TINJAUAN PUSTAKA
I. Pendahuluan
Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut
yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke.
Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang ,dan kejang pasca
stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke.
Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan penyebab tersering
dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis
ataupun sebagai komplikasi pasca stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko
independen untuk stroke , dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian
dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke.
II. Definisi
Dalam suatu studi populasi ,stroke merupakan penyebab yang paling sering
diidentifikasikan dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia diatas 35
tahun. Sekitar 5-20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan
mengalami kejang, namun epilesi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian
kecil dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000
orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang setelah
stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien
dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke
iskemik. Kejang yang merupakan gambaran dari perdarahan intrakranial berkisar
antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid,
serangan kejang yang terjadi pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%)
daripada serangan yang terjadi pada saat pasien berada di rumah sakit (4,1%).
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya . Manefestasi biologi ialah
gerakan otot atau suatu modaritas sensorik, tergantung dari neuron kortikal mana yang
melepaskan muatan listriknya. Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari
serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentang di daerah fokus epileptogenik.
Neuron-neuron di sekitar fokus ini bersifat GABA- nergik dan hiperpolarisasi , yang
menghambat neuron epileptogenik. Dalam keadan fisiologis neuron melepas muatan
listriknya oleh karena potensial membarannya di rendahkan oleh potensial
postsinaptik yang tiba pada dendrit .
1. Sistemik
Hipernatremi terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya
pada orang usia lanjut dengan diabetes insipidus . Oleh karena air keluar maka
volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan
perdaraahan lokal dan subarakhnoid .
2. Tumor
3. Trauma
Kejang dapat terjadi setelah cidera kepala dan harus segera diatasi karna akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta
memperberat edema otak .
4. Infeksi
Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk
empiema subdural ,epidural, abses otak .
5. Serebrovaskular
6. Epilepsi
Klasifikasi serangan pada epilepsi dibagi menjadi dua ,yaitu parsial dan umum
a. Kejang parsial ( fokal ,lokal ) kesadaran tidak berubah dan serangan parsial
kompleks (kesadaran menurun )
b. Serangan umum ( konvulsi atau nonkonvulsi ): absence , mioklonik ,klonik ,
tonik , tonik-klonik ,atonik .
Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengn onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemik serebral, sehingga dapat disamakan
dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode terjadinya kejang pasca stroke
diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat membedakan antara
onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu
kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat.
Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca
stroke muncul dalam 24jam pertama setelah stroke. Kebanyakan stroke yang
disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24jam pertama.
Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium dapat
menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium mediasi lainnya.
Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya kejang. Eksitotoxisitas
glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai dalam bentuk stroke
eksperimental. Obat antiglutamatergik mungkin memiliki peranan tersendiri dalam
pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk pengobatan kejang.
Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya kejang
onset cepat. Pada daerah iskemia hipoksia, tingginya tingkat neurotransmiter
eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Pada iskemik penumbra, daerah
dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam stroke iskemik mengandung
jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terjadinya aktivitas kejang.
Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul
pada kejang onset cepat dan pada 65% pasien pada kejang onset lambat.
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat
menyebabkan kejang pasca stroke. Kejang pasca stroke lebih mungkin terjadi pada
pasien dengan lesi yang melibatkan beberapa lobus. Namun, setiap stroke subkortikal,
kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang.
Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik adalah tingkat
keparahan dari awal defisit neurologis. Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang
dengan mekanisme yang lain. Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma
biasanya terjadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan
terjadinya kejang oleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak.
V. Manifestasi Klinik
Mengingat sebagian besar kejadian pasca stroke disebabkan oleh lesi fokal, kejang
fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah studi kejang onset
cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis yang paling sering (61%),
diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam penelitian lainnya, kejang onset
cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkn kejang onset lambat cenderung
generalisasi sekunder. Kebanyakan serangan berulang adalah tipe yang sama dengan
episode, dan cenderung kambuh rata-rata kurang dari satu tahun.
Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca stroke, 9% memiliki status
epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang lebih
besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis stroke
(iskemik atau hemoragik), topografi ( keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau pola
EEG.
VI. Diagnosis
Kejang paca stroke didefinisikan sebagai episode kejang baik tunggal maupun
multiple setelah stroke dan dianggap berhubungan dengan kerusakan otak baik yang
reversibel maupun irreversibel bagaimanapun waktu dari onsetnya. Epilepsi pasca
stroke didefinisikan sebagai episode kejang berulang setelah stroke dengan diagnosis
epilepsi yanng telah dikonfirmasi sebelumnya.
Kejang pasca stroke diklasifikasikan menjadi kejang dengan onset cepat atau
lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral. Kejang pasca stroke onset
cepat terjadi dalam kurun waktu dari 2 minggu dan lebih dari 2 minggu pada onset
lambat. Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah
iskemia.
Kejang pasca stroke biasanya dikontrol dengan baik oleh antikonvulsan tunggal.
Dalam sebuah penelitian retrospektif, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol
dengan monoterapi. Mengingat penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan
pengobatan yang termasuk lini pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium.
Yang terakhir memiliki keuntungan dari pemberian parenteral, yang mungkin
diperlukan karena kesulitan menelan atau status mental yang mungkin terganggu.
Fosphenitoin natrium juga merupakan pilihan yang menonjol pada pasien dengan
stroke karena toksisitas jantung lebih rendah dari fenitoin. Benzodiazepin, khususnya
lorazepam, awalnya harus diberikan kepada pasien dengan kejang yang sedang
berlangsung.
Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama
untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10%
dari penghuni panti jompo di Amerika mendapatkan obat antiepilepsi, paling sering
digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam uji coba pada pasien tua
dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini menunjukkan toleransi yang lebih
baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari kejang dengan interval yang
lebih panjang dari karbamazepin. Meskipun banyak dari antikomvulsan baru,
misalnya topiramate, dan levetiracetam, telah diteliti sebagai agen tambahan untuk
terapi kejang pasial refrakter, dalam praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi.
Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk
semua obat antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi,
terutama pada pasien stroke pada usia lanjut.
IX. Prognosis
Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas. Kejang onset cepat
tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi atau defisit neurologis yang
memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dalam Skala Stroke
Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa kejang adalah manifestasi
penumbra iskemik yang lebih besar.
Sebaliknya dalam studi lainnya dinyatakan bahwa pasien yang mengalami
awal kejang dalam waktu 48jam dari serangan stroke atau transient ischemic
attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit yang lebih tinggi
(37,9%) daripada mereka yang tidak mengalami kejang (14,4%).
Pada studi populasi di Islandia, epilepsi sering tejadi pada pasien dengan
residua neurologis berat. Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri.
Prognosis jangka panjang tergantung pada perkembangan perdarahan
intraserebral.
DAFTAR PUSTAKA
3. Dewanto, George, dkk. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
EGC. Jakarta: 2009.
4. Myint PK, Staunfenberg EFA, Sabanathan K. Post stroke seizure and post stroke
epilepsy. 2006.