Anda di halaman 1dari 9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI PASCA STROKE

I. Pendahuluan

Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut
yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke.
Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang ,dan kejang pasca
stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.

Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering
dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis
ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko
independen untuk stroke , dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian
dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke.

Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-tahun


dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang
tua. Meskipun frekuensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar antara
4% hingga 10% ,namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi
retrospektif dan tanpa konformasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien
begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini
sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa ,stroke batang otak ,
pendarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi .

II. Definisi

Kata epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang artinya


“serangan”. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi
namun dengan gejalan tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan
oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan kronil otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang
yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel.
III. Epidemiologi

Dalam suatu studi populasi ,stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasikan dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35
tahun. Sekitar 5-20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan
mengalami kejang, namun epilesi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian
kecil dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000
orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah
stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.

Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien
dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke
iskemik. Kejang yang merupakan gambaran dari perdarahan intrakranial berkisar
antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid,
serangan kejang yang terjadi pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%)
daripada serangan yang terjadi pada saat pasien berada di rumah sakit (4,1%).

IV. Klasifikasi dan Patogenesis

Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya . Manefestasi biologi ialah
gerakan otot atau suatu modaritas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang
melepaskan muatan listriknya. Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari
serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentang di daerah fokus epileptogenik.
Neuron-neuron di sekitar fokus ini bersifat GABA- nergik dan hiperpolarisasi , yang
menghambat neuron epileptogenik. Dalam keadan fisiologis neuron melepas muatan
listriknya oleh karena potensial membarannya di rendahkan oleh potensial
postsinaptik yang tiba pada dendrit .

Penyakit –penyakit yang menyebabkan kejang :

1. Sistemik

Hiponatremi terjadi bila jumlah asupan cairan melebeihi kemampuan


ekstreksi, ketidakmampuaan menekan sekresi ADH .

Hipernatremi terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya
pada orang usia lanjut dengan diabetes insipidus . Oleh karena air keluar maka
volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan
perdaraahan lokal dan subarakhnoid .

2. Tumor

Gejala tumor intrakranial dibagi dalam gangguan kesadaran akibat tekanan


intrakranial yang meninggi . Gejala tekanan intrakranial yang meninggi adalah
sakit kepala , muntah , kejang , gangguan mental berupa demensia ,apatis ,
gangguan intelegensi . Tanda lokalisatorik adalah defisit serebral dibangkitkan
oleh tumor didaerah fungsional yang khas berupa monoparesis ,hemiparesis,
hemianopia, afasia,anosmia, dan seterusnya.Tanda fisik diagnostik pada tumor
intrakranial adalah papil edema , pada anak ukuran kepala membesar dan
sutura teregang , hipertensi intrakranial , irama dan frekuensi pernapasaan
berubah .

3. Trauma

Kejang dapat terjadi setelah cidera kepala dan harus segera diatasi karna akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta
memperberat edema otak .

4. Infeksi

Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk
empiema subdural ,epidural, abses otak .

5. Serebrovaskular

Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologi mendadak yang terjadi


akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri
otak. Konvulsi umum atau vokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik
maupun stroke non-hemoragik .Stroke sebagai diagnosis klinik untuk
gambaran manifestasi lesi vaskular serebral dapat dibagi dalam : transient
ischemic attack , stroke in evolution , completed stroke .

6. Epilepsi

Klasifikasi serangan pada epilepsi dibagi menjadi dua ,yaitu parsial dan umum
a. Kejang parsial ( fokal ,lokal ) kesadaran tidak berubah dan serangan parsial
kompleks (kesadaran menurun )
b. Serangan umum ( konvulsi atau nonkonvulsi ): absence , mioklonik ,klonik ,
tonik , tonik-klonik ,atonik .

c. Serangan epilepsi tidak terklasifikasi misalnya gerakan ritmis pada mata ,


gerakan mengunyah dan berenang .

Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengn onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemik serebral, sehingga dapat disamakan
dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke
diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara
onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat.

Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca
stroke muncul dalam 24jam pertama setelah stroke. Kebanyakan stroke yang
disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24jam pertama.

Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat
menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya.
Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas
glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke
eksperimental. Obat antiglutamatergik mungkin memiliki peranan tersendiri dalam
pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk pengobatan kejang.

Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya kejang
onset cepat. Pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter
eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Pada iskemik penumbra, daerah
dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam stroke iskemik mengandung
jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terjadinya aktivitas kejang.

Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya kejang.


Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya
status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan


saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun.
Sebbuah jaringan parut gliotik telat terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lambat,
sama seperti sikatrik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk
kejadian onset lambat epilepsi pasca trauma.

Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul
pada kejang onset cepat dan pada 65% pasien pada kejang onset lambat.

Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memiliki kemungkinan menyebabkan


kejang akut masih menimbulkan kontroversi. Diantara 1640 pasien dengan iskemia
serebral, kejadian yang terkait dengan penyakti jantung paling sering dikaitkan
dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika dibandingkan dengan hematoma
supratentorial (16,2%).

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin terjadi pada
pasien dengan lesi yang melibatkan beberapa lobus. Namun, setiap stroke subkortikal,
kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang.

Mekanisme kejang oleh karena perdarahan tidak dijelaskan. Produk dari


metabolisme darah seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang
mengarah pada kejang. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi perdarahan luas
di sisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus frontal dan temporal.
Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki komponen
perdarahan intraparenkim.

Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang
dengan mekanisme yang lain. Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma
biasanya terjadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan
terjadinya kejang oleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak.

V. Manifestasi Klinik

Mengingat sebagian besar kejadian pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal, kejang
fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset
cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%),
diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam penelitian lainnya, kejang onset
cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkn kejang onset lambat cenderung
generalisasi sekunder. Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan
episode, dan cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun.

Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status
epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih
besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke
(iskemik atau hemoragik), topografi ( keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola
EEG.

Keistimewaan fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya


onset fokal dengan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang
biasanya terjadi di wilayah vaskuler ipsilateral. Kadang-kadang status epileptikus
dapat terjadi kemudian.

VI. Diagnosis

Kejang paca stroke didefinisikan sebagai episode kejang baik tunggal maupun
multiple setelah stroke dan dianggap berhubungan dengan kerusakan otak baik yang
reversibel maupun irreversibel bagaimanapun waktu dari onsetnya. Epilepsi pasca
stroke didefinisikan sebagai episode kejang berulang setelah stroke dengan diagnosis
epilepsi yanng telah dikonfirmasi sebelumnya.

Kejang pasca stroke diklasifikasikan menjadi kejang dengan onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral. Kejang pasca stroke onset
cepat terjadi dalam kurun waktu dari 2 minggu dan lebih dari 2 minggu pada onset
lambat. Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia.

VII. Diagnosis Banding

Diagnosis banding iskemia akibat kejang termasuk kejang sekunder karena


penyebab lain. Withdrawal obat (benzodiazepin) dan gangguan metabolisme
(misalnya kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum, kecuali
memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fenomena
fokus dengan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus pada hasil temuan
EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh diabaikan.
VIII. Penatalaksanaan

Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik oleh antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol
dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan
pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium.
Yang terakhir memiliki keuntungan dari pemberian parenteral, yang mungkin
diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang mungkin terganggu.
Fosphenitoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan
stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin. Benzodiazepin, khususnya
lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang
berlangsung.

Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama
untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10%
dari penghuni panti jompo di Amerika mendapatkan obat antiepilepsi, paling sering
digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua
dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih
baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang
lebih panjang dari karbamazepin. Meskipun banyak dari antikomvulsan baru,
misalnya topiramate, dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk
terapi kejang pasial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi.
Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk
semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi,
terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terkena


stroke, sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewati
metabolisme hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein.

IX. Prognosis

Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas. Kejang onset cepat
tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang
memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dalam Skala Stroke
Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi
penumbra iskemik yang lebih besar.
Sebaliknya dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami
awal kejang dalam waktu 48jam dari serangan stroke atau transient ischemic
attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit yang lebih tinggi
(37,9%) daripada mereka yang tidak mengalami kejang (14,4%).

Pada studi populasi di Islandia, epilepsi sering tejadi pada pasien dengan
residua neurologis berat. Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri.
Prognosis jangka panjang tergantung pada perkembangan perdarahan
intraserebral.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono, Mahar, Prof. Neurologi Klinis Dasar . Dian Rakyat . Jakarta:2006

2. Budiman, Gregory. Basic Neuroanatomical Pathways. Second Edition. FKUI.


Jakarta: 2009.

3. Dewanto, George, dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
EGC. Jakarta: 2009.

4. Myint PK, Staunfenberg EFA, Sabanathan K. Post stroke seizure and post stroke
epilepsy. 2006.

5. Silverman IE, Restrepo L, Mathews GC . Poststroke Seizures. 2002.

Anda mungkin juga menyukai