Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 29 tahun
Alamat : Jln. Pulau Kodingareng
Pekerjaan : Nelayan
Agama : Islam
No. Rekam Medik : 238033
Tanggal Masuk RS : 24 Juli 2017

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak nafas
Anamnesis Terpimpin : Dialami sejak 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit, sesak dirasakan semakin memberat hingga saat ini. Sesak terasa
bertambah bila pasien berbaring terlentang dan mereda bila pasien duduk.
Batuk tidak ada, nyeri dada kiri ada dialami sejak 2 minggu lalu. Riwayat
demam tidak ada, Riwayat berobat OAT tidak ada. Tidak konsumsi obat
teratur. Riwayat trauma tidak ada. Riwayat diabetes tidak ada. Riwayat
penyakit yang sama sebelumnya ada.

C. Pemeriksaan Fisis
Status Generalis : Sakit berat / Obes 1 / Sadar
Status Vitalis Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Pernafasan : 30 x / menit
Suhu : 36,8oC (axilla)

1
Status Lokalis

Kepala

Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Hidung : Rhinorrhea tidak ada, epistaksis tidak ada

Bibir : Sianosis tidak ada

Leher

Inspeksi : Warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak


tampak massa tumor

Palpasi : Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri


tekan, tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, deviasi trakhea kearah kanan.

Thoraks
Inspeksi : Pergerakan hemithoraks kiri tertinggal
dibandingkan hemithoraks kanan.
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada,
taktil fremitus hemithoraks kiri kesan
melemah dibanding hemithoraks kanan.
Perkusi : Sonor pada hemithoraks kanan setinggi ICS
I-ICS VI, pekak pada hemithoraks kiri mulai
ICS I-ICS VIII.
Auskultasi : Bunyi pernafasan hemithoraks kiri melemah
dibanding hemithoraks kanan, bunyi
pernafasan tipe vesikuler, tidak ada ronkhi
dan wheezing.

2
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak pada batas kanan jantung, sejajar linea
midclavicularis dekstra, batas kiri jantung
sulit dinilai.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II, murni, reguler, tidak
ada bising.

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik kesan normal
Palpasi : Tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri
tekan.
Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Tympani

Ekstremitas Inferior Dekstra et Sinistra


Inspeksi : Tidak ada edema
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


WBC 9,2 4.0 - 10.0
RBC 4,63 4.50 - 6.50
HGB 12,1 14.0 - 18.0
HCT 29,2 40.0 - 54.0
PLT 342 150 – 400
MCV 97,1 80-100

3
MCH 27,0 27-32
MCHC 33,6 32-36
SGOT 15 < 38
SGPT 30 < 41
GDS 94 80-180
Natrium 137 136 – 145
Kalium 4,2 3.5 - 5.1
Klorida 97 97 – 111
Ureum 21 10 – 50
Kreatinin 0,4 < 1,3
Albumin 3,8 3,5-5,0

Kesan : Dalam batas normal

Foto Thoraks

4
Ekspertise :
- Tampak perselubungan homogen pada seluruh hemithorax kiri yang
menutupi sinus, diafragma dan batas kiri jantung serta mendorong
trakhea dan mediastinum kearah kanan.
- Cor : CTI sulit dinilai, aorta sulit dinilai
- Sinus dan diafragma kanan baik
- Tulang-tulang intak
Kesan : Efusi pleura masif sinistra
E. Diagnosa Sementara
Efusi pleura masif sinistra
F. Penatalaksanaan
Rencana pemasangan chest tube dan water sealed drainage (WSD)
sinistra.

5
BAB I

PENDAHULUAN

Chest tube adalah suatu tindakan invansif yang dilakukan dengan memasukan
suatu kateter / selang kedalam rongga pleura, rongga thorax, mediastinum dengan
maksud untuk mengeluarkan udara, cairan (termasuk darah dan pus) dari rongga
tersebut agar mampu mengembang atau ekspansi secara normal. Bedanya
tindakan chest tube dengan tindakan punksi atau thorakosintesis adalah
pemasangan kateter / selang pada chest tube berlangsung lebih lama dan
dihubungkan dengan suatu botol penampung.1,2

Komplikasi pemasangan chest tube pada umumnya terjadi oleh karena


perlukaan organ abdomen, thoraks, pecahnya pembuluh darah besar akibat insersi
pipa drainase dada. Pelepasan chest tube tanpa memperhatikan prinsip kedap
udara dapat menyebabkan masuknya udara ke kavum pleura melalui luka insersi
berakibat peumothoraks iatrogenik. 1,2

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI DINDING THORAKS


A. Struktur dinding thorax
Dinding thorax sebelah luar dilapisi oleh kulit dan otot-otot yang
melekatkan gelang bahu pada tubuh. Dinding thorax dilapisi oleh pleura parietal.
Dinding thorax di posterior dibentuk oleh pars thoracica columna vertebralis; di
anterior oleh sternum dan cartilagines costales, lateral oleh costae dan sptium
intercostale superior oleh membrana suprapleuris; dan inferior oleh diaphragma,
yang memisahkan cavitas thoracis dan cavitas abdominis. 3
B. Sternum
Sternum terletak di garis tengah dinding anterior thorax. Sternum
merupakan tulang pipih yang dapat dibagi menjadi 3 bagian: a. Manubrium sterni,
b. Corpus sterni dan c. Processus xiphoideus. Manubrium sterni merupakan
bagian atas sternum yang masing-masing sisinya bersendi dengan clavicula,
cartilagines costae I dan bagian atas cartilagines costales II. Manubrium sterni
terletak berhadapan dengan vertebra thoracica III dan IV. Bagian atas, corpus
sterni bersendi dengan manubrium sterni melalui sebuah junctura fibrocartilaginea
yang disebut symphisis manubriosternalis. Bagian bawah, corpus sterni bersendi
dengan processus xipphoideus pada symphisis xyphosternalis.Processus
xiphoideus merupakan bagian sternum yang paling bawah dan paling kecil,
sternum merupakan cartilago hyalin pipih yang pada orang dewasa mengalami
ossifikasi pada ujung proksimalnya. Tidak ada costae ataupun cartilagines costales
yang melekat padanya.3
C. Cartilagines costales
Cartilagines costales merupakan batang cartilago hyaline yang
menghubungkan 7 costae bagian atas dengan pinggir lateral sternum, dan costae 8,
9 dan 10 dengan cartilago tepat diatasnya. Cartilagines costlaes 11 dan 12 berakhir
pada otot-otot abdomen. 3

7
D. Costae
Terdapat 12 pasang costae yang semuanya melekat pada vertebra thoracica.
7 pasang costae yang teratas melekat dianterior pada sternum melalui cartilagines
costales, pasangan costae 7, 9 dan 10 di anterior melekat satu dengan yang lain
dan ke costae 7 memlalui cartilagines costales dan junctura synivialis yang kecil.
Pasangan costae 11 dan 12 tidak mempunya perlekatan di depan dan dinamakan
costae fluctuantes.Costae mempunya caput, collum, tuberculum, corpus dan
angulus costae. Caput costae mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan
corpus vertebra yang nomornya sama dan dengan vertebra yang terletak tepat
diatasnya. Collum costae merupakan bagian ssempit yang terletak antara caput
dan tuberculum.Tuberculum costae merupakan tonjolan pada permukaan luar
costae pada pertemuan collum dan corpus. Tuberculum mempunyai facies
articularis untuk bersendi dengan processus transversus vertebrae yang nomornya
sama. Corpus costae berbentuk tipis, kurus dan melintir sepanjang sumbu
panjangnya. Pada pinggir inferiornya terdapat sulcus costae. Angulus costae
adalah tempat corpus costae melengkung tajam ke depan. Ujung anterior setiap
costae melekat pada cartilago costalisnya masing-masing. 3

Gambar 1: anatomi dinding thorax.

8
E. Pergerakan Costae dan Cartilagines Costales
Costa I dan cartilagines costalesnya difikasasi pada manubrium sterni dan
tidak dapat bergerak. Pengangkatan dan penurunan costae selama respirasi diikuti
dengan gerakan-gerakan baik sendi-sendi pada caput maupun tuberculum costae
sehingga memungkinkan collum costae disetiap iga berputar sepanjang sumbu
panjangnya. 3
F. Sendi pada sternum
Symphisis manubriosternalis merupakan junctura cartilaginea diantara
manubrium sterni dan corpus sterni. Sedikit gerakan angular mungkin dilakukan
oleh angulus sterni selama waktu respirasi. 3
G. Spatium intercostale
Ruangan yang terletak diantara costae-costae disubut spatium intercostale.
Masing-masing spatium berisi 3 otot untuk respirasi: musculi intercostales externi,
musculi intercostales interni, dan musculi intercostale intimi. Musculi
intercostales intimi dilapisis oleh fasia endothoracica, yang kemudian dilapisi lagi
dengan pleura pareitalis. Pembuluh darah dan nervi intercostales berjalan diantara
lapisan tengah dan lapisan paling dalam otot-otot dan tersusun dalam urutan
sebagai berikut ini dari atas kebawah: vena intercostalis, arteria intercostalis, dan
nervus intercostalis (VAN).3
H. Musculi intercostales
Musculi intercostales externi membentuk lapisan yang paling luar. Arah
serabut-serabutnya ke bawah dan depan dari pinggir bawah costae ke pinggir atas
costae yang ada dibawahnya. Otot berjalan dari tuberculu costa dibelakang sampai
ke costochondral junction di depan, di tempat ini otot diganti oleh aponeurosis
yang disebut membrana intercostalis externa. 3

9
Gambar 2: musculi intercostales.

Musculi intercostalis interni membentuk lapisan tengah. Arah serabut


serabutnya ke bawah dan belakang dari sulcus costae ke pinggir atas costae yang
ada dibawahnya. Otot-otot berjalan dari sternum di depan sampai ke angulus
costae di belakang, tempat otot diganti oleh aponeurosis yang disebut membrana
intercostalis interni.Musculi intercostalis intimi membentuk lapisan paling dalam
dan analog dengan musculus transversus abdominis pada dinding anterior
abdomen. Otot ini merupakan lapisan otot yang tidak lengkap dan menyilang
lebih dari satu spatium intercostale yang terdapat diantara costa-costa. Bagian
dalam otot ini berhubungan langsung dengan fascia endothoracica dan pleura
parietalis sedangkan di bagian luar berhubungan dengan arteria, vena, dan nervus
intercostalis. 3
I. Arteriae dan venae intercostales
Setiap spatium intercostales mempunyai satu arteria intercostales dan dua
arteria intercostalis anterior yang kecil.

10
Gambar 3: arteri, vena dan nervus pada intercostales.

Arteriae intercostales posteriores dua spatium intercostale yang pertama


berasal dari arteria intercostales suprema, cabang dari truncus costocervicalis dari
ateria subclavia. Arteriae intercostales posteriores pada 9 spatium intercostale
yang terbawah dipercabangkan dari aorta thoracica (pars thoracica aortae).Arteria
intercostales anteriores pada 6 spatium intercoctale yang pertama merupakan
cabang arteria thoracica interna. Ateria intercostales anteriores pada saptium
intercostale yang lebih bawah dipercabangkan dan arteria musculophrenica salah
satu cabang terminal arteria thoracica interna. 3
Masing masing arteria intercotalis memberikan cabang untuk otot-otot,
kulit dan pleura parietalis. Pada daerah galndula mammaria perempuan, cabang-
cabang yang menuju ke struktur-struktur permukaan sebagian besar adalah cabang
yang besar.Venae intercostales posteriores yang sesuai mengalirkan darah kembali
ke vena azygos atau vena hemiazygos dan venae intercostales anteriores
mengalirkan darah ke vena thoracica interna dan vena musculophrenica. 3

J. Nervi intercostales
Nervi intercostales merupakan rami anteriores dari 11 nervi thoracici
spinales yang pertama. Ramus anterior nervus thoracalis 12 terletak di abdomen
dan berjalan kedepan di dalam dinding abdomen sebagai nervus subcostalis.Setiap
nervus intercostalis masuk ke dalam saptium intercostale diantara pleura parietalis
dan membrana intercostalis di dalam sulcus costae yang sesuai, diantara musculi
intercostales intimi dan musculus intercostales interni. Enam saraf yang pertama

11
didistribusikan di dalam spatium intercostale. Nervus intercostales VII sampai IX
meninggalkan ujung anterior spatium intercostale dengan berjalan dipermukaan
dalam cartilagines costales, untuk masuk ke dalam dinding anterior abdomen.
Nervi intercostales 10 dan 11, berjalan langsung ke dalam dinding abdomen
karena costae yang sesuai dengan saraf ini merupakan costae fluktuantes.3

2. ANATOMI PLEURA
Pleura merupakan membran serosa yang tersusun dari lapisan sel yang
embriogenik berasal dari jaringan intraembrional dan bersifat memungkinkan
organ yang diliputinya mampu berkembang, mengalami retraksi atau deformasi
sesuai dengan proses perkembangan anatomis dan fisiologis suatu organisme.
Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura
interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari
otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal.
Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura
viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi
pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan nervus
frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal
terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan. 3

Gambar 4. Anatomi pleura


2.2 Cairan Pleura
Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL, terdiri dari makrofag
(75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura normal
mengandung protein 1 – 2 g/100 mL. Elektrofoesis protein cairan pleura
menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein

12
serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi
dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih
tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion natrium lebih
rendah 3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan
pleura lebih tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur
melalui transpor aktif mesotel. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara
dengan plasma. 3

3. FISIOLOGI PLEURA
Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang
ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan
menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi
pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja
otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil elastik (elastic recoil)
paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga
pleura diatur keseimbangan starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan
kapiler, kemampuan
sistem pengaliran limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit.
Ketidakseimbangan komponen-komponen ini menyebabkan penumpukan cairan
sehingga terjadi efusi pleura. 3

Gambar 5. Fisiologi pleura


2.1 Fisiologi cairan pleura
Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial
paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga

13
peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura
sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler
sistemik dengan kapiler pulmoner. 3
Perpindahan cairan ini mengikuti hukum
Starling berikut: 3
Jv = Kf × ([P kapiler – P pleura] - σ [π kapiler –π pleura])
Jv : aliran cairan transpleura,
Kf : koefisien filtrasi yangmerupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran
dengan luas permukaan membran,
P : tekanan hidrostatik,
σ : koefisien kemampuan restriksi membran terhadap migrasi molekul besar,
π : tekanan onkotik.
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek
yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim
yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus
menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih
besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan
permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam
keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura. 3
Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa
jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml. Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari
cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa
keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga

14
pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan
lateral pleural parietalis. Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura
parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini
normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.3

Gambar 6. Fisiologi cairan pleura

15
BAB III
PEMBAHASAN

CHEST TUBE

1. TORAKOSENTESIS
1.1 Definisi
Torakosentesis yaitu tindakan untuk mengambil contoh cairan untuk
diperiksa menggunakan jarum. Pemeriksaan analisa cairan pleura bisa membantu
untuk menentukan penyebabnya. Penatalaksanaan pada kasus tension
pneumothoraxs tergantung pada beberapa faktor, dan mungkin berbeda dari
penatalaksanaan awal hingga dekompresi jarum atau pemasukan dari selang
dada.4

Keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih


1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan
lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit. Torakosentesis ulang dapat
dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap
waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pada efusi pleura
tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasi. 4

a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan


tertekan pada dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong
dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat
menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati
masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah
menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu,
namun cairan masih tetap banyak.

16
1.2 Teknik Pemasangan
a. Identifikasi thoraks penderita dan status respirasi
b. Berikan oksigen dengan aliran yang tinggi dan ventilasi sesuaii kebutuhan
c. Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension pneumothoraks
d. Asepsis dan antisepsis dinding dada
e. Anestesi lokal jika penderita sadar atau keadaan memungkinkan
f. Penderita dalam keadaan posisi tegak jika fraktur servikal sudah
disingkirkan
g. Pertahankan luer-lok di ujung distal kateter, insersi jarum kateter (panjang
3-6 cm) ke kulit secara langsung tepat di atas iga ke dalam sela iga
h. Tusuk pleura parietal
i. Pindahkan luer-lok dari kateter dan dengar keluarnya udara ketika jarum
memasuki pleura parietal, menandakan tension pneumothoraks telah
diatasi
j. Pindahkan jarum dan ganti luer-lok di ujung distal kateter. Tinggalkan
kateter plastik di tempatnya dan tutup dengan plaster atau kain kecil

2. CHEST TUBE dan pemasangan botol WSD


2.1 Definisi
Tindakan invasif dengan cara memasukkan selang atau tube kedalam
rongga toraks dengan menembus muskulus intercostalis.4

1.1.Indikasi Pemasangan WSD


Intrapleural chest drain dapat di pasang untuk menghilangkan udara atau
cairan (yang mana mungkin berupa cairat eksudatif, cairan transudatif, cairan
limfe, darah ataupun nanah) dari rongga pelura.
Adapun indikasi pemasangan drain dada atau WSD adalah sebagai berikut:
a. Pneumothorax (adanya udara dalam pleural space):4
 Pneumothorax spontan muncul tanpa disebabkan adanya trauma,
pneumothorax spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura
viseral, sementara pada suatu saat terjadi terjadi peninggian tekanan di jalan

17
napas oleh suatu sebab sehingga alveolus dan pleura yang menutupinya
pecah. Hal ini dapat terjadi pada penderita infeksi paru dengan batuk keras,
pengguna kortikosteroid kronik, perokok dan penderita penyakit paru
menahun.
 Tension pneumothorax yang merupakan keadaan dimana udara yang ada
pada pleural space namun tidak dapat keluar. Tekanan dalam rongga pleura
semakin tinggi karena penderita memaksa melakukan inspirasi kuat untuk
memperoleh zat asam, tetapi kemudian udara tidak dapat diekspirasi keluar.
Inspirasi paksaan ini akan menambah tekanan sehingga semakin mendesak
mediastinum ke sisi yang sehat dan memperburuk keadaan umum karena
paru yang sehat tertekan.
 Iatrogenik pneumothorax mungkin dapat terjadi setelah operasi intrathoracic
atau dalam hubungan dengan prosedur yang melibatkan rongga pleura,
seperti thorasintesis atau chest drain.

 Traumatik
b. Koleksi pleural:
 Pus atau nanah (empyema) disebabkan oleh infeksi akut di paru atau luar
paru, mungkin pada fase infeksi, cairan tidak tampak sebagai pus tetapi
berwarna jernih kuning atau kekuning-kuningan. Sering timbul endapan
fibrin sehingga nanah sulit dikeluarkan.
 Darah (hemothorax): tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang
berdarah di dinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak
menimbulkan nyeri. Di dalam rongga dada, dapat terkumpul banyak darah
tanpa gejala yang menonjol.
 Chyle atau cairan limfe di dalam pleural space (chylothorax): paling sering
muncul akibat dari trauma pada duktus thoracic atau duktus limfatik dextra
pada saat operasi oesphagectomi. Kasus lain termasuk obstruksi malignant
pada duktus thoracic akibat dari metastasis limfonodus.

18
c. Thoracotomy
d. Efusi pleura dapat berupa eksudat atau transudat dalam pleural space.
Kelainan ini disebabkan karena gangguan keseimbangan antara produksi
dan absorbsi, misalnya pada hiperemia pada inflamasi, perubahan tekanan
osmotik (hipoalbuminemia) dan peningkanan tekanan vena (gagal jantung).
Transudat terjadi misalnya pada gagal jantung akibat bendungan vena
disertai peningkatan tekanan hidrostatik dan pada sirosis hepatis karena
tekanan osmotik koloid yang menurun, sementara eksudasi keluar langsung
dari kapiler sehingga kaya akan proten dan berat jenisnya tinggi serta
banyak mengandung sel darah putih.

2.2 Macam-macam WSD 4


A. Single Bottle Water Seal System
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke dalam satu
botol yang memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi
tidak mengijinkan udara maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara
fungsional, drainase tergantung pada gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan,
oleh karena itu botol harus diletakkan lebih rendah. Ketika jumlah cairan di dalam
botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih sulit keluar dari rongga
dada, dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya. Sistem satu
botol digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya
membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Water seal dan
penampung drainage digabung pada satu botol dengan menggunakan katup udara.
Katup udara digunakan untuk mencegah penambahan tekanan dalam botol yang
dapat menghambat pengeluaran cairan atau udara dari rongga pleura. Karena
hanya menggunakan satu botol yang perlu diingat adalah penambahan isi cairan
botol dapat mengurangi daya hisap botol sehingga cairan atau udara pada rongga
intrapleura tidak dapat dikeluarkan.

19
Gambar 7. Single bottle WSD
B. Two Bottle System
System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung cairan.
Drainase sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan pleura terkumpul,
underwater seal system tidak terpengaruh oleh volume drainase. Sistem dua botol
menggunakan dua botol yang masing-masing berfungsi sebagai water seal dan
penampung. Botol pertama adalah penampung drainage yang berhubungan
langsung dengan klien dan botol kedua berfungsi sebagai water seal yang dapat
mencegan peningkatan tekanan dalam penampung sehingga drainage dada dapat
dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini jumlah drainage dapat diukur
secara tepat.

Gambar 8. Two bottle WSD


C. Three Bottle System
Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol
jumlah cairan suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol
yang masing-masing berfungsi sebagai penampung, "water seal" dan pengatur;
yang mengatur tekanan penghisap. Jika drainage yang ingin, dikeluarkan cukup
banyak biasanya digunakan mesin penghisap (suction) dengan tekanan

20
Gambar 9. Three bottle WSD

2.3 Tempat insersi slang WSD :


a. untuk pengeluaran udara dilakukan pada intercostals 2-3 garis
midclavicula
b. untuk pengeluaran cairan dilakukan pada intercostals 7-8-9 mid aksilaris
line/dorsal axillar line

2.4 System drainase selang dada4

System Keuntungan Kerugian


Satu botol Penyususnan sederhana Saat drainase dada
Mudah untuk pasien yang mengisi botol, lebih
dapat berjalan banyak kekuatan
diperlukan untuk
memungkinkan udara dan
cairan pleura keluar dari
dada masuk ke botol.
Campuran darah darinase
dan udara menimbulkan
campuran busa dalam
botol yang membatasi
garis pengukuran
drainase. Untuk terjadinya
aliran, tekanan pleural

21
harus lebih tinggi dari
tekanan botol.

Dua botol Mempertahankan water Menambah area mati pada


seal pada tingkat konstan. system drainase yang
Memungkinkan observasi mempunyai potensial
dan pengukuran crainase untuk masuk ke dalam
yang lebih baik area pleural Untuk
terjadinya aliran, tekanan
pleural harus lebih tinggi
dari tekanan botol
Mempunyai batas
kelebihan kapasitas aliran
udara pada adanya
kebocoran pleural

Tiga botol System paling aman untuk Lebih kompleks, lebih


mengatur penghisapan banyak kesempatan untuk
terjadinya kesalahan
dalam perakitan dan
pemeliharaan
Unit water seal -sekali Plastic dan tidak mudah Mahal Kehilangan water
pakai pecah seperti botol seal dan keakuratan
pengukuran drainase bila
unit terbalik
Flutter valve Ideal untuk transport Mahal Katup berkipas
karena segel air tidak memberikan
dipertahankan bila unit informasi visual pada
terbalik Kurang satu tekanan intrapleural
ruang untuk mengisis Tak karena tak ada fluktuasi

22
ada masalah dengan air pada ruang water seal
penguapan air Penurunan
kadar kebisingan
Screw valve Sama dengan diatas Sama dengan diatas
Katup sempit membatasi
jumlah volume yang
dapat diatasinya, tidak
efisien untuk kebocoran
udara pleural besar
Calibrated spring Sama dengan diatas Mahal
mechanism Mampu mengatasi volume
besar

2.5 Alat yang digunakan4


1. Sarung tangan steril
2. Doek steril
3. Spoit 5 cc steril
4. Pisau bedah steril
5. Klem arteri lurus 15-17 cm steril
6. "Naald voerder" (needle holder = klem pemegang jarum) dan jarum jahit
kulit steril.
7. Benang sutera steril untuk jaihatn kulit 4 x 25 cm
8. "Slang untuk "Drain" yang steril. Untuk orang dewasa minimal I.D. 8 mm
dan untuk anak-anak 6 mm.
2.6 Teknik pemasangan : 4
a. Bila mungkin penderita dalam posisi duduk. Bila tidak mungkin setengah
duduk, bila tidak mungkin dapat juga penderita tiduran dengan sedikit
miring ke sisi yang sehat.
b. Ditentukan tempat untuk pemasangan WSD. Bila kanan sela iga (s.i) VII
atau VIII, kalau kiri di s.i VIII atau IX linea aksilaris posterior atau kira-kira

23
sama tinggi dengan sela iga dari angulus inferius skapulae. Bila di dada
bagian depan dipilih s.i II di garis midklavikuler kanan atau kiri.
c. Ditentukan kira-kira tebal dinding toraks.
d. Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir slang WSD
tebal dinding toraks (misalnya dengan ikatan benang).
e. Cuci tempat yang akan dipasang WSD dan sekitarnya dengan cairan
antiseptik.
f. Tutup dengan duk steril
g. Daerah tempat masuk slang WSD dan sekitarnya dianestesi setempat secara
infiltrate dan "block".
h. Insisi kulit subkutis dan otot dada ditengah s.i.
i. Irisan diteruskan secara tajam (tusukan) menembus pleura.
j. Dengan klem arteri lurus lobang diperlebar secara tumpul.
k. Slang WSD diklem dengan arteri klem dan didorong masuk ke rongga
pleura (sedikit dengan tekanan).
l. Fiksasi slang WSD sesuai dengan tanda pada slang WSD.
m. Daerah luka dibersihkan dan diberi zalf steril agar kedap udara.
n. Slang WSD disambung dengan botol SD steril.
o. Bila mungkin dengan continous suction dengan tekanan -24 sampai -32
cmH20.

24
Gambar 10. Teknik pemasangan WSD

2.7 Perawatan WSD4


A. Perawatan luka WSD
1. Verband diganti 3 hari sekali
2. Diberi zalf steril

B. Perawatan "slang" dan botol WSD


1. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari diukur berapa cail yang keluar
kalau ada dicatat.
2. Cairan di botol WSD adalah cairan antiseptik.
3. Setiap hendak mengganti botol dicatat berapa pertambahan cairan
4. Setiap hendak mengganti dicatat unduiasi ada atau tidak
5. Setiap Hendak mengganti dicatat adanya gelembung udara dariWSD.
6. Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuh dalam
rongga pleura yaitu meng "klem" slang atau dilipatdandih dengan karet.
7. Setiap penggantian botol atau slang harus memperhatikan sterilils botol
dan slang harus tetap steril.
8. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja dii sendiri,
dengan memakai sarung tangan.

C. Paru
1. Dengan WSD diharapkan paru mengembang
2. Kontrol pengembangan paru dengan pemeriksaan fisik dan radiologik.
3. Latihan nafas ekpirasi dan inspirasi yang dalam.
4. Latihan batuk yang efisien.
5. Pemberian antibiotika.

25
6. Expectorant: cukup obat batuk hitam (OBH).
2.9 Dinyatakan berhasil, bila: 4
1. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik atau radiologik.
2. Darah cairan tidak keluar dari WSD.
3. Tidak ada pus dari slang WSD (tidak ada empyema).
2.10 Mengangkat WSD4
1. Disediakan alat-alat untuk mengangkat jahitan kulit yang steril.
2. Kain kasa steril
3. Zalf steril
4. Teknik:
 angkat jahitan
 pasien disuruh nafas dalam
 pada waktu ekspirasi dalam dan menahannya, WSD diangkat
dengan menutup kain kasa steril yang ada zalf steril.

2.11 Dikatakan baik dan dapat dipulangkan: 4


1. Keadaan umum memungkinkan
2. Pada kontrol 1 -2 hari pasca pengangkatan WSD paru tetap mengembang
penuh
3. Tanda-tanda infeksi/empiema tidak ada

2.12 Pasca pemasangan WSD selalu dimintakan fisioterapi : 4


1. Untuk batuk efektif dan penderita harus latihan membatuk-batukkan
2. Untuk nafas dalam (inspirasi dan ekspirasi)
3. Untuk nafas dada terutama bagian atas

26
3. INDIKASI TINDAKAN EFUSI PLEURA
3.1 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura adalah jumlah cairan ion
purulen yang berlebihan dalam rongga pleura, antara lain visceral dan parietal.
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di dalam rongga pleura. Jadi, efusi pleura
adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, Cairan tersebut
mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Adanya akumulasi cairan pada kavum
pleura ini mengindikasikan adanya suatu kelainan atau penyakit. Cairan dalam
jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi
peregangan paru selama inhalasi.5
Pustaka lain mendefinisikan efusi pleura sebagai jumlah akumulasi
cairan pleura di kavum pleura yang berlebihan yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan antara produksi cairan pleura dengan absorbsi cairan pleura. 5

3.2 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik
luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
dan tekanan onkotik. 2

Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non
pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi
pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,.
pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan
peran dalam pembentukan efusi pleura:

1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,


emboli paru)

27
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia,
sirosis)
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau
paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten
menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis,
pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus
ke rongga pleura), karena tumor dan trauma.

3.3 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan


antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler.
Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan
interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam
rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar
pleura. Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akanterbentuk pus/nanah,
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
besar sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya

28
pneumothoraxs karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis sehingga udara
akanmasuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma
dada atatu alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti pada
pasien emfisema paru. Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena
penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati,
sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan,
perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru, dan pneumothoraxs. Efusi
eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas
kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah
menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga
pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena
mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa.5
Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba, paragonimiosis,
ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma, fever, legionella),
keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rematoid,
sarkoidosis, radang sebab lain seperti, pakreatitis, asbestosis, pleuritis uremia, dan
akibat radiasi. 5

3.4 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme pembentukan
cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau eksudat. Transudat
hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan tekanan hidrostatik,
sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau drainase limfatik yang
menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi kombinasi antara karakteristk
cairan transudat dan eksudat. 1,2,3

1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:


a. Transudat

Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah
transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara tekanan

29
kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi
pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:

1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik


2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura

Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

a. Gagal jantung kiri (terbanyak)


b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening)
b. Exusadat

Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang


permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan
protein transudat. Bila terjadi proses peradangan maka permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat
atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab
pleuritis eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam
cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran
protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.

Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)


b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik

30
e. Radiasi,
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus Eritematosis).

4. PNEUMOTHORAX
4.1 Definisi

Pneumothoraxs adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar


paru yang menyebabkan paru kolaps. Pneumothoraxs merupakan suatu kondisi
dimana terdapat udara pada kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura
tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga
dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :6
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan
memasuki kavum pleura. Pneumothoraxs jenis ini disebut sebagai closed
pneumothoraxs. Apabila kebocoran pleura viseralis berfungsi sebagai
katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan dapat keluar dari
kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin
banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan
menyebabkan terjadinya tension pneumothoraxs. 6
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut
sebagai open pneumothoraks. 6

31
4.2 Etiologi
Terdapat beberapa jenis pneumothoraxs yang dikelompokkan berdasarkan
penyebabnya:

a. Pneumothoraxs primer: terjadi tanpa disertai penyakit paru yang


mendasarinya.
b. Pneumothoraxs sekunder: merupakan komplikasi dari penyakit paru yang
mendahuluinya.
c. Pneumothoraxs traumatik: terjadi akibat cedera traumatik pada
dada.Traumanya bisa bersifat menembus(luka,tusuk,peluru atau
tumpul(benturan pada kecelakaan bermotor). Pneumothoraxs juga bisa
merupakan komplikasi dari tindakan medis tertentu(misal
torakosentesis).
4.3 Patofisiologi
Pneumothoraxs dapat disebabkan oleh trauma dada yang dapat
mengakibatkan kebocoran, tusukan, laserasi pleura viseral. Sehingga paru-paru
kolaps sebagian atau komplit berhubungan dengan udara atau cairan masuk ke
dalam ruang pleura. Volume di ruang pleura menjadi meningkat dan
mengakibatkan peningkatan tekanan intra toraks. Jika peningkatan tekanan intra
toraks terjadi, maka distress pernapasan dan gangguan pertukaran gas dan
menimbulkan tekanan pada mediastinum yang dapat mencetuskan gangguan
jantung dan sirkulasi sistemik. 6
Secara garis besar ke semua jenis pneumothorax mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama. Pneumothorax spontan, closed pneumothorax,
simple pneumothorax, tension pneumothorax, dan open pneumothorax.
Pneumothorax spontan terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura
visceralis. Apabila dinding alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah,
maka akan ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa ikut
mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru menyebabkan

32
tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar masuk. Pada
pneumothorax spontan,paru-paru kolpas, udara inspirasi ini bocor masuk ke
cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif.Pada saat inspirasi akan
terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya menekan mediastinal ke sisi yang
sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal kembali lagi ke posisi semula.Proses yang
terjadi ini dikenal dengan mediastinal flutter. 6
Pneumothorax ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi paru
sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan bekerja dengan
sempurna. Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala pre-shock
atau shock dikenal dengan simple pneumothorax. Berkumpulnya udara pada
cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan lingkungan luar dikenal
dengan closed pneumothorax.Pada saat ekspirasi, udara juga tidak dipompakan
balik secara maksimal karena elastic recoil dari kerja alveoli tidak bekerja
sempurna. Akibatnya bilamana proses ini semakin berlanjut,hiperekspansi cavum
pleura pada saat inspirasi menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat
ekspirasi udara terjebak pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat
katup tertutup terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru yang sehat,
dan obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau shock
oleh karena penekanan vena cava.Kejadian ini dikenal dengan tension
pneumothoraxs. 6
Pada open pneumothorax terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkungan luar. Open pneumothorax dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumothorax inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumothorax komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang
sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka

33
yang bersifat katup tertutup. Selanjutnya terjadilah penekanan vena cava,shunting
udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya dapat timbulah
gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava. Kejadian inidikenal
dengan tension pneumothoraxs. 6

4.4 Klasifikasi
Klasifikasi Menurut penyebabnya, pneumothoraxs dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu: 6
1. Pneumothoraxs spontan yaitu setiap pneumothoraxs yang terjadi secara tiba-
tiba. Pneumothoraxs tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu: 6
a. Pneumothoraxs spontan primer, yaitu
pneumothoraxs yang terjadi secara tiba tiba tanpa diketahui sebabnya
atau tanpa penyakit dasar yang jelas. Lebih sering pada laki-laki muda
sehat dibandingkan wanita. Timbul akibat ruptur bulla kecil (12 cm)
subpleural, terutama di bagian puncak paru.
b. Pneumothoraxs spontan sekunder, yaitu
pneumothoraxs yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru
yang telah dimiliki sebelumnya, Tersering pada pasien bronkitis dan
emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla.
Penyakit dasar lain: Tb paru, asma lanjut, pneumonia, abses paruatau
Ca paru. fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker
paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumothoraxs traumatik, Yaitu pneumothoraxs yang terjadi akibat adanya
suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan
robeknya pleura, dinding dada maupun paru. 6
Pneumothoraxs tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,
yaitu: 6
a. Pneumothoraxs traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraxs yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.

34
b. Pneumothoraxs traumatik iatrogenik, yaitu pneumothoraxs yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumothoraxs jenis ini pun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumothoraxs traumatik iatrogenik aksidental Adalah suatu
pneumothoraxs yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan
atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis
dada, biopsy pleura. 6
2) Pneumothoraxs traumatik iatrogenik artifisial (deliberate) Adalah
suatu pneumothoraxs yang sengaja dilakukan dengan cara
mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini
dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan
tuberculosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai
permukaan paru. 6

Berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumothoraxs dapat diklasifikasikan


ke dalam tiga jenis, yaitu: 6
1. Pneumothoraxs Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura
dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada),
sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam
rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada
kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih
ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali
negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di
rongga pleura tetap negatif. 6
2. Pneumothoraxs Terbuka (Open Pneumothorax), Yaitu pneumothoraxs
dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang
merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada).
Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.
Pada pneumothoraxs terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan
tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh

35
gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan
pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat
inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi
mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound). 6
3. Pneumothoraxs Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumothoraxs
dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin
bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. 6
Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi
dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal
napas. 6
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumothoraxs dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 6
1. Pneumothoraxs parsialis, yaitu pneumothoraxs yang menekan pada
sebagian kecilparu (< 50% volume paru).
2. Pneumothoraxs totalis, yaitu pneumothoraxs yang mengenai sebagian
besar paru (> 50% volume paru).

36
5. HEMATOTHORAKS
5.1 Definisi
Hematothorax adalah adanya kumpulan darah di dalam ruang antara
dinding dada dan paru-paru (rongga pleura). Sumber darah mungkin dari dinding
dada, parenkim paru–paru, jantung atau pembuluh darah besar. Kondisi biasanya
merupakan akibat dari trauma tumpul atau tajam. Ini juga mungkin merupakan
komplikasi dari beberapa penyakit.7

Hemathothoraks (hemotoraks) adalah terakumulasinya darah pada rongga


thoraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada. Hemathothoraks biasanya
terjadi karena cedera di dada. Penyebab lainnya adalah pecahnya sebuah
pembuluh darah atau kebocoran aneurisma aorta yang kemudian mengalirkan
darahnya ke rongga pleura. 7

5.2 Etiologi
Penyebab utama hematothoraks adalah trauma, seperti luka penetrasi pada
paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Trauma tumpul pada
dada juga dapat menyebabkan hematothoraks karena laserasi pembuluh darah
internal. 7
Penyebab hematothoraks antara lain : 7
1. Penetrasi pada dada
2. Trauma tumpul pada dada
3. Laserasi jaringan paru
4. Laserasi otot dan pembuluh darah intercostal
5. Laserasi arteri mammaria interna
Secara umum, penyebab terjadinya hematotoraks adalah sebagai berikut : 7

a. Traumatis
- Trauma tumpul.
- Penetrasi trauma (Trauma tembus, termasuk iatrogenik).
b. Non traumatic atau spontan
- Neoplasia (primer atau metastasis).

37
- Diskrasia darah, termasuk komplikasi antikoagulasi.
- Emboli paru dengan infark.
- Robek adhesi pleura berkaitan dengan pneumotorax spontan.
- Bullous emfisema.
- Tuberkulosis.
- Paru atriovenosa fistula.
- Nekrosis akibat infeksi.
- Telangiektasia hemoragik herediter.
- Kelainan vaskular intratoraks non pulmoner.
- Sekuestrasi inralobar dan ekstralobar.
- Patologi abdomen.

Hemothoraks massif lebih sering disebabkan oleh luka tembus yang


merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. 7

5.3 Patofisiologi
Hemothoraks adalah adanya darah yang masuk ke areal pleura (antara
pleura viseralisdan pleura parietalis). Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul
atau trauma tajam pada dada, yang mengakibatkan robeknya membran serosa
pada dinding dada bagian dalam atau selaput pembungkus paru. Robekan ini akan
mengakibatkan darah mengalir ke dalam rongga pleura, yang akan menyebabkan
penekanan pada paru. 7
Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A.
mamaria interna. Rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga
pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya
perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di
dalam rongga toraks.7
Pendarahan di dalam rongga pleura dapat terjadi dengan hampir semua
gangguan dari jaringan dada di dinding dan pleura atau struktur intrathoracic.
Respon fisiologis terhadap perkembangan hemothorax diwujudkan dalam 2 area

38
utama: hemodinamik dan pernafasan. Tingkat respon hemodinamik ditentukan
oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. 7
Perubahan hemodinamik bervariasi tergantung pada jumlah perdarahan
dan kecepatan kehilangan darah. Kehilangan darah hingga 750 mL pada seorang
pria 70kg seharusnya tidak menyebabkan perubahan hemodinamik yang
signifikan. Hilangnya 750-1500 mL pada individu yang sama akan menyebabkan
gejala awal syok (yaitu, takikardia, takipnea, dan penurunan tekanan darah). 7
Tanda-tanda signifikan dari shock dengan tanda-tanda perfusi yang buruk
terjadi dengan hilangnya volume darah 30% atau lebih (1500-2000 mL). Karena
rongga pleura seorang pria 70-kg dapat menampung 4 atau lebih liter darah,
perdarahan dapat terjadi tanpa bukti eksternal dari kehilangan darah. 7
Efek pendesakan dari akumulasi besar darah dalam rongga pleura dapat
menghambat gerakan pernapasan normal. Dalam kasus trauma, kelainan ventilasi
dan oksigenasi bisa terjadi, terutama jika berhubungan dengan luka pada dinding
dada. Sebuah kumpulan yang cukup besar darah menyebabkan pasien mengalami
dyspnea dan dapat menghasilkan temuan klinis takipnea. Volume darah yang
diperlukan untuk memproduksi gejala pada individu tertentu bervariasi tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk organ cedera, tingkat keparahan cedera, dan
cadangan paru dan jantung yang mendasari. 7
Dispnea adalah gejala yang umum dalam kasus-kasus di mana hemothorax
berkembang dengan cara yang membahayakan, seperti yang sekunder untuk
penyakit metastasis. Kehilangan darah dalam kasus tersebut tidak akut untuk
menghasilkan respon hemodinamik terlihat, dan dispnea sering menjadi keluhan
utama. 7
Darah yang masuk ke rongga pleura terkena gerakan diafragma, paru-paru,
dan struktur intrathoracic lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa derajat
defibrination darah sehingga pembekuan tidak lengkap terjadi. Dalam beberapa
jam penghentian perdarahan, lisis bekuan yang sudah ada dengan enzim pleura
dimulai. 7
Lisis sel darah merah menghasilkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura dan peningkatan tekanan osmotik dalam rongga pleura. Tekanan osmotik

39
tinggi intrapleural menghasilkan gradien osmotik antara ruang pleura dan jaringan
sekitarnya yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam rongga pleura. Dengan
cara ini, sebuah hemothorax kecil dan tanpa gejala dapat berkembang menjadi
besar dan gejala efusi pleura berdarah. 7
Dua keadaan patologis yang berhubungan dengan tahap selanjutnya dari
hemothorax adalah empiema dan fibrothorax. Empiema hasil dari kontaminasi
bakteri pada hemothorax. Jika tidak terdeteksi atau tidak ditangani dengan benar,
hal ini dapat mengakibatkan syok bakteremia dan sepsis. 7
Fibrothorax terjadi ketika deposisi fibrin berkembang dalam hemothorax
yang terorganisir dan melingkupi baik parietal dan permukaan pleura viseral.
Proses adhesive ini menyebkan paru-paru tetap pada posisinya dan mencegah dari
berkembang sepenuhnya. 7,8

5.4 Klasifikasi
Pada orang dewasa secara teoritis hematothoraks dibagi dalam 3 golongan,
yaitu:7

a. Hematothoraks ringan
 Jumlah darah kurang dari 400 cc
 Tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada foto thoraks
 Perkusi pekak sampai iga IX
b. Hematothoraks sedang
 Jumlah darah 500 cc sampai 2000 cc
 15% - 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
 Perkusi pekak sampai iga VI
c. Hematothoraks berat
 Jumlah darah lebih dari 2000 cc
 35% tertutup bayangan pada foto thoraks
 Perkusi pekak sampai iga IV

40
a. b. c.

Gambar 4 . Klasifikasi hemotoraks a. Ringan b. Sedang c. Berat

6. FLAIL CHEST
6.1 Definisi
Fraktur iga multiple berurutan tiga iga atau lebih, dan memilki garis
fraktur dua atau lebih (segmented) pada tiap iganya. Flail Chest terjadi ketika
segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan
dinding dada. Ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi. Pada ekspirasi segmen akan
menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk kedalam.5

Gambar. Segmen Flail Chest

6.2 Etiologi
Penyebab flail chest adalah trauma tumpul yang keras yang signifikan
pada dinding dada. Bisa diakibatkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dari ketinggian, dan tindakan kekerasan atau benturan dengan kekuatan yang
besar. Pada pasien dengan kelainan yang mendasari sebelumnya seperti

41
osteoporosis, post sternektomi, dan multiple mieloma, dengan trauma pada
dinding dada yang ringan saja dapat juga terjadi flail chest. Penyebab segmen flail
bisa terjadi karena trauma dinding dada bagian lateral, ataupun trauma terhadap
dinding dada bagian depan.6

Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut. Dari
keduabelas costa yang ada, tiga costa pertama paling jarang mengalami fraktur,
hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindungi. Costa 4-9 paling
banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki
pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costae terbawah yakni costa 10-12
juga jarang mengalami fraktur oleh karena mobile.7

6.4 Patofisiologi
Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan,
samping ataupun dari arah belakang. Trauma yang mengenai dada biasanya akan
menimbulkan trauma costa, tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada
dinding dada, maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa.7

Pada trauma langsung dengan trauma yang hebat dapat terjadi fraktur
costa pada tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat
terjadi apabila trauma yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan
costa tersebut, seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan
dan belakang, maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costa,
dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah. 7

Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya


atau bahkan organ dibawahnya. Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai
a.intercostalis, pleura visceralis, paru maupun jantung, sehingga dapat
mengakibatkan timbulnya hematotoraks, pneumothoraxs ataupun laserasi
jantung.7

Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan


gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan

42
hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada
parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Ketidak-stabilan dinding
dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan
ekspirasi. 7

Gerakan paradoksal akan menyebabkan fungsi ventilasi paru menurun


sebagai akibat dari aliran udara yang kekurangan O2 dan kelebihan CO2 masuk ke
sisi paru yang lain (rebreathing). Pergerakan fraktur pada costae akan
menyebabkan nyeri yang sangat hebat dan akan membuat pasien takut bernafas.
Hal ini akan menyebabkan hipoksia yang serius. Hipoksia terjadi lebih karena
faktor nyeri sehingga membatasi gerakan dinding dada. Disamping itu, hal ini
juga akan menimbulkan mediastinum akan selalu bergerak mengikuti gerak nafas
ke kiri dan ke kanan. Keadaan ini akan menyebabkan gangguan pada venous
return dari system vena cava, pengurangan cardia output, dan penderita jatuh pada
kegagalan hemodinamik. 7

43
Flail chest menyebabkan hal-hal di bawah ini:7

1. Segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama fase


inspirasi dan bergerak ke luar selama fase ekspirasi, sehingga udara
inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini
akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi; keadaan ini
disebut dengan respirasi pendelluft.
2. Pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan menekan
paru-paru di bawahnya sehingga mengganggu pengembangan paru
ipsilateral.
3. Mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase inspirasi oleh
adanya peningkatan tekanan negatif hemitoraks kontralateral selama
fase ini, sehingga pengembangan paru kontralateral juga akan
terganggu.
4. Pergerakan mediastinum di alas akan mengganggu venousreturn
jantung.

44
BAB IV
KESIMPULAN

Chest tube adalah suatu tindakan invansif yang dilakukan dengan


memasukan suatu kateter / selang kedalam rongga pleura, rongga thorax,
mediastinum dengan maksud untuk mengeluarkan udara, cairan (termasuk darah
dan pus) dari rongga tersebut agar mampu mengembang atau ekspansi secara
normal. Chest tube selain menjadi terapi bisa juga menjadi alat diagnosti untuk
menentukan penyebab penyakit pada cairan pleura.
Meski pemasangan chest tube dapat menyebabkan komplikasi pada
umumnya perlukaan organ abdomen, thoraks, pecahnya pembuluh darah besar
akibat insersi pipa drainase dada tetapi chest tube sangat penting dilakukan
sebagai penanganan kegawatdaruratan. Pelepasan chest tube tanpa memperhatikan
prinsip kedap udara dapat menyebabkan masuknya udara ke kavum pleura melalui
luka insersi berakibat peumothoraks iatrogenic.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Stanford Trauma Service Housestaff Manual Available from :


http://scalpel.stanford.edu/ICU/Stanford%20Trauma%20Service%20re
v%204-05.pdf
2. Dave Lloyd, MD. Thoracic Trauma.
www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt
3. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
EGC : Jakarta
4. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
5. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
dalam, Jilid II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
6. Srillian, Vera (2011). Pneumothorax. Diakses 4 oktober
2013.http://ad.z5x.net/...,http://scribd.com/doc/48405598/pneumotorax
7. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995
8. Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Media
AesculapiusFakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

46

Anda mungkin juga menyukai