Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, kita banyak dikejutkan oleh terjadinya


bencana massal yang menyebabkan kematian banyak orang. Selain itu kasus
kejahatan yang memakan banyak korban jiwa juga cenderung tidak berkurang dari
waktu ke waktu. Pada kasus-kasus seperti ini tidak jarang kita jumpai korban jiwa
yang tidak dikenal sehingga perlu di identifikasi. Identifikasi forensik merupakan
upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan
identitas seseorang.1
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah
tidak dikenal, jenazah yang rusak, membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan
masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal,
serta potongan tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga
berperan dalam berbagai kasus lain seperti penculikan anak, bayi tertukar, atau
diragukan orangtua nya. Identitas seseorang yang dipastikan bila paling sedikit
dua metode yang digunakan memberikan hasil positif (tidak meragukan).1 Dan
salah satu identifikasi yang paling penting adalah umur. Penentuan umur dapat
dilakukan dengan pemeriksaan penutup sutura, inti penulangan, penyatuan tulang
serta pemeriksaan gigi.2
Forensik odontologi sudah dikenal sejak tahun 1894. Pada tahun 1894,
Oscar Amudo yang lahir di Matanzas Cuba mulai menerapkan gigi geligi untuk
penegakan hukum. Di Norwegia (1894) ditetapkan bahwa tim odontologi forensik
terdiri dari anggota kepolisian, seorang dokter yang biasanya ahli patologi dan
seorang dokter gigi.3 Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan
identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik
identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga
nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, gigi dan tulang adalah material
biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan dan terlindung.
Penggunaan gigi sebagai identifikasi memberikan keuntungan dikarenakan sifat
gigi yang keras dan tahan terhadap cuaca, kimia, maupun trauma. Selain itu gigi

1
manusia mempunyai sifat diphypodensi dimana setiap gigi mempunyai
konfigurasi dan relief yang berbeda dan perubahan yang terjadi karena umur atau
proses patologis/intervensi pada gigi dapat menjadi informasi lain.4
Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi berdasarkan
gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di Situbondo mencapai
60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai 66,7%.3,4
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada
wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor,
gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat
memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah
dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat
penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal.3
Saat ini identifikasi yang paling baik adalah berdasarkan pada pemeriksaan
gigi dan sidik jari, kedua cara ini merupakan prosedur yang fundamental di dalam
investigasi medikolegal kematian. Prosedur identifikasi gigi merupakan metode
positif untuk membuat identifikasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Odontologi Forensik


Ilmu kedokteran gigi kehakiman, secara internasional disebut Odontologi
Forensik. Kata ini berasal dari gabungan bahasa Yunani dan Romawi. Odons
berarti gigi, logia atau logos berarti pengetahuan, pelajaran, akal, berasal dari
bahasa Yunani. Sedangkan forensik berarti tempat pengadilan, berasal dari bahasa
Romawi.
Odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang
mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara
evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.5
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sebagai
berikut:
1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan
pengaruh lingkungan yang ekstrim.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan
restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan
medis gigi (dental record) dan data radiologis.
4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis,
yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi,
sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih
dahulu.
5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian
bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar.
6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400C. Gigi geligi tahan
terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan
direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan giginya
masih utuh.

3
Menurut Pederson (1969), odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu
kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti
gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan
peradilan.6 Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki
keunggulan sebagai berikut:
1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap
pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan
restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan
ketepatan yang tinggi (1:1050).
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan
medis gigi (dental record) dan data radiologis.
2.2 Ruang Lingkup Odontologi Forensik
Ruang lingkup Odontologi Forensik dibagi atas tiga bidang yaitu6:
a. Bidang perdata (non kriminal), termasuk di dalamnya adalah malpraktek,
kelalaian dan penipuan
b. Bidang Pidana
Identifikasi gigi-geligi baik terhadap orang hidup ataupun orang
mati.
Identifikasi bekas gigitan pada makanan, diri tersangka, diri
korban, dapat karena perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang
lain
c. Riset
Akademis dengan mengikuti latihan-latihan dan kursus-kursus
untuk tingkat pasca sarjana.
Identifikasi dari orang yang hidup, orang hilang atau terganggu
ingatannya.
Identifikasi dari sisa-sisa tubuh manusia dimana kematiannya
mencurigakan
Identifikasi pada kecelakaan massal.

4
d. Batasan forensik odontologi terdiri dari:
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan
kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal
2.3 Odontologi Forensik di Indonesia
Di Indonesia dapat dikatakan saat ini belum ada pakar odontologi forensik
yang sesungguhnya, dalam arti yang memang mendapatkan pendidikan khusus
tentang itu. Hal ini disebaban karena bidang ini masih kurang peminatnya dan
untuk memperdalamnya diperlukan pendidikan khusus di luar negeri. Meskipun
demikian, hal itu tidak berarti tidak ada dokter gigi yang berperan sebagai dokter
gigi forensik dan membantu pengungkapan identitas korban. Pada banyak kasus
kriminal yang memerlukan bantuan identifikasi dokter gigi, tercatat ada beberapa
dokter gigi yang kerap membantu penyidik.7
Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan
pemeriksaan gigi di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi
masalah utama adalah masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter
gigi sehingga hanya sedikit masyarakat yang pernah ke dokter gigi.7 Dari antara
yang berobat ke dokter gigipun, hanya sedikit saja yang mempunyai rekam medis
yang baik dan lengkap. Hal ini menyebabkan identifikasi personal berdasarkan
ciri khas susunan gigi, adanya restorasi gigi dan sebagainya sulit dilakukan karena
ketiadaan data antemortem.
Dengan demikian, sebagai pemecahannya, terhadap material gigi
dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan data lain, antara lain ras, jenis
kelamin, umur, golongan darah, profil DNA dan sebagainya.

5
2.4 Peranan Odontologi Forensik Dalam Menangani Bencana Massal
Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana
massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan
jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi
diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi. Identifikasi dalam
kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan
hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang meninggal, dan adanya
kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan agama dan permintaan
keluarga.
Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak teridentifiksi karena
hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih. Dengan
demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang perlu
diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi.8
Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan
jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan
rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan
menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi
setiap orang sebelum dia meninggal.
2.5 Perkembangan dan Erupsi Gigi-Geligi sebagai Teori Dasar dalam
Perkiraan Usia
Sebagian besar ahli setuju bahwa data perkembangan dan erupsi gigi-
geligi merupakan alat bantu yang paling akurat dalam perkiraan usia. Pada
kenyataannya gigi mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap faktor-faktor fisik
seperti air dan api juga mempunyai struktur yang sangat kompleks dan khas pada
setiap individu sehingga pola perkembangan erupsi gigi-geligi dijadikan sebagai
metoda pilihan untuk memperkirakan usia dalam bidang forensik.1,6
Perkiraan usia dilakukan dengan membandingkan status perkembangan
gigi-geligi dari indiviud yang tidak diketahui identitasnya dengan teori
perkembangan dan erupsi gigi-geligi yang telah dipublikasikan berdasarkan
survey dari para ahli. Salah satu teori yang dipakai perkiraan usia postmortem
adalah yang dikembangkan oleh Schour dan Massler (1941) yang

6
mempublikasikan grafik perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen maupun
decidui. Grafik ini terus diperbaharui secara periodik dan dipublikasikan dalam
ukuran yang sebenarnya oleh American Dental Association.1
Berdasarkan grafik dari Schour dan Massler (1941) di atas, dapat
ditentukan lima kelompok usia berdasarkan perkembangan dan erupsi gigi-geligi
yaitu1:
a. Kelompok usia prenatal: 5-7 bulan intra uteri
b. Kelompok infant: saat lahir sampai 1,5 tahun
c. Kelompok usia kanak-kanak awal (pra sekolah): 2-6 tahun
d. Kelompok usia kanak-kanak akhir (usia sekolah): 7-10 tahun
e. Kelompok usia remaja dan dewasa: 11-35 tahun

2.5.1 Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Decidui


Mahkota gigi-geligi decidui mulai berkalsifikasi pada usia 3-4 bulan intra
uteri. Kalsifikasi ini terus berlanjut selama usia prenatal sampai mendekati
periode neo-natal. Akar gigi-geligi decidui biasanya terbentuk pada usia 1,5
sampai 3 tahun setelah lahir. Pada umur 2 sampai 2,5 tahun, semua gigi decidui
telah erupsi di muut dan fungsi pengunyahnya sudah baik. Gigi-geligi decidui
lengkap berada di mulut dan fungsi penguyahannya sudah baik. Gigi geligi
decidui lengkap berada di mulut tanpa mengalami banyak perubahan berlangsung
pada usia 2,5 sampai 5 tahun. Pada umur sekitar 3 tahun semua akar gigi-geligi
decidui telah sempurna terbentuk.9,10,11
Urutan erupsi gigi-geligi decidui adalah sebagai berikut. Insisivus
sentralis-insisivus lateralis-molar pertama-caninus-molar kedua. Pedoman yang
harus dingat adalah bahwa gigi mandibula biasanya erupsi lebih awal daripada
gigi maksila dan gigi di kedua rahang erupsi secara berpasangan, satu di kiri dan
satu di kanan.10

7
Tabel 1. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi decidui
Gigi-Geligi Kalsifikasi Mahkota Erupsi Akar
Pertama Lengkap lengkap
Rahang I Sentralis 3-4 bln IU 4 bln 7 bln 1 - 2 thn
Atas I lateralis 4,5 bln IU 5 bln 8 bln 1 -2 thn
Caninus 5 bln IU 9 bln 16-20 bln 2 - 3 thn
Molar I 5 bln IU 6 bln 12-16 bln 2-2 thn
Molar II 6 bln IU 10-12 bln 20-30 bln 3 thn
Rahang I Sentralis 4 bln IU 4 bln 6 bln 1 - 2 thn
Bawah I lateralis 4 bln IU 4 bln 7 bln 1 -2 thn
Caninus 5 bln IU 9 bln 16-20 bln 2 - 3 thn
Molar I 5 bln IU 6 bln 12-16 bln 2-2 thn
Molar II 6 bln IU 10-12 bln 20-30 bln 3 thn
(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders
Company. 1984;24)

2.5.2 Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Permanen


Perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen berlangsung dari saat
kelahiran sampai umur sekitar 14 tahun. Molar permanen pertama mulai
berkalsifikasi pada saat kelahiran dan kalsifikasi gigi permanen lainnya
berlangsung sampai umur 9 tahun, kecuali gigi molar ketiga tidak mengalami
pembentukan jaringan keras sampai umur 8-9 tahun.9,12
Dan umur 14 sampai 23 tahun, perkembangan molar kedua dan molar
ketiga mempunyai arti penting dalam perkiraan usia.hal ini disebabkan pada usia
ini terjadi perkembangan yang lebih lanjut dari akar molar kedua, juga terjadi
penutupan foramen apikal dari molar ketiga. Urutan erupsi pada gigi permanen
adalah sebagai berikut: Molar pertama-insisivus sentralis dan lateralis mandibula-
insisivus sentralis maksila-insisivus lateralis maksila-caninus mandibula-premolar
pertama-premolar kedua-caninus maksila-molar kedua-molar ketiga.10,12

8
Tabel 2. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Permanen
Gigi-Geligi Kalsifikasi Mahkota Erupsi Akar
Pertama Lengkap lengkap
Rahang I Sentralis 3-4 bln 4-5 thn 7-8 thn 10 thn
Atas I lateralis 10 bln 4-5 thn 8-9 thn 11 thn
Caninus 4-5 bln 6-7 thn 11-12 thn 13-15 thn
Premolar I 1-1 thn 5-6 thn 10-11 thn 12-13 thn
Premolar II 2-2 thn 6-7 thn 10-12 thn 12-14 thn
Molar I Waktu lahir 2 - 3 thn 6-7thn 9-10 thn
Molar II 2 - 3 thn 7-8 thn 12-13 thn 14-16 thn
Molar III 7-9 thn 12-16 thn 17-21 thn 18-25 thn
Rahang I Sentralis 3-4 bln 4-5 thn 6-7thn 9 thn
Bawah I lateralis 10 bln 4-5 thn 7-8 thn 10 thn
Caninus 4-5 bln 6-7 thn 9-10 thn 12-14 thn
Premolar I 1 1/4 -2 thn 5-6 thn 10-12 thn 12-13 thn
Premolar II 2- 2 thn 6-7 thn 11-12 thn 13-14 thn
Molar I Waktu lahir 2 -3 thn 6-7 thn 9-10 thn
Molar II 2 - 3 thn 7-8 thn 11-13 thn 15 thn
Molar III 8-10 thn 12-16 thn 17-21 thn 18-25 thn
(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders
Company. 1984;24)

Perkembangan dan erupsi gigi-geligi hanyalah sebagai alat bantu dalam


perkiraan usia, karena tidak ada dua individu yang sama persis dalam hal
perkembangan. Proses perkembangan gigi antara lain dipengaruhi oleh jenis
kelamin dimana pada perempuan biasanya perkembangannya lebih cepat daripada
laki-laki. Juga dipengaruhi oleh faktor nutrisi dimana pada kasus malnutrisi yang
hebat perkembangan giginya akan lebih lambat.10,11

9
2.6 Identifikasi Ras Korban maupun Pelaku dari Gigi-geligi
Ras di dunia ini dahulu terdapat 3 ras besar yaitu ras caucasoid,
mongoloid, dan ras negroid. Setelah jaman penjajahan, maka terdapat perkawinan
campuran sehingga terdapat ras khusus dan ras australoid, yakni ras aborigin dan
ras-ras kecil di kepulauan.
Ras tersebut memiliki ciri-ciri sendiri yang dapat digunakan sebagai
sarana identifikasi. Menurut Hoebel ciri-ciri ras yang berbeda tersebut disebabkan
hal berikut13:
1. Komponen masyarakat setempat/sekitarnya
2. Komponen perkawinan (pernikahan/garis keturunan)
3. Komponen genetik
4. Komponen ciri-ciri fisik, gigi, dan mulut

2.6.1. Identifikasi Ras atau Korban dari Ciri-ciri Gigi


Ciri-ciri kelima ras tersebut ditinjau dari gigi insisive, premolar, dan
molar, yakni dari gigi insisive dari cingulum, gigi premolar dari jarak mesiodistal
dengan bucopalatal atau relasi jarak mesiodistal dengan bucolingual dan gigi
molar dari visurnya, jumlah pitnya dan adanya caraballi ataupun jumlah gigi
molarnya.13

Identifikasi masing-masing ras tersebut antara lain:


1. Ras caucasoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Permukaan lingual rata (Kiernberger 55 dan Pederson 49) pada
gigi seri/insisive 1.21.1,2.12.2
b. Sering gigi-geligi (crowded)
c. Gigi molar pertama bawah (3.6,4.6) lebih panjang, tapered
d. Dalberg (1956): Bukopalatal < (P2, 1.5, 2.5), mesio-distal
e. Sering, cusp carabeli pada 1.6, 2.6 (palatal)
f. Lengkung rahang sempit

10
Gambar 1. Gambar Gigi Insisive atas Bagian Atas tidak Terdapat Cingulum dan
Gigi Molar I dengan Visur dan Dua Pit yakni Pit Distal dan Pit Mesial

Gambar 2. Cusp Carabeli pada Molar I atas pada Bagian Mesiopalatal

2. Ras mongoloid dengan ciri-ciri sebagai berikut:


a. Menurut Herdlicka (1921) bahwa gigi insisive mempunyai
perkembangan penuh pada permukaan palatal bahkan lingual
sehingga shovel shaped incisor cungulum jelas dominan {(pada
gigi 1.1 1.2, 2.1 2.2)}
b. Fisur-fisur gigi molar
c. Bentuk gigi molar segiempat dominan

Oleh karena itu satu individu tidak murni satu ras. Maka gigi sesuai untuk
pnentuan ras yang didapat dari phenotype gigi dari genotypenya.

11
Gambar 3. Singulum pada Permukaan Palatal pada Gigi Insisive Atas

3. Ras negroid dengan ciri-ciri sebagai berikut:


a. Menurut R. Biggerstaf bahwa premolar akan premolar (1.4 1.5,
2.4 2.5) cenderung membelah atau terdapat tiga akar yakni
trifurkasi
b. Bahwa cenderung bimaxillary protrusion (monyong)
c. Bahwa molar ke-4 sering ditemukan (banyak)
d. Premolar pertama bahwa (1.4, 2.4) terdapat 2 atau 3 cusp
e. Gigi molar berbentuk segiempat

Gambar 4. Visura pada Gigi Molar I seperti Sarang Laba-laba dan Memperlihatkan Gigi
Insisive Tidak Terdapat Cingulum

4. Ras Australoid
Ras suku ini adalah: suku aborigin dan suku-suku di kepulauan kecil
pasifik. Ras ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Gambar 5. Gigi Depan Ras Australoid Suku Aborigin

12
5. Ras Khusus
Menurut Nursial Luth dan Daniel Fernandez (1995) yakni:
a. Bushman: suku ini bermukim di spanyol
b. Vedoid: suku ini bermukim di Afrika Tengah.
c. Polynesian: suku ini bermukim di pulau-pulau terkecil di lautan
Hindia dan lautan Arfika
d. Ainu: suku ini bermukim di kepulauan kecil Jepang.

Gambar 6. Gigi Depan Ras Khusus yang Relatif Semua Gigi Insisive Hampir Sama

2.6.2 Identifikasi Ras Korban dari Lengkung Gigi


Tabel 3. Perbedaan Lengkungan Rahang antar Ras13

Lengkung Rahang Elipsoid Berbentuk U Paraboloid

Ras Mongoloid (+)

Ras Negroid (+)

Ras Caucasoid (+)

Ras Australoid (+) lebar, insisive


besar-besar

Ras Khusus (+) sangat nyata,


insisive kecil-kecil

13
Gambar 7. Memperlihatkan Lengkung Rahang Ras Mongoloid, Negroid, dan Caucasoid

Gambar 8. Memperlihatkan Lengkung Rahang Ras Australoid dan Khusus

2.7 Identifikasi Jenis Kelamin dari Gigi-geligi


Identifikasi jenis kelamin melalui gigi-geligi menurut Cotton (1982) antara
pria dan wanita dapat dibuat tabel sebagai berikut13:

Tabel 4. Perbedaan Gigi-Geligi Berdasarkan Jenis Kelamin

Gigi Geligi Wanita Pria

Outline Bentuk Gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

Lapisan Email dan Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal


Dentin

Bentuk Lengkung Gigi Cenderung oval Tapered

Ukuran Cervico Incisal Lebih kecil Lebih besar


Mesio Distal Caninus
Bawah

Outline Incisive Lebih bulat Lebih persegi


Pertama Atas

Lengkung Gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

14
2.8 Identifikasi Jenis Kelamin dari Tulang Rahang

Selain dengan pemeriksaan internal dan eksternal, perbedaan pria dan


wanita dapat dilihat dari tulang-tulang yang ada. Salah satu tulang yang dapat
diidentifikasi untuk membedakan jenis kelamin tersebut adalah tulang rahang.13

1. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lengkung Rahang Atas


Pada pria, lengkung rahang lebih besar daripada wanita karena relatif gigi-
geligi pria jarak mesio distal lebih panjang dibandingkan dengan wanita.
Sedangkan palatum pada wanita lebih kecil dan berbentuk parabol. Dan
pada pria, palatum lebih luas serta berbentuk huruf U,

Gambar 9. Lengkung Rahang Atas Pria dan Wanita

2. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lengkung Rahang Bawah


Lengkung rahang pria lebih besar dari wanita karena gigi-geligi wanita
jarak mesio distalnya lebih kecil daripada pria,

Gambar 10. Lengkung Rahang Bawah Pria dan Wanita

3. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tulang Rahang


Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap regio dan bentuk serta besar
rahang pria maupun wanita yang sangat berbeda. Hal ini dapat digunakan
sebagai sarana atau data identifikasi jenis kelamin melalui tulang rahang
bawah.

15
a. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Sudut Genion
Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita

Gambar 11. Sudut Genion Pria dan Wanita

b. Identifikasi Jenis Kelamin melalui tinggi Ramus Ascendens


Ramus Ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar daripada wanita

Gambar 12. Tinggi Ramus Ascenden Pria dan Wanita

c. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Inter Processus


Jarak processus condyloideus dengan processus coronoideus pada
pria lebih jauh dibandingkan dengan wanita. Dengan kata lain pada
pria mempunyai jarak lebih panjang dibandingkan dengan wanita.

Gambar 13. Jarak Interprossus Coronoideus dan Condylus pada Pria dan
Wanita

16
d. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lebar Ramus Ascendens
Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria
mempunyai jarak yang lebih lebar dibandingkan dengan wanita.

Gambar 14. Lebar ramus Ascendens pada Pria dan Wanita

e. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tulang Menton (dagu)


Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton pria atau tulang
dagu pria yang dimaksud lebih anterior dan lebih besar

Gambar 15. Dagu Pria dan Wanita

f. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Pars Basalis Mandibula


Pada pria, pars Basalis Mandibula lebih panjang dibandingkan
dengan wanita dalam bidang horizontal.

Gambar 16. Panjang Basalis Mandibula pada Pria dan Wanita

17
g. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Processus Coronoideus
Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan
dalam bidang vertikal.

Gambar 17. Tinggi Coronoideus pada Pria dan Wanita

h. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Tebal Tulang Menton


Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal dibandingkan
dengan wanita, hal ini kemungkinan masa pertumbuhan dan
perkembangan rahang pria lebih lama dibandingkan dengan
wanita.
Ukuran ini sangatlah relatif tergantung dari ras, sub ras dan hanya
dibandingkan sesama etnik-etnik saja.
i. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lebar dan Tebal Processus
Condyloideus bermacam-macam baik pria maupun wanita, tetapi
mempunyai tebal dan lebar yang berbeda.
Pada pria ukuran diameter processusnya lebih besar dibandingkan
dengan wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan latero
medio lebih besar dibandingkan dengan wanita.

2.9 Identifikasi Korban melalui Gigi Berdasarkan Kebiasaan Menggunakan


Gigi
Identifikasi umur melalui gigi berdasarkan kebiasaan menggigit benda-
benda keras baik pada gigi seri maupun gigi premolar ataupun gigi-gigi lain yang
mempunyai interdigitasi gigi atas dengan gigi bawah.13

A. Kebiasaan menggunakan pipa saat merokok akan mengakibatkan ausnya


gigi yang digunakan untuk menggigit pipa. Biasanya gigitan pipa ini atau
yang disebut cangklong letaknya di daerah kaninus sampai dengan

18
premolar 2. Kemudian setelah bertahun tahun akan terlihat suatu open bite
diantara gigi tersebut sesuai dengan pipa yang digunakan.

Gambar 18. Atrisi atau Aus Gigi

B. Bagi mereka yang kebiasaannya Brezism yakni menggerakan aclusi aktif


pada waktu tidur maka akan terlihat artrisi di sekitar gigi atas dan bawah
sesuai dengan interdigitasi antara gigi atasdan gigi bawah.

Gambar 19. Aus Gigi atau Atrisi Sesuai dengan Tekanan Oklusi Gigi Atas dan Bawah

C. Bagi mereka yang mempunyai kebiasaan Brezism yang terbentuk tekanan


oklusi pada gigi molar atau geraham maka permukaan kunyah gigi
tersebutlah akan terlihat artrisi derajat keparahan lebih tinggi bahkan email
sudah habis

19
D. Bagi yang memiliki gigitan open bitasatu maupun beberapa gigi maka gigi
tersbut akan terlihat adanya artrisi sedangkan gigi yang mempunyai kontak
oklusi gigi atas dengan gigi bawah maka akan terjadi artrisi sesuai dengan
derajat keparahannya.

Identifikasi korban yang memiliki kebiasaan menggunakan gigi dapat


langsung diketahui atau dipastikan adanya artrisi pada gigi-gigi yang menderita
akibat kebiasaan tersebut, data-data ini dituliskan dalam odontogram yang
terdapat kolom-kolom catatan selain kode-kode gigi.

2.10 Identifikasi Korban melalui Gigi Berdasarkan Pekerjaan Menggunakan


Gigi
Bagi mereka yang mempunyai pekerjaan dengan menggunakan gigi antara
lain tukang jahit, penata rambut/pegawai salon, tukang kayu maka akan terlihat
artrisi permukaan aclusi sesuai dengan benda keras yang dipergunakan dalam
pekerjaannya.13
a. Misalnya tukang jahit akan menggigit jarum baik diameter kecil sampai
diameter besar.

Gambar 20. Gigi Seorang Penjahit yang Sering Menggigit Jarum sehingga Artrisi
Berongga Sesuai dengan Ukuran jarum

b. Bagi penata rambut atau yang biasa disebut capster maka akan terlihat
pada gigi insisive central khususnya, umumnya gigi insisive central lateral.
Suatu artrisi pada gigi atas dan bawah yang berbentuk rongga sesuai

20
dengan jepit rambut beberapa buah pada gigi insisivenya, rongga tersebut
sama dengan jepit rambut yang besar maupun kecil

Gambar 21. Seorang Penata Rambut Menggigit Alat Sisir dan lainnya Sehingga
Terbentuk Rongga Artrisi Gigi Insisive.

c. Bagi pekerja bangunan khususnya yang dianggap sebagai tukang kayu


maka dalam melakukan pekerjaannya sebeleum memaku kayu atau papan
ia menggigit paku pada gigi depannya. Maka gigi depan tersebut akan
atrisi berbentuk bulat sesuai dengan paku yang digunakan, derajat artrisi
bisa kecil sampai dengan besar sesuai dengan diameter kayu

Gambar 22. Artrisi Gigi Insisive akibat Menggigit Paku

21
2.11 Identifikasi Golongan Darah Korban dan Pelaku melalui Air Liur atau
Saliva
Identifikasi golongan darah korban melalui air liur atau saliva haruslah
dibuat sediaan ulas pada TKP maupun pada korban yang masih terdapat air liur
baik masih basah maupun sudah kering.13
Identifikasi ini harus di cross check dengan anggota keluarga yang secarah
semenda yakni saudara kandung, ibu, ayah.
Identifikasi golongan darah dari air liur yang disebut juga sebagai saliva
washing atau analisis air liur maka sediaan ulas yang tim identifikasi buat
haruslah dikirim ke laboratorium serologi, apabila air liur atau saliva tersebut
sekretor maka dapat diketahui golongan darah dari air liur tersebut.
Sedangkan apabila air liur tersebut non-sekretorik maka sulit ditentukan
golongan darah oleh karena terlampau banyak kemungkinan yang
mempengaruhinya.
Menurut penelitian laboratorium kedokteran kepolisian di Jakarta bahwa
anggota kepolisian yang diteliti 75% adalah sekretorik, sedangkan menurut buku-
buku acuan yang digunakan bahwa manusia di dunia ini 85% sekretorik.
Dalam penentuan golongan darah dari analisis air liur haruslah diingat
teori paternalis yakni teori yang menentukan garis keturunana dengan kata lain
apabila korban maupun pelaku diketahui sedarah semendanya maka sedarah
semendanya haruslah diambil salivanya untuk kepastian golongan darahnya.
Menurut Musa Perdanakusuma tahun 1984 bahwa tabel golongan darah
dari keturunan (paternalis) sebagai berikut13:

Tabel 5. Golongan Darah Paternalis.


Golongan Darah
Ibu Anak Ayah
O O O
O O,B B
O O,A A
O A,B AB

22
A O,A A
A O,A,B B
A A,B,AB AB
B O,B B
B A,B,AB AB
AB A,B,AB AB

2.12 Identifikasi Golongan Darah Korban melalui Pulpa Gigi


Menurut James dan Standison pada tahun 1982, identifikasi golongan
darah dapat dibuat dari sediaan yang diambil dari bagian tubuh sebagai berikut:
akar rambut, jaringan tulang, jaringan kuku, jaringan ikat, air mata, saliva, dan
cairan darah sendiri.
Dalam Ilmu Kedokteran Gigi Forensik, identifikasi golongan darah dapat
diketahui dari analisis jaringan pulpa gigi.13
Menurut Alfonsius dan penelitian Ladokpol pada tahun 1992, dan forum
ilmiah internasional FKG Usakti tahun 1993, bahwa analisis golongan darah dari
pulpa gigi merupakan identifikasi golongan darah untuk pelaku maupun korban
adalah dengan cara Absorbsi-Ellusi.
Setelah diproses maka pada tahap akhir dilihat apakah terdapat
penggumpalan yang mengindikasikan kelompok golongan darahnya.

2.13 Identifikasi Korban melalui Pola Gigigitan Pelaku


Menurut William Eckert pada tahun 1992 bahwa yang dimaksud dengan
pola gigitan pelaku yang tertera di kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit
maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai akibat dari pola permukaan gigitan
dari gigi-gigi pelaku dengan perkataan lain pola gigitan merupakan suatu produksi
dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.13
Menurut Bowers dan Bell pada tahun 1955 mengatakan bahwa pola
gigitan merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh
kontak atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur
jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan.

23
Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa pola gigitan yang ditimbulkan
oleh hewan berbeda dengan mnusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi
gigi geligi serta bentuk rahang.
Menurut Curran pada tahun 1976 bahwa pola gigitan baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan
kulit dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-
buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup ataupun
sudah meninggal.
Menurut Soderman dan Oconnel pada tahun 1952 mengatakan bahwa
yang paling sering terdapat pola gigigtan pada buah-buahan yakni buah apel, pear,
dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.
baik pola permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang
mengakibatkan putusnya jaringan kulit.
Sedangkan menurut Lukman pada tahun 2003 pola gigitan mempunyai
suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan
pola gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun
manusia yang msing-msing individu sangat berbeda.
2.14 Klasifikasi Pola Gigitan
Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan,
pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu13:
1. Kelas I: Pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus

Gambar 23. Pola Gigi Seri Sentralis dan Naturalis dan Kaninus dengan Jarak Sesuai
dengan Susunan Gigi Geliginya

24
2. Kelas II: Pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat
pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp
lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit

Gambar 24. Pola gigitan dari gigi insisive pertama, kaninus, dan cusp premolar rahang
atas dan bawah

3. Kelas III: Pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yakni
permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan
mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II

Gambar 25. Pola Gigigitan yang Mempunyai Pola Luka Lebih Dalam

4. Kelas IV: Pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah
kulit yang sedikit terlepas dan ruptur sehingga terlihat pola gigitannya
ireguler.

25
Gambar 26. Ketidakteraturan Keparahan Derajat Pola Gigitan dengan Pola Gigitan Gigi
Premolar yang Hampir Menyatu

5. Kelas V: Pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan
insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.

Gambar 27. Pola Luka Gigitan yang Sangat Lebar serta Ketidakteraturan dari Semua
Gigi Depan dan Premolar

6. Kelas VI: Pola gigitan kelas VI memeperlihatkan luka dari seluruh gigitan
dari gigi rahang atas dan bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot
terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.

Gambar 28. Luka Akibat Pola Gigitan Sangat Dalam dan Buas pada Jaringan Kulit dan
Jaringan Ikat Terlepas Seluruhnya

26
Berbagai Jenis Pola Gigitan Manusia
Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ
tubuh mana yang terkena, apabila pola gigitan pelaku seksual mempunyai lokasi
tertentu, pada penyiksaan anak akan mempunyai pola gigitan pada lokasi tertentu
juga akan tetapi pada gigitan yang dikenal dengan child abuse maka pola
gigitannya hampir semua bagian tubuh.13
1. Pola gigitan heteroseksual
Pola gigitan pelaku-pelaku hubungan intin antar lawan jenis dengan
perkataan lain hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat
penyimpangan yang sifatnya sedikit melakukan penyiksaan yang
menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau menimbulkan rasa sakit

a. Pola gigitan dengan aksi lidah dan bibir


Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan birahi antara pria dan
wanita

Gambar 29. Pola Gigitan Gigi Geligi tapi Terdapat Aksi Lidan dan Bibir

b. Pola gigitan pada wajah


Pola gigitan ini terjadi pada pria yang biasanya digigit oleh orang
terdekatnya misal istrinya atau teman selingkuh yang mengalami
cemburu buta.

27
Gambar 30. Pola Gigitan Kelas V akibat Gigitan dari Lawan Jenis saat Tertidur
Pulas
c. Pola gigitan pada sekitar organ genital
Pola gigitan ini terjadi akibat pelampiasan dari pasangannya atau
istrinya akibat cemburu buta yang dilakukan pada waktu suaminya
tertidur pulas setelah melakukan hubungan seksual.

Gambar 31. Luka Bekas Gigitan Kelas VI pada Paha Kiri Akibat Pelampiasan
dengan Menggunakan Gigi dari Lawan Jenis saat Korban Tertidur
d. Pola gigitan pada organ genital
Pola gigitan ini modus operandinya sama dengan seperti di atas yakni
pelampiasan emosional dari lawan jenis atau istri karena cemburu buta.
Biasanya hal ini terjadi pada waktu korban tertidur lelap setelah
melakukan hubungan intim

28
Gambar 32. Gigitan pada Gland Penis sehingga Terputus sebagai Akibat Gigitan
Wanita karena Cemburu Buta
e. Pola gigitan pada mammae
Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan senggama atau
berhubungan intim dengan lawan jenis. Pola gigitan ini baik disekitar
papilla mammae dan lateral dari mammae. Oleh karena mammae
merupakan suatu organ tubuh setengah bulatan maka pola gigitan yang
dominan adalah gigitan kaninus. Sedangkan pola gigitan gigi seri
terlihat sedikit atau hanya memar saja.

Gambar 33. Luka pada Bagian Lateral Mammae dan Papilla Mammae

Berikut pola gigitan yang terjadi pada kasus tertentu:


1. Pola gigitan pada penyiksaan anak
Lokasi dapat ditemukan dimana saja yang dilakukan ibunya sendiri. Hal
ini disebabkan suatu aplikasi dari pelampiasan gangguan psikis dari
ibunya oleh karena kenakalan anaknya atau kerewelan anaknya maupun
kebandelan anaknya.

29
2. Pola gigitan child abuse
Hal ini terjadi akibat dari faktor iri dengan dari teman ibunya, atau ibu
anak tetangganya oleh karena anak tersebut lebih pandai, lebih lincah,
lebih komunikatif dari anaknya sendiri maka ia melakukan pelampiasan
dengan menggunakan gigitannya dari anak tersebut. Hal ini terjadi dengan
rencana oleh karena ditunggu pada waktu korban tersebut melewati
pinggir atau depan rumahnya dan kemudian setelah melakukan gigitan ibu
tersebut melarikan diri melalui jalan yang sempit.
Pola gigitan ini dapat terjadi pada masyarakat menengah ke bawah
yang umumnya penghuni flat atau kondominiium sehingga terdapat jalan
sempit antar bangunan yang dipakai untuk melarikan diri.
Lokasi gigitan biasanya terdapat padadaerah punggung, bahu atas,
dan leher.
3. Pola gigitan hewan
Hal ini biasanya terjadi akibat dari penyerangan hewan peliharaan kepada
korban yang tidak disukai dari hewann tersebut. Apabila korban hidup
mengalami kejadian yang terjadi di atas biasanya tanpa instruksi dari
pemelihara. Bila instrujsi dari pemeliharanya maka hal ini sering terjadi
pada hewan khusus yang berjenis herder atau doberman yang memang
spesial dipelihara untuk menangkap orang.
a. Pola gigitan anjing
Pola gigitan ini biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah
pawangnya atau induk semangnya. Hal ini terjadi pada serangan atau
atas perintah pemiliknya.
b. Pola gigitan hewan pesisir pantai
Pola gigitan ini terjadi bila korban meninggal di tepi pantau atau
korban meninggal dibuang di tepi pantai sehingga dalam beberapa hari
atau minggu korban digerogoti oleh hewan laut seprti tiram, kerang.
4. Pola gigitan homoseksual atau lesbian
Pola gigitan ini biasanya terjadi pada waktu pelampisan birahinya dengan
pola gigitan disekitar organ genital yakni paha, leher, dan lainnya.

30
BAB III
KESIMPULAN

Odontologi Forensik dapat diartikan pengetahuan mengenai gigi untuk


pengadilan. Odontologi Forensik adalah salah satu metode penentuan identitas
individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi. Kehandalan teknik
identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya yang tinggi sehingga
nyaris menyamai ketepatan teknik sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa
gigi dan tulang adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan
lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang dapat
dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar. Odontologi forensik
merupakan cabang ilmu dari kedokteran forensik. Dimana mempelajari tentang
identifikasi korban / barang bukti melalui data gigi nya baik itu data ante mortem
maupun post mortem.
Peran gigi dapat dipakai sebagai sarana identifikasi adalah identifikasi
benda bukti manusia, penentuan umur dari gigi, penentuan jenis kelamin dari gigi,
penentuan ras dari gigi, penentuan etnik dari gigi, analisis jejas gigit (bite marks),
dan peran dokter gigi forensik dalam kecelanaan massal, serta peranan
pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal. Kematian yang
tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana massal, kerusakan fisik
yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan jenazah, bisa
mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi diperlukan
walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi. Identifikasi dalam kematian
penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan hukum.
Pemeriksaan gigi juga dapat memperkirakan usia, perkembangan gigi
secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Pertumbuhan gigi desidua diawali
pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 16 minggu dan
berlanjut setelah bayi lahir. Perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen
berlangsung dari saat kelahiran sampai umur sekitar 14 tahun. Molar permanen
pertama mulai berkalsifikasi pada saat kelahiran dan kalsifikasi gigi permanen
lainnya berlangsung sampai umur 9 tahun, kecuali gigi molar ketiga tidak

31
mengalami pembentukan jaringan keras sampai umur 8-9 tahun. Urutan erupsi
pada gigi permanen adalah sebagai berikut: Molar pertama-insisivus sentralis dan
lateralis mandibula-insisivus sentralis maksila-insisivus lateralis maksila-caninus
mandibula-premolar pertama-premolar kedua-caninus maksila-molar kedua-molar
ketiga.
Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin.
Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter
kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering
dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.
Gambaran gigi juga dapat memperkirakan gambaran ras, yaitu ras mongoloid
meliputi Insisivus berbentuk sekop, Dens evaginatus, Aksesoris berbentuk
tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid.
Sedangkan pada ras kaukasoid meliputi Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan
pada molar 1, pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari
mandibula, maloklusi pada gigi anterior. Pada ras negroid meliputi Sering terdapat
open bite, pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan,
palatum berbentuk lebar.
Pemeriksaan gigi-geligi sebagai identifikasi karena gigi melekat erat pada
tulang rahang serta gigi bisa tahan pemasanan hingga 9000C, tahan kimawi, tahan
abrasi dan atrisi karena kandungan non organik didalam gigi tinggi, bahkan lebih
tinggi dari tulang. Namun, terdapat beberapa kendala dalam identifikasi gigi yakni
banyak masyarakat Indonesia yang tidak melakukan perwatan gigi dan
mempunyai data radiogram giginya sebagai rekam medis pada data ante mortem,
dan sebagian besar masyarakat indonesia yang melakukan perawatan berpindah
pindah, pencatatan tidak cukup dan tidak baku serta memiliki waktu yang lama.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Clark, D. H. Practical Forensic Odontology. Melksham, Great Britain:


Butterworth-Heinemann Ltd, 1992.
2. Stimson, P. G, Mertz, C. A. Forensic Dentistry. New York: CNC Press
Boca Raton, 1997.
3. Atmadja. Peranan Odontologi Forensik dalam Penyidikan.
http://odontologiforensikinvestigasi.blogspot.com.
4. Gigi Dapat Mengidentifikasi Korban Bencana Massal.
http://www.jurnalnet.com.
5. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification
Guide. 1997.
6. Harmaini N. Odontologi forensik dan identifikasi gigi. Medan: USU Press,
2001:29
7. Humas Universitas Airlangga. Peran Dokter Gigi dalam Identifikasi
Korban Bencana. http://www.unair.ac.id.
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1653/Menkes/SK/XII/2005/ tentang Pedoman
Penanganan Bencana Bidang Kesehatan.
http://125.160.76.194/peraturan/Permenkes%202005/KMK%20PENANG
GULANGAN%20BENCANA
9. Evans KT, Knight b, Whittker DK. Forensic Radiology. Oxford: Blackwell
Scientific Publication, 1981:49, 52-7,77,80
10. Wheeler, C Russel. Wheelers dental anatomy, physiology and oclusion.
Philadelphia: W.B Saunders Company, 1984: 24-9
11. Mokhtar M. Dasar-dasar ortodonti-perkembangan dan pertumbuhan
kraniodentofasial. Yayasan Penerbitan IDI, 1998; 139-161
12. Sopher, IM. Forensic Dentistry. Springfield. Charles C Thimas Publisher,
1976;81,116
13. Lukman, D. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2. Jakarta:
Sagung Seto, 2006; 5-129.

33

Anda mungkin juga menyukai