Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke masih merupakan suatu perhatian mayoritas dalam kesehatan masyarakat.


Stroke merupakan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan kanker dan juga
mengakibatkan disabilitas jangka panjang. Terdapat variasi angka insidensi dan outcome
stroke diberbagai negara. Insidensi stroke di Asia umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
Amerika Serikat dan juga lebih banyak terjadi pada negara Eropa bagian timur dibandingkan
bagian barat. Angka Insidensinya bervariasi dari 660/100.000 pria di Rusia sampai
303/100.000 pria di Swedia (Ali dkk,2009; Carandang dkk, 2006; Goldstein dkk, 2006).
Setiap tahunnya, 795.000 orang mengalami kejadian stroke yang baru atau rekuren.
Lebih kurang 610.000 orang diantaranya mengalami serangan pertama dan 185.000 orang
merupakan rekuren. Insiden stroke pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan pada usia lebih muda, tetapi tidak demikian halnya pada usia tua. Rasio insiden
pria terhadap wanita pada usia 55-64 tahun adalah 1,25, pada usia 65-74 tahun adalah 1,50,
pada usia 75-84 tahun adalah 1,07 dan pada usia 85 tahun adalah 0,76 (Carnethon dkk,
2009).
Di Indonesia, penelitian berskala cukup besar pernah dilakukan oleh ASNA (ASEAN
Neurological Association) di 28 Rumah Sakit (RS) seluruh Indonesia. Studi epidemiologi
stroke ini bertujuan untuk melihat profile klinis stroke dimana dari 2065 pasien stroke akut,
dijumpai rata-rata usia adalah 58,8 tahun (range 18-95 tahun) dengan kasus pada pria lebih
banyak dari pada wanita. Rata-rata waktu masuk ke RS adalah lebih dari 48,5 jam (range 1968 jam) dari onset. Rekuren stroke dijumpai hampir pada 20% pasien dan frekuensi stroke
iskemik adalah yang paling sering terjadi (Misbach dkk, 2007) .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 STROKE ISKEMIK


A. Definisi
Stroke merupakan penyakit serebrovaskular yang mengacu kepada setiap gangguan
neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan dan terhentinya aliran darah melalui
sistem suplai arteri ke otak. Istilah stroke biasanya lebih spesifik digunakan untuk
menjelaskan infrak serebrum (Price and Wilson, 2006).
Stroke adalah hilanya fungsi neurologic secara mendadak akibat gangguan aliran
darah ke serebrum yang disebabkan oleh iskemik dan perdarahan pembuluh darah otak.
Bergantung pada durasi gangguan serebrovaskular, stroke dapat menyebabkan gangguan
neurologi yang permanen, kecatatan bahkan kematian (Maas and Safdieh, 2009).
B. Klasifikasi Stroke
Sistem klasifikasi lama biasnya membagi stroke menjadi 3 kategori berdasarkan
penyebabnya: trombotik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini sering didiagnosis
berdasarkan riwayat perkembangan dan evaluasi gejala. Namun perbedaan antara thrombus
dan embolus penyebab stroke iskemik belum tegas, maka klasifikasi utama stroke adalah
iskemik infrak serebrum dan perdarahan intrakranium (Price and Wilson, 2006).
Iskemik infrak serebrum (80-85%)
Perdarahan intrakranium (15-20%)
1. Oklusi trombotik lakunar
1. Intraserebrum (parenkim)
2. Oklusi embolik kardiogenik arteri-ke2. Subarachnoid (PSA)
3. Subdural
arteri
4. Epidural
Tabel 1. Klasifikasi Utama Stroke (Price and Wilson, 2006).
C. Patofisiologi Umum Stroke
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja didalam arteri-arteri
yang membentuk sirkulus willisi : arteri karotis interna dan sistem vertebrobasilaris dan
cabang-cabangnya (Gambar 1). Secara umum apabila aliran darah ke jaringan otak terputus
3

selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infrak atau kematian jaringan. Perlu diingat bahwa
oklusi disuatu arteri tidak selalu menyebabkan infrak di daerah otak yang diperdarahi arteri
tersebut. Alasanyan adalah bahwa mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai daerah
tersebut. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang
terjadi didalam pembuluh darah yang memperdarahi otak.
Patologik dapat berupa 1). Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti
pada arterosklerosis dan thrombosis, robeknya dinding pembuluh darah dan peradangan; 2)
berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hipervikositas
darah; 3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh darah ekstrakranium; 4) rupture vascular di dalam jaringan otak atau ruang
subarachnoid.
D. Klasifikasi dan Definisi Stroke Iskemik
Stroke iskemik merupakan stroke yang terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah
serebral yang menyebabkan terjadi iskemik dan nekrosis didaerah yang mengalami
kekurangan pasokan aliran darah di bawah batas yang dibutuhkan sel otak untuk tetap
bertahan (survive). Pada stroke iskemik aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis
(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau bekuan darah yang telah
menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Hampir sebagian besar pasien atau sebesar 83%
mengalami stroke jenis ini. Stroke iskemik terbagi lagi menjadi 3 yaitu ( Jovin; Demchuk;
Gupta, 2008)
1. Stroke trombotik : proses terbentuknya trombus yang membuat penggumpalan.
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen
pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga
aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan

iskemia. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses
oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.
2. Stroke embolik : tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah. Infark iskemik
dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi ateromatus yang terletak pada
pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus
yang lebih besar dan dibawa ke tempat-tempat lain dalam aliran darah. Bila
embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi
tersumbat, aliran darah fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan infark
jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32%
dari penyebab stroke non hemoragik (Maas and Safdieh, 2009).
3. Hipoperfusi sistemik : berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh kerena
adanya gangguan denyut jantung.
E. Fisiologi Otak
Jumlah aliran darah ke otak disebut sebagai cerebral blood flow (CBF) dan
dinyatakan dalam satuan cc/menit/100 gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan perfusi
otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan resistensi serebrovaskular/cerebrovascular
resistance (CVR).6,11 Dalam keadaan normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah
50,9 cc/100 gram otak/menit. Hubungan antara ketiga variabel ini dinyatakan dalam
persamaan berikut:
CBF =

CPP
CVR

MABP ICP
CVR

Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik /mean arterial blood pressure
(MABP) dikurangi dengan tekanan intracranial/intracranial pressure (ICP), sedangkan
komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus pembuluh darah otak, struktur
dinding pembuluh darah, viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak. 6,11 Ambang
batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:
5

a. Ambang fungsional : batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila tidak
terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi integritas sel-sel saraf4
masih utuh.
b. Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100 gram/menit,
yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik neuronal berhenti. Ini berarti
sebagian struktur intrasel telah berada dalam proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel, yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kerusakan total sel-sel otak. CBF dibawah 15 cc/100 gram/menit.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak antara lain:
a. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
b. Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat akan
menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan
oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistemik yang memegang peranan tekanan perfusi otak.
F. Autoregulasi Otak
Autoregulasi otak yaitu kemampuan darah arterial otak untuk mempertahankan aliran
darah otak tetap meskipun terjadi perubahan pada tekanan perfusi otak. Dalam keadaan
fisiologis, tekanan arterial rata rata adalah 50 150 mmHg pada penderita normotensi.
Pembuluh darah serebral akan berkontraksi akibat peningkatan tekanan darah sistemik dan
dilatasi bila terjadi penurunan. Keadaan inilah yang mengakibatkan perfusi otak tetap
konstan. Autoregulasi masih dapat berfungsi baik, bila tekanan sistolik 60 200 mmHg dan
tekanan diastolik 60 120 mmHg. Dalam hal ini 60 mmHg merupakan ambang iskemia, 200
mmHg merupakan batas sistolik dan 120 mmHg adalah batas atas diastolik. Respon

autoregulasi juga berlangsung melalui refleks miogenik intrinsik dari dinding arteriol dan
melalui peranan dari sistem saraf otonom.
G. Metabolisme Otak
Otak dapat berfungsi dan bermetabolisme tergantung dengan pemasukan oksigen.
Pada individu yang sehat pemasukan oksigen sekitar 3,5 ml/100 gr/menit dan aliran darah
otak sekitar 50 ml/100 gram/menit. Glukosa merupakan sumber energi yang dibutuhkan otak,
bila dioksidasi maka akan dipecah menjadi CO2 dan H2O. Secara fisiologis 90% glukosa
mengalami metabolisme oksidatif secara komplit, 10% yang diubah menjadi asam piruvat
dan asam laktat (metabolisme anaerob). Bila aliran darah otak turun menjadi 20 25 ml/1005
gram otak/ menit maka akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi ke jaringan
otak sehingga fungsi-fungsi neuron dapat dipertahankan.

2.2 PROPANOLOL
Propanolol adalah prototipe obat penyekat . Antagonis penyekat beta memiliki
kesamaan dengan katekolamin pada adenoseptor beta. Obat penyekat beta menempati
reseptor beta secara kompetitif mengurangi pengurangan reseptor oleh katekolamin dan
agonis lainnya. bioavailbilitas obat ini rendah karena mengalami metabolisme yang
ekstensif di hati (lintas-pertama); dan bergantung pada dosis bentuk sediaan kerja panjang
dari propanolol sudah tersedia; sehingga perpanjang masa absorbsi obat ini dapat terjadi
diatas 24 jam. Efek obat ini terhadap reseptor dan muskarinik tidak berarti; namun obat ini
dapat menyekat sejumlah reseptor serotonin di otak, meskipun makna klinisnya belum jelas.
Tidak ditemukan kerja agonis parsial pada reseptor (Katzung, 2011).
A. Farmakokinetik Beta Bloker atau Propanolol
Sifat sifat farmakokinetik beta bloker dapat dibagi atas beberapa golongan :
Beta bloker larut lemak (propanolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol dan
metoprolol) diabsorbsi baik (90%)
Beta bloker larut air (sotolol, nadolol, atenolol) kurang baik absorbsinya
Kardioselektif: asebutolol, metoprolol, atenolol, bisoprolol
7

Non kardioselektif: propanolol, timolol, nadolol, pindolol, oksprenolol, alprenolol


Beta blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergic, baik
Norepinefrin dan Epinefrin endogen maupun obat adrenergic eksogen, pada adrenoseptor
beta. Potensi hambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat takikardia yang
ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena hambatan ini bersifat kompetitif
reversible,

maka

dapat diatasi

dengan

meningkatkan

kadar

obat

adrenergic.Sifat

kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor beta 1dari pada
beta 2. Nonselektif artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor beta1 dan
beta2. Tetapi, sifat kardioselektivitas ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi
beta blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor beta 2. Beta blocker mempunyai
aktivitas agonis parsial artinya, jika berinteraksi dengan reseptor beta tanpa adanya obat
adrenergik seperti epinefrin atau isoproterenol, menimbulkan efek adrenergik yang lemah
tetapi jelas, ini disebut juga aktivitas simpatomimetik intrinsik. Beta blocker juga mempunyai
aktivitas stabilisasi membran artinya, mempunyai efekstabilisasi membrane atau efek seperti
anestetik lokal atau seperti kuinidin. Ini disebut juga aktivitas anestetik lokal atau aktivitas
seperti kuinidin.Efek terhadap kardiovaskuler merupakan efek beta blocker yang terpenting,
terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker mengurangi denyut jantung dan
kontraktilitasmiokard. Pemberian jangka pendek mengurangi curah jantung; resistensi perifer
meningkatakibat reflex simpatis merangsang reseptor alfa pembuluh darah. Dengan beta
blockernonselektif, terjadi hambatan reseptor beta 2 pembuluh darah, yang juga
meningkatkan resistensi perifer (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
B. Farmakodinamik Propanolol
Propanolol adalah protipe antagonis adrenergik- dan menyekat baik reseptor 1
ataupun 2. Sediaan lepas lambat yang ada saat ini memungkinkan pemberian dosis sekali
per hari saja (Mycek et al, 2001).
a). Kardiovaskular
8

Propanolol mengurangi curah jantung yang mempunyai efek inotropik dan kronotopik
negative. Obat ini berkerja langsung menekan aktivitas sino-aurikular dan atrioventikular.
Akibatnya timbulnya bradikardia ternyata membatasi besarnya dosis obat ini. Curah jantung
kekuatan dan komsumsi oksigen menurun semua penyekat reseptor ; efek seperti ini
diperlukan untuk pengobatan angina. Obat penyekat efektif untuk memperlemahkan aritmia
jantung supraventikular, tetapi umumnya tidak efektif terhadap aritmia ventricular.
b). Vasokonstriksi Perifer
Penyekat reseptor beta mencegah vasodilatasi perantaraan beta 2. Pengurangan curah
jantung menyebabkan penurunan tekanan darah. Hipotensi ini memicu reflex vasokonstriksi
tepi yang akibatnya berkurangnya aliran darah ke tepi tubuh. Pada keaadaan seimbang, maka
akan terjadi penurunan bertahap baik tekanan sistolik maupun diastolic pada pasien
hipertensi. Obat ini dapat menimbulkan hipotensi postural, karena reseptor adrenegik alfa1,
yang mengatur resistensi vascular tidak terganggu.
c). Bronkokonstriksi
Penyekat reseptor beta2 paru pasien yang peka menimbulkan kontraksi otor polos
bronchial. Keadaan ini menyebakan krisis respirasi pada pasien yang mengidap obstruksi
paru menahun (PPOM) atau asma. Obat penyekat beta merupakan kontraindikasi pada pasien
seperti ini.
d). Peningkatan Retensi Natrium
Penurunan tekanan darah menyebabkan pengurangan perfusi ke ginjal, yang
mengakibatkan peningkatan natrium dan volume plasma. Respon kompensasi ini pada
beberapa kasus cenderung meningkatkan tekanan darah. Untuk pasien demikian, maka obat
penyekat beta sering dikombinasikan dengan suatu diuretika guna mencegah retensi natrium.
e). Gangguan Metabolisme Glukosa
Penyekat beta menimbulkan berkurannya glikogenolisis dan sekresi glucagon. Oleh
karena itu, pasien diabetes tergantung insulin (tipe 1) yang mendapat propanolol perlu sekali
berhati-hati dengan memonitor kadar glukosa darah, karena kemungkinan munculnya
keadaan hipoglikemia berat setelah penyuntikan insulin. Obat penyekat beta melemahkan
pula respon faali normal terhadap hipoglikemia.
C. Efek Terapi
9

a). Hipertensi
Propanolol menurunkan tekanan darah pada hipertensi dengan menurunkan curah
jantung
a) Glaukoma
Propanolol efektif dalam menurunkan tekanan dalam bola mata dan glaucoma. Efek
ini disebabkan berkurangnya sekresi cairan humor yang diproduksi oleh badan siliaris.
Umumnya, pasien dengan penggunaan obat ini bertahun-tahun. Obat ini tidak menggangu
kemampuan mata untuk memfokuskan penglihatan dekat maupun merubah ukuran pupil,
seperti yang disebbakan oleh obat kolinergik.
c). Migren
Propanolol cukup efektif pula dalam mengurangi serangan berkala migren. Obat
penyekat beta mampu mengurangi kejadian dan beratnya serangan pada migren menahun.
Makanismenya bergantung pada penyekat vasodilatsi akibat katekolamin pada pembuluh
darah otak.
d). Hipertiroid
Propanolol dan obat penyekat beta lainnya efektif dlam menumpulkan pacu
simpatetik yanga kuat pada penderita hipertiroid. Pada kasus hipertiroidisme akut, ternyata
obat penyekat beta ini menyelamatkan si penderita dengan mencegah timbulkan aritmia
jantung yang serius.
e). Angina Pectoris
Propanolol menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dan oleh sebeb itu efektif
meredam nyeri dada kiri yang merupakan gejala umum angina. Propanolol dalam hal ini
bermanfaat untuk mengobat angina yang stabil dalam jangka panjang.
f). Infrak Miokardial
Propanolol dan obat penyekat beta lainnya mampu melindungi miokard. Oleh karena
itu, pasien pasien yang pernah mengalami infark miokard nampaknya dapat dicegah dengan
serangan jantung berikutnya dengan penggunaan profilaksis obat penyekat beta (Mycek et al,
2001).
D. Efek Samping
a). Bronkokonstriksi :
Propanolol dapat menimbulkan efek samping serius dan kematian potensial bila
diberikan pada pasien asmatik. Kontraksi mendadak dari otot polos bronchial mencegah

10

udara masuk ke dalam paru. Kematain akibat asfiksia pernah dilaporkan pada pasien asmatik
yang menggunakan obat karena mendengar iklan.
b). Aritmia
Pengobatan dengan menggunakan obat penyekat beta tidak boleh dihentikan
mendadak karena risiko munculnya aritmia jantung yang mungkin sangat berat. penyetopan
obat penyekat beta harus bertahap selama 1 minggu. Pengobatan lama dengan menggunakan
penyekat beta menimbulkan penambahan jumlah reseptor beta. Justru penambahan ini
mengakibatkan angina dan hipertensi.
c). Gangguan Seksual
Karena fungsi seksual lelaki timbul melalui aktivitas reseptor alfa, maka penyekat
beta tidak menggangu ejakulasi normal maupun fungsi sfingter kandung kemih dalam. Selain
beberapa laki-laki justru mengeluh adanya gangguan seksual.
d). Gangguan Metabolisme
Obat penyekat beta menyebabkan penurunan glikogenolisis dan berkurangnya sekresi
glucagon. Hipoglikemia puasa sering terjadi (Mycek et al, 2001).

11

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Gangguan Sistem Imun Pada Stroke


Otak dan sistem kekebalan tubuh secara fungsional dihubungkan melalui jalur sistem
saraf dan sistem humoral, penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh dan tingginya kejadian
infeksi telah ditunjukkan pada keadaan-keadaan yang disebabkan gangguan fungsi saraf akut.
Cedera pada SSP, baik di otak maupun medula spinalis dapat mengakibatkan pelepasan
mediator-mediator inflamasi pada SSP, atau gangguan dalam pengontrolan sirkuit neuralimmune, keduanya mengakibatkan penurunan sistem imunitas, baik innate immunity maupun
adaptive immunity, hal ini menyebabkan defisiensi dari sistem kekebalan tubuh, sehingga
individu tersebut menjadi rentan terhadap invasi mikroorganisme. Walaupun respon awal
lokal terhadap kerusakan otak adalah pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi yang
disertai dengan respon inflamasi sistemik, pasien-pasien dengan lesi di SSP juga
menunjukkan adanya tanda-tanda immunodepresi. Umumnya gangguan fungsi sistem
imunitas pada pasien-pasien setelah stroke dikarenakan penurunan jumlah limfosit darah tepi
dan gangguan aktifitas sel Natural Killer (NK), adanya gangguan terhadap fungsi granulosit
dan sel NK, serta menurunnya jumlah limfosit berdampak terhadap menurunnya sistem
imunitas individu, penurunan sistem imunitas tersebut meningkatkan kerentanan terhadap
terjadinya infeksi atau stroke assosicated infection (SAI). Adanya SAI pada pasien stroke
memberi dampak terhadap keluaran klinis yang buruk ( Wiley, 2013).

12

Beberapa sitokin meningkat segera setelah awitan stroke dan mempengaruhi keluaran
klinis. Sitokin merupakan mediator penting antara otak dan sistem kekebalan tubuh untuk
mempertahankan homeostasis, aktivasi sistem neuro-immunity, seperti halnya hypothalamuspituitary-adrenal axis (aksis HPA) atau sistem saraf otonom yang mengakibatkan
kemampuan sistem kekebalan tubuh yang menurun (Chamorro, Urra, dan Planas, 2007).
Respon sitokin anti-inflamasi telah diamati pada pasien-pasien dengan resiko terjadinya
infeksi yang tinggi pada kasus stroke akut (Chamorro, 2006).
Stroke menginduksi proses apoptosis limfosit yang luas dan cepat pada organ-organ
limfoid dan darah tepi. Hal ini tampak pada 12 jam setelah iskemik serebral. Disfungsi sistem
imunitas

ini

dapat

berlangsung

sampai

enam

minggu

setelah

awitan

stroke.

Ketidakseimbangan interaksi otak-sistem imunitas mengakibatkan gangguan regulasi sistem


imunitas pada pasien-pasien stroke yang berdampak akan terjadinya immunodepresi (Prass et
al, 2003). Sistem saraf otonom sentral dan perifer menyampaikan informasi mengenai
keadaan sistem imunitas, yang kemudian informasi ini diproses oleh SSP, memberikan sinyal
homeostasis melalui tiga jalur utama yaitu aksis HPA, sistem saraf simpatis, dan sistem saraf
parasimpatis (Dirnagl et al, 2006). Sitokin-sitokin yang dihasilkan karena proses inflamasi di
SSP dapat mengontrol pusat neuro-immune secara langsung, melalui difusi pada ruang
ekstraseluler dan cairan serebrospinal, atau secara tidak langsung melalui aliran darah. Pada
umumnya, reseptor-reseptor sitokin pada SSP yang mempengaruhi sistem imunitas di otak
banyak terdapat pada struktur-struktur sekitar ventrikel dan area medial preoptik, sinyalsinyal tersebut dilanjutkan ke Paraventricular Nucleus (PVN) hipotalamus melalui proyeksi
serat saraf ( Prass et al, 2003). HPA diaktivasi oleh sitokin-sitokin inflamasi (seperti IL-6 dan
TNF, IL-1) yang dihasilkan selama proses inflamasi yang mengakibatkan peningkatan
sekresi Corticotropin Releasingfaktor(CRF) dari PVN hipotalamus yang selanjutnya
mengakibatkan keluaran Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) dari pituitari anterior.

13

Peningkatan kadar IL-6 yang dikeluarkan ke dalam cairan serebrospinal dan plasma
menunjukkan korelasi dengan peningkatan kadar hormone ACTH dan kortisol. Sitokinsitokin sentral tersebut menstimulasi aksis HPA. IL-6 dalam plasma juga dapat meningkatkan
sekresi kortisol secara langsung oleh adrenal (Chamorro, 2006). Kelenjar adrenal yang
berespon terhadap adanya ACTH mengakibatkan peningkatan sekresi glukokortikoid yang
pada akhirnya dapat menurunkan fungsi sistem imunitas (Licinio&Frost, 2000).
Glukokortikoid pada zona faskuliata korteks adrenal mencegah inflamasi dengan menekan
produksi beberapa mediator-mediator pro-inflamasi (IL-1, IL-11, IL-`12, interferon-gamma,
TNF), prostaglandin dan nitric oxide, meningkatkan produksi mediator-mediator antiinflamasi, dan memiliki efek anti proliferasi yang kuat serta menginduksi apoptosis
eosinophil dan limfosit T (Katarzyna G. et al, 2011).
Aktivasi simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin dari ujung-ujung saraf
simpatis dan medula adrenal. Katekolamin dapat dengan cepat menginduksi peningkatan
jumlah limfosit dan granulosit. Sitokin-sitokin pro-inflamasi yang dikeluarkan selama proses
inflamasi memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap bakteri dan proses
penyembuhan. Produksi yang berlebihan dari sitokin pro-inflamasi dapat menyebabkan
respon inflamasi sistemik yang hebat, dapat mengakibatkan syok dan kegagalan beberapa
organ tubuh (Harms et al, 2011). Respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi terhadap stress
seharusnya seimbang untuk melawan patogen dan proses penyembuhan luka, dan mencegah
proses inflamasi yang berlebihan maupun immunodepresi yang berat. Keseimbangan proses
anti-inflamasi yang diatur oleh sistem saraf memiliki banyak keuntungan terhadap terjadinya
inflamasi sistemik, namun respon ini menurunkan mekanisme pertahanan tubuh sehingga
rentan akan terjadinya infeksi, apabila imunodepresi yang diinduksi oleh otak tidak seimbang
dengan proses imunostimulasi secara umum (Chamorro, 2006).

14

Gambar 1. Patofisiologi Stroke dan Mekanisme Imunodepresi

3.2 Pengaruh Propanolol pada Stroke Iskemik


Terdapat beberapa reseptor beta adrenergic yang ditemukan di jaringan seperti di
eritrosit, jantung dan otak. Pada otak reseptor beta adregenik yang mempunyai kepadatan
tertinggi terdapat pada korteks serebri dan corpus striatum. Namun tidak terdapat reseptor
beta adrenegik pada sel glial. Receptor beta pada mikrovaskular < 1% dan pada grey matter
15

otak 1-2%, walaupun kapadatan reseptor beta pada mikrovaskular lebih kecil dibandingkan
dengan reseptor beta di grey matter namun affinitas dalam peningikatan antagonis beta
reseptor enam kali lebih kuat pada mikrovaskular. Hal ini berlaku pada kedua reseptor yaitu
reseptor beta 1 dan beta 2. Dalam sebuah penelitian menemukan bahwa I-propanolol
mengurangi kerja non adrenergik pada otak tikus dengan cara berperan sebagai agonis non
adrenergic (Capraro et al, 1984).
Katekolamin dapat mengganggu sawar darah otak dengan cara meningkatkan secara
cepat tekanan darah atau melepaskan norepinefrin endogen yang ditandai dengan peningkatan
CBF dan konsumsi oksigen atau CMRO. Peran pemberian propanolol dapat menurunkan
konsumsi CMRO dan CBF (Schmalbruch et al, 2002). Propanolol juga dapat menghambat
agregasi platelet dan pelepasan serotonin yang diinduksi oleh adenosine difosfat (ADP)
epinefrin, kolagen dan thrombin. Kalsium sudah dibuktian berperan dalam kematian sel.
Propanolol dapat menghambat influx kalium ke dalam sel dengan mengurangi jumlah
reseptornya. Selain itu propanolol juga merusak kalsium yang terikat dengan phospolipase
A2. Dimana phospholipase akan membentuk asam arakidonat yang berfungsi sebagai
precursor prostaglandin dan tromboksan (Goyaki et al, 2006). Pada sebuah penelitian
menunjukan bahwa propanolol dapat melindungi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram negative dan juga bakteri gram positif pada penderita strok (Prass et al, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

16

Capraro, J.A., Reedy, P., Latchaw, J.P., et al. 1984. Treatment of Acute Focal Cerebral
Ischemia With Propanolol. Stroke Volume 15 No 3. Departemen of Neurology
Cleveland Clinical Fondation.
Chamorro, A., Urra, X., dan Planas, A.M. 2007. Infection after Acute Ischemic Stroke A
Manifestation of Brain-Induced Immunodepression, Stroke 38:1097-1103.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
Dirnagl, U., Klehmet, J., et al. 2006. Stroke-Induced Immunodepression Experimental
Evidence and Clinical Relevance. Department Of Neurology, 38:770-773.
Goyaki, T., Kimura, T., et al. 2005. -Adrenoreceptor Antagonists Attenuate Brain Injury
After Transient Focal Ischemia in Rats.Akita University School of Medicine.
103:658-63.
Harms, H., Reimnitz, P., et al. 2011. Influence of Stroke Localization on Autonomic
Activation, Immunodeprssion and Post Stroke Infection. Neurological Department
and Center of Stroke Research Berlin. 32:552-560.
Katzung, Bertam G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinis 2 Edisi 8. Jakarta : Salemba
Medica Glance.
Kazmierski, R., Guzik, P., Ambrosius, W., Ciesielska, A., Moskal, J., dan Kozubski, W. 2004.
Predictive value of white blood cell count on admission for in-hospital mortality in
acute stroke patients. Clin Neurol Neurosurg, 107:3843.
Licinio, J., dan Frost, P. 2000. The neuroimmune-endocrine axis: pathophysiological
implication for the central nervous system cytokines and hypothalamus-pituitaryadrenal hormone dynamics. Brazilian Journal of Medical and Biological Research
33: 1141 1148.
Mycek, M.J., Harvey, R.A. Champe, P.C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.
Jakarta: Widya Medika.
Prass, K., Braun, J.S., 2006. Stroke Propagates Bacterial aspiration to Pneumonia in a
Model of Cerebral Ischemic. Stroke AHA. 37:2607-2612.
Prass,K., Miese,C.,et al. 2003. Stroke-induced Immunodeficiency Promotes Spontaneous
Bacterial Infections and Is Mediated by Sympathetic Activation Reversal by
Poststroke T Helper Cell Type 1-like Immunostimulation. Departement of
Experimental Neurology, 3:725-736.
Price dan Wilson, 1995, Fisiologi Proses-proses Penyakit Edisi 4. Jakarta: EGC
Schmalbruch, I.K., Linde, R., et al. 2002. Activation-Induced Resetting of Cerebral
Metabolism and Flow Is Abolished by - Adrenergic Blockade with Propanolol.
Stroke AHA. 33;251-255.

17

Wiley John and Sons. 2013. Immunological Consequences of Ischemic Stroke. Acta Neurol
Scand, 129:1-12.

18

Anda mungkin juga menyukai