (Brain)

Kesadaran klien biasanya composmentis. Sering ditemukan sianosis perifer apabila terjadi

gangguan perfusi jaringan berat. Pengkajian objektif klien meliputi wajah meringis,

menangis, merintihm meregang dan menggeliat.

4) B4 ( Bladder)

Pengukuran volume output urine selalu dihubungkan dengan intake cairan. Perawat perlu

memonitor adanya oliguruia karena merupakan tanda awal dari syok kardiogenik. Adanya

edema ekstremitas menunjukkan adanya retensi cairan yang parah. Penurunan berkemih,

urine berwarna gelap, berkemih malam hari (nokturia).

5) B5 ( Bowel)

a) Hepatomegali

Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena

di hepar. Bila proses ini berkembang, maka tekanan dalam pembuluh portal meningkat

sehingga cairan terdorong masuk ke rongga abdomen, suatu kondisi yang dinamakan

asites. Pengumpulan cairan dalam rongga abdomen ini dapat menyebabkan tekanan pada

diafragma sehingga klien dapat mengalami distress pernapasan.


b) Anoreksia

Anoreksia (hilangnya selera makan) dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan stasis

vena didalam rongga abdomen.

6) B6 ( Bone)

a) Ektremitas

Pada ujung jari terjadi kebiruan dan pucat. Warna kulit pucat dan sianosis.

b) Edema

Edema sering dipertimbangkan sebagai tanda gagal jantung yang dapat dipercaya dan

tentu saja, ini sering ditemukan bila gagal ventrikel kanan telah terjadi. Ini sedikitnya

merupakan tanda yang dapat dipercaya bahwa telah terjadi disfungsi ventrikel.

c) Mudah lelah

Klien dengan gagal jantung akan cepat merasa lelah, hal ini terjadi akibat curah jantung yang

berkurang yang dapat menghambat sirkulasi normal dan suplai oksigen ke jaringan dan

menghambat pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi akibat meningkatnya energy

yang digunakan untuk bernapas dan insomnia yang terjadi akibat distress pernapasan dan

batuk.

Perfusi yang kurang pada otot-otot rangka menyebabkan kelemahan dan keletihan.

Gejala-gejala ini dapat dipicu oleh ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau

anoreksia.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada gagal jantung kongestif, yakni :

a. Ekokardiografi,

b. Rontgen Toraks, dan

c. Elektrokardiografi
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontraktilitas.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan infark miokard akut.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas.
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan fatigue.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Penurunan curah jantung b/d Setelah dilakukan tindakan Observasi
perubahan kontraktilitas. keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi tanda gejala primer penurunan
diharapkan masalah penurunan curah curah jantung ( dipsneu, kelelahan, edema,
jantung dapat membaik dengan ortopnea, paroxymal nocturnal dyspnea,
kriteria hasil : peningkatan CVP).
Luaran Utama: Curah Jantung 2. Identifikasi tanda dan gejala sekuder
Kriteria Hasil: penurunan curah jantung (meliputi
1. Kekuatan nadi perifer peningkatan berat badan, hepatomegali,
meningkat. distensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
2. TD sistol dan diastol dalam basah, oliguria, batuk, kulit pucat).
batas normal. 3. Monitor TD
3. Tidak ada distensi vena 4. Monitor intake dan output cairan.
jugularis. 5. Monitor saturasi oksigen.
4. Tidak ada edema perifer. 6. Monitor keluhan nyeri dada.
5. Dyspneu berkurang. 7. Monitor EKG 12 sadapan.
6. Suara jantung abnormal tidak 8. Monitor artmia (kelainan irama dan
ada. frekuensi).
7. Takikardi berkurang. 9. Periksa TD dan N sebelum dan sesudah
8. Bradikardi berkurang aktivitas.
Terapeutik
1. Berikan diet jantung yang sesuai misalnya
batasi asupan kafein, natrium, kolesterol dan
makanan tinggi lemak.
2. Berikan O2 untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%.
Edukasi
1. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi.
2. Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap.
3. Anjurkan berenti merokok.
4. Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
intake dan output cairan.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian anti aritmia, jika perlu.
2. Perfusi jaringan tidak efektif b/d NOC : NIC :
infark miokard akut. 1. Circulation status Peripheral Sensation Management (Manajemen
2. Tissue Prefusion : cerebral sensasi perifer)
Kriteria Hasil : 1. Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
1. Mendemonstrasikan status peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
sirkulasi 2. Monitor adanya paretese
2. Tekanan systole dandiastole 3. Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
dalam rentang yan kulit jika ada lsi atau laserasi
diharapkan 4. Gunakan sarun tangan untuk proteksi
3. Tidak ada ortostatik hipertensi 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
4. Tidak ada tanda tanda punggung
peningkatan tekanan 6. Monitor kemampuan BAB
intrakranial (tidak lebih dari 7. Kolaborasi pemberian analgetik
15 mmHg) 8. Monitor adanya tromboplebitis
5. mendemonstrasikan 9. Diskusikan menganai penyebab perubahan
kemampuan kognitif yang sensasi
ditandai dengan:
6. berkomunikasi dengan jelas
dan sesuai dengan
kemampuan
7. menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
8. memproses informasi
9. membuat keputusan dengan
benar
10. menunjukkan fungsi sensori
motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran mambaik,
tidak ada gerakan gerakan
involunter

3. Ketidakefektifan bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Latihan batuk efektif


nafas berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam O Observasi
hipersekresi jalan nafas. masalah ketidakefektifan bersihan 1. Identifikasi kemampuan batuk.
jalan napas dapat berkurang dengan 2. Monitor adanya retensi sputum.
kriteria hasil : 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran
1. Batuk efektif membaik. nafas.
2. Produksi sputum berkurang. 4. Monitor input dan output cairan.
3. Ronchi berkurang. Terapeutik
4. Dispnea berkurang. 1. Atur posisi semi fowler
5. Gelisah berkurang. 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan px.
6. Frekuensi napas membaik. 3. Buang secret pada tempat sputum.
7. Pola nafas membaik. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif.
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hiduung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian dkeluarkan dari ulut dengan bbibir
mecucu selama 8 detik.
3. Anjurkan batuk dengan kuat setelah tarik
nafas.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran.
Manajemen jalan napas
Observasi
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman,
usaha napas).
2. Monitor bunyi napas tambahan (gurgling,
wheezing, ronchi).
3. Monitor sputum.
Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan
headtlit dan chin lift (jaw thrust jika curiga
trauma servikal).
2. Posisikan semi fowler.
3. Berikan minum hangat.
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
5. Lakukan penghisapan lendir.
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal.
7. Keluarkan sumbatan benda padat.
8. Berikan O2.
Edukasi
1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari.
2. Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator.
Pemantauan respirasi
Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
upaya nafas.
2. Monitor pola nafas.
3. Monitor kemampuan batuk efektif.
4. Monitor adanhya produksi sputum.
5. Monitor adanya sumbatan jalan napas.
6. Auskultasi bunyi napas.
7. Monitor saturasi oksigen.
8. Monitor AGD
Terapeutik
1. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
kondisi px.
2. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan.
2. Informasikan hasil pemantauan.
DAFTAR PUSTAKA

Ardini, Desta N. 2007. Perbedaaan Etiologi Gagal jantung Kongestif pada Usia Lanjut dengan
Usia Dewasa Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Januari - Desember 2006. Semarang: UNDIP
Muttaqin, Arif. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : Salemba Medika.
Jayanti, N. 2010. Gagal Jantung Kongestif. Dimuat http://rentalhikari.wordpress.com/lp-gagal-
jantung-kongestif/ (diakses pada 6 Februari 2012)
Johnson, M.,et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Mc Closkey, C.J., Iet all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Udjianti, Wajan J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba medika

Anda mungkin juga menyukai