PENDAHULUAN
1
manusia mempunyai sifat diphypodensi dimana setiap gigi mempunyai
konfigurasi dan relief yang berbeda dan perubahan yang terjadi karena umur atau
proses patologis/intervensi pada gigi dapat menjadi informasi lain.4
Pada kasus Bom Bali I, dimana korban yang teridentifikasi berdasarkan
gigi-geligi mencapai 56%, korban kecelakaan lalu lintas di Situbondo mencapai
60%, dan korban jatuhnya Pesawat Garuda di Yogyakarta mencapai 66,7%.3,4
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada
wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik yang berupa tanah longsor,
gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, banjir dan lain-lain, yang dapat
memakan banyak korban, dan salah satu cara mengidentifikasi korban adalah
dengan metode forensik odontologi. Oleh karena itu forensik odontologi sangat
penting dipahami peranannya dalam menangani korban bencana massal.3
Saat ini identifikasi yang paling baik adalah berdasarkan pada pemeriksaan
gigi dan sidik jari, kedua cara ini merupakan prosedur yang fundamental di dalam
investigasi medikolegal kematian. Prosedur identifikasi gigi merupakan metode
positif untuk membuat identifikasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Menurut Pederson (1969), odontologi forensik adalah suatu cabang ilmu
kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti
gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan
peradilan.6 Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki
keunggulan sebagai berikut:
1. Gigi dan restorasinya merupakan jaringan keras yang resisten terhadap
pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrem.
2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan
restorasi gigi menyebabkan dimungkinkannya identifikasi dengan
ketepatan yang tinggi (1:1050).
3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan
medis gigi (dental record) dan data radiologis.
2.2 Ruang Lingkup Odontologi Forensik
Ruang lingkup Odontologi Forensik dibagi atas tiga bidang yaitu6:
a. Bidang perdata (non kriminal), termasuk di dalamnya adalah malpraktek,
kelalaian dan penipuan
b. Bidang Pidana
Identifikasi gigi-geligi baik terhadap orang hidup ataupun orang
mati.
Identifikasi bekas gigitan pada makanan, diri tersangka, diri
korban, dapat karena perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang
lain
c. Riset
Akademis dengan mengikuti latihan-latihan dan kursus-kursus
untuk tingkat pasca sarjana.
Identifikasi dari orang yang hidup, orang hilang atau terganggu
ingatannya.
Identifikasi dari sisa-sisa tubuh manusia dimana kematiannya
mencurigakan
Identifikasi pada kecelakaan massal.
4
d. Batasan forensik odontologi terdiri dari:
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan
kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal
2.3 Odontologi Forensik di Indonesia
Di Indonesia dapat dikatakan saat ini belum ada pakar odontologi forensik
yang sesungguhnya, dalam arti yang memang mendapatkan pendidikan khusus
tentang itu. Hal ini disebaban karena bidang ini masih kurang peminatnya dan
untuk memperdalamnya diperlukan pendidikan khusus di luar negeri. Meskipun
demikian, hal itu tidak berarti tidak ada dokter gigi yang berperan sebagai dokter
gigi forensik dan membantu pengungkapan identitas korban. Pada banyak kasus
kriminal yang memerlukan bantuan identifikasi dokter gigi, tercatat ada beberapa
dokter gigi yang kerap membantu penyidik.7
Berbeda dengan penerapan odontologi forensik di luar negeri, peranan
pemeriksaan gigi di Indonesia memiliki banyak keterbatasan. Hal yang menjadi
masalah utama adalah masih kurang membudayanya perilaku berobat ke dokter
gigi sehingga hanya sedikit masyarakat yang pernah ke dokter gigi.7 Dari antara
yang berobat ke dokter gigipun, hanya sedikit saja yang mempunyai rekam medis
yang baik dan lengkap. Hal ini menyebabkan identifikasi personal berdasarkan
ciri khas susunan gigi, adanya restorasi gigi dan sebagainya sulit dilakukan karena
ketiadaan data antemortem.
Dengan demikian, sebagai pemecahannya, terhadap material gigi
dilakukan pemeriksaan untuk mendapatkan data lain, antara lain ras, jenis
kelamin, umur, golongan darah, profil DNA dan sebagainya.
5
2.4 Peranan Odontologi Forensik Dalam Menangani Bencana Massal
Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana
massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan
jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi
diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi. Identifikasi dalam
kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan
hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang meninggal, dan adanya
kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan agama dan permintaan
keluarga.
Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak teridentifiksi karena
hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih. Dengan
demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang perlu
diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi.8
Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan
jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan
rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan
menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi
setiap orang sebelum dia meninggal.
2.5 Perkembangan dan Erupsi Gigi-Geligi sebagai Teori Dasar dalam
Perkiraan Usia
Sebagian besar ahli setuju bahwa data perkembangan dan erupsi gigi-
geligi merupakan alat bantu yang paling akurat dalam perkiraan usia. Pada
kenyataannya gigi mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap faktor-faktor fisik
seperti air dan api juga mempunyai struktur yang sangat kompleks dan khas pada
setiap individu sehingga pola perkembangan erupsi gigi-geligi dijadikan sebagai
metoda pilihan untuk memperkirakan usia dalam bidang forensik.1,6
Perkiraan usia dilakukan dengan membandingkan status perkembangan
gigi-geligi dari indiviud yang tidak diketahui identitasnya dengan teori
perkembangan dan erupsi gigi-geligi yang telah dipublikasikan berdasarkan
survey dari para ahli. Salah satu teori yang dipakai perkiraan usia postmortem
adalah yang dikembangkan oleh Schour dan Massler (1941) yang
6
mempublikasikan grafik perkembangan dan erupsi gigi-geligi permanen maupun
decidui. Grafik ini terus diperbaharui secara periodik dan dipublikasikan dalam
ukuran yang sebenarnya oleh American Dental Association.1
Berdasarkan grafik dari Schour dan Massler (1941) di atas, dapat
ditentukan lima kelompok usia berdasarkan perkembangan dan erupsi gigi-geligi
yaitu1:
a. Kelompok usia prenatal: 5-7 bulan intra uteri
b. Kelompok infant: saat lahir sampai 1,5 tahun
c. Kelompok usia kanak-kanak awal (pra sekolah): 2-6 tahun
d. Kelompok usia kanak-kanak akhir (usia sekolah): 7-10 tahun
e. Kelompok usia remaja dan dewasa: 11-35 tahun
7
Tabel 1. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi decidui
Gigi-Geligi Kalsifikasi Mahkota Erupsi Akar
Pertama Lengkap lengkap
Rahang I Sentralis 3-4 bln IU 4 bln 7 bln 1 - 2 thn
Atas I lateralis 4,5 bln IU 5 bln 8 bln 1 -2 thn
Caninus 5 bln IU 9 bln 16-20 bln 2 - 3 thn
Molar I 5 bln IU 6 bln 12-16 bln 2-2 thn
Molar II 6 bln IU 10-12 bln 20-30 bln 3 thn
Rahang I Sentralis 4 bln IU 4 bln 6 bln 1 - 2 thn
Bawah I lateralis 4 bln IU 4 bln 7 bln 1 -2 thn
Caninus 5 bln IU 9 bln 16-20 bln 2 - 3 thn
Molar I 5 bln IU 6 bln 12-16 bln 2-2 thn
Molar II 6 bln IU 10-12 bln 20-30 bln 3 thn
(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders
Company. 1984;24)
8
Tabel 2. Perkembangan dan Erupsi Gigi-geligi Permanen
Gigi-Geligi Kalsifikasi Mahkota Erupsi Akar
Pertama Lengkap lengkap
Rahang I Sentralis 3-4 bln 4-5 thn 7-8 thn 10 thn
Atas I lateralis 10 bln 4-5 thn 8-9 thn 11 thn
Caninus 4-5 bln 6-7 thn 11-12 thn 13-15 thn
Premolar I 1-1 thn 5-6 thn 10-11 thn 12-13 thn
Premolar II 2-2 thn 6-7 thn 10-12 thn 12-14 thn
Molar I Waktu lahir 2 - 3 thn 6-7thn 9-10 thn
Molar II 2 - 3 thn 7-8 thn 12-13 thn 14-16 thn
Molar III 7-9 thn 12-16 thn 17-21 thn 18-25 thn
Rahang I Sentralis 3-4 bln 4-5 thn 6-7thn 9 thn
Bawah I lateralis 10 bln 4-5 thn 7-8 thn 10 thn
Caninus 4-5 bln 6-7 thn 9-10 thn 12-14 thn
Premolar I 1 1/4 -2 thn 5-6 thn 10-12 thn 12-13 thn
Premolar II 2- 2 thn 6-7 thn 11-12 thn 13-14 thn
Molar I Waktu lahir 2 -3 thn 6-7 thn 9-10 thn
Molar II 2 - 3 thn 7-8 thn 11-13 thn 15 thn
Molar III 8-10 thn 12-16 thn 17-21 thn 18-25 thn
(Wheeler, C Russel. Wheelers Dental Anatomy, Physiology and Oclusion. WB Saunders
Company. 1984;24)
9
2.6 Identifikasi Ras Korban maupun Pelaku dari Gigi-geligi
Ras di dunia ini dahulu terdapat 3 ras besar yaitu ras caucasoid,
mongoloid, dan ras negroid. Setelah jaman penjajahan, maka terdapat perkawinan
campuran sehingga terdapat ras khusus dan ras australoid, yakni ras aborigin dan
ras-ras kecil di kepulauan.
Ras tersebut memiliki ciri-ciri sendiri yang dapat digunakan sebagai
sarana identifikasi. Menurut Hoebel ciri-ciri ras yang berbeda tersebut disebabkan
hal berikut13:
1. Komponen masyarakat setempat/sekitarnya
2. Komponen perkawinan (pernikahan/garis keturunan)
3. Komponen genetik
4. Komponen ciri-ciri fisik, gigi, dan mulut
10
Gambar 1. Gambar Gigi Insisive atas Bagian Atas tidak Terdapat Cingulum dan
Gigi Molar I dengan Visur dan Dua Pit yakni Pit Distal dan Pit Mesial
Oleh karena itu satu individu tidak murni satu ras. Maka gigi sesuai untuk
pnentuan ras yang didapat dari phenotype gigi dari genotypenya.
11
Gambar 3. Singulum pada Permukaan Palatal pada Gigi Insisive Atas
Gambar 4. Visura pada Gigi Molar I seperti Sarang Laba-laba dan Memperlihatkan Gigi
Insisive Tidak Terdapat Cingulum
4. Ras Australoid
Ras suku ini adalah: suku aborigin dan suku-suku di kepulauan kecil
pasifik. Ras ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
12
5. Ras Khusus
Menurut Nursial Luth dan Daniel Fernandez (1995) yakni:
a. Bushman: suku ini bermukim di spanyol
b. Vedoid: suku ini bermukim di Afrika Tengah.
c. Polynesian: suku ini bermukim di pulau-pulau terkecil di lautan
Hindia dan lautan Arfika
d. Ainu: suku ini bermukim di kepulauan kecil Jepang.
Gambar 6. Gigi Depan Ras Khusus yang Relatif Semua Gigi Insisive Hampir Sama
13
Gambar 7. Memperlihatkan Lengkung Rahang Ras Mongoloid, Negroid, dan Caucasoid
14
2.8 Identifikasi Jenis Kelamin dari Tulang Rahang
15
a. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Sudut Genion
Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita
Gambar 13. Jarak Interprossus Coronoideus dan Condylus pada Pria dan
Wanita
16
d. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Lebar Ramus Ascendens
Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria
mempunyai jarak yang lebih lebar dibandingkan dengan wanita.
17
g. Identifikasi Jenis Kelamin melalui Processus Coronoideus
Tinggi Processus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan
dalam bidang vertikal.
18
premolar 2. Kemudian setelah bertahun tahun akan terlihat suatu open bite
diantara gigi tersebut sesuai dengan pipa yang digunakan.
Gambar 19. Aus Gigi atau Atrisi Sesuai dengan Tekanan Oklusi Gigi Atas dan Bawah
19
D. Bagi yang memiliki gigitan open bitasatu maupun beberapa gigi maka gigi
tersbut akan terlihat adanya artrisi sedangkan gigi yang mempunyai kontak
oklusi gigi atas dengan gigi bawah maka akan terjadi artrisi sesuai dengan
derajat keparahannya.
Gambar 20. Gigi Seorang Penjahit yang Sering Menggigit Jarum sehingga Artrisi
Berongga Sesuai dengan Ukuran jarum
b. Bagi penata rambut atau yang biasa disebut capster maka akan terlihat
pada gigi insisive central khususnya, umumnya gigi insisive central lateral.
Suatu artrisi pada gigi atas dan bawah yang berbentuk rongga sesuai
20
dengan jepit rambut beberapa buah pada gigi insisivenya, rongga tersebut
sama dengan jepit rambut yang besar maupun kecil
Gambar 21. Seorang Penata Rambut Menggigit Alat Sisir dan lainnya Sehingga
Terbentuk Rongga Artrisi Gigi Insisive.
21
2.11 Identifikasi Golongan Darah Korban dan Pelaku melalui Air Liur atau
Saliva
Identifikasi golongan darah korban melalui air liur atau saliva haruslah
dibuat sediaan ulas pada TKP maupun pada korban yang masih terdapat air liur
baik masih basah maupun sudah kering.13
Identifikasi ini harus di cross check dengan anggota keluarga yang secarah
semenda yakni saudara kandung, ibu, ayah.
Identifikasi golongan darah dari air liur yang disebut juga sebagai saliva
washing atau analisis air liur maka sediaan ulas yang tim identifikasi buat
haruslah dikirim ke laboratorium serologi, apabila air liur atau saliva tersebut
sekretor maka dapat diketahui golongan darah dari air liur tersebut.
Sedangkan apabila air liur tersebut non-sekretorik maka sulit ditentukan
golongan darah oleh karena terlampau banyak kemungkinan yang
mempengaruhinya.
Menurut penelitian laboratorium kedokteran kepolisian di Jakarta bahwa
anggota kepolisian yang diteliti 75% adalah sekretorik, sedangkan menurut buku-
buku acuan yang digunakan bahwa manusia di dunia ini 85% sekretorik.
Dalam penentuan golongan darah dari analisis air liur haruslah diingat
teori paternalis yakni teori yang menentukan garis keturunana dengan kata lain
apabila korban maupun pelaku diketahui sedarah semendanya maka sedarah
semendanya haruslah diambil salivanya untuk kepastian golongan darahnya.
Menurut Musa Perdanakusuma tahun 1984 bahwa tabel golongan darah
dari keturunan (paternalis) sebagai berikut13:
22
A O,A A
A O,A,B B
A A,B,AB AB
B O,B B
B A,B,AB AB
AB A,B,AB AB
23
Menurut Sopher pada tahun 1976 bahwa pola gigitan yang ditimbulkan
oleh hewan berbeda dengan mnusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi
gigi geligi serta bentuk rahang.
Menurut Curran pada tahun 1976 bahwa pola gigitan baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan
kulit dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-
buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup ataupun
sudah meninggal.
Menurut Soderman dan Oconnel pada tahun 1952 mengatakan bahwa
yang paling sering terdapat pola gigigtan pada buah-buahan yakni buah apel, pear,
dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.
baik pola permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang
mengakibatkan putusnya jaringan kulit.
Sedangkan menurut Lukman pada tahun 2003 pola gigitan mempunyai
suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan
pola gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun
manusia yang msing-msing individu sangat berbeda.
2.14 Klasifikasi Pola Gigitan
Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan,
pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu13:
1. Kelas I: Pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus
Gambar 23. Pola Gigi Seri Sentralis dan Naturalis dan Kaninus dengan Jarak Sesuai
dengan Susunan Gigi Geliginya
24
2. Kelas II: Pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat
pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp
lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit
Gambar 24. Pola gigitan dari gigi insisive pertama, kaninus, dan cusp premolar rahang
atas dan bawah
3. Kelas III: Pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yakni
permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan
mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II
Gambar 25. Pola Gigigitan yang Mempunyai Pola Luka Lebih Dalam
4. Kelas IV: Pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah
kulit yang sedikit terlepas dan ruptur sehingga terlihat pola gigitannya
ireguler.
25
Gambar 26. Ketidakteraturan Keparahan Derajat Pola Gigitan dengan Pola Gigitan Gigi
Premolar yang Hampir Menyatu
5. Kelas V: Pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan
insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
Gambar 27. Pola Luka Gigitan yang Sangat Lebar serta Ketidakteraturan dari Semua
Gigi Depan dan Premolar
6. Kelas VI: Pola gigitan kelas VI memeperlihatkan luka dari seluruh gigitan
dari gigi rahang atas dan bawah dan jaringan kulit serta jaringan otot
terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.
Gambar 28. Luka Akibat Pola Gigitan Sangat Dalam dan Buas pada Jaringan Kulit dan
Jaringan Ikat Terlepas Seluruhnya
26
Berbagai Jenis Pola Gigitan Manusia
Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ
tubuh mana yang terkena, apabila pola gigitan pelaku seksual mempunyai lokasi
tertentu, pada penyiksaan anak akan mempunyai pola gigitan pada lokasi tertentu
juga akan tetapi pada gigitan yang dikenal dengan child abuse maka pola
gigitannya hampir semua bagian tubuh.13
1. Pola gigitan heteroseksual
Pola gigitan pelaku-pelaku hubungan intin antar lawan jenis dengan
perkataan lain hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat
penyimpangan yang sifatnya sedikit melakukan penyiksaan yang
menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau menimbulkan rasa sakit
Gambar 29. Pola Gigitan Gigi Geligi tapi Terdapat Aksi Lidan dan Bibir
27
Gambar 30. Pola Gigitan Kelas V akibat Gigitan dari Lawan Jenis saat Tertidur
Pulas
c. Pola gigitan pada sekitar organ genital
Pola gigitan ini terjadi akibat pelampiasan dari pasangannya atau
istrinya akibat cemburu buta yang dilakukan pada waktu suaminya
tertidur pulas setelah melakukan hubungan seksual.
Gambar 31. Luka Bekas Gigitan Kelas VI pada Paha Kiri Akibat Pelampiasan
dengan Menggunakan Gigi dari Lawan Jenis saat Korban Tertidur
d. Pola gigitan pada organ genital
Pola gigitan ini modus operandinya sama dengan seperti di atas yakni
pelampiasan emosional dari lawan jenis atau istri karena cemburu buta.
Biasanya hal ini terjadi pada waktu korban tertidur lelap setelah
melakukan hubungan intim
28
Gambar 32. Gigitan pada Gland Penis sehingga Terputus sebagai Akibat Gigitan
Wanita karena Cemburu Buta
e. Pola gigitan pada mammae
Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan senggama atau
berhubungan intim dengan lawan jenis. Pola gigitan ini baik disekitar
papilla mammae dan lateral dari mammae. Oleh karena mammae
merupakan suatu organ tubuh setengah bulatan maka pola gigitan yang
dominan adalah gigitan kaninus. Sedangkan pola gigitan gigi seri
terlihat sedikit atau hanya memar saja.
Gambar 33. Luka pada Bagian Lateral Mammae dan Papilla Mammae
29
2. Pola gigitan child abuse
Hal ini terjadi akibat dari faktor iri dengan dari teman ibunya, atau ibu
anak tetangganya oleh karena anak tersebut lebih pandai, lebih lincah,
lebih komunikatif dari anaknya sendiri maka ia melakukan pelampiasan
dengan menggunakan gigitannya dari anak tersebut. Hal ini terjadi dengan
rencana oleh karena ditunggu pada waktu korban tersebut melewati
pinggir atau depan rumahnya dan kemudian setelah melakukan gigitan ibu
tersebut melarikan diri melalui jalan yang sempit.
Pola gigitan ini dapat terjadi pada masyarakat menengah ke bawah
yang umumnya penghuni flat atau kondominiium sehingga terdapat jalan
sempit antar bangunan yang dipakai untuk melarikan diri.
Lokasi gigitan biasanya terdapat padadaerah punggung, bahu atas,
dan leher.
3. Pola gigitan hewan
Hal ini biasanya terjadi akibat dari penyerangan hewan peliharaan kepada
korban yang tidak disukai dari hewann tersebut. Apabila korban hidup
mengalami kejadian yang terjadi di atas biasanya tanpa instruksi dari
pemelihara. Bila instrujsi dari pemeliharanya maka hal ini sering terjadi
pada hewan khusus yang berjenis herder atau doberman yang memang
spesial dipelihara untuk menangkap orang.
a. Pola gigitan anjing
Pola gigitan ini biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah
pawangnya atau induk semangnya. Hal ini terjadi pada serangan atau
atas perintah pemiliknya.
b. Pola gigitan hewan pesisir pantai
Pola gigitan ini terjadi bila korban meninggal di tepi pantau atau
korban meninggal dibuang di tepi pantai sehingga dalam beberapa hari
atau minggu korban digerogoti oleh hewan laut seprti tiram, kerang.
4. Pola gigitan homoseksual atau lesbian
Pola gigitan ini biasanya terjadi pada waktu pelampisan birahinya dengan
pola gigitan disekitar organ genital yakni paha, leher, dan lainnya.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
mengalami pembentukan jaringan keras sampai umur 8-9 tahun. Urutan erupsi
pada gigi permanen adalah sebagai berikut: Molar pertama-insisivus sentralis dan
lateralis mandibula-insisivus sentralis maksila-insisivus lateralis maksila-caninus
mandibula-premolar pertama-premolar kedua-caninus maksila-molar kedua-molar
ketiga.
Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin.
Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya.
Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter
kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering
dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.
Gambaran gigi juga dapat memperkirakan gambaran ras, yaitu ras mongoloid
meliputi Insisivus berbentuk sekop, Dens evaginatus, Aksesoris berbentuk
tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid.
Sedangkan pada ras kaukasoid meliputi Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan
pada molar 1, pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari
mandibula, maloklusi pada gigi anterior. Pada ras negroid meliputi Sering terdapat
open bite, pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan,
palatum berbentuk lebar.
Pemeriksaan gigi-geligi sebagai identifikasi karena gigi melekat erat pada
tulang rahang serta gigi bisa tahan pemasanan hingga 9000C, tahan kimawi, tahan
abrasi dan atrisi karena kandungan non organik didalam gigi tinggi, bahkan lebih
tinggi dari tulang. Namun, terdapat beberapa kendala dalam identifikasi gigi yakni
banyak masyarakat Indonesia yang tidak melakukan perwatan gigi dan
mempunyai data radiogram giginya sebagai rekam medis pada data ante mortem,
dan sebagian besar masyarakat indonesia yang melakukan perawatan berpindah
pindah, pencatatan tidak cukup dan tidak baku serta memiliki waktu yang lama.
32
DAFTAR PUSTAKA
33