Anda di halaman 1dari 29

Referat

Perawatan Neurocritical Care Pasca Cedera Otak Traumatik

Oleh:
Dian Octaviani (1618012037)
M. Aria Laksa (1218011098)
Nidya Tiaz Putri A. (1618012058)
Tarrini Inastyarikusuma (1618012034)

Preceptor:
dr. Bambang Eko Subekti, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTHESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK PROVINSI LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Perawatan Neurocritical Care Pasca Cedera
Otak Traumatik” untuk memenuhi tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik
pada stase ilmu anesthesiologi dan terapi intensif.

Referat ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan kasus ini. Untuk
itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak, termasuk
kepada dr. Bambang Eko Subekti, Sp.An , selaku preseptor dari penulis.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki laporan kasus ini kedepannya.

Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bandar Lampung, Mei 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar .............................................................................................. 2
Daftar Isi ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cedera Otak Traumatik.................................................................... 5
2.2 Manajemen Cedera Otak Traumatik................................................ 6
2.3 Neurocritical Care............................................................................ 17
BAB III KESIMPULAN............................................................................... 26
Daftar Pustaka .............................................................................................. 27

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gagasan berupa pembentukan protokol untuk kegawatan neurologis bukanlah


suatu hal yang baru. Selama pembentukan American Academy of Neurology
Neurocritical Care pada awal 1980 terdapat perdebatan terkait cara terbaik RJP
(resusitasi jantung paru); resusitasi, berbagai frekuensi kompresi dan respirasi serta
kemungkinan kompresi vena jugularis. Hal ini merupakan variasi sederhana pada
RJP dimana mulai berorientasi pada resusitasi otak yang kemudian memotivasi
pengembangan perfusi otak dan outcomenya. Tahun 1990-an, diadakan seminar
berjudul Acute Neurologic Catastrophies: the first 60 minute. Meski demikian
masih sedikit klinisi yang menggunakannya pada pasien selama waktu awal pasien
masuk rumah sakit (Smith & Weingart, 2012).

Neurocritical care adalah perawatan intensif yang diberikan kepada pasien


dengan kondisi neurologis yang mengancam nyawa, komplikasi postoperatif bedah
saraf, dan manifestasi neurologis dari penyakit sistemik. Pasien tersebut berisiko
mengalami cedera otak sekunder akibat peradangan, iskemia, dan edema yang
mengikuti cedera primer (Salardini, 2016). Neurocritical care merupakan
sekelompok protokol yang menunjukkan langkah dalam mengurus pasien selama 1
jam pertama kegawatan neurologis. Protokol ini disusun untuk membantu
menstandarisasi langkah-langkah awal yang penting dengan tujuan memperoleh
outcome yang lebih baik, menyediakan diagnosis dan terapi kegawatan yang tepat,
membentuk dasar konsensus keputusan kegawatan neurologis yang dapat
membantu memberikan solusi keadaan pasien sehingga dapat meningkatkan
pelayanan pada pasien (Smith & Weingart, 2012). Cedera otak traumatik dapat
menyebabkan pasien mengalami disabilitas atau kecacatan bahkan hingga
kematian. Oleh karena hal tersebut, dirasa penting untuk melakukan perawatan
neurocritical care pada pasien-pasien cedera otak traumatik di rumah sakit.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Otak Traumatik


Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan
oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai
dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak (Irawan,
2010).

Patofisiologi Cedera Otak Traumatik


Vasodilatasi di otak dapat menyebabkan penurunan systemic arterial
pressure (SAP), yang berdampak pada meningkatnya cerebral blood volume
(CBV) dan intracranial pressure (ICP). Jika SAP tetap rendah, cerebral
perfusion pressure (CPP) akan menurun drastis, lalu mengaktifkan kaskade
vasodilatasi sampai batas maksimal vasodilatasi otak tercapai atau SAP dapat
stabil. Kaskade dapat juga teraktivasi pada kondisi hipoksemia, dehidrasi, atau
hiperkapnia (Kinoshita, 2016).
Stimulasi kaskade vasokonstriksi terkadang diperlukan strategi agar
bermanfaat bagi pasien dengan SAP yang berat. Pada peningkatan SAP dapat
menstimulasi kaskade vasokonstriksi otak yang berpotensi mengendalikan
penurunan dari CBV yang selanjutnya menurukan ICP. Jika respon dari
regulasi volume baik (cont. respon otak normal), pada saat terjadi peningkatan
CBV juga akan mengaktifkan kaskade vasokonstriksi, yang akhirnya
menurukan ICP. Kaskade vasokonstriksi juga berperan dalam pemuatan
cairan, transfusi sel darah merah, menurunkan viskositas (pada penggantian
cairan), atau meningkatkan penghantaran oksigen untuk manajemen sistemik
dalam critical care. Kaskade ini dapat secara klinis efektif dalam penggantian
volume kecil pada pasien dengan CPP yang rendah yang berpotensi dehidrasi.

5
Tekanan atau kaskade regulasi volume dapat mengisyaratkan untuk langkah
berikutnya dalam strategi pengobatan pasien cedera otak traumatic. Namun,
pasien traumatic membutuhkan manajemen khusus sejak SAP dipertahankan
karena peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik (hipertensi neurogenik)
setelah cedera otak traumatik, kondisi ini sering berpotensi menyebabkan
dehidrasi (Kinoshita, 2016).

Hiperemis setelah TBI


Hiperemis dikaitkan dengan peningkatan CBV dan penurunan resistensi
serebrovaskular distal. Banyak hal yang dapat menyebabkan, seperti asam
laktat, neuropeptida, dan adenosin, yang dihasilkan oleh metabolit vasodilatasi,
telah dianggap sebagai bagian dari mekanisme untuk menyebabkan penurunan
resistensi serebrovaskular distal. Sebagai alternatif, tekanan disfungsional atau
autoregulasi volume dapat menimbulkan hiperemis yang berhubungan dengan
hipertensi intrakranial dan hasil yang tidak baik. Jika hiperemis bergabung
dengan gangguan blood-brain barrier (BBB), kebocoran kapiler di vaskular
yang melebar dapat menyebabkan terjadinya edema otak. Dalam proses
terakhir, peningkatan CBF dan CBV karena pelebaran pembuluh darah dengan
gangguan BBB dapat menyebabkan pembengkakan pembuluh darah dan edema
otak, yang akhirnya mengarah pada "pembengkakan otak yang ganas",
perkembangan hipertensi intrakranial yang irreversibel. Jika kaskade
vasokonstriksi baik dan merespons secara normal, terapi hiperventilasi telah
diusulkan untuk mengurangi kadar PaCO2, yang mungkin efektif untuk
mengobati pembengkakan otak (Kinoshita, 2016).

2.2 Manajemen Cedera Otak Traumatik


A. Manajeman Pernapasan
Aspek klinis penting untuk menangani pasien dengan cedera otak
traumatik adalah dengan meminimalisasi kerusakan otak sekunder. Terapi
hiperventilasi untuk pasien fase akut dengan cedera otak traumatik berat
mengurangi TIK dan meningkatkan keluaran. Namun, hiperventilasi

6
berlebihan menginduksi vasokonstriksi dan penurunan aliran darah otak
yang berikutnya menyebabkan iskemia otak. Sayangnya, fenomena ini sulit
dideteksi tanpa neuromonitoring. Sebuah laporan yang membahas gangguan
keseimbangan metabolisme oksigen otak menyebutkan hal berikut sebagai
penyebab: (1) hipoksia; (2) hipotensi; (3) hipo / hiper PaCO2; dan (4)
anemia. Ini adalah penyebab ekstrakranial yang terdiri dari 45% dari semua
penyebab dan sama dengan kejadian disoksigenasi yang disebabkan oleh
penyebab intrakranial (48%) termasuk peningkatan TIK. Oleh karena itu,
mencapai stabilisasi pernapasan dan hemodinamik sangat penting untuk
mencegah perkembangan cedera otak sekunder pada pasien cedera otak
sekunder (Restrepo, 2010).

TIK secara signifikan dipengaruhi oleh PaCO2. Berdasarkan


reaktivitas CO2 serebrovaskular, dilatasi pembuluh darah otak yang
disebabkan oleh peningkatan PaCO2 dapat menyebabkan peningkatan TIK
dan berkontribusi terhadap peningkatan volume darah otak (pembengkakan
otak), berkemungkinan memberi hasil yang buruk untuk pasien dengan
cedera otak traumatik berat. Sebaliknya, ketika PaCO2 menurun, pembuluh
darah otak menyusut, menyebabkan penurunan pembengkakan otak dan
akhirnya penurunan TIK. Ketika hiperkapnia terjadi setelah adanya cedera
otak traumatik, seperti obstruksi saluran napas atau gangguan pernafasan,
terapi hiperventilasi mungkin efektif untuk menurunkan TIK ketika
reaktivitasi CO2 pasien dalam pembuluh darah otak dijaga. Karena kondisi
khusus ini sering terjadi di pre-rumah sakit atau ruang gawat darurat,
paramedis atau dokter harus hati-hati mengamati kondisi pernapasan pasien.
Namun, jika nilai PaCO2 turun hingga 20 mmHg atau kurang dari sekitar
40 mmHg, aliran darah otak mungkin turun hingga ke setengah dari nilai
sebelumnya jika PaCO2 40 mmHg (Gambar 3, panah), menyebabkan
percepatan iskemia otak dan menyebabkan peningkatan TIK. Oleh karena
itu, terapi hiperventilasi berlebihan harus dihindari setelah cedera otak berat,
terutama dalam 24 jam setelah cedera (McHugh, 2007).

7
Positive end-expiratory pressure (PEEP) adalah salah satu faktor
kunci untuk mempertahankan oksigenasi. Aplikasi PEEP dapat menurunkan
drainase vena serebral dengan meningkatkan tekanan intratoraks dan
dengan demikian meningkatkan volume darah otak dan TIK. PEEP juga
dapat meningkatkan TIK ketika TIK awal lebih rendah daripada PEEP,
tetapi memiliki efek yang lebih kecil pada perfusi serebral ketika TIK berada
di atas PEEP tertinggi yang digunakan. Oleh karena itu, PEEP ringan sampai
sedang bisa efektif dalam mencegah cedera paru terkait ventilator dan
meningkatkan TIK. Tingkat PEEP terendah untuk mempertahankan
oksigenasi adekuat dan mencegah kolaps akhir ekspirasi, biasanya 5 hingga
8 cm H2O, direkomendasikan. PEEP yang lebih tinggi, hingga 15 cm H2O,
dapat digunakan dalam kasus hipoksemia refrakter terlepas dari efek
kontroversialnya pada TIK setelah cedera otak traumatik (McHugh, 2007).

Gambar 1. Perubahan aliran darah otak terkait dengan variasi tingkat PaCO2.
Dalam kasus asidosis respiratorik, efek PaCO2 pada pembuluh darah otak dapat meningkatkan aliran darah
otak. Sebaliknya, aliran darah akan berkurang dengan vasokonstriksi setelah penurunan PaCO2. Ketika
nilai PaCO2 turun di bawah 20 mmHg dari sekitar 40 mmHg, aliran darah otak juga turun menjadi
setengah dari nilai dasar (panah).

8
B. Manajemen Hemodinamik
Pada pasien dengan cedera otak traumatik berat dan hipotensi,
pembengkakan otak akut sering diamati setelah upaya peningkatan tekanan
arteri seberal menggunakan vasopressor atau resusitasi cairan berlebihan.
Peningkatan perfusi arteri serebral dengan resusitasi cairan volume besar
atau transfusi darah merupakan salah satu pendekatan kritis untuk pasien
dengan cedera otak traumatik berat. Meskipun pendekatan ini memperburuk
pembengkakan otak dan meningkatkan TIK, mengidentifikasi gangguan
fungsi dan/atau gangguan BBB juga sangat sulit. Gangguan BBB juga
mengarah pada kejadian edema otak. Edema otak setelah cedera otak
traumatik dapat disebabkan oleh sitotoksik atau vasogenik atau mungkin
disebabkan oleh kebocoran kapiler, risiko pada cedera otak traumatik yang
juga menyebabkan edema otak. Dalam kondisi ini, tekanan perfusi serebral
yang tinggi dapat berbahaya bahkan dalam respons autoregulasi (Smith,
2016).
Manajemen hemodinamik untuk pasien dengan cedera otak
traumatik telah dibahas secara panjang. Manajemen tekanan perfusi serebral
adalah salah satu strategi penting yang berfokus pada respon tekanan [48].
Selama manajemen tekanan perfusi serebral dengan norepinefrin untuk
meningkatkan MAP, risiko hiperemia dapat dikurangi jika autoregulasi
tekanan dipertahankan. Meskipun tidak ada rejimen standar untuk pasien
dalam syok hemoragik dengan komplikasi cedera otak traumatik, tujuan
resusitasi cairan untuk pasien ini adalah tekanan perfusi serebral sebesar 60
mmHg atau lebih besar, atau jika tekanan perfusi serebral pasien dengan
cedera otak traumatik berat dapat diukur, target sistolik tekanan arteri
sistemik adalah 90-100 mmHg bukannya mencapai tekanan arteri sistemik
normal (Kinoshita, 2005).
Hipotensi sering diamati setelah kejadian cedera traumatik dan
mungkin mempengaruhi hasilnya. Peningkatan katekolamin endogen
(lonjakan katekolamin simpatis) menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
perifer yang meningkatkan tekanan arteri sistemik (hipertensi neurogenik)

9
setelah cedera otak traumatik. Akibatnya, tekanan arteri sistemik
dipertahankan bahkan jika terjadi hipovolemia. Mannitol sangat sering
digunakan untuk pasien dengan TIK yang tinggi sebagai diuretik osmotik.
Namun, dehidrasi intravaskular berlebihan dengan penggunaan manitol
yang tidak tepat menyebabkan dehidrasi dan menyebabkan perubahan
hemodinamik ke keadaan tidak stabil, dimana terjadi hipotensi yang tidak
terduga. Jika hipertensi intrakranial juga bisa dikurangi dengan kraniotomi
dekompresi bedah, respon simptetik dihilangkan, maka dapat menimbulkan
hipotensi sistemik yang disebabkan oleh resistensi vaskular yang berkurang
(vasosedasi). Pada kondisi di mana BBB terganggu dan/atau permeabilitas
serebrovaskular meningkat setelah cedera otak traumatik, pembengkakan
otak dapat terjadi ketika resusitasi cairan diberikan terlalu banyak dan
transfusi darah diberikan untuk mengobati hipotensi. Untuk mencegah
hipotensi dan pembengkakan otak yang parah setelah cedera otak traumatik
selama perawatan atau pembedahan kritis, pemberian mannitol dan
dehidrasi intravaskular harus dihindari. Normovolemia harus dipertahankan
selama perawatan kritis (Howells, 2005).

C. Memantau keseimbangan aliran darah otak dan metabolisme


Saturasi oksigen bulbus jugularis (SjO2) memberikan informasi
tentang penghantaran dan metabolisme oksigen otak global, yang digunakan
untuk mendeteksi hipoperfusi serebral, hiperperfusi, atau cedera otak
iskemik sekunder. Level SjO2 yang normal adalah sekitar 60%. Nilai SjO2
di bawah 50% dianggap iskemik bila disertai dengan aliran darah otak
dan/atau tekanan perfusi serebral yang rendah. Nilai SjO2 yang tinggi dapat
mencerminkan hiperemia (peningkatan aliran darah otak dan dilatasi
pembuluh darah; peningkatan volume darah otak) atau depresi metabolik
berat karena kerusakan otak yang parah. Pemantauan SjO2 berkelanjutan
efektif untuk mendeteksi iskemia serebral setelah cedera otak traumatik.
Pemantauan SjO2 paling sering digunakan untuk pasien cedera otak yang
parah untuk mendeteksi iskemia otak pasca cedera dan untuk memantau

10
efikasi dari injeksi mannitol atau terapi hiperventilasi. Jika hiperventilasi
menjadi berlebihan, vasokonstriksi serebral akan terjadi dan akhirnya
mengarah pada penggumpalan lebih lanjut dari perfusi serebral otak yang
sudah rusak (mengurangi tekanan perfusi otak yang mengarah ke iskemia
otak). Gambar 4 menunjukkan hubungan antara hiperventilasi dan
perubahan berurutan dalam SjO2. Hiperventilasi yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan PaCO2, menyebabkan vasokonstriksi, dan
kemudian menyebabkan iskemia otak, berdasarkan pada tingkat SjO2 (nilai
SjO2 turun selama hiperventilasi berlebih seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4). Sebaliknya, nilai PaCO2 yang meningkat menyebabkan tingkat
SjO2 yang lebih tinggi (Gbr. 5). Fenomena ini disebabkan oleh efek volume
darah otak yang lebih besar pada vasodilatasi (pembesaran vaskular).

11
Gambar 2 Iskemia otak setelah hiperventilasi. Seorang wanita berusia 40-an dengan cedera
otak traumatik dipindahkan ke rumah sakit dengan ambulans. CT scan otak menunjukkan
hematoma subdural akut. Intervensi bedah dilakukan, dan TIK dan SjO2 pasien dipantau.
Nilai SjO2 turun setelah hiperventilasi. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh efek vasokonstriksi
dari pengurangan PaCO2. Perubahan tekanan perfusi serebral mungkin tidak memiliki efek
yang luar biasa karena nilai tekanan arteri sistemik dan tekanan intrakranial konstan. Secara
klinis, dokter tidak akan dapat mendeteksi iskemia otak hanya dari tanda-tanda vital dalam
kasus ini tanpa pemantauan untuk oksigenasi otak, seperti pemantauan SjO2. Tekanan
intrakranial akan tetap konstan bahkan jika ada perubahan volume intrakranial (misalnya,
perubahan volume ruang vaskular selama fase kompensasi). Sementara tekanan intrakranial
akan menyebar ke ruang CSF atau ruang serupa sampai efek kompensasi hilang, tidak ada
perubahan yang luar biasa dalam tekanan intrakranial yang terlihat selama fase kompensasi
ruang. Sebagai akibatnya, terapi hiperventilasi untuk kontrol tekanan intrakranial tidak akan
efektif dalam fase ini. Bahkan dapat menyebabkan kerusakan melalui penurunan aliran darah
otak yang disebabkan oleh vasokonstriksi berlebih.

12
Vasodilatasi pembuluh otak dipicu oleh penurunan tekanan perfusi
otak dengan peningkatan volume darah otak berikutnya. Penurunan tekanan
perfusi otak sering dikaitkan dengan penurunan tekanan arteri sistemik.
Tekanan perfusi serebral dapat ditingkatkan dengan infus cairan atau dengan
mengelola manitol (sebagai expander volume) atau vasopressor, dengan
vasokonstriksi berikutnya dari pembuluh darah otak (Gambar 6). Akhirnya,
tekanan intrakranial dapat diturunkan sebagai akibat dari penurunan volume
darah otak setelah vasokonstriksi. Di atas batas autoregulasi, hiperperfusi
mungkin merupakan risiko hiperemia. Sebaliknya, penurunan tekanan arteri
sistemik melewati batas bawah untuk respons autoregulasi dapat mengurangi
tekanan perfusi serebral dan menyebabkan iskemia otak. Peningkatan TIK

13
dapat menyebabkan penurunan lebih lanjut tekanan perfusi otak (Howells,
2005).

D. Lonjakan katekolamin setelah cedera otak yang parah


Lonjakan katekolamin adalah fenomena terkenal yang diamati
setelah perdarahan subarachnoid, sepsis, atau cedera otak berat, di mana
peningkatan kadar tersebut tampaknya mempengaruhi sistem kekebalan
selama stres. Secara khusus, sebuah penelitian menekankan mengenai
hubungan erat antara jaringan sitokin, sindrom respons inflamasi sistemik,
dan respon imun, sementara sitokin pro-inflamasi (misalnya, interleukin
(IL) - 1) dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis. Hebatnya, penelitian
in vitro telah menunjukkan bahwa epinefrin atau norepinofren
meningkatkan regulasi yang diinduksi endotoksin sitokin anti-inflamasi
IL-10 dari sel mononuklear darah manusia (makrofag/monosit),
sedangkan pengeluaran tumor necrosis factor-alpha menurunkan regulasi.
Memang, gelombang katekolamin bisa menekan fungsi sel mononuklear,
yang diregulasi oleh sitokin imunostimulan. Penekanan fungsional seperti
ini juga diamati pada pasien dengan sepsis, luka bakar, dan trauma.
Fenomena ini dapat memainkan peran penting dalam imunosupresi dini
pada pasien yang menderita peristiwa stres akut (Smith, 2016).

14
Gambar. 4 Pengaruh pemberian manitol pada pasien dengan hipertensi intrakranial. Seorang
pria berusia 60-an menderita cedera otak traumatik. CT scan otak menunjukkan kontusio
serebral. Administrasi Mannitol adalah metode penggantian volume yang berpotensi efektif
pada fase awal dan dapat menstimulasi kaskade vasokonstriksi. Nilai SjO2 secara bertahap
meningkat setelah pemberian manitol. Fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh efek
ekspansi volume manitol, yang dapat merangsang kaskade vasokonstriksi yang mengarah ke
penurunan CBV. Mannitol kemudian akan bekerja sebagai agen diuretik hiperosmotik pada
fase akhir yang mengakibatkan penurunan TIK dan meningkatkan CPP.

E. Cedera otak dan hiperglikemia


Hiperglikemia juga merupakan fenomena terkenal yang diamati
setelah peristiwa stres seperti kerusakan otak yang parah. Efek buruk
hiperglikemia pada cedera otak iskemik telah ditegakkan baik dalam keadaan
klinis maupun eksperimental. Sementara bukti klinis menunjukkan bahwa
kadar glukosa darah tinggi setelah cedera otak traumatik terkait dengan
tingkat keparahan cedera yang lebih besar dan hasil neurologis yang buruk,
peran glukosa darah dalam mekanisme sekunder kerusakan saraf setelah
cedera otak traumatik belum diklarifikasi. Data dari model otak iskemia
menunjukkan bahwa hiperglikemia memiliki efek merusak, mungkin karena
peningkatan asidosis laktat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa
hiperglikemia menyebabkan berbagai perubahan patologis dalam pembuluh
kecil, zat, dan saraf perifer. Sel-sel endotel pembuluh darah adalah target
signifikan kerusakan hiperglikemik, tetapi mekanisme yang mendasari

15
kerusakan tersebut pada mikrovaskulatur otak tidak sepenuhnya dipahami.
Beberapa penulis telah melaporkan bahwa hiperglikemia menyebabkan
disfungsi endotel dan perubahan serebrovaskular baik selama iskemia dan
reperfusi. Baru-baru ini, aktivasi faktor-kappa B telah diidentifikasi sebagai
kejadian awal yang disebabkan oleh peningkatan glukosa, yang dapat
mengaktivasi beberapa jalur yang berkontribusi terhadap inisiasi
hiperglikemia atau cedera sel endotel yang diinduksi oleh diabetes. Hal ini
juga berperan penting dalam respon gen awal setelah hiperglikemia dengan
mempromosikan sintesis RNA messenger untuk berbagai molekul sel-adhesi,
sintase nitrit oksida yang dapat diinduksi, dan sitokin atau kemokin.
Peristiwa-peristiwa inflamasi ini diyakini berkontribusi pada hasil yang
diamati melalui mekanisme cedera sekunder. Selain itu, respon inflamasi akut
mengarah pada aktivasi infiltrasi dan akumulasi leukosit polimorfonuklear
(Brain Trauma Foundation, 2007).

Telah diusulkan bahwa hiperglikemia dapat berkontribusi terhadap


kerusakan sel endotel pada model iskemia otak dan cedera otak traumatik.
Tetapi belum didapatkan pemahaman yang jelas mengenai mekanisme yang
tepat dimana transmigrasi neutrofil di seluruh BBB meningkat di bawah
kondisi hiperglikemik mengikuti cedera otak traumatik. Studi eksperimental
telah menunjukkan bahwa kondisi hiperglikemik mengaktifkan transmisi
sinyal intraseluler dan produksi interleukin (IL)-8. Kehadiran tumor necrotic
factor (TNF) dalam kondisi glukosa tinggi dapat meningkatkan produksi IL-
8 dari sel endotel. Terdapat spekulasi bahwa lingkungan hiperglikemik dan
trauma berat yang terkait dengan TNF tinggi dapat bekerja dalam kombinasi
untuk mempromosikan produksi IL-8 oleh sel endotel vaskular dan
membantu perkembangan akumulasi neutrofil di lokasi cedera. Hal ini,
bersama dengan hiperglikemia setelah cedera otak traumatik, dapat
meningkatkan kerusakan sel endotel dan meningkatkan proses inflamasi,
menyebabkan infiltrasi neutrofil ke otak yang cedera (McHugh, 2007).

16
Dalam klinisnya, bagaimanapun, peristiwa pasca-rawat inap yang
sering pada pasien dengan cedera otak yang parah adalah peningkatan cepat
dan besar konsentrasi glukosa darah yang terjadi dalam berbagai situasi.
Beberapa pertanyaan juga muncul mengenai kapan pasien dengan cedera otak
yang parah harus dimulai pada cairan IV yang mengandung glukosa untuk
pemeliharaan alimentasi, karena hiperglikemia akut dapat mempengaruhi
hasil neurologis. Namun, potensi hiperglikemia akut sendiri untuk
menyebabkan inflamasi di jaringan otak setelah penyakit kritis akut, termasuk
akumulasi neutrofil, belum banyak diteliti.

2.3 Neurocritical Care


Neurocritical care adalah perawatan intensif yang diberikan kepada
pasien dengan kondisi neurologis yang mengancam nyawa, komplikasi
postoperatif bedah saraf, dan manifestasi neurologis dari penyakit sistemik.
Neurocritical care merupakan sekelompok protokol yang menunjukkan
langkah dalam mengurus pasien selama 1 jam pertama kegawatan neurologis.
Protokol ini disusun untuk membantu menstandarisasi langkah-langkah awal
yang penting dengan tujuan memperoleh outcome yang lebih baik,
menyediakan diagnosis dan terapi kegawatan yang tepat, membentuk dasar
konsensus keputusan kegawatan neurologis yang dapat membantu
memberikan solusi keadaan pasien sehingga dapat meningkatkan pelayanan
pada pasien (Salardini, 2016; Smith & Weingart, 2012). Neurocritical care
menyediakan pelayanan medis komprehensif dan dukungan neurologis untuk
pasien dengan penyakit neurologis yang membahayakan jiwa dengan
mengintegrasikan dan menyeimbangkan penanganan baik pada otak maupun
tubuh pasien (Kuroda, 2016).
Pasien tersebut berisiko mengalami cedera otak sekunder akibat
peradangan, iskemia, dan edema yang mengikuti cedera primer. Mengenali
kerusakan klinis akibat cedera sekunder sering menjadi kesulitan pada pasien
koma. Pemantauan multimodality (MMM) mencakup berbagai alat untuk

17
memantau metabolisme otak, perfusi, dan oksigenasi yang bertujuan
mendeteksi perubahan ini untuk membantu memodifikasi terapi sebelum
cedera permanen. Alat ini termasuk monitor tekanan intrakranial (ICP), perfusi
serebri (Doppler transkranial (TCD), dan electroencephalography yang
berkesinambungan.
a. Pemeriksaan klinis
Berbagai macam pengukuran kesadaran dilakukan untuk
mengetahui efek blokade neuromuskular dan sedasi. GCS (Gambar 6)
merupakan marker prognosis kuat dan indikator diperlukannya operasi
traumatic brain injury, outcome stroke sirkulasi posterior diikuti serangan
jantung. Pada isolasi, GCS memiliki kekurangan dimana terdapat
confounder berupa intubasi endotrakeal, dan kurangnya pengukuran
respons pupil. Pasien tanpa sedasi belakangan ini dinilai dengan FOUR
(Full Outline of Unresponsiveness) score (Gambar 5) yaitu pengukuran
respons mata terhadap perintah dan nyeri, termasuk respons pupil dan pola
pernapasan yang dapat membantu menilai fungsi batang otak. Untuk
menilai nyeri dapat digunakan NRS (Numeric Rating Scale) (Gambar 7) dan
BPS (Behavioral Pain Scale) (Gambar 8). Apabila pasien tidak sadar dapat
menggunakan NCS-R (Nociceptor Coma Scale-revised) (Gambar 9) (Le
Roux et al., 2014).

Gambar 5. FOUR score (Fugate et al., 2010)

18
Gambar 6. Glasgow Coma Scale (Bledsoe et al., 2015)

Gambar 7. Numeric Rating Scale (Woo et al., 2015)

19
Gambar 8. Behavioral Pain Scale (Chanques et al., 2009)

20
Gambar 9. Nociceptor Coma Scale-revised (Guldemund et al., 2012)

Tujuan Monitoring
Alasan dilakukannya monitoring pada pasien dengan kelainan neurologis yang
memerlukan penanganan khusus adalah (Le Roux et al., 2014):
1. Mendeteksi perburukan neurologis dini sebelum terjadi kerusakan otak
ireversibel
2. Individualisasi penanganan setiap pasien
3. Mengarahkan penanganan pasien
4. Memonitoring respons fisiologis terhadap pengobatan dan menghindari efek
samping
5. Membantu tenaga medis mengetahui lebih baik patofisiologi dari kelainan
pada pasien
6. Membentuk protokol penanganan yang tepat

21
7. Memperbaiki outcome neurologis dan kualitas hidup pasien dengan
kerusakan otak berat
8. Dengan mengetahui patofisiologi penyakit diharapkan dapat
mengembangkan terapi baru yang saat ini masih kurang

b. Monitoring Tekanan Intra Kranial (TIK)


Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam rongga tengkorak
relatif terhadap tekanan atmosfer, yang merupakan suatu daya dinamik yang
berfluktuasi secara ritmis mengikuti siklus jantung, respirasi dan perubahan
proses fisiologis tubuh. Pengukuran kontinu pada satu kompartemen
intrakranial akan memperlihatkan perubahan fisiologis dan patologis ruang
dalam tengkorak dari waktu ke waktu yang diperlukan untuk dasar
pengelolaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Alexander
Monro dan George Kellie menyebutkan bahwa otak, darah dan carian
serebrospinal (CSS) merupakan komponen yang tidak dapat terkompresi,
peningkatan salah satu komponen ataupun ekspansi massa di dalam
tengkorak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, teori ini
selanjutnya disebut doktrin Monro-Kellie (Salardini, 2016; Affandi, 2016).
Perubahan TIK dikaitkan dengan perubahan volume dalam satu atau
lebih konstituen di dalam tempurung kepala. Tengkorak dan kanalis spinal
bersama dengan dura relatif inelastis, membentuk sebuah wadah yang kaku,
sehingga peningkatan apapun dari otak, darah ataupun CSS akan cenderung
meningkatan TIK (Affandi, 2016).
Sirkulasi serebro-vaskuler (CBF) merupakan jaringan kompleks
yang terdiri dari arteri dan vena. Perbedaan tekanan yang mendorong darah
memasuki sistem ini disebut dengan tekanan perfusi serebral (CPP) dapat
dihitung dari perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (MAP) dan TIK,
normalnya berkisar antara 60-70 mmHg. Pada dewasa CBF berkisar 15%
dari curah jantung. Nilai CBF dapat dhitung dengan CPP dibagi dengan
Cerebrovascular Resistance (CVR) (Kuroda, 2016).

22
Tujuan dari monitoring TIK adalah untuk menyiagakan klinisi saat
terjadi sesuatu yang mengharuskan tindakan medis atau bedah untuk
mengurangi TIK dan mengembalikan perfusi baik dengan mengurangi
volume dari komponen intrakranial atau meningkatkan total volume yang
tersedia. Metode yang digunakan untuk memantau TIK adalah dengan
pemasangan external ventricular drain (EVD) yang juga dapat digunakan
sebagai drainase dari CSF. Alternatifnya dapat dilakukan pemasangan
monitor tekanan pada spatium epidural dan subdural atau pemasangan
monitor tekanan intraparenkimal (Affandi, 2016).

Indikasi dilakukan monitoring TIK menggunakan pemasangan EVD


- Pasien cedera otak traumatik dengan GCS < 9
- Pasien perdarahan subarachnoid dengan penurunan kesadaran dan
menunjukkan adanya hidrosefalus pada CT Scan
- Perdarahan intraventrikular primer atau perdarahan intraserebri dengan
ekstensi intraventrikular
- Pasien dengan hidrosefalus obstruktif

Gambar 10. External ventricular Drain

23
Gambar 11. Lokasi pemasangan untuk ICP monitoring

c. Monitoring Perfusi Serebri


- Transcranial Doppler ultrasound
Keuntungan penggunaan TCD ultrasound adalah biaya yang murah,
mudah diperoleh, dinamis dapat digunakan bedside. Namun
informasi yang diberikan TCD ultrasound terbatas pada pembuluh
darah proksimal. TCD ultrasound sering digunakan untuk
mendeteksi vasospasm pada SAH.
- Jugular venous oxygen saturation (SjvO2) monitoring
Dapat memberikan pengukuran secara global mengenai
penyampaian oksigen ke jaringan otak relatif dengan penggunaan.
SjvO2 monitoring memakai prinsip bahwa delivery oxigen yang
rendah atau demand oxigen yang tinggi meningkatkan koefisiensi
ekstraksi oksigen dan menurunkan SjvO2. Monitoring SjvO2
membutuhkan pemasangan kateter pada superior dari jugular bulb
untuk menghindari tercampurnya darah dari vena intrakranial yang
kembali dari wajah.

24
- Near-infrared spectroscopy (NIRS)
NIRS mentransmisi sinar inframerah melalui tengkorak dan
digunakan untuk membedakan refleksi dari oxyhemoglobin dan
deoxyhemoglobin untuk menentukan oksigenasi serebral.
Keuntungan dari NIRS dapat digunakan secara kontinu dan tidak
invasif. Namun bererapa variabel seperti kadar konsentrasi
hemoglobin, ketebalan tengkorak dan perubahan pada CSF dapat
membatasi akurasi dari hasil pengukuran.
- Cerebral microdialysis
Kateter mikrodialisis ditempatkan pada jaringan otak dan molekul
dari jaringan otak berdifusi ke konsentrasi yang lebih rendah
kemudian dialisat dipulihkan dan dianalisis. Perubahan pada
konsentrasi laktat, piruvat dan gliserol memberikan informasi terkait
metabolisme aerobik dan anaerobik yang menunjukkan kematian
sel. Keterbatasan dari teknik ini adalah invasif, memberikan
informasi terbatas pada jaringan otak lokal, dan informasi baru
didapatkan sampai dialisat dipulihkan (Salardini, 2016;).

d. EEG
Monitoring EEG secara kontinu harus dipertimbangkan pada kondisi
berikut:
- Pada pasien dengan cedera neurologis dengan manifestasi kejang
- Pasien stroke iskemik akut, SAH, ICH, Cedera otak traumatik dan
pasien post operatif bedah saraf.

Monitoring EEG secara kontinu dapat membantu menegakkan diagnosis


kejang nonklinis yang dapat mencegah peningkatan mortalitas. Perubahan
EEG memberikan informasi adanya perubahan pada CBF (Salardini, 2016).

25
BAB III
KESIMPULAN

1. Neurocritical care merupakan pelayanan intensif yang diberikan kepada


pasien dengan kondisi neurologis dan neurosurgikal berat yang
menghubungkan otak dan sistem organ lainnya.
2. Tujuan dari dilakukannya Neurocritical care adalah deteksi kemungkinan
kerusakan yang terjadi, mengarahkan penatalaksanaan pasien, mengurangi
morbiditas dan mortalitas pasien, dan memperbaiki outcome dari keadaan
pasien.

26
DAFTAR PUSTAKA

Affandi IG, Panggabean R. Pengelolaan Tekanan Tinggi Intrakranial pada Stroke.


CDK-238. 2016: 43(3);180-4

Bledsoe, B.E., Casey M.J., Feldman J., Johnson. L., Diel, S,. Forred, W. et al.,
2015. Glasgow Coma Scale scoring is often inaccurate. Prehospital Disaster
Medicine, 30(1):46–53.

Brain Trauma Foundation. Guidelines for the Management of Severe Traumatic


Brain Injury. J Neurotrauma 2007; 24: S1-S106

Chanques, G., Payen, J. F., Mercier, G., Lattre, S., Viel, E., Jung, B. et al., 2009.
Assessing pain in non-intubated critically patients unable to self report: an
adaptation of the Behavioral Pain Scale. Intensive Care Medicine, 35(1):
2060.

Fugate, J. E., Rabinstein, A. A., Claassen, D. O., White, R. D. & Wijdickss, E. F.


M., 2010. The FOUR Score Predicts Outcom in Patients after Cardiac Arrest.
Neurocritical Care, 13(2):205-210

Guldemund, P., Stender, J., Heine, L. & Laureys, S., 2012. Mindsight:Diagnostics
in Disorders of Consciousness. Critical Care Research and Practice.
2012(2012).

Howells T, Elf K, Jones PA, Ronne-Engström E, Piper I, Nilsson P, et al. Pressure


reactivity as a guide in the treatment of cerebral perfusion pressure in patients
with brain trauma. J Neurosurg. 2005;102:311–7.

27
Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. 2010. Perbandingan glasgow coma
scale dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien trauma
kepala di rumah sakit atma jaya. Maj Kedokt Indon. 60(10): 437-42.

Kinoshita K. Traumatic brain injury: pathophysiology for neurocritical care.


Kinoshita Journal of Intensive Care. 2016;4:29-39.

Kuroda, Y., 2016. Neurocritical Care Update. Journal of Intensive Care, 64 (36).

Le Roux, P., Menon, D. K., Citerio, G., Vespa, P., Bader, M. K., Brophy, G., M.
et al., 2014. Consensus summary statement of the International
Multidisciplinary Consensus Conference on Multimodality Monitoring in
Neurocritical Care. Intensive Care Medicine, 40(1):1189–1209

McHugh et al. Prognostic value of secondary insults in traumatic brain injury:


results from the IMPACT study. J Neurotrauma 2007; 24: 287-93.

Restrepo, R. D., 2010. Neurologic Assessment. In: Wilkins, R. L., Dexter, J. R. &
Heuer, A. J. ed. Clinical Assessment in Respiratory Care. Elsevier:St. Louis.
pp. 95-116.

Salardini A, Biller J. 2016. The Hospital Neurology Book. USA: McGraw-Hill


Education

Smith M. Neurocritical care improves outcome in severe traumatic brain injury.


National Institute for Health Research. 2016.

Smith, W. S. & Weingart, S., 2012. Emergency Neurological Life Support


(ENLS): What to Do in the First Hour of a Neurological Emergency.
Neurocritical Care, 17(1).

28
Woo, A., Lechner, B., Fu, T., Wong, C. S., Chiu, N., Lam, H. et al., 2015. Cut
points for mild, moderate, and severe pain among cancer and non-cancer
patients: a literature review. Annals of Palliative Medicine, 4(4):176-183.

29

Anda mungkin juga menyukai