Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN PENDAHULUAN

PROFESIONAL EMERGENSI
PADA Tn.S DENGAN
BENIGNA PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Disusun oleh:
RICHARD ABDUL AZIS 40219031

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PROFESIONAL EMERGENSI
PADA Tn.S DENGAN
BENIGNA PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

Oleh
Richard Abdul A 40219031
Program Studi Profesi Ners

Pembimbing Institusi

.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada
berbagai masalah saluran kemih pada pria, insidennya menunjukan
peningkatan sesuai dengan umur, terutama mereka yang berusia 60 tahun.
Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang
mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik,
keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi
traktus urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting
dan sering dari timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan
karsinoma prostat. Radang prostat yang mengenai sebagian kecil prostat
sering ditemukan secara tidak sengaja pada jaringan prostat yang diambil dari
penderita hiperlasia prostat atau karsinoma prostat (J.C.E Underwood, 1999).

Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang


ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH,
sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan
etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH
berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-
faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya
penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah.

Peran perawat pada klien meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat memberikan penjelasan pada
klien tentang penyakit BPH mulai dari penyebab sampai dengan komplikasi
yang akan terjadi bila tidak segera ditangani. Kemudian pada aspek preventif
perawat memberikan penjelasan bagaimana cara penyebaran penyakit BPH,
misalnya cara pembesaran prostat akan menyebabkan obstruksi uretra. Secara
kuratif perawat berperan memberikan obat-obatan sebagai tindakan
kolaborasi dengan tim dokter. Aspek rehabilitatif meliputi peran perawat
dalam memperkenalkan pada anggota  keluarga cara merawat klien dengan
BPH dirumah, serta memberikan penyuluhan tentang pentingnya cara
berkemih. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penulis merasa tertarik
untuk mengangkat dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Gangguan
Sistem Perkemihan Post Open Prostatectomi atas Indikasi Benigna Prostat
Hiperplasia”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja konsep dasar mobilisasi?
2. Apa saja konsep dasar asuhan keperawatan?
3. Penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan mobilisasi?
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa/i dapat memahami tentang mobilisasi.
4. Agar mahasiswa/i mengetahui bagaimana konsep asuhan keperawatan
pada pasien gangguan mobilisasi.
5. Agar mahasiswa/i mengetahui tujuan asuhan keperawatan gangguan
mobilisasi.Agar mahasiswa/i mengetahui bagaimana cara penerapan
asuhan keperawatan pada pasien gangguan mobilisasi
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

A. Definisi
Benigna Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dar pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat
(Yuliana Elin, 2011).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum


pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar


prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 193).

BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran


memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002).

B. Anatomi Prostat

Kelenjar prostat merupakan organ khusus pada lokasi yang kecil,


yang hanya dimiliki oleh pria. Kelenjar prostat terletak di bawah kandung
kemih (vesika urinaria) melekat pada dinding bawah kandung kemih di
sekitar uretra bagian atas. Biasanya ukurannya sebesar buah kenari dengan
ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram dan akan membesar
sejalan dengan pertambahan usia. Prostat mengeluarkan sekret cairan yang
bercampur secret dari testis, perbesaran prostate akan membendung uretra
dan menyebabkan retensi urin. Kelenjar prostat, merupakan suatu kelenjar
yang terdiri dari 30-50 kelenjar yang terbagi atas 4 lobus yaitu:

a. Lobus posterior

b. Lobus lateral

c. Lobus anterior

d. Lobus medial

Batas lobus pada kelenjar prostat:

a. Batas superior: basis prostat melanjutkan diri sebagai collum vesica


urinaria, otot polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang
lain. Batas inferior : apex prostat terletak pada permukaan atas diafragma
urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan
anterior.

b. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,


dipisahkan dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada
cavum retropubica(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan
dengan permukaan posterior os pubis dan ligamentum puboprostatica.
Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah dan merupakan
kondensasi vascia pelvis.

c. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan


permukaan anterior ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum
retovesicalis (vascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin
oleh fusi dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang
semula menyebar ke bawah menuju corpus perinealis.

d. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m.


levator ani waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Ductus
ejaculatorius menembus bagisan atas permukaan prostat untuk bermuara
pada uretra pars prostatica pada pinggir lateral orificium utriculus
prostaticus. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.
Gambar: Anatomi Prostat

C. Fungsi Prostat

Kelenjar prostat ditutupi oleh jaringan fibrosa, lapisan otot halus, dan
substansi glandular yang tersusun dari sel epitel kolumnar. Kelenjar prostat
menyekresi cairan seperti susu yang menusun 30% dari total cairan semen,
dan memberi tampilan susu pada semen. Sifat cairannya sedikit alkali yang
member perlindungan pada sperma di dalam vagina yang bersifat asam.
Sekret prostat bersifat alkali yang membantu menetralkan keasaman vagina.
Cairan prostat juga mengandung enzim pembekuan yang akan menebalkan
semen dalam vagina sehingga semen bisa bertahan dalam serviks.

D. Etiologi

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada


beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang
rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan
testosteron dengan bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya
akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian
akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa
sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui
estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis
dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami
hiperplasia

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara


pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan
bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan


estrogen pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu


pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang


mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.

Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :

Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh
karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau
faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat,
sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.

Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan


bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi
sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya.

Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan


bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi
testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (Kahardjo,
1995).

E. Tanda dan Gejala

1. Gejala iritatif, meluputi:

a. Peningkaan frekuesnsi berkemih.

b. Nocturia (terbangun di malam hari untuk miksi)

c. Perasaan untuk ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat di


tunda (urgensi).

d. Nyeri pada saat miksi (disuria).

2. Gejala obstruktif, meliputi:

a. Pancaran urin melemah.

b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan
baik.

c. Jika ingin miksi harus menunggu lama.


d. Volume urin menurundan harus mengedan saat berkemih.

e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus.

f. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan


inkontinensia karena pernumpukan berlebih.

g. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi azotemia (akumulasi


produk sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan etensi urun kronis
dan volume residu yang besar.

3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan


rasa tidak nyaman pada epigastrik.

Berdasarkan keluhan dapat menjadi menjadi:

a. Derajat 1, penderita merasakan lemahnya pancara berkemih,


kencing tidak puas, frekuensi kencing bertambah terutama di malam
hari.

b. Derajat 2, adanya retensi urin mak timbulah infeksi. Penderita akan


mengeluh pada saat miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.

c. Derajat 3, timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka
bisa timbul aliran refluks ke atas, timbul infeksi askenden menjalar
ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonefritis, hidronefrosis.

F. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona
sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan
bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron,
yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam
sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.

Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek


terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum
dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran
prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah
prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan
jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti
balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos
keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut
maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada
hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit
ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia
paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko
ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal
ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005).
G. Pathway

H. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH adalah:

Seiring dengan semakin beratnya BPH dapat terjadi obstruksi saluran


kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesiko
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme. Yang dapat
menyebabkan pyelonefritis (sjamsuhidrajat, 2005).

I. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti


dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh
terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
b. IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

J. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien dengan


BPH adalah:

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan klien

2. Medika mentosa

Terapi diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang dan


berat tanpa disertai penyakit. Obat yang digunakan berasal dari :
phitoterapi (misalnya : hipoxis rosperi, serenoa repens, dll) gelombang
alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi:

a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut

b. Dengan residual urin >100 ml

c. Klien dengan pengulit

d. Terapi medika mentosa tidak berhasil

e. Flowmetri menunjukan pola obstruktif

Pembedahan dapat dilakukan dengan:

1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90-95 %).

2) Retropublic atau extravesical prostatectomy.

3) Perianal prostatectomy.

4) Suprapublic atau tranvesical prostatectomy.


4. Alternatif lain (misalnya kriyoterapi, hipertermia, termoterapi ,terapi
ultrasonic).

K. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti


dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :

1. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.

b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.

2. Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin
yang merupakan tanda dari retensi urin.

b. IVP (Intra Vena Pielografi)


Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
penyakit pada buli-buli.

c. Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)


Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.

d. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
L. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
1. Meliputi Meliputi nama,umur, jenis kelamin, agama, suku,alamat,
tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnose medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
b. Keluhan saat pengkajian
c. Keluhan terdahulu
d. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola fungsi kesehatan
a. Aktifitas
b. Istirahat
c. Eliminasi
d. Nutrisi
4. Pemeriksaan fisik
a. Status kesehatan umum
- Keadaan umum
- Kesadaran
- TTV
- TB dan BB
b. Pemeriksaan fisik secara head to toe
5. Data psikologis
a. pendidikan
b. hubungan siosial
c. gaya hidup
d. peran dalam keluarga
6. Data penunjang
7. Pengobatan
Kasus Keperawatan

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
a. Identitas pasien
Nama : Tn “S”
Umur : 63 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)
Alamat : Des Gembongan Kec. ponggok
Pekerjaan : Petani
Tanggal masuk : 25 mei 2020
Tanggal pengkajian : 25 mei 2020
Diagnosa medis : Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn “M”
Jenis kelamin : Laki-laki
Hubungan dengan pasien : Cucu
2. Riwayat Penyakit
a. Alasan masuk rumah sakit sakit
Klien mengeluh susah BAK ± 1 tahun. Pasien berobat ke Puskesmas
lalu dirujuk ke RSUD Blitar.
b. Keluhan saat dikaji
Pasien mengatakan nyeri pada bagian bekas luka operasi. Pasien
meringis kesakitan.
P : saat ditekan dan beraktivitas
Q : seperti ditusuk jarum
R : dibagian abdomen bawah (kandung kemih) luka operasi
S : 5-6
T : intermitten
c. Riwayat penyakit dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit kronis sebelumnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang menderita BPH.
3. Genogram

   
   


Keterangan :

 : Laki-laki

 : Laki-laki meninggal

 : Perempuan

 : Perempuan meninggal

: Pasien

: Tinggal dalam satu rumah


Data Biologis
a. Pola nutrisi
SMRS : Pasien makan 3x sehari dengan menu bervariasi.
MRS : Pasien makan 3x sehari, dengan porsi yang disediakan
rumah sakit.
b. Pola minum
SMRS : Pasien minum 1,5-2 liter/hari.
MRS : Pasien minum 1-1,5 liter/hari.
c. Pola eliminasi
SMRS : Pasien BAB 1-2x/hari, BAK bisa lebih 10-15 x/hari
dengan keluhan urin keluar sedikit-sedikit.
MRS : Pasien BAB 1 kali setelah operasi, terpasang kateter
triway no. 22 dengan karakteristik warna urin kuning
jernih, 500 ml/hari, kadang-kadang terasa nyei saat BAK.
Pasien terpasang irigasi 30 tpm.
d. Pola istirahat/tidur
Waktu tidur
SMRS : Pasien tidur 7-8 jam/hari dan cemas terhadap penyakitnya.
MRS : Pasien tidur sekitar 6-8 jam/hari, dengan penerangan yang
cukup.
e. Pola hygiene
- Mandi
SMRS : Pasien mandi 2 x sehari.
MRS : Pasien mandi 1 x sehari dibantu oleh keluarga.
- Cuci rambut
SMRS : Pasien cuci rambut setap hari saat mandi.
MRS : Pasien hanya membasahi rambut.
- Gogok gigi
SMRS : Pasien gosok gigi dua kali sehari pagi dan malam.
MRS : Pasien tidak menggosok gigi.
4. Pola aktifitas
SMRS : Pasien melakukan aktifitas sehari-hari dibantu oleh orang
lain.
MRS : - Pasien melakukan aktifitas dibantu oleh orang lain.
- Pasien mengatakan tidak bisa melakukan aktifitas secara
mandiri.
- Pasien tampak lemah.
- Pasien tampak kesakitan dalam melakukan aktifitas.

Aktifitas 0 1 2 3 4
Mandi √
Berpakaian √
Eliminasi √

Mobilisasi ditempat tidur √


Pindah √
Makan dan minum √

Keterangan : 0 = mandiri
1 = dibantu sebagian
2 = perlu bantuan orang lain
3 = perlu bantuan orang lain dan alat
4 = tergantung orang lain tidak mandiri

5. Data Sosial
a. Hubungan dengan keluarga
Baik.
b. Hubungan dengan tetangga
Baik.
c. Hubungan dengan pasien sekitar
Baik.
d. Hubungan dengan keluarga pasien lain
Baik.
6. Data Psikologis
a. Status emosi
Pasien dapat mengendalikan emosi dengan baik.

b. Peran diri

Pasien tidak dapat mejalankan peran seagai kepala keluarga yang baik
karena dirawat di rumah sakit.

c. Gaya komunikasi

Menggunakan bahasa verbal.

Pola Koping

Pertahan tubuh menurun karena proses penyakit.

7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
TTV : TD = 120/80 mmHg
N = 80 x/menit
RR = 16 x/menit
S = 36,5 ºC
b. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala simetris, beruban, kulit kepala kering,
tidak ada ketombe.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
c. Mata
Inspeksi : Sklera putih, dapat melihat dengan jelas, bola mata
simetris, konjungtiva merah muda, ada reaksi
terhadap cahaya (miosis) tidak mengguakan alat bantu
penglihatan, fungsi penglihatan normal.
Palpasi : Tidak nyeri tekan.

d. Hidung
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada polip, tidak ada sekret.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan dan
pembengkakan.
e. Telinga
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada kelainan dikedua telinga,
tidak ada lesi dan serumen.
Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan.
f. Mulut
Inspeksi : Gigi tampak hitam, lidah bersih, mukosa mulut
lembab, bibir lembab.
Palpasi : Otot rahang kuat.
g. Leher
Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar limfe.
Palpasi : Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid, tidak
ada nyeri tekan.
h. Thoraks (paru-paru)
Inspeksi : Dada simetris, tidak ada lesi, respirasi 16 x/m, ada
batuk sedikit.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : Bunyi napas vesikuler.
Perkusi : Sonor.
i. Thoraks (jantung)
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis tidak teraba.
Auskultasi : S1 dan S2 reguler.
Perkusi : Batas jantung normal.
j. Abdomen
Inspeksi : Simetris, tidak ada lesi, terdapat luka insisi bedah
tanggal 25-05-2020 di abdomen inguinalis kanan
dengan karakteristik panjang luka 8-10 cm jumlah
hecting 7 jahitan tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor,
dolor, kalor, tumor). Terpasang drain dengan produksi
± 50 cc warna merah muda.
Palpasi : ada nyeri tekan di sekitar luka post operatif di
abdomen inguinalis kanan, skala 5-6 (nyeri sedang),
teraba hangat di daerah sekitar luka.
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus 6 x/menit.
k. Genetalia
(pasien menolak untuk dikaji).
l. Ekstremitas

Kanan 5 5 5 5 5 5 5 5 Kiri
5 5 5 5 5 5 5 5

Keterangan: Terpasang infus di tangan kiri.


Data Penunjang
LABORATORIUM
14 Juli 2014 Hasil Nilai Normal
Hb 10.0 Lk = 14-16 gr%, Pr = 12-14 gr%
Leucocyt 6.600 5.000-10.000 mm3/drh
Hematokryt 31 % Lk = 47-54 %, Pr = 42-46 %
Eritrocyt 3.71 4,6-6 Jt mm3/drh
RONTGEN
Dari hasil rontgen tanggal 26 mei 2020 menunjukkan adanya pembesaran
prostat.

Pengobatan
 Tramadol 2 x 100 ml (IV)
 Ranitidine 2 x 50 ml (IV)
 As. Tranexamat 3 x 500 mg (IV)
 Cefoprazone 2 x 1 gr (IV).
 NaCl/RL 20 Tpm.
B. ANALISA DATA

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH


Proses pembedahan
1. DS: Nyeri akut
- Ps mengatakan nyeri dibagian
bekas luka
P : saat ditekan dan beraktivitas
Luka insisi pembedahan
Q : seperti ditusuk jarum
R : dibagian abdomen bawah
(kandung kemih) luka operasi
S : 5-6
Nyeri
T : intermitten

DO:
- Ps tampak meringis kesakitan
BPH
2. DS: Resiko infeksi
DO:
- Terdapat luka post operasi pada
abdomen bawah. Tindakkan pembedahan

- Tampak luka insisi post operasi


11-07-2014
- Panjang luka 8-10cm
- Jumlah heating 7 jahitan
- Tidak terdapat tanda infeksi Proses inflamasi

(rubor, dolor, kalor, tumor)


- Terpasang drain
TTV
TD : 120/80 mmHg
RR : 16x/menit Terpapar organisme

N : 80x/menit

S : 36,7oC

- Leukosit 6.600mm3/drh
Resiko infeksi
Tindakkan pembedahan
3. DS: Intoleransi aktifitas
- Ps mengatakan tidak bisa
melakukan aktifitas secara
mandiri Nyeri

- Ps mengatakan luka terasa nyeri


saat melakukan aktifitas
DO:
- Ps tampak lemah.
- Ps tampak kesakitan jika Susah beraktifitas

melakukan aktivitas.
- Ps terpasang kateter triway no.
22
Intoleransi aktifitas
- Ps terpasang infus RL 20 tpm.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA KEPERAWATAN NOC NIC RASIONAL PARAF

Nyeri akut b/d luka post operasi, Setalah dilakukan tindakan keperawatan Guidance :
1.
ditandai dengan: 3x24 jam diharapkan nyeri dapat
- Kaji skala nyeri
berkurang atau hilang dengan kriteria 1. Mengetahui skala nyeri
DS: hasil : - Kaji TTV setiap 4 jam
- Ps mengatakan nyeri dibagian Support :
- Ds : pasien mengatakan nyeri 2. Mengetahui keadaan
bekas luka
berkurang dengan skala 1-3 - Berikan posisi yang nyaman umum pasien.
P : saat ditekan dan beraktivitas
- Do : pasien tampak tenang, untuk klien.
Q : seperti ditusuk jarum
TTV dalam batas normal Teaching : 3. Memberikan rasa
R : dibagian abdomen bawah
- Ajarkan manajemen nyeri (teknik nyamann bagi pasien.
(kandung kemih) luka operasi.
relaksasi napas dalam dan teknik
S : 5-6
distraksi). 4. Mengalihkan perhatian
T : intermitten
Dev. Env : nyeri.

DO: - Ciptakan lingkungan yang


5. Memberi suasana
- Ps tampak meringis kesakitan nyaman dan tenang
nyaman bagi pasien.
Collaboration :

- Berikan analgetik sesuai instruksi


6. Analgetik mengurangi
dokter (Tramadol 2 x 100 ml)
rasa nyeri.

2. Resiko infeksi b/d kerusakan Setelah dilakukan tindakan Guidance :


jaringan efek sekunder dari keperawatan 3x24 jam 1. Mengetahui adanya
prosedur pembedahan ditandai diharapkaninfeksi tidak terjadi dengan - Kaji tanda tanda infeksi
- Observasi TTV setiap 6 jam. tanda infeksi
dengan : kriteria hasil :
Do : tidak tampak adanya tanda tanda Support : 2. Mengetahui keadaan
DS:
DO: infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor) umum
- Ganti balutan setiap hari dengan
- Terdapat luka post operasi pada
abdomen bawah. Leukosit normal 4.000-11.000 teknik aseptik dan steril
- Tampak luka insisi post operasi
S : 36,7 -37,5 0C Teaching : 3. Mencegah adanya
11-07-2014
- Panjang luka 8-10cm - Ajarkan pasien dalam menjaga infeksi
- Jumlah heating 7 jahitan
kebersihan pada daerah luka post 4. Mengajarkan pasien
- Tidak terdapat tanda infeksi
(rubor, dolor, kalor, tumor) op. untuk mempertahankan
- Terpasang drain
Dev. Env : kondisi balutan luka.
TTV
TD : 120/80 mmHg
RR : 16x/menit - Ciptakan lingkungan yang bersih.
N : 80x/menit Collaboration : 5. Mencegah terjadnya
S : 36,7oC infeksi
- Berikan antibiotik sesuai anjuran
- Leukosit 6.600mm3/drh
dokter.
6. Mempercepat
- Kolaborasikan dengan ahli gizi
penyembuhan luka
dalam pemberian diit TKTP.

7. Protein mempercepat
proses penyembuhan
luka.
3. Intoleran aktivitas b/d nyeri akibat Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam Guidance : 1. Mengetahui keadaan
luka bekas operasi, ditandai diharapkan intoleran aktivitas dengan umum pasien
dengan: criteria hasil : - Kaji tanda tanda infeksi
- Kaji tingkat aktifitas 2. Mengetahui tingkat
DS: - Pasien mengatakan bisa ketergantungan pasien
Support :
- Ps mengatakan tidak bisa beraktivitas secara mandiri dan 3. Memberikan
melakukan aktifitas secara secara perlahan - berikan posisi senyaman mungkin
kenyamanan pada pasien
mandiri - Pasien biisa melakukan secara - dekatkan barang yang diperlukan
4. Memberikan
- Ps mengatakan luka terasa nyeri mandiri pasien
kenyamanan pada
saat melakukan aktifitas Teaching :
- ajarkan pasien untuk latihan aktif pasien.
DO:
dan pasif sesuai kondisi 5. Mencegah kelemahan
- Ps tampak lemah.
Dev. Env : otot dan merangsang
- Ps tampak kesakitan jika
- Ciptakan lingkungan yang tenang mobilisasi.
melakukan aktivitas.
Collaboration : 6. Memberikan
- Ps terpasang kateter triway no.
- Kolaborasi dengan dokter dalam kenyamanan pada
22
pemberian obat yang sesuai pasien.
Ps terpasang infus RL 20 tpm.
7. Memberikan terapi yang
tepat untuk pasien
D. CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI

NO. DX TANGGAL CATATAN KEPERAWATAN CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI PARAF

DX 1. 26 Mei 2020 1. Mengkaji TTV


S : Pasien mengatakan nyeri pada bagian
o
07.30 H/ TD : 120/80, N : 80 x/m, RR: 16 x/m, S : 36,7 C bekas luka operasi dengan skala 5-6 (nyeri
sedang).
2. Mengkaji skala nyeri
08.10 R/ O : Pasien terlihat meringis kesakitan ketika
bagian abdomen ditekan.
P : saat ditekan dan beraktivitas
Q : seperti ditusuk jarum A : Masalah belum teratasi.
R : dibagian abdomen bawah (kandung kemih)
luka operasi P : Intervensi 1, 2 dan 4 dilanjutkan.
S : 5-6
T : intermitten
3. Megajarkan teknik relaksasi napas dalam.
R/ Pasien mengikuti dengan baik.

08.20 4. Memberi terapi injeksi sesuai instruksi dokter.


R/ Tramadol 1 amp IV.

08.30
DX 2. 26 Mei 2020 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi.
S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
09.00 H/ Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, panas, dan sakit.
tumor.
10.00 O : Tidak tampak adanya tanda-tanda
2. Memberikan penkes kepada pasien dalam infeksi.Pasien terlihat tenang
menjaga kebersihan luka bekas operasi.
R/ pasien dan keluarga mendengarkan dengan baik. A : Masalah masih resiko.

3. Memberikan terapi injeksi . P : Intervensi 1 dan 3 dilanjutkan.


11.00
R/ Cifrofloxacin 500 mg IV.

DX 3. 26 Mei 2020 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan belum bisa beraktifitas
secara mandiri.
13.00 H/ pasien hanya beraktifitas di tempat tidur.
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif. O : Pasien tampak lemah.
R/ pasien mengikuti dengan baik. A : Masalah belum teratasi .

13.30 P : Intervensi 1 dan 2 dilanjutkan.

DX 1. 27 Mei 2020 1. Mengkaji TTV S : Pasien mengatakan nyeri sedikit berkurang.


07.30 H/ TD : 150/80, N : 82 x/m, RR: 16 x/m, S : 36,5 oC O : Pasien tampak lebih tenang.
2. Mengkaji skala nyeri
A : Masalah teratasi sebagian.
08.10 R/
P : Intervensi 1, 2 dan 3 dilanjutkan.
P = Saat ditekan dan saat beraktifitas.
Q = Seperti ditusuk-tusuk.
R = Di bagian abdomen (luka operasi).
S = 4-5 nyeri sedang.
T = intermiten (kadang-kadang).
3. Memberi terapi injeksi sesuai dengan resep dokter.
R/ Tramadol 1 amp IV.

08.30 4. Memberikan posisi nyaman bagi pasien.


H/ Pasien tampak nyaman.

DX 2. 27 Mei 2020 1. Memberikan terapi injeksi . S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
panas dan sakit.
09.00 R/ Cifrofloxacin 500 mg IV.
11.00 2. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik O : Tidak ada tanda-tanda infeksi.
dan steril. A : Masalah masih resiko.
08.00 H/ perban tambak bersih, tidak terdapat tanda-
P : Intervensi 1,2 dan 3 dilanjutkan.
tanda infeksi.
DX 3. 27 Mei 2020 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan sebagian aktifitas
sudah bisa dilakukan sendiri.
13.00 H/ sebagian aktifitas pasien sudah dapat dilakukan
sendiri O : Pasien tampak lebih bersemangat dalam
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif. melakukan aktifitas.
R/ pasien mengikuti dengan baik. A : Masalah teratasi sebagian .
13.30
P : Intervensi 1 dan 2 dilanjutkan.

DX 1. 28 Mei 2020 1. Mengkaji TTV S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang.


07.30 H/ TD : 120/80, N : 80 x/m, RR: 16 x/m, S : 36,5 oC O : Pasien tampak lebih tenang.
2. Mengkaji skala nyeri
A : Masalah teratasi sebagian.
08.10 R/
P : Intervensi 1, 2 dan 3 dilanjutkan.
P = Saat ditekan dan saat beraktifitas.
Q = Seperti ditusuk-tusuk.
R = Di bagian abdomen (luka operasi).
S = 1-3 nyeri ringan.
T = intermiten (kadang-kadang).
3. Memberi terapi injeksi sesuai dengan resep dokter.
R/ Tramadol 1 amp IV.

08.30
DX 2. 28 Mei 2020 1. Mengkaji tanda-tanda infeksi. S : Pasien mengatakan tidak ada rasa gatal,
panas dan sakit.
09.00 H/ Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kalor,
tumor). O : Tidak terlihat ada tanda-tanda infeksi.
11.00
2. Memberikan terapi injeksi sesuai dengan anjuran
A : Masalah masih resiko.
dokter. tidak
R/ Cifrofloxacin 500 mg IV. P : Intervensi dihentikan.
08.00
3. Melakukan perawatan luka dengan teknik aseptik - Delegasikan rencana intervensi
dan steril. kepada teman sejawat.
H/ perban tambak bersih, terdapat tanda-tanda
infeksi.

DX 3. 28 Mei 2020 1. Mengkaji tingkat aktifitas pasien. S : Pasien mengatakan sebagian aktifitas
sudah bisa dilakukan sendiri.
09.00 H/ sebagian aktifitas pasien sudah bisa dilakukan
secara mandiri. O : Pasien tampak lebih bersemangat dalam
2. Mengajarkan latihan fisik aktif dan pasif. melakukan aktifitas.
R/ pasien mengikuti dengan baik. A : Masalah teratasi sebagian.
13.30
P : Intervensi 1 dilanjutkan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Selama memberikan asuhan keperawatan penulis menemukan beberapa kesenjangan


antara konsep teoritis dan kasus yang ditemukan. Dalam bab ini penulis akan membahasnya
sesuai dengan asuhan keperawatan yang sudah diterapkan meliputi pengkajian, diagnosa,
inervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan.

A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal untuk melakukan suatu keperawatan yang berguna
untuk mengumpulkan data sebagai dasar untuk mengetahui kebutuhan klien sehingga
dapat menentukan asuhan keperawatan yang akan di lakukan. Dalam pengumpulan data
penulis menggunakan metode wawancara atau Tanya jawab dengan keluarga pasien
danklien serta observasi dengan menggunakan pemeriksaan fisik dan menggunakan studi
dokumentasi pada status pasien. Selama melakukan pengkajian penulis tidak banyak
menemui kesulitan, hal ini berkaitan dengan kerjasama dan partisipasi dari pasien dan
keluarga dalam memberikan informasi yang diperlukan, berkaitan dengan penyakit yang
di derita pasien. Pada pemerikasaan fisik, penulis menemukan beberapa gejala khas yang
sesuai dengan teoritis yaitu :gangguan eliminasi dan rasa tidak nyaman pada daerah
pemasangan kateter.
B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan tinjauan pustaka asuhan keperawatan pada kasus BPH tim penulis
mendapat hasil diagnosa keperawatan yaitu : 80 Sedangkan diagnosa yang di dapat pada
kasus ada 3 diagnosa yaitu : 1. Nyeri 2. Resiko infeksi 3.Intoleransi aktifittass
C. Intervensi Keperawatan
Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan sesuai
dengan kriterianya, maka penulis membuat rencana berdasarkan acuan pada tinjauan
teoritis yang ada pada diagnosa ini intervensi dapat diterapkan pada kasus karena berkat
kerjasama yang baik antara perawat, keluarga, dan klien. Dalam menyusun tindakan yang
akan di lakukan ini disesuaikan dengan diagnosa yang di temukan sehingga mendapatkan
tujuan yang di inginkan.
D. Implementasi Keperawatan
Tahap ini adalah tahap untuk melakukan tindakan – tindakan yang telah di
rencanakan sebelumnya.Semua tindakn bisa dilakukan. Tetapi penulis tidak dapat
memberikan perawatan dalam 24 jam karena adanya pergantian dinas yang telah diatur
E. Evaluasi Keperawatan
Selama perawatan yang dilakukan selama 3 hari, dari 3 diagnosa yang ditegakkan
hanya sebagian yang dapat teratasi karena pasien masih mengeluhkan nyeri yang di
deritanya dan tekanan darah masih tinggi,sehingga tinjauan pustaka, rencana tindakan di
buat selam 3 hari perawatan.
PENUTUP

A. Simpulan

Prostat merupakan sebuah kelenjar fibromuskular yang mengelilingi urethra pars


prostatica. Semakin tua laki-laki tersebut, memiliki potensi untuk terkena pembesaran
prostat atau benign prostat hyperplasia (BPH). Pembesaran akan menyebabkan komplikasi
refluks, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal dan pionefrosis pilonefritis. Biasanya
penanganan pasti pada BPH adalah pembedahan dengan cara TURP, TUIP dan
prostatektomi terbuka.

B. Saran

Lebih teliti dalam pengkajian dan analisa data, karena yang menjadi acuan dalam
menentukan diagnosa Keperawatan adalah analisa data sebelum menentukan rencana
tindakannya.
DAFTAR PUSTAKA

Engram Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 3. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.

Brunner dan Suddarth. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Nurarif, Amin Huda, dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA
NIC NOC. Yogyakarta: Media Action Publishing.

Wijaya Andra Saferi, dkk. 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Penerbit Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai