Topik EBP :
Terapi Hiperosmolar pada Cedera Otak
Traumatika
KOREKSI I KOREKSI II
(…………………………………………………………) (………………………..……...………………………….)
PANDUAN EVIDANCE BASED PRACTICE (EBP)
I. PENDAHULUAN
Hipertensi intrakranial dan edema serebral adalah manifestasi utama
cedera otak berat yang dapat diakibatkan bermacam sebab termasuk
trauma kepala, stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subarahnoid akibat pecahnya aneurisma, infeksi, dan neoplasma.1 Secara
umum, cedera kepala dibagi menjadi dua periode waktu terpisah yaitu
cedera otak primer dan sekunder. Cedera otak primer adalah kerusakan
fisik pada parenkim (jaringan dan pembuluh darah) yang terjadi selama
peristiwa traumatis, sehingga menyebabkan kompresi jaringan otak di
sekitarnya. Cedera otak sekunder merupakan kelanjutan hasil dari cedera
otak primer dengan komplikasi utama cedera otak pada jam dan hari
berikutnya. Banyak sekali komplikasi cedera otak sekunder,yang dapat
memperberat trauma otak dan mengakibatkan cedera otak sekunder yaitu
gangguan intrakranial meliputi edema serebral, hematoma, hidrosefalus,
hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolik, eksitotoksisitas,
toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang.1-2 Cedera otak primer dan
cedera otak sekunder menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler,
edema serebral, dan peningkatan tekanan intrakranial, ketiga hal tersebut
merupakan penentu prognosis seorang pasien dengan cedera kepala
berat. Edema serebral dapat diklasifikasikan menjadi edema serebral
sitotoksik atau vasogenik. Edema sitotoksik adalah pembengkakan sel
yang timbul akibat cedera, umumnya berupa cedera iskemik atau toksik.
Edema vasogenik merupakan edema ekstraseluler yang timbul secara
sekunder akibat kerusakan kapiler, dan dapat menimbulkan kerusakan
sawar darah-otak. Edema sitotoksik terjadi beberapa menit hingga
beberapa jam setelah timbul cedera, sedangkan edema vasogenik timbul
beberapa jam hingga beberapa hari setelah timbulnya cedera. Jenis edema
yang timbul merupakan hal yang penting diketahui dalam menentukan
terapi, karena edema sitotoksik lebih resisten terhadap terapi. Hal
terpenting dari pegobatan medis termasuk mengontrol ventilasi,
osmoterapi, mempertahankan homeostasis otak, fungsi tubuh, dan sedasi.
Osmoterapi adalah faktor penting pada penatalaksanaan trauma kepala,
perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid akibat aneurisma, dan
strok iskemik. Saat ini sediaan untuk osmoterapi yaitu manitol, larutan
salin hipertonik, dan larutan natrium laktat hipertonik. Manitol telah
dikenal secara luas sebagai terapi utama pada terapi hipertensi
intrakranial, namun larutan salin hipertonik merupakan terapi alternatif
yang juga potensial untuk terapi hipertensi intrakranial.
Angka kejadian cedera otak traumatik (COT) masih cukup tinggi berkisar
1,4 juta pertahun dengan angka kematian 15–20% pada populasi usia 5–
35 tahun dan 1% pada dewasa muda. Di United Kingdom setiap tahunnya
hampir mendekati 1,4 juta orang mengalami cedera otak traumatik.
Sekitar 3500 pasien yang mengalami cedera otak traumatik dilakukan
perawatan di ruang perawatan intensif (intensive care unit/ICU), dengan
angka kematian 23% pada cedera kepala traumatik berat yang telah
dilakukan resusitasi.1 Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) sangat
sering terjadi setelah terjadinya cedera otak traumatik yang erat
dihubungkan dengan angka mortalitas dan morbiditas. Pada periode
setelah terjadinya cedera otak traumatik dapat terjadi hipertensi
intrakranial, hipotensi sistemik, hipoksia, hiperpireksia, hipokapnia dan
hipoglikemia dimana parameter ini dapat digunakan sebagai prediksi
memburuknya outcome setelah terjadinya cedera otak traumatik.1-4 Salah
satu kunci terapi untuk penatalaksanaan edema serebri dan peningkatan
tekanan intrakranial (hipertensi intrakranial) adalah terapi hiperosmolar.
Terapi hiperosmoler terutama diindikasikan untuk hipertensi intrakranial
akut. Larutan hiperosmoler yang digunakan untuk terapi hipertensi
intrakranial adalah mannitol dan hipertonik salin. Mannitol 20%
merupakan suatu osmotik diuretik yang sering digunakan sebagai terapi
hipertensi intrakranial, namun adanya beberapa data yang menunjukkan
nilai signifikan terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh pemberian
mannitol maka direkomendasikan penggunaan hipertonik salin sebagai
pilihan lain.
Kompartemen intrakranial setelah cedera terdiri dari otak, cairan
serebrospinal, darah dan dalam kasus tertentu, lesi massa patologik.
Volume dalam tulang tengkorak yang kaku ini menghasilkan suatu
tekanan, yaitu tekanan intrakranial. Pentingnya pengukuran TIK pada
pasien cedera kepala berat sangat ditekankan. Pertama, merupakan alat
pantau untuk identifikasi dini penambahan lesi massa pada pasien yang
paralisis dan disedasi, dimana pemeriksaan neurologik dibatasi pada
ukuran dan respons pupil. Kedua, dapat mengukur tekanan perfusi otak
(cerebral perfusion pressure/CPP) dari rumus CPP=MAP–TIK. Walaupun
banyak protokol klinis ditujukan pada target CPP, tapi ada bukti yang
menunjukkan bahwa TIK merupakan faktor independen untuk outcome.
Sejumlah penelitian retrospektif telah mengidentifkasi TIK 20–25 mmHg
sebagai suatu faktor pemisahan antara pasien dengan kemungkinan
outcome baik atau buruk. Nilai ini secara empirik sebagai satu ambang
patologik dan usaha tindakan harus dilakukan untuk menurunkan TIK
dibawah limit ini.1-5 Iskemia serebral adalah faktor cedera sekunder yang
paling penting yang mempengaruhi outcome setelah COT dan untuk
mencegah hal tersebut, pemeliharaan CPP menjadi pengelolaan sentral
pasien COT. Bukti pertama bahwa mempertahankan CPP diatas target
adalah menguntungkan berasal dari penelitian Rosner dkk, yang
menunjukkan perbaikan bila CPP dipertahankan >70 mmHg. Walaupun
penelitian ini bukan randomized clinical trial (RCT), tapi menimbulkan
perubahan paradigma dalam pengelolaan COT dan 70 mmHg telah
diadopsi sebagai target CPP pada Brain Trauma Foundation (BTF)
guidelines yang pertama yang dipublikasikan tahun 1996.Walaupun
peningkatan CPP merupakan jalan yang berguna untuk meningkatkan
pasokan oksigen ke otak, tetapi tetap sesuatu yang harus diperhitungkan.1
Hilangnya autoregulasi vaskuler pada otak yang cedera adalah keadaan
yang umum terjadi pada COT dan menyebabkan disosiasi antara aliran
darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan keperluan metabolik. Dalam
keadaan ini, peningkatan CPP dapat menimbulkan penambahan diameter
pembuluh darah, meningkatkan volume darah otak (cerebral blood
volume/CBV) dan TIK. Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler
serebral dapat menimbulkan edema vasogenik, yang juga akan
meningkatkan TIK. Suatu pendekatan alternatif adalah Protokol Lund,
yang menyarankan mengurangi target CPP ke level 50 mmHg untuk
menghindari iskemia tapi juga tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.
Lebih jauh lagi, menaikkan MAP dengan cairan dan inotrop untuk
mempertahankan CPP dihubungkan dengan komplikasi kardiorespirasi.
Target CPP 70 mmHg dibandingkan dengan 50 mmHg menunjukkan
meningkatnya asupan cairan, inotropik, dan penggunaan monitoring
invasif dan 5 kali terjadinya komplikasi ARDS. Jelas ada keseimbangan
antara perbaikan pasokan oksigen ke otak dan menghindari komplikasi
dari kenaikan MAP. Situasi menjadi sulit dengan adanya kenyataan bahwa
setelah COT ada heterogenitas metabolik dalam otak yang telah cedera,
dimana beberapa daerah mungkin iskemia pada nilai CPP dimana secara
umum mencukupi. Baru-baru ini, pada BTF guideline 2007 target CPP
adalah 60 mmHg, jangan kurang dari 50 mmHg karena ada resiko iskemia
otak, tapi jangan lebih dari 70 mmHg karena ada resiko terjadinya ARDS. 1
Tekanan intrakranial dan CPP harus dikendalikan melalui sejumlah cara,
termasuk mengurangi 179 Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada.
LAMPIRAN
Dewi Yulianti Bisri : Bagian Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran RS. Hasan Sadikin–Bandun
DAFTAR PUSTAKA
Bullock MR, Povlishock JT. Guidelines for the management of severe traumatic brain injury.
Edisi ke-3. Journal of Neurotrauma. 2007;24(1): S1–S2.
Haddad S, Arabi Y. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults.
Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine 2012, 20:12.
Helmy A, Vizcaychipin M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J
Anaesth 2007; 99: 32–42.
Kolmodin L, Sekhon MS, Henderson WR, Turgeon AF, Griesdale DE. Hypernatremia in
patients with severe traumatic brain injury: a systematic review. Annal Intensive
Care. 2013; 3: 35.
Wakai A, McCabe A, Robert I, Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury. The
Cochrane Collaboration. 2013; 8: 1–21.
Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR, Bhatt AR, dkk. Controversy in use of
mannitol in head injury. Indian Journal of Neurotrauma. 2008; 5(11): 11–3.
Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessennauer CJ, Shoja MM, Tubbs RS, dkk. Hypertonic
saline for treating raised intracranial pressure: literature review with meta-analysis.
J Neurosurg. 2012; 116: 210–21.
Collins TR. Hyperosmolar therapy yield worse results in primary ICH patients, database
review show. Neurology Today. 2014; 42–5.
Marko NF. Hypertonic saline, not mannitol should be considerred gold-standard medical
therapy for intracranial hypertension. Critical Care. 2012; 16: 1–3.
Arifin MZ, Risdianto A. Perbandingan efektivitas natrium laktat dengan manitol untuk
menurunkan tekanan intrakranial 133
penderita cedera kepala berat. MKB 2012, Volume 44 No. 1.
Ahmad RM, Hanna. Effect of equiosmolar solutions of hypertonic sodium lactate versus
mannitol in craniectomy patients with moderate traumatic brain injury. Med J
Indones. 2014; 23–1.
Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J
Anaesth 2007; 99:32–42
Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Niewfield P,
Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2012,98–114.
Manoach S, Labaze GI, Charchaflieh JG. Traumatic brain injury, stroke, and brain death.
Dalam: Niewfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia, edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012,418–36.
Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam:
Cottrell JE, Young WL, penyunting. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia.
Philadelphia: Mosby Elsevier;2010,317–25.
Bullock MR, Povlishock JT. Journal of Neurotrauma 2007; vol 24, supp 1.
Bisri T. Pengelolaan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran;2012,143–66,187–208.
Seppelt I. Intracranial hypertension after traumatic brain injury. Indian J Crit Care Med.
2004;8(2):120–26.
Hirsch KG, Spock T, Koenig MA, Geocadin RG. Treatment of elevated intracranial pressure
with hyperosmolar therapy in patients with renal failure. Neurocrit Care.
2012;17:388–94
Davies NJH, Cashman JN. Lee’s synopsis of anesthesia, edisi ke-13. United Kingdom: Elsevier
Butterworth Heinemann;2006:161
Wakai A, Roberts IG, Schierhout G. Mannitol for acute traumatic brain injury (Review). The
Cochrane Library 2008, Issue 4
Myburgh JA, Lewis SB. Mannitol for resuscitation in acute head injury: effects on cerebral
perfusion and osmolality. Critical Care and Resuscitation 2000;2:14–18
Castillo LB, Bugedo GA, Paranhos JL. Mannitol or hypertonic saline for intracranial
hypertension? A point of view. Crit Care Resusc 2009;11:151–54
Wani AA, Ramzan AU, Nizami F, Malik NK, Kirmani AR, Bhatt AR, Singh S. Controversy in use
of mannitol in head injury. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2008;5(1):11–13
Kamel H, Navi BB, Nakagawa K, Hemphill III JC, Ko NU. Hypertonic saline versus mannitol for
the treatment of elevated intracranial pressure: a meta-analysis of randomized
clinical trials. Crit Care Med. 2011; 39:554–59
Mortazavi MM, Romeo AK, Deep A, Griessenauer CJ, Shoja MAM, Tubbs RS, Fisher W.
Hypertonic saline for treating raised intracranial pressure: literature review with
meta-analysis. J Neurosurg. 2012;116:210–21.