Anda di halaman 1dari 12

ASUHAN KEPERAWATAN PADA……. USIA………..

DENGAN KASUS
SOL DI RUANG ARAFAH 1 RSUDZA

DISUSUN OLEH:
ERNA, S.Kep
NIM : 2217

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABULYATAMA
2022
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan kelolaan ini sudah mendapatkan saran dan masukan dari masing-masing
pembimbing akademik dan CI Klinik dalam melakukan tindakan asuhan
keperawatan pada pasien dengan kasus SOL diruang Arafah1

Banda Aceh, 2022


Mengetahui,

Erna,S.Kep

CI Klinik, Pembimbing
Akademik,

(Ns.) (Ns.)

Koordinator Stase,

Ns. Syarifah Masthura, M.Kes


BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi SOL
Space-occupying lesion (S.O.L) intrakranial merupakan
merupakan istilah yang digunakan untuk generalisasi masalah
tentang   adanya   lesi   misalnya neoplasma, baik jinak maupun
ganas, primer atau sekunder, dan masalah lain seperti parasit,
abses, hematoma, kista, ataupun malformasi vaskular. Tumor-
tumor SOL intrakranial merupakan sekitar 9% dari seluruh tumor
primer yang terjadi pada manusia. Karena tumor-tumor ini berada
pada sistem saraf pusat maka tumor ini menjadi masalah
kesehatan yang serius dan kompleks. Tumor-tumor ini umumnya
berasal dari bagian parenkim dan neuroepitel sistem saraf pusat  
kecuali   mikroglia   dan   diperkirakan   sekitar   40%-50%   SOL
intrakranial disebabkan oleh tumor (Muttaqin, 2008)
Space Occupying Lesion (SOL) merupakan lesi yang
meluas atau menempati ruang dalam otak termasuk tumor,
hematoma, dan abses. Adanya Space Occupying Lesion dalam
otak akan memberikan gambaran seperti tumor yang meliputi
gejala umum yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial, perubahan tingkah
laku, false localizing sign, serta true localizing sign. (Akhyar,
2010).
B. Etiologi
Penyebab tumor masih sangat sedikit yang diketahui. Radiasi
merupakan salah satu dari factor penyebab timbulnya tumor otak. Trauma,
infeksi, dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya
tumor otak tetapi bahan industri tertentu seperti nitrosourea adalah
karsinogen yang paten. Limfoma lebih sering terdapat pada mereka yang
mendapat imunosupesan seperti pada transplantasi ginjal. Sumsum tulang
dan pada AIDS.
Faktor resiko space occupying lession:
1. Riwayat trauma kepala.
2. Faktor genetik 
3. Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik 
4. Virus tertentu 
5. Defisiensi imunologi 
6. Congenital  (ngatisyah, 2006)
C. Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis.. Gejala-gejala
terjadi berurutan hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam
pemeriksaan klien. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap
disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial. Gangguan vocal terjadi
apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi / inovasi langsung pada
parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor
yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah
arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut
dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan cerebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuro
dihubungkan dengan kompersi invasi dan perubahan suplai darah
kejaringan otak.
Peningkatan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa factor :
bertambahnya masa dalam tengkorak , terbentuknya oedema sekitar tumor
dan perubahan sirkulasi serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan
menyebabkan bertambahnya massa karena tumor akan mengambilkan
ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan odem dalam jaringan otak. Mekanisme belum sepenuhnya
dipahami namun diduga disebabkan selisih osmotik yang menyebabkan
pendarahan. Obstruksi vena oedema  yang disebabkan kerusakan sawar
darah otak semuanya menimbulkan kenaikan volume intrakranial.
Observasi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel laseral keruang sub
arakhnoid menimbulkan hidrosephalus. Peningkatan intrakranial akan
membahayakan jiwa bila terjadi secara cepat akibat salah satu penyebab
yang telah dibicarakan sebelumnya. Mekanisme kompensasi memerlukan
waktu berhari-hari / berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oleh karena
itu tidak berguna bila apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini bekerja menurunkan volume darah
intrakranial, volume cairan cerborspinal, kandungan cairan intrasel dan
mengurangi sel-sel parenkim.
Kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi
ulkus/serebulum. herniasi timbul bila girus medalis lobus temporalis
bergeser keinterior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemister
otak. Herniasi menekan ensefalon menyebabkan kehilangan kesadaran dan
menekan saraf ke tiga. Pada herniasi serebulum tonsil sebelum bergeser
kebawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior, ( Suddart,
Brunner. 2001 ).
Pathway
Idiopatik adalah penyebab yang belum diketahu

D. Manifestasi Klinis
Menurut lokasi tumor:
1. Lobus frontalis: Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan : depresi,
bingung, tingkahlaku aneh, sulit memberi argumentasi / menilai salah atau
benar, hemiparesis, ataksia dan gangguan bicara.
2. Korteks presentalis poterior, Kelemahan / kelumpuhan pada otot-otot wajah,
lidah dan jari.
3. Lobus parasentalis,Kelemahan ekstrimitas bawah.
4. Lobus oksipintalis, Kejang, gangguan penglihatan.
5. Lobus temporalis, Tinitus, halusinasi pendengaran, afasia senorik,
kelumpuhan otot wajah.
6. Lobus parietalis, Hilang fungsi sensorik karotikalif, gangguan lokalisasi
sensorik, gangguan penglihatan.
7. Ceribulum 
 Nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia, hiperextrimitas, sendi.
 Nyeri kepala berat pada pagi hari, makin bertambah bila batuk membungkuk.
 Kejang.
 Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial : pandangan kabur, mual, muntah,
penurunan fungsi pendengaran, perubahan TTV, afasia.
 Perubahan kepribadian.
 Gangguan memory.
 Gangguan alam perasaan.

E. Komplikasi
1. Edema serebral.
2. Tekanan intrakranial meningkat.
3. Herniasi otak.
4. Hidrosefalus.
5. Kejang.
6. Metastase ketempat lain. (Brunner & Sudarth, 2003)

F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan medis
 Terapi antibiotik. Kombinasi antibiotik dengan antibiotik spektrum luas.
Antibiotik yang dipakai ;Penicilin, chlorampenicol (chloramyetin) dan
nafacillen (unipen). Bila telah diketahui bakteri anaerob, metrodiazelo
(flagyl) juga dipakai.
 Surgery ; aspirasi atau eksisi lengkap untuk evaluasi abses.
 Untuk tumor primer jika memungkinkan dilakukan eksisi sempurna
namun umumnya sulit dilakukan sehingga dilakukan radioterapi dan
kemoterapi, pada tumor metastase dilakukan perawatan paliatif
 Hematom membutuhkan evakuasi
 Lesi infeksi membutuhkan evakuasi dan terapi antibiotik
 Pemberian deksametason dapat menurunkan edema sebral.
 Pemberian Manitol untuk menurunkan peningkatan TIK
 Pemberian antikonvulsan  sesuai gejala yg timbul. (Widjoesno, 2004.
Eccher, 2004)
2. Penatalaksaan Keperawatan
 Monitor adanya cardiac aritmia pada pembedahan fossa posterior akibat
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
 Monitor intake dan output cairan pasien. Batasi intake cairan sekitar 1.500
cc / hari.
 Lakukan latihan ROM untuk semua ekstremitas setiap pergantian dinas.
 Pasien dapat dibantu untuk alih posisi, batuk dan napas dalam setiap 2 jam.
 Posisi kepala dapat ditinggikan 30 -35 derajat untuk meningkatkan aliran
balik dari kepala. Hindari fleksi posisi panggul dan leher.
 Cek sesering mungkin balutan kepala dan drainage cairan yang keluar.
 Lakukan pemeriksaan laboratorium secara rutin
 Memberikan obat-obatan sebagaimana program, misalnya :
antikonvulsi,antasida, atau antihistamin reseptor, kortikosteroid.
 Melakukan tindakan pencegahan terhadap komplikasi post operasi..

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan diagnostik
 CT Scan ; memberi informasi spesifik mengenai jumlah, ukuran,
kepadatan, jejas tumor dan meluasnya odema cerebral serta memberi
informasi tentang sistem vaskuler
 MRI ; membantu dalam mendeteksi tumor didalam batang otakdan
daerah hiposisis, dimana tulang menggangu dalam gambaran yang
menggunakan CT Scan
 Biopsi Stereotaktik ; dapat mendiagnosa kedudukan tumor yang dalam
dan untuk memberi dasar pengobatan serta informasi prognosis.
 Angiografi ; memberi gambaran pembuluh darahserebral dan letak
tumor
 Elektro ensefalografi ; mendeteksi gelombang otak abnormal pada
daerah yang ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk
mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang. (doengoes, 2004)
b. Pemeriksaan laboratorium
 Spesimen darah bila ada indikasi kecurigaan ke arah penyakit sistemik
sebagai penyebab nyeri kepala.
 Spesimen CSS bila ada indikasi kecurigaan pendarahan subarahnoidatau
infeksi susunan saraf pusat

DAFTAR PUSTAKA

1. Akhyar(2010).SOL Intracranial BABIIhttp://www.academia.edu/
9672540/SOL_intrakranial_BAB-II
2. Doenges, (2004). Rencana asuhan keperawatan. Jakarta: EGC
3. Ejaz butt (2005). Keperawatan neurologi. Diakses tanggal 15
Oktober 2005. Online
4. Ginsberg lionel(2003).classification. USA: Willey Blackwell
5. Guyton(2007). Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
6. Mardjono(2008). Keperawatan neurologi Jakarta : EGC
7. Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
8. Ngatisyah(2006). Faktor resiko SOL. Jakarta : EGC.
9. Price (2005). Patofisiologi; konsep klinik proses- proses penyakit.
(Ed. 4). Jakarta: EGC

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian:
1. Identitas klien ; usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tgl masuk RS, askes.
2. Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal.
4. Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media,
mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema) jantung
(endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.
5. Riwayat keluarga yaitu pada migren dan nyeri kepala biasanya di dapatkan juga
pada keluarga pasien.
6. Pemeriksaa fisik
a) Makan: Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah
pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
b) Minum: Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
c) Eliminasi (BAB / BAK): Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
d) Gerak dan aktifitas: Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa
mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
e) Rasa Nyaman: Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor
penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
f) Kebersihan Diri: Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS
g) Rasa Aman: Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya
selama di RS.
h) Sosial dan komunikasi: Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS
dan lingkungan sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
i) Pengetahuan: Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini
dan terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
j) Rekreasi: Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
k) Spiritual: Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
7. Pemeriksaan neurologis 
a)Pemeriksaan Fisik Persyarafan: Nilai kesadaran dengan menggunakan patokan
Glasgow Coma Scale (GCS) Tanyakan waktu, tanggal, tempat dan alasan
berkunjung, kaji kemampuan klien dalam berhitung dan mulailah dengan
perhitungan yang sederhana.
b) Saraf Kranial
 Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius): Lakukan pemeriksaan dengan menutup
sebelah lubang hidung klien dan dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata
tertutup klien diminta menebak bau tersebut. 
 Fungsi saraf kranial II (N. Optikus): Periksa ketajaman dengan  membaca,
perhatikan jarak baca atau menggunakan snellenchart untuk jarak jauh. Periksa
lapang pandang : Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta untuk
menutup sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata
yang berlawanan dengan mata klien. 
 Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen):
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva, dan
ptosis kelopak mata. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya, ukuran pupil,
dan adanya perdarahan pupil.Pada gerakan bola mata diperiksa enam lapang
pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral ke atas, medial atas, medial
bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti arah telunjuk pemeriksa dengan
bolamatanya
 Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus): Fungsi sensorik diperiksa dengan
menyentuh kilit wajah daerah maxilla, mandibula dan frontal dengan
mengguanakan kapas. Dengan menggunakan sensori nyeri menggunakan
ujung jarum atau peniti di ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda
tajam dan tumpul.
 Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis):Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi
kapas ke air garam dan sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi
rasa ulangi untuk gula dan asam
 Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul, mengangkat kedua
al;is berbarengan, menggembungkan pipi. 
 Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear): Dengan menggunakan test
pendengaran mengguanakan weber test dan rhinne test
 Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus): Periksa gag
refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring menggunakan
aplikator dan observasi gerakan faring. Periksa aktifitas motorik faring dengan
meminta klien menel;an air sedikit, observasi gerakan meelan dan kesulitan
menelan. Periksa getaran pita suara saat klien berbicara.
 Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris): Periksa fungsi trapezius dengan meminta
klien menggerakkan kedua bahu secara bersamaan dan observasi kesimetrisan
gerakan.
 Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus): Periksa pergerakan lidah,
menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan, observasi kesimetrisan gerakan lidah
c)Fungsi Motorik:Kaji cara berjalan dan keseimbangan  dengan mengobservasi cara
berjalan, kemudahan berjalan, dan koordinasi gerakan tangan dan kaki. 
d) Fungsi Sensorik: Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus secara
acak pada bagian tubuh klien dan dapat berupa sentuhan ringan seperti
kapas, tumpul dan tajam, suhu, getaran.
e)Fungsi Refleks
 Biseps: pukulkan refleks hammer pada ibu jari, observasi kontraksi otot biseps
(fleksi siku)
 Triseps: pukulkan refleks hammer pada prosesus olekranon, observasi
kontraksi otot triseps (ekstensi siku).
 Patelar: pukulkan reflek hammer, perhatikan ekstensi otot quadriceps.
f) Pemeriksaan GCS dan Refleks: Compos Mentis (conscious) yaitu kesadaran
normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
 Apatis yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
 Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
 Somnolen (Obtundasi, Letargi) yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
 Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
 Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

B. Diagnosa Keperawatan
1. keteKetidak efektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
peningkatan TIK
2. Resiko cidera berhubungan dengan kejang
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan nyeri kepala
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual muntah
5. Kecemasan berhubungan dengan kurang nya informasi tentang
prosedur

C. Intervensi Keperawata
Intervensi keperawatan atau perencanaan merupakan keputusan
awal yang memberi arah bagi tujuan yang ingin dicapai, hal yang akan
dilakukan, termasuk bagaimana, kapan dan siapa yang akan melakukan
tindakan keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana tindakan
keperawatan untuk pasien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan
secara maksimal (Asmadi, 2008). .Intervensi keperawatan adalah segala
pengobatan yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada
pengetahuan dan 25 penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan
rencana asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna
membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Bruno,
2019). Tahap ini akan muncul bila perencanaan diaplikasikan pada pasien.
Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda denga
urutan yang dibuat pada perencaan sesuai dengan kondisi pasien.
Implementasi keperawatan akan sukses sesuai dengan rencana apabila
perawat mempunyai kemampuan kognitif, kemampuan hubungan
interpersonal, dan ketrampilan dalam melakukan tindakan yang berpusat
pada kebutuhan pasien (Akib, 2012).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan (Dra.Rosinta, Drs.Asrul, 2014).
Format yang dapat digunakan untuk evaluasi keperawatan menurut
Dinarti et al., (2009) yaitu format SOAP yang terdiri dari :
 Subjective, yaitu pernyataan atau keluhan dari pasien. Pada ibu hamil
dengan defisit pengetahuan diharapkan ibu menyatakan paham dengan
kondisi kehamilannya, dan mampu menyebutkan kembali apa yang
dijelaskan
 Objektive, yaitu data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga. Ibu
hamil
 diharapkan paham dengan kondisinya dan berperilaku sesuai anjuran
 Assesment, yaitu kesimpulan dari objektif dan subjektif (biasaya
ditulis dala bentuk masalah keperawatan).

Anda mungkin juga menyukai