Anda di halaman 1dari 33

STROKE HEMORAGIK

Yuliana Putri Lestari, Irmayani Aboe Kasim


A. PENDAHULUAN

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,

lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan

disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke

sekunder karena trauma maupun infeksi.

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat

disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan

oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai

oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya

tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan

aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau

tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu

daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat

berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.1

Stroke hemoragik ditandai pecahnya satu atau lebih pembuluh darah

otak. Pecahnya pembuluh darah dapat disebabkan oleh faktor traumatik dan

faktor non traumatik. Faktor traumatik terjadi akibat benturan hebat kepala

pada benda padat, umumnya akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja

dan pukulan hebat benda keras langsung pada kepala. Faktor non traumatik

pada intracranial hemoragik adalah hipertensi, komplikasi terapi rutin

antikoagulan, defisiensi faktor pembekuan darah, pecahnya aneurisma arteri

cerebri pada AVM (arteriovenous malformation), pecahnya pembuluh darah


spontan pada tumor otak, cerebral amyloid angiopathy dan vasculopathies

(vaskulitis pada otak). Gejala pada stroke hemoragik umumnya nyeri kepala

hebat, mual, muntah, kejang, defisit neurologis dan penurunan kesadaran.2

B. EPIDEMIOLOGI

Negara Amerika diperkirakan pada setiap tahunnya kejadian stroke

masih sekitar 500.000 pasien stroke baru dan 150.000 pasien meninggal

dengan stroke. Di negara maju insiden stroke hemoragik antara 15%-30%

dan stroke non hemoragik antara 70%-85%, tetapi untuk negaranegara

berkembang seperti Asia kejadian stroke hemoragik sekitar 30% dan stroke

non hemoragik 70%.

Di negara Asia khususnya Indonesia diperkirakan 500 ribu orang

mengalami stroke untuk setiap tahunnya. Dari jumlah kejadian tersebut,

didapatkan sekitar 2,5% meninggal dunia dan sisanya mengalami cacat berat

dan ringan. Stroke merupakan penyebab kecacatan yang serius dan menetap

nomor satu di seluruh dunia. Di Indonesia masalah stroke semakin penting

karena angka kejadian stroke di Indonesia merupakan terbanyak di negara

Asia. Berdasarkan dari data Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), masalah

stroke semakin penting dan mendesak karena jumlah kejadian stroke di

Indonesia kini mengalami kenaikan angka kejadiannya dan menjadi negara

terbanyak di Asia. Kejadaian stroke pada usia diatas 60 tahun menduduki

urutan kedua dan usia 15-59 tahun menduduki urutan kelima.3


C. ANATOMI

Letak pendarahan stroke hemoragik. Pendarahan stroke hemoragik

terletak pada beberapa bagian yaitu pada hemisfer serebri, ganglion basalis,

batang otak, dan serebelum4.

Gambar 1. Lokasi tersering terjadinya perdarahan


intracranial. (A) Basal ganglia, (B) dan (C) thalamus, (D) Pons,
(E) Cerebelum.4

Gambar 2. Srikulus Willisi5


1. Hemisfer serebri

Hemisfer serebri dibagi dalam dua belahan, yaitu hemisfer serebri

sinistra dan hemisfer serebri dekstra. Hemisfer serebri kiri mengendalikan

kemampuan memahami dan mengendalikan bahasa serta berkaitan dengan

berpikir “matematis” atau “ logis”, sedangkan hemisfer serebri dekstra

berkaitan dengan keterampilan, perasaan, dan kemampuan seni.

2. Ganglion Basalis

Funsional peranan umum ganglion basalis adalah untuk bekerja

sebagai stasiun-stasiun pemrosesan yang menghubungkan korteks

serebrum dengan nukleu-nukleus thalamus tertentu dan akhirnya

berproyeksi ke korteks serebrum. Kerusakan pada ganglion basalis akan

mengakibatkan penderita mengalami kerusakan untuk memulai gerak yang

diingikan.

3. Batang Otak

Batang otak adalah bagian otak yang masih tersisa setelah hemisfer

serebri dan sereblu diangkat. Medulla oblongata,pons, dan otak tengah

merupakan bagian bawah atau merupakan bagian intratentorium batang

otak. Kerusakan pada batang, otak akan megakibatkan gangguan berupa

nyeri, suhu, rasa kecap, pendengaran, rasa raba diskriminatif dan apresiasi

bentuk, berat dan strektur.

4. Serebelum

Serebelum dibagi dalam tiga bagian, yaitu archi serebelum

berfungsi untuk mempertahankan agar seseorang berorientasi terhadap


ruangan. Kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan ataxia tubuh,

limbung, dan tehuyung-huyung. Paleo serebelum, mengendalikan otot-otot

antigravitas dari tubuh. Apabila otot ini mengalami kerusakan akan

menyebabkan peningkatan reflex regangan pada otot-otot penyengkong.

Neoserebelum, berfungsi sebagai pengerem pada gerakan di bawah

kemauan, terutama yang memerlukan pengawasan dan penghentian, serta

gerakan halus dari tangan. Kerusakan pada neoserebelum untuk

melakukan gerakan mengubah-ngubah yang cepat4.

D. ETIOLOGI

Ada banyak faktor yang berperan dalam menentukan seseorang

terkena stroke atau tidak. Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut.

1. Usia

Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.

Sekitar 30% dari strke terjadi sebelum usia 65 tahun, 70% terjadi pada

mereka yang 65 tahun, 70 % terjadi pada mereka yang 65 tahun ke atas.

Resiko stroke adalah dua kali ganda untuk setiap 10 tahun di atas. Resiko

stroke adalah dua kali ganda untuk 10 tahun di atas 55 tahun.4

2. Hipertensi

Hipertensi menyebabkan 2/3 kasus pendaran intracerebral. Area

yang paling sering terkena adalah thalamus,ganglia basalis, pons,

serebellum. Area-area ini adalah area yang mendapatkan vaskularisasi dari

r. perforantes MCA atau arteri basilaris. Sebagai respon terhadap tekanan

darah yang tinggi, arteri-arteri kecil ini akan mengalami hyperplasia


tunuka intima, hialinisasi tunika intima, dan degenerasi tunika media, yang

meningkatan risiko nekrosis fokal pada dinding vaskulerdan akhirnya

rupture. Peneliti lain mengusulkan bahwa stress hemodinamik pada arteri

akan mengakibatkan terbentuknya mikro aneurisma, yang disebut

Charcort- Bouchard aneurisma. Mikro aneurisma inilah yang dianggap

menjadi penyebab pendarahan intracerebral lobar pada pasien dengan

hipertensi tanpa kelainan vaskuler.4

3. Riwayat stroke sebelumnya

4. Alcohol

5. Narkoba

Penggunaan kokain dan phenylcyclidine terkait dengan stroke

hemoragik, meskipun keduanya memiliki sifat anti koanggualan.4

6. Koagulopati dan penggunaan anti koanggulan/trombolitik

Koagulopati pada pasien dengan gagal hati ataupun karena genetic

dapat menyebabkan terjadinya pendarahan intracerebral. Pasien dengan

status slow metabolizer terhadap warfarin berisiko menderita pendrahan

intracerebran jika diberikan terapi warfarin. Status ini disebabkan oleh

polimorfisme pada gen CYP2C9.4,6

7. Cerebral amyloidosis

Cerebral amyloidosis sering mengenai pasien manula. CA

bertanggung jawab atas 10% kejadian pendarahan inracerebral . CA jarang

mengenai pasien berusia <60 tahun. Gejala CA ditandai dengan

penumpukan amiloid beta-protein pada vaskuler ganglia basalis, subsantia


alba dan fosa posterior. Tidak sepenuhnya diketahui mekanisme yang

dicurigai adalah mutasi pada protein prekusor amiloid tertentu dan pada

gen apoliprotein E. vascular yang terkene akan mengalami fibrosis,

nekrosis dan pembentukan aneurisma, yang akan rupture dan

menyebabakan pendarahan intracerebral. Pada umumnya, pendarahan

intracerebral akan muncl di korteks subkorteks, terutama di lobus temporal

atau oksipital.4,6

8. Malformasi arteriolvena dan fistula arteriovena

Beberapa kelainan genetika memiliki manifesrasi berupa kelainan

vaskuler misalnya malformasi (arteriorvenous malformation, AVM).

Malformasi vascular otak dapat dibagi menjadi empat bagian besar yaitu

malfomasi vena, capillary talangiaectasis, malformasi arteriovenosus, dan

cavernosa. Dua kelompok terakhir berpotensi menyebabkan stroke

hemoragik. Prevalensi AVM tidak dapat diketahui karena besarnya

proporsi pasien asimtomatik. Berdasarkan hasil otopsi menunjukan bahwa

hanya sekitar 12% AVM akan menimbulkan gejala selama hidup dengan

manifestasi utama adalah pendarahan (30-82%). Perdarahan yang terjadi

mayoritas adalah SAH (30%), disusul oleh inracerebral hemoragik (23%),

inravesikular hemoragik 16%, dan campuran 30%. Risiko perdarahan

tahunan sebuah AVM yaitu sekitar 2-4%.4,6

9. Cavernosa

Cavernosa adalah kelainan vascular otak yang ditandai dengan

sinusoid yang dilapisi oleh endotel yang tidak memiliki parenkim otak
diantara sinusoid tersebut. Kelainan yang menyumbang 815% dari seluruh

kelainan intracranial ini dapat muncul akibat sporadic, herediter, atau

setelah terapi radiasi. Cavernoma tidak menempakkan predileksi jenis

kelainan dan tidak pernah tumbuh aktif. Sekitar 255 cavernosa ditemukan

pada populasi pediatric. Cavernosa multiple muncul pada 90% kasus

herediter dan 25% kasus sporadic sehingga jika sebuah kavernosa

terdeteksi terdeteksi dalam CTA maka harus dicari cavernosa lainnya.4,6

10. Vaskulitis

Vaskulitis otak merupakan suatu kelompok penyakit heterogen

dengan berbagai etiologi yang semuanya ditandai dengan inflamasi dengan

atau tanpa nekrosis dinding vaskuler. Informasi klinis yang diperlukan

dalam menentukan jenis vaskulitis sangat ekstensif. Beberapa diantaranya

yaitu umur, jenis kelamin, etnistas, dan keterbatasan organ lainseperti kulit

atau paru, penggunaan obat, dan hasil labolatorium.4

11. Tumor otak

Tumor otak primer maupun sekunder menyebabkan 1-14% stroke

hemoragik. Pendarahan dapat berada intratumoral maupu meluas ke

parenkim otak sekitar.4,6

12. Aneurisma

Peluang menemukan pada orang muda tanpa faktor risiko lain

adalah sebesar 2,3. Aneurisma bertanggung jawab terhadap kejadian SAH.

Namun penelitian lain mencatat 34% rupture aneurisma berkaitan dengan

pendarahan subacranoid dan sekitar 1,6% rupture ini terkait dengan


pendaran intracerebral tanpa pendarahan subacranoid. Kejadian yang

terakhir ini mungkin disebkan oleh aneurisma yang terselimuti oleh atau

menjorok ke parenkim otak. Sebagian besar aneurisma berbentk sakular.

Bentuk lainnya yaitu fusiform. Sekitar 85% aneurisma sakular terdapat

pada sirkulasi anterior. Sekitar 30-35% aneurisma muncul pada AcomA.

Sebenarnya beberapa aneurismaini benar-benar melibatkan AcomA,

malainkan mereka muncul dari ACA pada peralihan segmen A1A2.4,6

13. Thrombosis vena intracerebral

Thrombosis vena intracerebral atau sinus dural diperkirakan terjadi

3-4/1000000 orang, dengan 75% kasus terjadi pada wanita. Sekitar 39%

dari seluruh thrombosis ini berakibat pada perdarahan. Hal ini patut

dipertimbngkan pada pasien ibu hamil/ibu. Meskipun dapat terjadi kapan

saja dalam masa kehamilan/nifas, insidens paling tinggi terjadi pada

minggu kedua masa nifas.4

14. Hipertensi dalam Kehamilan

Meskipun sangat jarang, terdapat laporan kasus bahwa hipertensi

dalam kehamilan dapat menyebabkan pendarahan aubacranoid. Hal ini

mungkin disebabkan oleh karena tekanan darah mendadak selama

kehamilan/persalinan yang disertai dis-autoregulasi vascular otak sehingga

menyebabkan rupture arteri pial yang relative pial yang relative halus.

Pendarahan intracerebral pada pasien hamil dengan preklamsia pun pernah

dilaporkan.4
E. KLASIFIKASI

Klasifikasi stroke hemoragik :

I. Perdarahan Intracerebral

Pendarahan intrcerebral adalah disfungsi neurologi fokal yang akut

yang disebabkan oleh pendarahan primer substansi otak yang terjadi secara

spontan, bukan karena trauma kapitis disebabkan oleh karena pecahnya

pembuluh darah arteri,vena dan kapiler4.

Pendarahan interacerebral merupakan 10% dari semua jenis stroke,

tetapi persentase kematian lebih tinggi disebabkan oleh stroke. Sekitar 60%

terjadi di putamen dan kapsula interna, dan masing-masing10% pada

substansia alba, batang otak, serebelum dan talamus.Padausia 60 tahun, PIS

lebih sering terjadi dibandingkan subarachnoid hemorrhage (PSA).

Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi

antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alkohol,

neoplasma, atau angiopati amiloid.Perdarahan intraserebral paling sering

terjadi ketika tekanan darah tinggi kronis sehingga melemahkan arteri kecil

dan menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau amfetamin dapat

menyebabkan tekanan darah tinggi dan perdarahan sementara. Pada

beberapa orangtua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid

terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid)

melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan. Umumnya tidak

banyak penyebabnya, termasuk ketidak normalan pembuluh darah yang ada

ketika lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah(vaskulitis), gangguan


perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi.

Gangguan perdarahan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko

kematian dari perdarahan intraserebral.4,7

Nontraumatik perdarahan intracerebral paling sering terjadi karena

hipertensi ke dinding pembuluh darah(misalnya hipertensi, eklamsia,

penyalahgunaan narkoba), tetapi juga karena autoregulatory disfungsi

dengan aliran darah otak yang berlebihan (misalnya cidera reoerfusi,

transformasi hemoragik, paparan dingin), pecahnya aneurism atau

arteriovenousmalformasition, arteriopati (misalnya amiloid

serebralangiopaty), hemoragik nekrosis (tumor, infeksi) atau vena obstruksi

outflow (thrombosis vena cerebri).4

II. Perdarahan Subaracnoid

Pendarahan Subaracnoid adalah keadaan akut yaitu terdapatnya

/masuknya darah kedalam ruang Subaracnoid atau pendarahan yang terjadi

di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di

selaput otak atau bagian bawah otak. Perdarahan Subaracnoid menduduki

sekitar 7-15% dari seluruh kasus gangguan peredaran darah otak.

Pendarahan Subaracnoid paling banyak disebabkan oleh pecahnya

aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah

malformasi arterivena atau tumor.4


Gambar 3. Terjadinya pendarahan intracerebral dan pendarahan subaracnoid4

F. PATOFISIOLOGI

Kedua jenis stroke hemoragik cukup berbeda dalam hal patofisiologi.


Perdarahn intracranial meliputi pendarahan di parenkim otak dan perdarahan
subaracnoid. Insidens perdarahan intracranial kurang lebih sebesar 20%
adalah stroke hemoragik dan masing-masing 10% untuk pendarahan
subaracnoid dan pendarahan intracerebral.4
Pada ICH, , perdarahan terjadi di dalam parenkim otak. Hal ini

diperkirakan terjadi akibat bocornya darah dari pembulu yang rusak akibat

hipertensi kronik. Tempat predileksi antara lain thalamus, putamen,

serebelum, dan batang otak selain hipoperfusi, parenkim juga terkena

kerusakan akibat tekanan yang disebabkan oleh efek massa hematoma, atau

kanaikan intracranial secarah keseluruhan. Pendaran intracerebral memiliki

tiga fase. Pendarahan awal, ekspansi hematoma, dan edema peri hematom

pendarahan awal disebabkan oleh faktor-faktor resiko di atas. Prognosi

sangat dipengaruhi oleh kedua fase beriutnya. Ekspansi hematoma, yang

terjadi dalam beberapa jam setelah fase pendarahan awal terjadi, akan

meningkatkan TIK yang pada gilirannya akan merusak blood brain barrier.

Peningkatan TIK berpotensi menyebabkan herniasi. Kerusakan BBB ini


menyebabkan fase berikutnya yaitu pembentukkan edema peri-hematom.

Fase terakhir ini dapat terjadi dalam beberapa hari setelah fase pertama

terjadi dan merupakan penyebab utama perburukan neurologis, akibat

penekanan bagian otak normal.

Hipertensi kronik dapat menyebabkan pembuluh arteriola yang

berdiameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada

dinding pembuluh darah tersebut yaitu berupa lipohialinosis, nekrosis

fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchaed. Pada kebanyakan pasien

peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating

arteri yang kecil membuat efek penekanan pada arteriola dan pembuluh

kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini

menyebabkan volume perdarahan semakin besar.4

Gambar 4. Patogenesis perdarahan intraserebral.8


Pendarahan subaracnoid terjadi akibat pembuluh darah disekitar

permukaan otak pecah sehingga terjadi karena ekstravasasi darah ke ruang

subaracnoid. Pendarahan subaracnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya

aneurisma sakular atau pendarahan dari arterivenosus malformation.

Pendarahan subaracnoid menyebabkan banyak hal. Selain peningkatan TIK,

Pendarahan subaracnoid menyebabkan vasokonstrisi akut, agregasi platelet

dan kerusakan mikrovaskular. Hal ini mengakibatkan penurunan bermakna

perfusi otak dan iskemia.4

Gambar 5. Patofisiologi terjadinya perdarahan subarakhnoid8

G. MANIFESTASI KLINIS

1. Manifestasi Klinik Pendarahan Intracerebral

Meskipun pada beberapa individu, ICH terjadi saat beraktivitas atau


tekanan emosional tiba-tiba, kebanyakan ICH terjadi selama aktivitas rutin.
Gejala neurologis biasanya memperparah selama beberapa menit atau
beberapa jam. Tempat yang paling umum dari ICH adalah putamen, dan
presentasi klinis bervariasi menurut ukuran dan lokasi ICH. Gejala ICH yang
umum seperti sakit kepala, mual, dan muntah.9
Defisit neurologi fokal yang terjadi dapat diperkirakan dari daerah otak
yang terserang, yaitu seperti berikut4:
a. Hemisfer Hemiparesis kiri, hipertesia kiri, penurunan
kanan penglihatan pada mata kiri, afasia
b. Hemisfer Hemiparesis kanan, hipertesia kanan, penurunan
kiri penglihatan pada mata kanan
c. Serebellum Penurunan kedaran drastis, apneu, dan kematian,
ataksia ipsilateral, merot.
d. Putamen Hemiparesis kontralateral, hipesthesia kontralateral,
heminopsia homonym, afasia, apraksia.
e. Thalamus Hemiparesis kontralateral, hipestesia kontralateral,
hemianopsia homonim, afasia, miosis, kebingungan
f. Nucleus Hemiparesis kontralateral, kebingungan
kaudatus
g. Batang Tetraparesis, merot, penurunan kesadaran, miosis,
otak instabilitas autonomic, ocular bobbing.

2. Manifestasi Klinis Pendarahan Subaracnoid

Kebanyakan aneurisma tidak memberikan gejala sama sekali

hingga pada saat aneurisma itu rupture. Nyeri kepala yang tejadi

mendadak merupakan tanda khas untuk pendarahan subaraknoid. Pada

sekitar 30% pasien sakit kepala ini terjadi ipsilateral aneurisma yang

rupture. Pasien yang datang dengan sakit kepala khas seperti ini meskipun

tidak memiliki tanda deficit neurologis lain, namun memiliki

kemungkinan terkena pendarahan subarcnoid sebanyak 10-16%. Sekitar 5-

15% pasien ini salah diagnosis.


Nyeri kepala pada pendarahan subaracnoid dapat disertai atau tidak

disertai dengan gejala lain seperti kaku kuduk akibat iritasi meningen,

hilang kesadaran sesaat, mual, muuntah atau deficit neurologis fokal,.

Sebaliknya, jika pasien dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadar,

keluhan nyeri kepala mungkintidak trlaporkan. Sakit kepla pda beberapa

pasien muncul terlambat. Pada beberapa kasus, sakit kepala ini membaik

dengan pemberian obat anti nyeri. Satu dari lima pasien dengan

pendarahan intrcerebral melaporkan bahwa beberapa hari sebelumnya

terdapat nyeri kepala serupa dengan intesitas lebih rendah.

Kaku kuduk hanya muncul 3-12 jam setelah rupture dan mungkin

tidak muncul sama sekali pada pasien dengan koma dalam atau dengan

pendarahan subaracnoid kecil. Nyeri punggung/atau tungkai dapat muncul.

Gejala ini disebabkan oleh iritasi radiks nervus lumbal sacral oleh darah.

Pada beberapa pasien, gejala dan tanda klinis ringan tersebut dapat terjadi

beberapa hari setelah rupture sesungguhnya terjadi.

Pasien dengan pendarahan subaracnoid disertai paralisis nervus

okkulomatorius, nistagmus, dizziness, dan ataksia sangat digestif yang

diakibatkan oleh rupture aneurisma PcomA. Sementara itu, paraparesis

dan abulia terjadi pada rupture AcomP dan hemiparesis dan afasia

menandai rupture aneurisma MCA4.


H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Rekomendasi Pemeriksaan Penunjang yang Segera harus Dilakukan


Semua pasien dengan suspek stroke akut jarus dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti dibawah ini saat masuk ke unit gawat darurat yang
meliputi :
1. Elektrokardiogram (EKG)
2. Pencitraan otak : CT non kontras atau MRI (ESO, dengan perfusi dan
difusi
3. Pemeriksaan labiratorium darah antara lain, hematologi rutin, gula
darah sewaktu, fungsi ginjal (ereum, kreatinin). Activated Partial
Thrombin Time (APTT), Phrotrombin Time (PT), INR. Pemeriksaan
laboratorium di ruang gawat antara lain gula darah puasa dan 2 jam
setelah makan, profil lipid, C-Reactive Protein (CRP), laju endap darah,
dan pemeriksaan atas indikasi seperti : enzim jantung (troponin /
CKMB), serum elektrolit, analisis hepatik dan pemeriksaan elektrolit
Pemeriksaan tambahan yang disesuaikan dengan indikasi (sebagian
dapat dapat dilakukan diruang rawat) meliputi:
1. Duplex/ Doppler ultrasound ekstrakranial dan transkranial
2. MRA atau CTA
3. MR difusi dan perfusi atau C I perfusi
4. Ekokardiografi (transthoracic clan/ atau transoesophageat)
5. Foto rontgen dada
6. Saturasi oksigen dan analisis gas darah
7. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perdarahan subaraknoid dan CT
scan tidak ditemukan adanya perdarahan
8. EEG jika dicurigai adanya kejang
9. Skrining toksikologi (alkohol, kecanduan obat)
10. Pemeriksaan anti kardiolipin„ ANA jika dicurigai adanya lupus
b. Kriteria diagnostik pada pencitraan CT kepala pada stroke akut
a. infark: area hipodens fokal, pada kortkal, subkortikaii atau sustantia
alba atau grisea yang dalam, diikuti aoble: teritoral vaskular, atau
distribusi watershed, adanya kontras antara substansia alba dan grisea
yang k dan hilangnya sulkus atau pita insular
b. Perdarahan: adanya gambaran hiperdens pada sustansia alba atau
grisea, dengan atau tanpa terkenanya permukaan kortikal (40-90
Hounsfield Units.). Petekial adalah titik hiperdens yang terletak secara
acak, dan berbentuk irregular. Hematoma adalah gambaran hiperdens
yang solid dan homogen.
c. Gambaran hiperdens dari arteri intrakranial yang besar: memberi
kesan adanya material embolik vaskular.
d. Kalsifikasi: gambaran hiperdens dalam atau menempel pada dinding
pembuluh darah (>120 HU),
e. Insidentil: silent infarct, subdural, tumor, aneurisme besar, malformasi
arteriovena
c. Kriteria diagnostik infark pada MRI otak pada stroke akut
a. Akut : adanya sinyal yang rendah (hipointens) pada Ti, kadangkala
sulit dilihat pada fase ini, dan adanya sinyal tinggi (hiperintens) pada
densitas putaran clan/ atau T2 weighted dan densitas proton-weighted
images dimulai saat 8 jam setelah awitan, dan harus mengikuti
distribusi vaskular. Efek massa maksimal pada saat 24 jam, kadang
dimulai 2 jam setelah awitan. Tidak ada perubahan sinyal pada
parenkimal. Adanya penyangatan saat diberikan kontras pada daerah
hiperakut infark saat 48 jam
b. subakut (1minggu atau lebih) : adanya sinyal rendah pada T1, sinyal
tinggi pada T2 weighted yang mengikuti distribusi vaskular.
Revaskularisasi dan rusaknya sawar darah otak menyebabkan adanya
penyangatan pada parenkim otak dengan agen kontras
c. Infark lama (beberapa minggu sampai tahun); adanya sinyal rendah
pada T1, sinyal tinggi pada T2. Efek massa hilang sampai 1 bulan.
Hilangnya jaringan pada infark besar. Penyangatan parenkim hilang
setelah beberapa bulan9
d. Kriteria diagnostik perdarahan pada MRI otak pada stroke akut
Tabel 1. Kriteria diagnostic perdarahan pada MRI otak pada stroke akut9

Kategori Waktu T1 weighted T2 Weighted


Hiperakut Jam, terutama Hipointens Hiperintens
oksihemoglobin
disekitar edema
disekitarnya
Akut Hari, terutama Hipointens Hipointens,
deoksihemohlobin dikelilingu oleh
dengan edema batas hiperintens
disekitarnya
Subakut Minggu, terutama Hipointens Hipointens, subakut
methemoglobin dini dengan lebih
dminan
methemoglobin
intraselular.
Hiperintens, subakut
lanjut dengan lebih
dominan
methemoglobin
ekstraselular
Kronik Tahun, hemosiderin Hipointens Hipointens dan
batas hipointens
disekelilingi kavitas
cairan hiperintens

Gambar 6. CT-scan perdarahan intraparenkim lobus parieto-temporo-

oksipital kanan.2
Gambar 5. CT-scan kepala tanpa kontras serial menunjukkan ICH pada thalamus
kanan pada fase akut (A) dengan atenuasi 65 HU, 8 hari kemudian dengan dengan
atenuasi 45 HU (B), 13 hari kemudian (C) dan 5 bulan kemudian (D).4

Gambar 6. CT-scan tanpa kontras pada SAH.4

I. DIAGNOSIS BANDING

Adapun diagnosis banding pada stroke hemoragik adalah stroke iskemik.

Perbedaan klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2. Perbedaan Stroke8

Gejala Klinis PIS PSA Non Hemoragik


Defisit fokal Berat Ringan Berat ringan
Onset Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Muntah pada Sering sering Tidak, kecuali lesi
awalnya di batang otak
Hipertensi Hamper selalu Biasanya tidak Seringkali
Penurunan Ada Ada Tidak ada
kesadaran
Kaku kuduk Jarang Ada Tidak ada
Hemiparesis Sering dari awal Permulaan tidak Sering dari awal
ada
Gangguan bicara Bisa ada Jarang Sering
Likuor Berdarah Berdarah Jernih
Paresis /gangguan Tidak ada Bisa ada Tidak ada
N III

Kejang lebih sering ditemukan pada stroke iskemik dan terjadi pada 28%

stroke hemoragik. Pada perdarahan subarachnoid perdarahan mengiritasi

meningens. Hal ini menyebabkan gejala nyeri kepala hebat yang tiba-tiba dan

kaku kuduk. Sering juga dijumpai adanya hilangnya kesadaran sementara pada

saat perdarahan terjadi. Onset yang terjadi secara tiba-tiba ini yang

membedakan perdarahan subarachnoid dari nyeri kepala dan kaku kuduk dari

meningitis, yang terjadi dalam beberapa jam. Migren terkadang dapat

menyebabkan nyeri kepala hebat secara tiba-tiba tetapi tanpa kaku kuduk.

Perdarahan intraserebral pada bagian kapsula interna akan menyebaban

gangguan berat pada motorik, sensorik, dan gangguan penglihatan pada sisi

kontralateral tubuh (hemiplegia, hemianestesi, dan hemianopia homonim).

Pada pons, kehilangan fungsi motorik dan sensorik pada keempat ekstremitas,

berhubungan dengan gangguan fungsi batang otak. Perdarahan pada pons

merupakan perdarahan dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi.

Perdarahan pada sistem ventricular, baik berasal dari perdarahan subarachnoid


atau intraserebrl merupakan pertanda prognosis yang buruk. Apabila terjadi,

perdarahan ini sering menyebabkan kematian dalam waktu beberapa jam

setelah perdarahan. 8

J. PENATALAKSANAAN

Adapun penatalaksanaan Khusus stroke yaitu :


a. Terapi Umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan
keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan
sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180
mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai
20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv
0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi
kepala dinaikkan 30°, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian
manitol dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Penatalaksanaan umum
sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan
antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton;
komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan
antibiotik spektrum luas.4
b. Terapi khusus
1) Terapi pada perdarahan Intraserebri
a) Terapi Farmakologi
i. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau
trombositopenia berat sebaiknya mendapat terapi
penggantian factor koagulasi atau trombosit.
ii. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR
terkait obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan
walfarin, tetapi mendapat terapi untuk menggganti
vitaminK-dependent factor dan mengkoreksi INR, serta
mendapatvitaminK intravena. Konsentrat kompleks
protrombin tidak menunjukkan perbaikan keluaran
dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP). Namun,
pemberiankonsentrat kompleks protrombin dapat
mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat
dipertimbangkan sebagai alternative FFP.
iii.Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi
sebagai berikut:Vitamin K 10 mg IV diberikan pada
penderita dengan peningkatan INR dan diberikan dalam
waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek akan
timbul 6 jam kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit
untuk meminimalkan risiko anafilaksis, FFP 2-6 unit
diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor pembekuan
darah bila ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki
INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk mengganti pada
kehilangan factor koagulasi.
iv. Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor
pembekuan, dan walaupun INR menurun, pembekuan bias
jadi tidak membaik. Oleh karena itu, factor VIIa
rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai
agen tunggal untuk mengganti antikoagulan oral pada
perdarahan intracranial. Walaupun factor VII a rekombinan
dapat membatasi perluasan hematoma pada pasien ICH
tanpa koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan
meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak ada
keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi.
v. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien
perdarahan intracranial dengan riwayat penggunaan
antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap penelitian.
vi. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan
perdarahan intracranial, sebaiknya mendapat pneumatic
intermittent compression selain dengan stoking elastis.
vii. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau
UFH subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk
pencegahan tromboembolin vena pada pasien dengan
mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari
pascaawitan.
viii. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin
sulfat 10-50 mg IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita
dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat
untuk melihat tanda-tanda hipersensitif.
a) Terapi Pembedahan
a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial
1) Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis
herniasi transtentorial,atau dengan perdarahan
intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat
dipertimbangkan untuk penanganan dan Pemantauan
tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi
otak.
2) Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan
tingkat kesadaran.
b. Perdarahan Intraventikuler
Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant
tissue-type plasminogen activator (rTPA) untuk melisiskan
bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi
yang cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini
masih belum pasti dan dalam tahap penelitian.
c. Evakuasi hematom
1) Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan
intrakranial, kegunaan tindakan operasi masih belum
pasti.
2) Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami
perburukan neurologis, atau yang terdapat kompresi
batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi
ventirkel sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan
darah secepatnnya. Tatalaksana awal pada pasien tersebut
dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan
darah tidak direkomendasikan.
3) Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan
terdapat di 1 cm dari permukaan, evakuasi perdarahan
intrakranial supratentorial dengan kraniotomi standar
dapat dipertimbangkan.
4) Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal
menggunakan baik aspirasi streotaktik maupun
endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik
masih belum pasti dalam tahap penelitian.
5) Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan
pengangkatan segera dari perdarahan intrakranial
supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional
atau angka kematian, kraniotomi segera dapat
merugikan karena dapat meningkatkan faktor resiko
perdarahan berulang.
b) Pencegahan perdarahan intrakranial berulang
1. Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko
pasien telah disusun untuk mencegah perdarahan
berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain
lokasi lobus dari perdarahan awal, usia lanjut, dalam
pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4
apolipoprotein dan perdarahan mikro dalam jumlah besar
pada MRI.
2. Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak
ada kontra indikasi medis, tekanan darah sebaiknya
dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang
lokasiperdarahannyatipikal dari vaskulopati hipertensif.
3. Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari
tekanan darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90
mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit ginjal
kronik.
4. Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang
sebagai tatalaksana fibrilasi atrial nonvalvuler mungkin
direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar
spontan karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan
berulang. Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet
setelahperdarahanintrakranialnonlobardapat
dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat
indikasi pasti penggunaan terapi tersebut.
5. Pelanggaran konsusmsi alkoholberatsangat bermanfaat.
c) Rehabilitasi dan pemulihan
Mengingat potensi yang serius dari perdarahan
intrakranialberupa kecacatanyang berat,seriusdan kompleks,
semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara
multidisiplin. Jika memungkinkan, rehabilitasi dapat
dilakukansedinimungkindan berlanjut disarana
rehabilitasikomunitas,sebagai bagiandariprogram
terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit
dengan perawatan berbasis rumah sakit dengan perawatan
berbasis rumah (Home care) untuk meningkatkan
pemulihan4.
3) Terapi Pada perdarahan subaraknoid
a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt
& Hess (H&H) adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
2. Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan
30 dan nyaman, bila perlu berikan O2 2-3 L/menit.
3. Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam
penilaian tingkat kesadaran).
4. Pasanginfus diruang gawat darurat,usahakan euvolemia
dan monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan
neurologi yang timbul
b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,
perawatan harus lebih intensif
1. LakukanpenatalaksanaanABCsesuaidengan protokol
pasien diruang gawat darurat.
2. Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau
semiintensif Untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalan napas yang adekuat perlu dipertimbangkan
intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama
apabila didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi
intrakranial.
3. Hindaripemakaianobat-obatansedatifyang berlebihan
karena akan menyulitkan penialaian status neurologi.
c. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
1. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah
risiko perdarahan ulang. Hipertensi berkaitan dengan
terjadinyaperdarahanulang.Tekanan darah sistolik
sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka
pencegahan perdarahan ulang pada PSA.
2. Istirahat total di tempat tidur
3. Terapi anti fobrinolitik(epsilon-aminocaproicacid:
loading 1 g IV kemudian dilanjutkan 1 g setiap 6 jam
sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan 72
jam)untuk mencegahperdarahanulang
direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu.Terapi
antifobrinolitikdikontraindikasikanpadapasien dengan
koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke
iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam.
Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien
dengan risiko rendah terhadapa terjadinya
vasospasme atau pada pasien dengan penundaan
operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik
dikaitkan dengan tingginya angka kejadian iskemik
serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan pada
hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi
denganmenggunakan kombinasi antifibrinolitik
denganobat-obatanlain untuk mengurangi vasospasme
perlu dilakukan.
4. Pengikatan (ligasi) karotis tidakbermanfaat untuk
pencegahan perdarahan ulang.
5. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih
dalamujicoba.Penelitianlebihlanjut masih diperlukan.
d. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur
1. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat
direkomendasikanuntuk mengurangi perdarahan ulang
setelah ruptur aneurisma pada PSA.
2. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan
mengurangi risiko perdarahan ulang setelah PSA,
banyak penelitian yang meperlihatkan bahwa secara
keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi
yang ditunda dianjurkan pada pasien dengan derajat
yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak
rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang
segeraatau yangditunda direkomendasikan tergantung
pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat
spesialissangatdianjurkan.Penanganandanpengobatanpa
sien aneurismalebih awaldiajurkan untuk sebagian
besar kasus.
3. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler
berupa coilling and clipping ditentukan timbedah
sarafdan dokter endovaskuler.Tindakan endovaskuler
coiling lebih bermanfaat.
4. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai
risiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. Operasi
obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan
saja bila memungkinkan.
e. Penegahan dan tatalaksana vasospasme
1. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2
mg/jam IV pada hari ke 3 atau secara oral 60 mg setiap
6 jam setiap 21 hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti
meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh
vasospasme.
2. Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral
atau intravena tidak bermakna.
3. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan
penanganan aneurisma yang ruptur,dengan
mepertahankan volume darah sirkulasi yang normal
(euvolemia) dan menghindari terjadinya hipovolemia.
4. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda
vasospasme, terapi hiperdinamik yang dikenal dengan
triple H (Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution)
perlu dipertimbangkan dengan tujuan mepertahankan
tekanan perfusi serebral. Dengan demikian,angka
kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat
dikurangi.
5. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan
ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi
atau Clippingd. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan
dan antiinflamasi tidak tidak bermakna.
f. Terapi Tambahan
1. Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan
feses secara reguler.
2. Analgesik
1) Asetaminofen ½-1 gr/4-6 jam dengan dosis
maksimal 4gr/4-6 jam.
2) Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.
3) Tylanol dengan kodein
4) Hindari asetosal
3. Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :
1) Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam
2) Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau
morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6 jam
3) Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam
4) Propofol 3-1 mg/kg/jam.4,10

K. PROGNOSIS

Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke


hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana
mortalitas hanya sekitar 10-30%. Prognosis berhubungan dengan besarnya
hematoma. Kalkulasi volume hamatoma adalah berdasarkan rumus : 4/3Л
(A/2)(B/2)(C/2) atau yang lebih sederhana dengan rumus ABC/2 (cm3 ).
Buruk bila ukurannya volume > 60 cm3 dan GCS < 9 (91% meninggal dalam
30 hari), bila volume > 30 cm3 hanya 1/70 yang selamat pada 30 hari.
Adanya darah intraventrikuler memperburuk prognosis. Bila volume < 30
cm3 dan GCS 9 atau lebih tinggi keadaan lebih baik dan mortalitas pada 30
hari hanya 19%. Sampai 50% kasus, perdarahan akan meluas kedalam
ventrikel (intraventricular hemorrhage) dan dihubungkan dengan terjadinya
hidrosefalus obstruktif dan memperburuk prognosis. Informasi penting
tentang pronosis bergantung pada volume perdarahan, keadaan klinis, dan
pelebaran ventrikel. Indikator lain yang memperburuk prognosis adalah usia
> 79 tahun, suhu tubuh meningkat, ada hidrosefalus, pupil non reaktif, adanya
spot sign.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksaan. Yogyakarta : CDK.


2011. h 247-50
2. Mangastuti RS, Oetoro BJ, Sudadi. Penatalaksanaan Anestesi pada
Pasien Stroke. 2014, h 80-87.
3. Laily SR. Hubungan Karakteristik Penderita dan Hipertensi dengan
Kejadian Stroke Iskemik. 2017. H 48-57
4. Yueniwat Y. Penctraan pada Stroke. Malang: UB Pres. 2016, h 23-40.
5. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. New York: Thieme. 2004, h 21
6. Lyrawati D. Arteriogenesis dan Angiogenesis Pada Stroke Hemoragik
Mempertajam Konsep Untuk Memperoleh Manfaat Terbaik
Neovaskularisasi. 2008, h 1-9
7. Sinurat R. Neurogenesis pada Perdarahan Intraserebral Spontan.
Jakarta: Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia; 2012, h 182-187
8. An SJ, Kim TJ, Yoon BW. Epidemiologi, Risk Factors and Clinical
Features of Intraceerebral Hemorrhage. 2017. h 1-8
9. Perdossi. Guideline Stroke. 2011. h 79-83
10. Steiner T, Salman RA, Beer R, et all. European Stroke Organisation
(ESO) guidelines for thr management of spontaneous intracerebral
hemorrhage. 2014. h 1-16
11. Bisri DY, Bisri T. Pengelolaan Perioperatif Stroke Hemoragik. 2012. H
59-66
BAGIAN NEUROLOGI REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2018
UNIVERSITAS HALU OLEO

STROKE HEMORAGIK

PENYUSUN

Yuliana Putri Lestai, S.Ked

K1 A1 12 101

PEMBIMBING :

dr. Irmayani Aboe Kasim, M.Kes, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018

Anda mungkin juga menyukai