Disusun Oleh :
JANUARI, 2022
1
LAPORAN PENDAHULUAN SNH ( STROKE NON HEMOREGIK)
A. Definisi
Dalam dokumen An Updated Definition of Stroke for the 21st Century, The Stroke
Council of the American Heart Association/American Stroke Association (2013)
mendefinisikan infark sistem saraf pusat sebagai kematian sel otak, medula spinalis, atau
retina akibat iskemik, berdasarkan :
B. Etiologi
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke iskemik antaralain :
1. Thrombosis Cerebral
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusisehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkanoedema dan kongesti di
sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orangtua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan
darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam setelah thrombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
menyebabkan thrombosis otak :
2
a) Atherosklerosis
b) Hypercoagulasi pada polysitemia
c) Arteritis ( radang pada arteri )
2. Eroboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak
oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal darithrombus di
jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung
cepat dan gejala timbul kurang dari 10 – 30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat
menimbulkan emboli :
1. Kehilangan Motorik.
2. Aphasia
3. Disatria
4. Apraksia
5. Disfagia
6. Horner’s syndrome
3
7. Unilateral neglected
8. Defisit sensori
9. Perubahan perilaku
10. Inkontinensia
D. Patofisiologi
Patofisiologi stoke iskemik merupakan suatu proses yang kompleks, melibatkan
mekanisme eksotoksisitas, jalur inflamasi, kerusakan oksidatif, ketidakseimbangan ion,
apoptosis, angiogenesis, dan neuroprotektif. Kaskade iskemik yang terjadi pada stroke akut
menghasilkan kematian sel neuron dan kerusakan fungsional yang permanen. Strategi terapi
stroke berkembang menjadi dua tujuan utama; mengembalikan aliran darah otak dan
meminimalisir efek iskemik yang menyebabkan kematian neuron.
Sistem saraf pusat memiliki kebutuhan energi yang sangat tinggi dan hanya dapat
dipenuhi oleh suplai substrat metabolik yang terus menerus dan tidak terputus. Pada keadaan
normal, energi tersebut hanya berasal dari metabolisme aerob glukosa. Otak tidak memiliki
persediaan energi untuk digunakan saat terjadi gangguan penghantaran substrat. Sehingga
tanpa suplai glukosa dan oksigen yang adekuat, fungsi neuron akan menurun dalam
beberapa detik. Untuk mempertahankan jaringan otak intak secara struktural dan untuk
membuatnya tetap berfungsi membutuhkan sejumlah energi yang berbeda. Kebutuhan aliran
darah minimal untuk memelihara struktur otak adalah sekitar 5-8 ml/100 g/menit (pada jam
pertama iskemik). Sementara, kebutuhan aliran darah minimal untuk berlanjutnya fungsi
adalah 20 ml/100 g/menit. Karena itu, dapat terlihat adanya defisit fungsional tanpa
terjadinya kematian jaringan (infark).
Terdapat dua mekanisme patofisiologi pada iskemik otak yaitu hilang atau
berkurangnya suplai oksigen dan glukosa yang terjadi sekunder akibat oklusi vaskuler, serta
perubahan metabolisme seluler akibat gangguan proses produksi energi. Oklusi
menyebabkan gangguan hemodinamik aliran darah otak yang secara bertahap dikenal
beberapa critical level berdasarkan beratnya oklusi, yaitu:
4
1. Tingkat kritikal pertama Apabila aliran derah otak/CBF (cerebral blood flow) menurun
hingga 70-80% (kurang dari 50-55 ml/100 gr/menit), respon pertama otak adalah
terjadinya gangguan sintesa protein karena adanya disagregasi ribosom.
2. Tingkat kritikal kedua Apabila CBF berkurang hingga 50% (hingga 35 ml/100 gr/menit),
akan terjadi aktivasi glikolisis anaerob dan peningkatan konsentrasi laktat yang
selanjutnya berkembang menjadi asidosis laktat dan edema sitotoksik 13
3. Tingkat kritikal ketiga Terjadi bila CBF berkurang hingga 30% (hingga 20 ml/100
gr/menit). Pada keadaan ini akan terjadi berkurangnya produksi adenosine triphosphate
(ATP), defisit energi, gangguan transport aktif ion, instabilitas membran sel, serta
dilepaskannya neurotransmiter eksitatorik yang berlebihan.
Pada saat CBF hanya mencapai 20% dari nilai normal (10-15 ml/100 gr/menit),
neuron-neuron otak kehilangan gradien ion dan selanjutnya terjadi depolarisasi anoksik dari
membran. Jika jaringan otak mendapat aliran darah 13 kurang dari 10 ml/100 gr/menit akan
terjadi kerusakan neuron yang ireversibel secara cepat dalam waktu 6-8 menit. Daerah ini
disebut inti infark (ischemic core).
5
E. Pathway
6
7
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab strokeekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupaistroke, dan menentukan
beratnya defisit neurologi yang dialami.Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan
kepala dan leheruntuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings.
Pemeriksaanterhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan
pemeriksaanfundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik
ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis).Pasien
dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya
sendiri.
2. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalastroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalaseperti stroke, dan
menyediakan informasi neurologi untuk mengetahuikeberhasilan terapi. Komponen
penting dalam pemeriksaan neurologimencakup pemeriksaan status mental dan tingkat
kesadaran, pemeriksaannervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait,
danrefleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harusdiperiksa dan
tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahanotot wajah pada stroke
harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy
biasanya ditemukan pada pasien yang tidak dapatmengererutkan dahi.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajarandan mungkin pula
menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,trombositosis, trombositopenia,
dan leukemia). Pemeriksaan ini pundapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang
sedang diderita saat iniseperti anemia.
8
b) Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainanyang memiliki
gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) ataudapat pula menunjukka
penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,gangguan ginjal).
c) Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinankoagulopati pada pasien.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jikadigunakan terapi trombolitik dan
antikoagulan.
d) Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antarastroke dengan
penyakit jantung koroner. Penelitian lain jugamengindikasikan adanya hubungan
anatara peningkatan enzim jantungdengan hasil yang buruk dari stroke.
4. Pemeriksaan Radiologi
a) CT Scan Kepala Non Kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan strokehemoragik dan stroke
iskemik secara tepat kerena pasien strokeiskemik memerlukan pemberian trombolitik
sesegera mungkin.Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukandistribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinanadanya
kelainan lain yang gejalanya mirip dengan stroke(neoplasma, hematoma, abses).
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-
12 jam setelahstroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakanterjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerahhipodense
yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulangmengenai waktu terjadinya
stroke. Tanda lain terjadinya strokeiskemik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusiMCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-
whitemater.
b) CT Perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untukmengidentifikasi
daerah awal terjadinya iskemik. Denganmelanjutkan pemeriksaan scan setelah
kontras, perfusi dari regionotak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan
terjadinyaiskemik di daerah tersebut.
c) CT angiografi (CTA)
9
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan denganCT angiografi (CTA).
Pemeriksaan ini dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini
dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi
spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi
memberikan gambaran hipodense.
5. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusilebih awal pada
stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaanMRI lainnya memerlukan
biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaanyang agak panjang. Protokol MRI
memiliki banyak kegunaan untuk padastroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat
dikombinasikan dengan protokollain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan
perfussion-weightedimaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat
mendeteksistroke iskemik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripadaCT
scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik padadaerah kecil. PWI
dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengancara yang serupa dengan CT
perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapagambar dinilai dari waktu ke waktu serta
dibandingkan.
G. Komplikasi
10
Komplikasi stroke menurut Satyanegara (1998) dalam Ariani (2012) adalah sebagai
berikut.
Menurut Smeltzer (2001) dalam Ariani (2012), komplikasi yang terjadi pada pasien
stroke yaitu sebagai berikut.
11
i. Gangguan sensorik
j. Tekanan darah tidak stabil
H. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Trombolitik
Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan
mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa
fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih
dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis
tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
2. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu
fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik
apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang
memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotis dan
infark serebral akibat kardioemboli.
3. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan
aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah.
Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian
eritrosit akan mengurangi viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,
maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.
12
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau
mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2.
Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai
bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Dosis
lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus,
kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam
sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam
salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu
paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic
acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat
yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan:
nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.
5. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien
semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka
pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.
6. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang
mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau
yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang sedang hingga berat. Karotis
Endarterektomi adalah prosedur bedah untuk membersihkan plak dan membuka arteri
13
karotis yang menyempit di leher. Endarterektomi dan aspirin lebih baik digunakan
daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi tidak dapat
digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi karotis lengkap. Angka
mortalitas akibat prosedur karotis endarektomi berkisar 1-5% (Simon, Harvey, Stroke-
Surgery).
7. Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta
pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri
masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman
dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi
restenosis lebih besar. Carotid angioplasty dan stenting (CAS) digunakan sebagai
alternative dari carotid endarterectoomi untuk beberapa pasien. CAS berdasarkan pada
prinsip yang sama seperti angioplasty untuk penyakit jantung.
1) Sebuah kateter tube yang sangat kecil di insersikan ke dalam arteri di lipatan paha.
2) Melalui system sirkulasi sampai mencapai area yang tersumbat di arteri karotis.
3) Dapat juga mengahancurkan bekuan dengan mengembangkan balon kecil didalam
dindng pembuluh darah (angioplasty).
4) Setelah menggembungkan balon sementara waktu, dokter biasanya meninggalkan
kawat berbentuk sirkular(stent) ke dalam pembuluh darah untuk menjaga agar
pembuluh darah tetap terbuka. (Simon, Harvey. Stroke – Surgery)
I. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1) Airway
2) Breathing
14
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang
sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi,
bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa
pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
b. Pengkajian Sekunder
Data obyektif:
c) Gangguan penglihatan
2) Sirkulasi
Data obyektif:
a) Hipertensi arterial
15
3) Integritas ego
Data obyektif:
a) Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan , kegembiraan.
4) Eliminasi
5) Makan/ minum
Data obyektif:
6) Sensori Neural
Data Subyektif:
b) Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
d) Penglihatan berkurang.
16
e) Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada
muka ipsilateral (sisi yang sama).
Data obyektif:
g) Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi
lateral.
7) Nyeri / kenyamanan
Data obyektif:Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial.
8) Respirasi
9) Keamanan
17
Data obyektif:
c) Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d terputusnya aliran darah : penyakit oklusi,
perdarahan, spasme pembuluh darah serebral, edema serebral.
c. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat pernapasan.
3. Intervensi Keperawatan
18
Tekanan systole dan keluarga
diastole dalam rentang
yang diharapkan 2. Set alarm
Tidak ada ortostatik 3. Monitor tekanan perfusi
hipertensi serebral
Tidak ada tanda-tanda
4. Catat respon pasien
peningkatan tekanan
terhadap stimuli
intrakranial (tidak lebih
dari 15 mmHg) 5. Monitor tekanan
Mendemonstrasikan intrakranial pasien dan
kemampuan kognitif yang respon neurology
ditandai dengan: terhadap aktivitas
Berkomunikasi dengan 6. Monitor jumlah drainage
jelas dan sesuai dengan cairan serebrospinal
kemampuan
Menunjukkan perhatian, 7. Monitor intake dan
konsentrasi dan orientasi output
Memproses informasi cairan
Membuat keputusan
dengan benar 8. Restrain pasien jika perlu
Menunjukkan fungsi sensori 9. Monitor suhu dan angka
motori WBC
cranial yang utuh : tingkat
kesadaran 10. Kolaborasi pemberian
antibiotik
mambaik, tidak ada gerakan
gerakan involunter 11. Posisikan pasien pada
posisi semifowler
12. Minimalkan stimuli dari
lingkungan
Peripheral Sensation
Management (Manajemen
sensasi perifer)
terhadap
panas/dingin/tajam/tumpu
l
19
7. Kolaborasi pemberian
analgetik
8. Monitor adanya
tromboplebitis
9. Diskusikan mengenai
penyebab perubahan
sensasi
Airway Management
Faktor-faktor yang
1. Buka jalan nafas,
berhubungan: guanakan teknik chin lift
atau jaw thrust bila perlu
- Lingkungan :
2. Posisikan pasien untuk
merokok, menghirup
memaksimalkan ventilasi
asap rokok, perokok
3. Identifikasi pasien
pasif-POK, infeksi
perlunya pemasangan alat
- Fisiologis : disfungsi
jalan nafas buatan
neuromuskular,
20
hiperplasia dinding 4. Pasang mayo bila perlu
bronkus, alergi jalan 5. Lakukan fisioterapi dada
nafas, asma. jika perlu
- Obstruksi jalan 6. Keluarkan sekret dengan
nafas : spasme jalan
nafas, sekresi
tertahan, banyaknya
mukus, adanya jalan
nafas buatan, sekresi
bronkus, adanya
eksudat di alveolus,
adanya benda asing
di jalan nafas.
Gangguan mobilitas fisik NOC : NIC :
b/d kerusakan
neuromuskuler Joint Movement : Active Exercise therapy :
21
jalan, langkahsempit,
kaki diseret,goyangan
yang berlebihanpada
posisi lateral)
- Penurunan waktu
reaksi
- Bergerak
menyebabkannafas
menjadi pendek
- Usaha yang kuat
untukperubahan
gerak(peningkatan
perhatian
untukaktivitas lain,
mengontrolperilaku,
fokus dalam
anggapan
ketidakmampuanakti
vitas)
- Pergerakan yang
lambat
- Bergerak
menyebabkan tremor
− Pengobatan
− Terapi
pembatasangerak
− Kurang
pengetahuantentang
kegunaanpergerakan
fisik
− Indeks massa
tubuhdiatas 75 tahun
percentilsesuai
dengan usia
− Kerusakan
persepsisensori
− Tidak nyaman, nyeri
− Kerusakanmuskulosk
eletal
danneuromuskuler
− Intoleransiaktivitas/
penurunankekuatan
dan stamina
− Depresi mood atau
cemas
− Kerusakan kognitif
− Penurunan
kekuatanotot, kontrol
dan atau masa
− Keengganan
untukmemulai gerak
22
− Gaya hidup
yangmenetap, tidak
digunakan,deconditio
ning
− Malnutrisi selektif
atauumum
DAFTAR PUSTAKA
Harsono. 2000. Buku Ajar : Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Hudak C.M.,Gallo B.M. 1997. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC
Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta : Salemba Medika
Nugroho, W D. (2015). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Rawat Inap Ulang
Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif di RSUD DR. Moewardi. Jurnal Stikes Kusuma
Husada Surakarta
Nurarif, A H dan Hardhi K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing
Nurjannah I dan Roxana D T. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier.
Nurlaela, ES. (2017). Upaya Penatalaksanaan Pola Napas Tidak Efektif Pada Pasien Congestive
Heart Failure. Jurnal. Surakarta: UMS.
Pamungkas, P N. (2015). Manajemen Terapi Oksigen Oleh Perawat di Ruang Instalasi Gawat
Darurat RSUD Karanganyar. Jurnal Keperawatan, hlm.3
Suratinoyo, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping pada Pasien
Gagal Jantung Kongestif di Ruangan CVBC (Cardio Vaskuler Brain Centre) Lantai III di
RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado Ejournal Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 1
23