BAB I
PENDAHULUAN
TBI sering disebut sebagai 'wabah diam'. Di Eropa, diperkirakan sekitar 2,5 juta
orang menderita dari beberapa bentuk TBI setiap tahun, yang menyebabkan 1 juta
rawat inap, menyebabkan 75.000 kematian. Ini lebih lanjut terkait dengan biaya
ekonomi melebihi 33 miliar euro. Demikian pula, di AS, sekitar dua juta
kunjungan departemen darurat dan hampir 300.000 rawat inap terjadi setiap tahun
karena TBI, dengan biaya terkait mencapai 76,5 miliar dolar. Mayoritas semua
TBI bersifat ringan, tetapi hingga 10% hingga 20% dianggap sedang atau berat,
tergantung pada populasi dan definisi. 4,7,32-34 Di Finlandia, insidensi TBI yang
dirawat di rumah sakit adalah sekitar 100 / 100.000 dengan tingkat kematian 18 /
100.000. Sebagai perbandingan, tinjauan sistematis epidemiologi TBI
menunjukkan insidensi keseluruhan 235 / 100.000 di Eropa, 103 / 100.000 di AS,
226 / 100.000 di Australia, 344 / 100.000 di Asia, dan 160 / 100.000 di India. Satu
studi menemukan insiden setinggi 790 / 100.000 di Selandia Baru. Namun,
daripada perbedaan nyata dalam insiden, angka-angka yang sangat berbeda ini
mungkin malah mengungkapkan variasi nasional dalam sistem perawatan
kesehatan dan registrasi (Raj, Rahul. 2014).
Mekanisme yang paling umum yang menyebabkan TBI adalah kecelakaan jatuh,
kecelakaan lalu lintas, dan insiden terkait penyerangan. Di negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah, kecelakaan lalu lintas mendominasi,
sementara sebaliknya, negara-negara berpenghasilan tinggi menunjukkan
peningkatan frekuensi kecelakaan jatuh. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa pada tahun 2030, TBI akan menjadi penyebab utama
kecacatan dan kematian secara global. Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh
meningkatnya frekuensi kecelakaan lalu lintas di negara-negara berkembang,
tetapi juga didorong oleh populasi lansia yang berkembang di dunia dan sebagai
akibat meningkatnya kerentanan terhadap kecelakaan jatuh. Yang perlu
diperhatikan juga adalah bahwa hingga setengah dari semua pasien TBI berada di
bawah pengaruh alkohol pada saat cedera, sesuatu yang tampaknya menjadi
2
masalah khusus di Finlandia karena pola minum tradisional 'frekuensi rendah dan
kuantitas tinggi' (Raj, Rahul. 2014).
Cedera otak traumatis menantang seluruh sistem keluarga / sosial dan
menyebabkan stres dan gangguan pada kehidupan normal. Rangkaian kesulitan
berikutnya yang dialami oleh orang yang mengalami cedera dan keluarga atau
pengasuh mereka dapat memiliki dampak jangka panjang pada kemampuan
mereka untuk kembali ke tingkat fungsi dan kualitas hidup mereka sebelumnya.
Ini termasuk kemampuan mereka untuk mencapai, atau mempertahankan,
pekerjaan atau pendidikan. Akses ke penilaian dan rehabilitasi spesialis yang tepat
dan tepat waktu dapat memiliki dampak positif pada hasil. Rehabilitasi untuk
mengelola cedera otak dapat diberikan oleh individu profesional atau tim khusus
di berbagai pengaturan dari perawatan primer hingga tersier (SIGN, 2013).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Autoregulasi
Sama seperti jantung dan ginjal, otak biasanya mentoleransi berbagai
tekanan darah, dengan sedikit perubahan dalam aliran darah.
Pembuluh darah serebral dengan cepat (10-60 detik) beradaptasi
dengan perubahan CPP. Penurunan hasil CPP dalam vasodilatasi
serebral, sedangkan peningkatan menginduksi vasokonstriksi. Pada
individu normal, CBF tetap hampir konstan antara MAPs sekitar 60
dan 160 mmHg (Gambar 26-2). Di luar batas ini, aliran darah menjadi
tergantung tekanan. Tekanan di atas 150-160 mm Hg dapat
mengganggu sawar darah otak (lihat di bawah) dan dapat
menyebabkan edema serebral dan perdarahan. Kurva autoregulasi
serebral (Gambar 2) bergeser ke kanan pada pasien dengan hipertensi
arteri kronis. Batas atas dan bawah bergeser. Aliran menjadi lebih
bergantung pada tekanan tekanan arteri "normal" yang rendah sebagai
imbalan untuk perlindungan serebral pada tekanan arteri yang lebih
tinggi. Studi menunjukkan bahwa terapi antihipertensi jangka panjang
dapat mengembalikan batas autoregulasi serebral menuju normal.
(Butterworth, 2013).
intrinsik sel otot polos pada arteriol serebral terhadap perubahan pada
MAP. Mekanisme metabolik menunjukkan bahwa kebutuhan
metabolisme otak menentukan nada arteriolar. Jadi, ketika permintaan
jaringan melebihi aliran darah, pelepasan metabolit jaringan
menyebabkan vasodilasi dan meningkatkan aliran. Sedangkan ion
hidrogen pernah dianggap memediasi respons ini, metabolit lain
mungkin terlibat (Butterworth, 2013).
2. Temperature
CBF berubah 5-7 % setiap perubahan temperatur 1oC. hipotermia
menurunkan, baik CMR maupun CBF, dimana hipertemia
memberikan efek sebaliknya. Antara 17oC dan 37oC, Q10 untuk
manusia yaitu 2, dimana, setiap 10o kenaikan temperature, CMR
menjadi meningkat dua kali lipat. Kebalikannya, CMR menurun
sebanyak 50% jika temperature kepala turun hingga 10oC (contoh, dari
37oC menjadi 27oC) dan terjadi penurunan 50% setiap penurunan
temperature dari 27oC ke 17oC. Pada 20oC, EEG menjadi isoelektrik,
tapi penurunan temperature lebih jauh akan mengurangi CMR ke otak.
Hipertermia (diatas 42oC) akan menyebabkan neuronal cell injury.
3. Viskositas
Salah satu yang menentukan viskositas darah yaitu hematocrit.
Penurunan hematocrit menurunkan viskositas dan mengubah CBF,
sehingga, penurunan hematocrit juga menurunkan oxygen-carrying
capacity dan sehingga akan berpotensial menyebabkan gangguan
oxygen delivery. Peningkatan hematocrit, seperti dapat dilihat pada
penanda polisitemia, akan meningkatkan viskositas darah dan dapat
menurunkan CBF. Beberapa penelitian menyarankan bahwa tingkat
optimal cerebral oxygen delivery dapat berlangsung pada hematokrit
30 %.
4. Pengaruh Autonomik
9
Air berpindah secara bebas melewati BBB sebagai konsekuensi dari bulk
flow, dimana perpindahan, bahkan ion-ion kecil , impeded (waktu paruh
equilibrasasi dari Na+ adalah 2-4 jam). Hasilnya, perubahan cepat pada
konsentrasi elektrolit plasma (dan secara sekunder osmolalitas)
menghasilkan gradient osmotic transien antara plasma dan otak.
Hipertonisitas akut dari plasma hasil dari perpindahan bersih air keluar otak,
dimana hipotonisitas akut disebabkan oleh perpindahan bersih air kedalam
otak. Efek ini hanya sebentar, karena keadaan equilibrium muncul, tetapi,
ketika terjadi secara terus-meneurs, dapat menyebabkan fluid shift cepat
dalam otak. Manitol, sebuah substanti osmotikal aktif yang tidak secara
normal melewati BBB, menyebabkan penurunan jumlah air dalam otak, dan
banyak digunakan untuk menurunkan volume otak. Blood Brain Barier
mungkin terganggu oleh severe hipertensi, tumor, trauma, stroke, infeksi,
hiperkapnia, hipoksia, dan aktifitas kejang yang menetap. Pada keadaan-
keadaan seperti ini, perpindahan cairan melewati BBB menjadi dependen
10
5. Cairan Serebrospinal
Cerebrospinal fluid (CSF) ditemukan pada ventrikel serebral dan sisterna
dan pada ruang subarachnoid yang mengelilingi otak dan medulla spinalis.
Fungsi mayor CSF, yaitu untuk melindungi Central Nervous System (CNS)
dari trauma. Sebagian besar CSF di bentuk oleh pleksus koroideus di
ventrikel cerebral (sebagian besar lateral). Sebagian kecil dibentuk secara
langsung oleh dinding sel ventrikel ependymal, dan sebagian kecil lainnya
dibentuk dari cairan yang bocor ke ruang perivascular yang mengelilingi
pembuluh serebral (leakage BBB). Pada orang dewasa jumlah normal
produksi CSF sekitar 21 mL/jam (500 mL/hr), dimana total volume CSF
hanya sekitar 150 mL. Aliran CSF dari ventrikel lateral melalui foramina
intraventricular (Monro) kedalam ventrikel ketiga melalui aquaduktus
serebral (Sylvius) kedalam ventrikel ke-empat, dan melalui aperture median
dari ventrikel keempat (Foramen Magendi) dan aperture lateral dari
ventrikel keempat (foramina Luschka) ke sisterna cerebellomedullary
(Cisterna Magna) (Gambar 4). Dari sisterna cerebellomedullary, dialirkan ke
otak dan medulla spinalis, sebelum diserap pada granulasi arachnoid dari
hemisfer cerebral (Raj, 2014).
6. Tekanan Intrakranial
Struktur otak rigid dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak (80%),
darah (12%), dan CSF (8%). Peningkatan dari salah satu komponen harus
diimbangi dengan penurunan secara equivalent komponen lain sehingga
mencegah dari peningkatan tekanan intracranial. ICP yaitu tekanan CSF
supratentorial yang diukur pada ventrikel lateral atau seluruh korteks
serebral dan normalnya ≤ 10 mmHg. Variasi minor mungkin muncul,
berdasarkan tempat pengukuran, tetapi, pada posisi recumbent lateral,
tekanan CSF lumbar normalnya sama dengan tekanan supratentorial.
Elastisitas intracranial ditentukan dengan mengukur perubahan ICP sebagai
respon terhadap perubahan volume intracranial. Normalnya, kenaikan kecil
pada volume atau salah satu komponen, di kompensasi dengan baik
(Gambar 5). Namun peningkatan lebih lanjut akan menyebabkan
peningkatan ICP. Mekanisme kompensasi mayor meliputi: (1) inisiasi
perpindahan CSF dari kranial ke kompartemen medulla spinalis, (2)
peningkatan absorpsi CSF, (3) penurunan produksi CSF, (4) penurunan total
volume darah cerebral (primarily venous).
Penyebab dari cedera kepala traumatik adalah trauma, gangguan vaskular, infeksi,
gangguan metabolik, tumor, paparan zat toksik, sengatan listrik, paparan ledakan,
dan kekurangan oksigen. Mekanisme terjadinya trauma akan menghasilkan gejala
klinis yang berbeda, serta penatalaksanaan yang berbeda. Pada cedera kepala
13
Cedera kepala sedang (GCS 9 – 13), pasien letargi atau stupor, dan pada cedera
kepala berat (GCS 3 – 8) pasien koma, tidak dapat membuka mata atau mengikuti
perintah. Pasien dengan cedera kepala berat memiliki risiko mengalami cedera
kepala sekunder termasuk hipotensi, hipoksemia, dan pembengkakan otak. Pada
cedera kepala berat juga erat hubunganya dengan outcome yang buruk, seperti
disabilitas neurologi berat, vegetative state, dan kematian (McKee Ann, 20015).
Cedera kepala sekunder terbentuk akibat sebuah kaskade event sekunder setelah
cedera primer yang berpotensi bersifat reversible. Cedera sekunder terjadi sebagai
komplikasi dari cedera kepala primer, seperti iskemik dan kerusakan hipoksia,
edema serebri, peningkatan TIK, hidroscephalus, dan infeksi. Dalam bebrapa jam
setelah trauma, cairan sel dan vasogenik berkumpul di dalam otak dan
menyebabkan edema, peningkatan TIK, dan iskemia serebral. Disfungsi otak dan
morbiditas meningkat akibat reduksi dari aliran darah serebral atau oksigen atau
akibat herniasi (McKee Ann, 20015).
2.1.4 Patofisiologi
Mekanisme utama cedera kepala traumatik diklasifikasikan sebagai (a) kerusakan
otak fokal dikarenakan trauma yang bersifat kontak yang mengakibatkan
kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial atau (b) kerusakan otak difus akibat
akselerasi / tipe cedera deselerasi yang mengakibatkan cedera aksonal difus atau
pembengkakan otak (Werner, 2007).
Outcome dari cedera kepala ditentukan oleh dua mekanisme / tahapan yang secara
substansial berbeda: (a) kerusakan primer (kerusakan mekanis) yang terjadi pada
saat terjadi benturan. Dalam hal pengobatan, jenis cedera ini sensitif terhadap
tindakan pencegahan tetapi tidak terapeutik. (b) Kerusakan sekunder (kerusakan
non-mekanik delayed) merupakan proses patologis berturut-turut dimulai pada
saat cedera dengan presentasi klinis yang terlambat. Iskemia cerebral dan
15
letargik, perubahan ukuran pupil, trias cushing, dan gejala peningkatan TIK.
Bergantung pada tipe dan lokasi dari trauma, gejala yang mungkin timbul berupa:
Penurunan kesadaran
Disorientasi
Amnesia
Lelah
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
Gangguan konsentrasi
Gangguan tidur
Pusing / kehilangan keseimbangan
Gangguan emosional
Depresi
Kejang
Muntah
Tabel 2. Gejala klinik pada pasien cedera kepala berdasarkan lokasi cedera
(Andaluz, 2016)
2.1.6 Diagnosis
Cedera otak traumatis dapat didiagnosis dari adanya riwayat cedera struktural
yang diinduksi secara traumatis dan / atau gangguan fisiologis fungsi otak sebagai
akibat dari kekuatan eksternal yang diindikasikan oleh onset baru atau
memburuknya setidaknya salah satu tanda klinis berikut, segera setelah kejadian
(SIGN, 2013):
a. Setiap periode kehilangan atau tingkat kesadaran yang menurun
b. Kehilangan memori untuk acara segera sebelum atau sesudah cedera
c. Perubahan apa pun dalam kondisi mental pada saat cedera (kebingungan,
disorientasi, pemikiran melambat, dll)
22
2.1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana dari cedera kepala dimulai sejak pasien berada di ruang gawat
darurat. Langkah langkah tatalaksana cedera otak di ruang gawat darurat adalah
general precaution berupa informed consent, perlindungan diri, serta persiapan
alat dan sarana pelayanan. Tatalaksana dilanjutkan dengan melakukan stabilisasi
siter kardiorespi (Airway, Breathing, Circulation). Selanjutnya dilakukan
secondary survey berupa pemeriksaan status generalis baik anamnesis maupun
pemeriksaan fisik (general dan perorgan B1 – B6), dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan neurologis termasuk pemeriksaan GCS. Setelah melakukan
pemeriksaan tersebut, dilanjutkan dengan menentukan diagnosis klinis dan
pemeriksaan tambahan seperti CT Scan kepala sehingga dapat ditentukan
tatalaksana yang tepat untuk pasien tersebut (Tim Neurotrauma, 2014).
Tujuan utama dari pengobatan cedera kepala traumatik adalah untuk mencegah
terjadinya cedera kepala sekunder dengan menjaga perfusi serebral yang adekuat,
dengan memperhatikan TIK/TPS serta mencegah hipoksia serebral. Target dari
TIK adalah <20mmHg dan TPS 50 – 70 mmHg. Dengan mengelevasi leher
sebesar 30 – 45 derajat maka aliran darah vena dapat lebih efektif. Selain itu,
menurunkan aliran arteri intrakranial juga merupakan cara untuk menurunkan
TIK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara hiperventilasi, mengoptimalkan MAP
dan menurunkan metabolisme. Hiperventilasi dapat menyebabkan hipokarbi dan
vasokonstriksi, yang akan menurunkan aliran darah serebral. Tetapi, hiperventilasi
yang berlebihan (PaCO2 < 28mmHg) dapat menyebabkan vasokonstriksi berat
sehingga dapat menyebabkan iskemik. Target PaCO2 pada terapi ini adalah 34 –
36 mmHg. Reduksi edema otak dapat dilakukan dengan menggunakan cairan
manitol atau cairan hipertonik. Penggunaan steroid pada tatalaksana TIK pasien
cedera kepala traumatik tidak direkomendasikan, walaupun steroid biasa
digunakan pada tatalaksana peningkatan TIK akibat edema vasogenik pasien non
23
cedera kepala traumatik. ada proses tatalaksana cedera kepala traumatik GCS
harus diobservasi bersama dengan reaksi pupil dan ukuran pupil, pergerakan
anggota tubuh, respration rate dan saturasi oksigen, heart rate, tekanan darah,
suhu, dan perilaku pasien. Pada paisen cedera kepala dapat terjadi kejang. Pada
kejang pertama dapat diberikan Fenitoin 200mg, dilanjutkan 3-4 x 100mg/hari.
Apabila terjadi statu epilepsi dapat diberikan diazepam 10mg/iv dapat diulang
dalam 15 menit (Sheriff Faheem, 2015).
2.1.8 Prognosis
Prognosis pasien dengan traumatic brain injury bervariasi dan ditentukan oleh
banyak faktor. Untuk memudahkan dalam menentukan outcome atau prognosis
pada pasien dengan TBI dapat digunakan alat prognostik IMPACT (Raj, Rahul.
2014).
kejiwaan dalam berbagai pengaturan rawat inap dan / atau rawat jalan (BSRM,
2003).
Tidak seperti rehabilitasi jantung atau ortopedi, sifat cedera otak adalah seperti
defisit psikologis, kognitif dan komunikatif, fisik, dan neurobehavioral harus
ditangani secara bersamaan dan berurutan, menciptakan kebutuhan untuk rencana
perawatan yang dinamis yang memungkinkan untuk koordinasi dan partisipasi
dari beberapa medis dan disiplin kesehatan sekutu. Kompleksitas rencana
perawatan dalam kombinasi dengan heterogenitas populasi pasien dan cedera
menghasilkan berbagai macam hasil rehabilitasi (BSRM, 2003).
d. Keahlian Perawatan
Variabilitas di seluruh program rehabilitasi berkaitan dengan tingkat
keahlian penyedia layanan, komposisi tim dan orientasi, model klinis,
penggunaan intervensi berbasis bukti, dan dimasukkannya intervensi
berdasarkan bukti. Konsensus dari pengamatan klinis menunjukkan bahwa
pengobatan yang diberikan oleh penyedia dengan tingkat keahlian cedera
otak yang tinggi cenderung menghasilkan hasil yang lebih efisien dan
unggul daripada program yang diberikan oleh non-ahli. Konsensus ini
tercermin dalam literatur hasil pasca-akut untuk individu yang dirawat di
unit khusus versus mereka dalam pengaturan rumah medis atau
keperawatan umum. Kredensial seperti cedera Otak Kedokteran (BIM)
sertifikasi melalui Dewan Amerika Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
(ABPMR) dan Spesialis Cedera Otak Bersertifikat (CBIS) melalui
Asosiasi Cedera Otak Amerika (BIAA) membantu membedakan keahlian
di lapangan (Cioe, 2016).
e. Pendekatan Perawatan
Pendekatan pengobatan berbeda sehubungan dengan dimasukkannya
intervensi untuk mengatasi komorbiditas serta faktor sosial dan lingkungan
yang relevan dengan tujuan reintegrasi komunitas. Terapi ajuvan, seperti
intervensi keluarga, alkohol dan pengobatan penyalahgunaan zat, dan
layanan kejuruan / fasilitasi sumber daya, telah ditemukan untuk
meningkatkan hasil integrasi masyarakat dalam pengaturan pasca-akut.
Intervensi disiplin tunggal telah terbukti kurang efektif daripada
pendekatan multidisiplin, dan pendekatan transdisipliner mungkin lebih
efektif daripada disiplin tunggal atau pendekatan multidisiplin. Peneliti
harus mendefinisikan dan menggambarkan intervensi dan faktor yang
mengganggu intervensi aplikasi untuk memfasilitasi replikasi dan
penyempurnaan intervensi yang berkhasiat dalam praktik klinis dan
penelitian masa depan (Cioe, 2016).
saat berada di bawah pengaruh alkohol dan / atau obat cenderung memiliki
cedera yang lebih parah dan lebih banyak komplikasi medis selama
manajemen medis akut (mis., Infeksi, masalah pernapasan), yang
mengarah ke hasil yang lebih buruk. Persentase besar individu dengan
penyalahgunaan alkohol / ketergantungan cenderung kembali ke pola
minum pra-cedera dalam 1-2 tahun setelah cedera, yang berdampak
negatif pada hasil rehabilitasi.
Splint umumnya dibuat dari plastik atau logam dan dapat dilepas. Gips
membungkus anggota tubuh dan terbuat dari resin atau plester. Kedua gips
dan splints, bersama dengan peregangan pasif biasa digunakan dalam
pengelolaan kelenturan dan dalam mitigasi deformitas yang dihasilkan.
Lima tinjauan sistematis dari perawatan peregangan yang berbeda telah
diidentifikasi. Kualitas ulasannya bagus, namun kualitas penelitian yang
dikaji dalam tinjauan ini sangat bervariasi seperti intervensi dan populasi
target. Bukti menunjukkan bahwa sementara perbaikan yang signifikan
secara klinis dibuat dalam ukuran hasil jangka pendek pada beberapa sendi
yang menggunakan masing-masing jenis perawatan ini, manfaat ini
dengan cepat hilang setelah pengobatan dihentikan. Bukti lebih lanjut telah
memperkuat bahwa efek menguntungkan dari intervensi rehabilitasi fisik
untuk kelenturan sering tidak dilestarikan dalam jangka menengah atau
panjang.
C: Splint, gips dan peregangan pasif dapat dipertimbangkan dalam kasus
di mana kontraktur dan deformitas bersifat progresif. Namun splint untuk
tangan telah dilaporkan tidak efektif (SIGN, 2013).
2. Terapi Botulinum Neurotoxin
Terapi bototinum neurotoxin adalah pengobatan yang diadopsi secara luas
untuk spastisitas fokal. Sebagian besar bukti untuk mendukung
penggunaannya berasal dari sebelum dan sesudah penelitian di berbagai
populasi, termasuk pasien dengan TBI. Apakah perbaikan dalam posisi
sendi atau skor spastisitas yang terlihat secara klinis penting atau biaya
efektif belum ditangani dalam uji klinis. Banyak yang menggunakan
lisensi produk dan disesuaikan dengan pengaturan tim multidisipliner
(MDT) sesuai kebutuhan masing-masing individu (BSRM, 2016).
B: BoNT dapat dipertimbangkan untuk mengurangi tonus dan deformitas
pada pasien dengan spastisitas fokal.
C: BoNT harus digunakan dalam pengaturan multidisipliner dengan
fisioterapis / ahli terapi okupasi dan input orthotik jika diperlukan.
3. Obat anti-spastisitas oral
Agen oral yang digunakan untuk mengobati kelenturan pada pasien
dengan cedera otak termasuk obat yang bertindak sentral (baclofen,
tizanidine, dan benzodiazepin) dan obat yang bekerja pada otot,
dantrolene. Satu RCT (n = 17) menunjukkan tizanidine lebih efektif
34
otak mungkin bukan hasil dari cedera otak mereka sendiri tetapi mencerminkan
faktor-faktor lain termasuk (BSRM, 2016):
kepribadian premature
keracunan obat-obatan / alkohol dan penarikan
gangguan suasana hati, kecemasan fobia dan penyesuaian emosi y sakit
retensi urin
sembelit.
Setelah mendapat cedera otak, penyebab-penyebab agitasi yang dapat diperbaiki
secara medis harus dikeluarkan sebelum terapi dimulai. Terapi harus
memperhitungkan tidak hanya sifat cedera otak tetapi karakteristik individu yang
terkena dampak dan potensi efek samping dari pengobatan (BSRM, 2016).
Terapi musik
Tinjauan sistematis terapi musik setelah mendapat cedera otak menyoroti satu
penelitian (n = 22) yang menunjukkan efek positif dari mendengarkan musik
langsung dan direkam pada tingkat agitasi. 75 Penulis 1 ++ menyimpulkan bahwa
tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan terapi musik untuk
meningkatkan agitasi setelah ABI. Keluarga dan anggota kunci dari jejaring sosial
individu yang terkena dampak harus diberi pendidikan tentang manajemen
perilaku dan emosi yang tepat (SIGN, 2013).
mencatat bahwa depresi telah diperbaiki dalam konteks intervensi multimodal dan
intervensi perilaku kognitif muncul untuk memiliki bukti awal terbaik, tetapi
tanpa bukti yang jelas terkait dengan unsur-unsur individu tertentu yang mungkin
berdampak pada gejala depresi di antara perawatan kompleks ini, banyak di
antaranya yang sengaja beraneka ragam dan tidak secara langsung ditargetkan
pada depresi pada awalnya, tidak ada rekomendasi khusus yang dapat terbuat
(Greenwald, 2009).
tulisan dan untuk berbicara atau menulis. Ini mungkin atau mungkin tidak hidup
berdampingan dengan defisit kognitif termasuk masalah visuoperceptual
Gangguan Komunikasi Kognitif, Gangguan Komunikasi Sosial, Gangguan
Pragmatis, Gangguan Bahasa Belahan Kanan - istilah-istilah ini (yang tidak
dapat dipertukarkan tetapi menunjukkan gangguan yang berbeda) mengacu pada
berbagai gangguan komunikasi yang mempengaruhi penggunaan bahasa dan
wacana, menghasilkan berbagai gejala, seperti mengurangi penggunaan ekspresi
wajah, kontak mata yang buruk, mengurangi pergantian, verbositas / taciturnity,
keterampilan mendengarkan yang buruk, mengurangi relevansi, dan sebagainya.
Gangguan ini mungkin atau mungkin tidak hidup berdampingan dengan gejala
aphasic, dan mempengaruhi kemampuan untuk berkomunikasi dengan sukses.
Motor Aprosodia - kondisi neurologis yang ditandai oleh ketidakmampuan
seseorang untuk secara tepat menyampaikan prosodi emosional melalui fungsi
nada, stres, dan irama dari produksi suara normal.
2.6.2 Menelan
Disfagia umumnya dinilai oleh terapis bicara dan bahasa menggunakan kombinasi
samping tempat tidur dan pendekatan instrumental. Dua penilaian instrumental
yang paling banyak digunakan adalah videofluoroskopi dan Evaluasi Endoskopi
Fibreoptic dari Menelan (FEES). Penilaian instrumental memungkinkan diagnosis
42
masalah menelan fase faring termasuk aspirasi. Oleh karena itu memungkinkan
pengambilan keputusan yang lebih tepat tentang memberi makan dan terapi,
sambil membantu untuk menghindari risiko aspirasi diam, dibandingkan dengan
penilaian tempat tidur saja. Secara potensial, individu dapat berkembang lebih
cepat setelah penilaian instrumental karena kemampuan untuk mengidentifikasi
keutuhan atau sebaliknya dari menelan faring. Namun, ada implikasi sumber daya
dalam kaitannya dengan ketersediaan videofluoroscopy, FEES dan kemampuan
untuk melaksanakan penilaian pada pasien dengan cedera otak akut dan orang-
orang di negara-negara gairah rendah. Selain itu, pasien terpapar dengan radiasi di
videofluoroscopy dan FEES adalah prosedur invasif (BSRM, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
Diperkirakan bahwa lebih dari 100 dari setiap 100.000 orang mengalami cedera
otak traumatis (TBI) yang menghasilkan kesulitan yang bertahan setelah satu
tahun pasca cedera. Orang-orang yang menderita cedera otak memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi daripada orang yang dirawat di rumah sakit untuk
jangka waktu yang sama karena cedera lain atau orang-orang dari populasi umum.
Dalam studi kasus kontrol yang menghitung tingkat kematian setelah cedera otak
di Glasgow selama 13 tahun, tingkat kematian lebih dari dua kali lipat. Cedera
otak traumatis menantang seluruh sistem keluarga / sosial dan menyebabkan stres
44
DAFTAR PUSTAKA
Andaluz, Norberto. Traumatic Brain Injury. Mayfield Brain & Spine. 2016.