Anda di halaman 1dari 17

STATUS EPILEPTIKUS

Yuliana Putri Lestari, Irmayani AK

A. PENDAHULUAN
Status epileptiku s adalah bentuk epilepsi yang paling parah dan
mematikan. Status epileptikus sebelumnya telah didefinisikan sebagai aktivitas
kejang kontinyu yang berlangsung lebih dari lima menit. Beberapa penelitian
menggunakan 10 menit dan penelitian lain menggunakan 30 menit sebagai cut-
off, tergantung pada apakah ada kejang atau tidak. Baru-baru ini Liga
Internasional Melawan Epilepsi (ILAE) mendefinisikan kembali status
epileptikus sebagai aktivitas kejang yang terus berlanjut karena kegagalan
mekanisme yang bertanggung jawab untuk penghentian kejang atau inisiasi
mekanisme yang memprovokasi kejang berkelanjutan yang menyebabkan
kejang berkepanjangan setelah timepoint t 1 , dan yang dapat memiliki
konsekuensi jangka panjang setelah timepoint t 2 , dengan t 1 dan t 2 menjadi 5
menit dan 30 menit, masing-masing untuk status epileptikus konvulsif, 10
menit dan 60 menit untuk status fokal epileptikus dengan gangguan kesadaran,
dan 10-15 menit dan tidak diketahui status absen epileptikus. Telah ditetapkan
definisi status epileptikum sebagai status epileptikus yang berlanjut setelahnya
pengobatan dengan benzodiazepine. Status refrakter epilepticus (RSE) terjadi
saat status epileptikus gagal dengan pengobatan lini pertama (biasanya
benzodiazepin) dan obat antiseizure lini kedua telah diberikan.5

Kejang dapat didefenisikan sebagai perubahan mendadak dalam perilaku,


yang ditandai dengan perubahan dalam persepsi sensorik atau aktivitas
motorik. Kejang disebabkan oleh ketidaknormalan, berlebihan, dan sinkron
tembak listrik pada neuron. Kejang khusus mengacu pada manifestasi motorik
dari aktivitas listrik yang abnormal. Spektrum klinis dari kejang sangat luas
dan termasuk fokus atau aktivitas motorik umum, perubahan status mental,
pengalaman sensorik atau psikis, dan gangguan otonom. 1
Selama kejang, asidosis metabolik, hipotensi, hipoksia, hipoglikemia,
hipertermia, rhabdomyolysis, dan edema paru dapat berkembang. Data klinis
menunjukkan bahwa kerusakan neuron secara permanen mungkin terjadi
setelah 30 menit aktivitas epilepsy, bahkan dengan kontrol tekanan darah,
respirasi, dan suhu tubuh. Demikian, status epileptikus (SE) dahulu
didefenisikan sebagai kegiatan kejang tak henti-hentinya yang berlangsung
setidaknya 30 menit atau kejang intermitten tanpa pemulihan kesadaran penuh.
Namun, cedera saraf ireversibel dan pharmacoresistance mungkin terjadi
sebelum definisi ini, dan penghentian kegiatan spontan epilepsy tidak mungkin
terjadi setelah 5 menit dari yang sedang berlangsung. Akibatnya, sekarang
secara umum SE didefenisikan sebagai kejang yang berlangsung selama 5
menit atau lebih, atau aktivitas kejang berulang tanpa interiktal yang kembali
ke dasar. 2

B. EPIDEMIOLOGI

Status epileptikus adalah bentuk epilepsi yang paling parah dan paling
mematikan. Kejadian tahunannya adalah 10-41 per 100.000 orang. Sekitar 5%
orang dewasa dan 10% -25% anak-anak dengan epilepsi akan memiliki status
epileptikus setidaknya sekali selama perjalanan hidup mereka. Tingkat
kematian pada status epileptikus adalah tinggi: 24% -26% pada orang dewasa
dan 3% -6% pada anak-anak dan tingkat kematian keseluruhan sekitar 20%.5
Perkiraan terkini tentang kejadian status epileptikus pada anak-anak bervariasi
menurut usia. Kejadiannya adalah tertinggi pada periode neonatal dan menurun
sampai sekitar lima tahun. Perkiraan pada neonatal sampai tahun pertama
sekitar 135-150 insiden per 100.000 orang, dengan kejadian yang lebih tinggi
pada populasi rentan dengan kondisi neurologis akut atau kronis. Ini populasi
juga memiliki kejadian yang jauh lebih tinggi dari gejala simtomatik akut
status epileptikus.Kejadian status epilepticus relatif rendah antara usia 5 dan 40
tahun. Di seberang masa anak-anak, perkiraan prospektif komprehensif terbaru
dari kejadian status epileptikus adalah antara 17 dan 23 per 100.000 anak. Studi
berbasis populasi yang lebih baru memperkirakan kejadian antara 5 dan 15 per
100.000 orang. Epidemiologi fitur unik untuk populasi anak-anak termasuk
tingkat kekambuhan status epileptikus yang relatif lebih tinggi, lebih sering
memprovokasi menular atau penyebab gejala yang jauh, dan lebih mungkin
terjadi pada anak tanpa diagnosis epilepsi. Pada lebih dari 75% kasus, status
epilepticus mungkin yang pertama penyitaan hidup, dan anak-anak yang
mempresentasikan status epilepticus sebagai perampokan pertama mereka
hanya memiliki 30% risiko diagnosis kemudian dari epilepsi. Meskipun
tingginya status epileptikus pada anak-anak dibandingkan orang dewasa, angka
kematian secara keseluruhan status epileptikus lebih rendah pada anak
dibandingkan pada orang dewasa.3

C. ETIOLOGI
SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf
pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20%
kasus. Gangguan serebrovaskuler merupakan penyebab SE tersering di negara
maju, sedangkan di negara berkembang penyebab tersering karena infeksi
susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas
dan morbiditas.4Sedangkan etiologi kejang pada pasien kritis seperti:
eksaserbasi dari epilepsi yang sudah ada sebelumnya, penarikan AED,
penghinaan neurologis akut, penyakit serebrovaskular : infark, perdarahan
(termasuk subarachnoid, subdural, parenkim, intraventrikular), vaskulitis,
Infeksi: meningitis, ensefalitis, abses otak, trauma kepala, anoxia, tumor otak,
gangguan demyelinating, prosedur neurosurgical supratentorial, penghinaan
sistemik akut, ketidakseimbangan elektrolit: hiponatremia, hipokalsemia,
hypomagnesemia, hypophosphatemia (terutama pada pecandu alkohol),
hipoglikemia; hiperglikemia dengan keadaan hyperosmolar; Keduanya bisa
menyebabkan kejang fokus juga, kekurangan vitamin: piridoksin, penggunaan
obat terlarang terutama kokain, toksin, hipertensi ensefalopati / eklampsia /
posterior reversibel,ensefalopati sindroma, hipotensi, kegagalan organ: ginjal,
hati, penyakit multisistem, seperti sistemik lupus eritematosus, obat-obatan:
efek samping / toksisitas, penarikan (benzodiazepin, barbiturat), alkohol
terkait, dan infeksi sistemik / sepsis.5
D. PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Komunikasi glutamat di otak. Mekanisme signaling reseptor


glutamate pada berbagai neuron postsynaptic, seperti: neuron dopamine,
neuron cholinergic, neuron raphe, neuron GABAergic, dsb, menunjukkan
peran pentingnya di seluruh otak.6
Perubahan dasar patofisiologi yang terlihat pada kejang ditandai dengan
pelepasan listrik abnormal dari neuron kortikal yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan dari membrane sel saraf. Di bawah neurofisiologi normal,
membrane sel saraf tetap stabil terutama pada gradient elektrokimia diseluruh
membrane dan regulasi mediator penghambatan seperti asam gamma
aminobutyric (GABA). Beberapa proses patologis (seperti infeksi, racun atau
ketidakseimbangan elektrolit) dapat mempengaruhi keseimbangan ini dan
memicu kejang. Kebanyakan obat yang digunakan untuk mengganggu kejang
bekerja pada reseptor subtype GABAa, oleh karena itu meningkatkan aktivitas
penghambatan.2
Pada tingkat neuronal kurangnya hambatan dan meningkatnya eksitasi
tercipta selama aktivitas kejang yang diperkuat oleh lingkungan yang
mendukung aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Aktivitas kejang yang
terus-menerus menyebabkan penurunan secara gradual reseptor GABAa r
sekunder untuk reseptor internalisasi dan degradation. Proses ini mengarah
pada penurunan dari penghambatan GABAergic secara endogen yang
mengakibatkan aktivitas epilepsy berkelanjutan. Pharmacoresistance obat
GABAergic (seperti benzodiazepine, barbiturate, dan propotol) kemungkinan
terkait kehilangan reseptor GABA postsynaptic ini.2Selanjutnya, N-methyl-D-
aspartat (NMDA) reseptor yang diregulasi pada membrane sinaptik,
menghasilkan peningkatan jumlah reseptor NMda, yang akan memfasilitasi
rangsangan saraf selanjutnya. Ini adalah dasar untuk pepatah lama “kejang
melahirkan kejang”. Kejang menghasilkan sejumlah konsekuensi fisiologis,
termasuk peningkatan suhu tubuh, peningkatan glukosa serum, dan asidosis
laktat. Peningkatan laktat yang terjadi dalam waktu 60 detik dari kejang dan
normal dalam waktu 1 jam setelah ictus. Peningkatan jumlah sel darah putih
perifer tanpa peningkatan band juga sering terlihat.2

E. KLASIFIKASI
Saat ini, ada beberapa versi pengklasifikasian SE sebagai berikut:
1. Generalized Convulsive SE
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized
mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan
convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak
ada respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle
SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun
secara definisi subtle SE merupakan nonconvulsive, namun harus
dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan keadaan berbahaya, sulit
diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex
partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi,
dan prognosis; focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk. Simple
Partial SE Secara definisi terdiri dari kejang yang terlokalisasi pada area
korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda
dengan convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive dan
nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru klasifi kasi
ILAE (International League Against Epilepsy) telah menolak penggunaan
istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan suatu keadaan yang
beragam seperti kejang fokal pada limbic SE ataupun generalized seperti
absence SE. Di samping itu, keadaan convulsive, khususnya kejang
myoclonic, dapat terlihat pada nonconvulsive SE, misalnya kejang di
kelopak mata atau perioral. Skema ILAE 2001 mendefi nisikan SE sebagai
aktivitas kejang yang terus-menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi
dua kategori, yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group
(2006) mengklasifi kasikan bermacam-macam tipe SE,serta berusaha
menghindari istilah generalized dan focal.7
1. DIAGNOSIS
Diagnosis awal dari status epileptikus masih berdasarkan penilaian klinis
dari perubahan motorik dan status mental, tetapi tetap harus mengandalkan
pemantauan menggunakan EEG berkepanjangan dalam beberapa kasus dimana
temuan dari dua penilaian pertama tidak mempunyai korelasi dengan hasil
EEG baik selama atau setelah SE, atau dalam bentuk SE tertentu seperti
NCSE.8
Manifestasi klinik dari SE dalam varian NCSE pada pasien dengan
perawatan intensif dapat menjadi kabur karena kondisi yang mendasarinya dan
obat yang diberikan, seperti anastetik, relaksan otot, dan antikonvulsan.
Selanjutnya, tidak ada karakteristik patognomonik EEG yang tepat untuk
mengidentifikasi SE agar bisa dibedakan dari epiphenomena elektrikal yang
disebabkan oleh disfungsi serebral. Pada kenyataannya, meskipun lonjakan
yang signifikan merupakan indikasi dari encephalopathy yang parah, hal ini
lebih sering dikaitkan dengan fenomena anoxic atau NCSE. 8
SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan
kebutuhan metabolik akibat kejang berulang dan perubahan autonom termasuk
takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik
termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan
gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan autoregulasi
serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang
terus menerus.9 SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai berikut:
Fase 1: Kompensasi Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi
mekanisme fisiologis cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan
jaringan otak terlindungi dari hipoksia atau kerusakan metabolisme. Perubahan
fisiologis utama terkait dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme
otak, aktivitas otonom, dan perubahan kardiovaskuler.
Fase 2: Dekompensasi Selama fase ini, tuntutan metabolik serebral sangat
meningkat dan tidak dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan
hipoksia dan perubahan metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap
berlangsung dan fungsi kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan
homeostasis.4
Seperti kita ketahui bahwa NCSE terbagi menjadi 2 yaitu generalized
status epilepticus dan complex partial status epilepticus. Generalized status
epilepticus terdiri dari 2 yaitu absence status epilepticus dan myoclonic status
epilepticus. Untuk menegakkan diagnosis NCSE, dapat diketahui dengan
melihat gejala klinisnya. Pada absence status epilepticus dikarakteristikkan
dengan adanya pemanjangan fase bingung dimana berkaitan dengan adanya
kelainan pada EEG yang bersifat general yang berbeda dengan gambaran EEG
saat fase interiktal. Kedua gambaran ini berespon baik dengan pemberian obat
anti epilepsi. Pasien dengan absence SE dicirikan dengan adanya sikap bingung
dan mengantuk tetapi disertai agitasi, perilaku kasar dan halusinasi dapat pula
terjadi. Gangguan kesadaran yang terjadi dapat bersifat ringan dan masih bisa
melakukan pekerjaan sehari-hari. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah
adanya automatisme, kedipan mata dan gerakan menyentak pada wajah dan
tubuh. Seperti kita ketahui bahwa NCSE terbagi menjadi 2 yaitu generalized
status epilepticus dan complex partial status epilepticus. Generalized status
epilepticus terdiri dari 2 yaitu absence status epilepticus dan myoclonic status
epilepticus. Untuk menegakkan diagnosis NCSE, dapat diketahui dengan
melihat gejala klinisnya. Pada absence status epilepticus dikarakteristikkan
dengan adanya pemanjangan fase bingung dimana berkaitan dengan adanya
kelainan pada EEG yang bersifat general yang berbeda dengan gambaran EEG
saat fase interiktal. Kedua gambaran ini berespon baik dengan pemberian obat
anti epilepsi. Pasien dengan absence SE dicirikan dengan adanya sikap bingung
dan mengantuk tetapi disertai agitasi, perilaku kasar dan halusinasi dapat pula
terjadi. Gangguan kesadaran yang terjadi dapat bersifat ringan dan masih bisa
melakukan pekerjaan sehari-hari. Gambaran lain yang dapat ditemukan adalah
adanya automatisme, kedipan mata dan gerakan menyentak pada wajah dan
tubuh. Sedangkan tipe yang kedua adalah myoclonic status epilepticus yang
dikarakteristikkan dengan adanya gerakan myoclonus yang terus menerus
terjadi, pada umumnya terjadi general dan berasal dari area kortek.
Dimasukkannya myoclonic SE dalam kategori NCSE masih kontroversial,
karena myoclonus masih dapat dikategorikan sebagai bentuk kejang.
Manifestasi myoclonic dapat tidak kentara dan hal ini sering tidak disadari
terdapat pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif yang kronis. Gambaran
klinis ini dapat ditemukan pada encephalopati nonprogresif tertentu dimana
onset terjadinya saat anak-anak, seperti pada Angelman syndrome. Seperti
disebutkan diatas bahwa selain tipe general juga terdapat tipe NCSE yang lain
yaitu complex partial status epilepticus. Dimana perbedaan antara complex
partial SE dengan absence SE sulit untuk diidentifikasi jika hanya berdasarkan
klinis. Seperti pada absence SE, pasien dengan complex partial SE juga
dikeluhkan dengan sikap bingung dengan tidak didapatkan tanda lateralisasi
yang jelas. Untuk kriteria diagnosis klinis dari complex partial SE dapat
disimpulkan sebagai berikut : complex partial seizure yang berulang tanpa
adanya pemulihan kesadaran diantara seizure atau “epileptic twilight state”
yang berlangsung terus menerus dengan pergantian antara fase unresponsive
dan fase responsive partial. Pergantian elemen dari fase ini tidak selalu terjadi,
maka dari itu definisi ini masih kontroversi. Gejala yang tampak pada complex
partial SE dapat meliputi amnesia, afasia, perilaku yang aneh dan hemiparesis.
Pasien dengan epilepsi partial, sering disebabkan karena kelainan dari lobus
frontal, pada umumnya tampak dengan pola seizure yang berupa kelainan
perilaku, tetapi riwayat terkena epilepsi sebelumnya tidak selalu didapatkan.
EEG merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk menegakkan
diagnosis yang benar. Kelainan yang dapat muncul saat ictal berupa kelainan
fokal dan meliputi gelombang spike dan terjadi perlambatan, polyspike dan
perlambatan yang ritmis. Kelainan sekunder yang bersifat general dapat terjadi
dan potensial menimbulkan kebingungan dalam menegakkan diagnosis.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini dapat dialami jika kelainan fokal
saat interictal ditemukan pada EEG. Gambaran ini juga merupakan bagian dari
kriteria diagnosis complex partial SE yang didapatkan dari beberapa penelitian.
Kelainan fokal ini sering didapatkan pada lesi lobus temporal dan berkaitan
dengan adanya kelainan akut atau kronis yang mendasari.
Tabel 1. Kriteria elektrografik pada NCSE7
Kriteria Pasti
 Elektrografik seizure yang bersifat fokal yang muncul sering atau
berkelanjutan disertai pola iktal dimana terdapat perubahan pada
amplitude, frekuensi atau lokalisai
 Generalized spike-and-wave yang sering muncul atau berkelanjutan,
yang secara signifikan berbeda dalam amplitude atau frekuensi dari
temuan sebelumnya pada pasien dengan riwayat epileptic encephalopati
 Periodeic lateralized epileptiform discharge (PLEDs) pada pasien koma
setelah convulsive status epilepticus
Pola yang samar-samar
 Kelainan encephalografik yang sering muncul atauberkelanjutan pada
pasien dengan cedera otak akut dimana pada electroencephalogram
tidak menunjukkan temuan yang sama dengan criteria pasti
 Generalized spike and wave yang sering muncul atau berkelanjutan,
yang perbedaannya tidak signifikan dalam amplitudo atau frekuensi
dari temuan sebelumnya pada pasien dengan riwayat epileptic
encephalopathy, dimana gejala klinisnya mengarah ke NCSE
Tabel 2. Kriteria diagnosis NCSE7
 Derajat kesadaran menurun atau deficit neurologis lain
 EEG epileptiform : bangkitan tipikal yang berlainan atau kelainan yang
berkelanjutan
 Adanya respon terhadap antikonvulsan : baik secara klinis maupun dari
EEG (masih controversial, seringnya setelah penundaan panjang)

2. DIAGNOSIS BANDING
Langkah pertama dalam pendekatan untuk pasien yang diduga
mengalami kejang adalah perbedaannya dengan kejang yang sebenarnya
(kejang neurogenik) dari kondisi lain yang dapat meniru. Skenario klinis umum
untuk dokter adalah pasien yang datang dengan riwayat yang telah memiliki
episode seperti kejang, biasanya melibatkan kehilangan kesadaran secara tiba-
tiba dan beberapa jenis aktivitas motorik. Pengamatan dari saksi mungkin
memegang kunci untuk diagnosis. Sebagai aturan umum, tidak ada temuan
klinis tunggal atau modalitas diagnostic yang 100% dapat mengkonfirmasi
untuk terjadinya kejang neurogenik. Sebuah studi prospektif yang dinilai
dimana aspek klinis membantu membedakan kejang dari sinkop menemukan
bahwa kejang menjadi 5 kali lebih mungkin dibandingkan sinkop jika pasien
itu bingung setelah itu dan 3 kali lebih mungkin jika pasien berusia < 45 tahun.
Hebatnya, inkontinensia dan trauma tidak ditemukan secara diskriminatif
antara kejang, sinkop, dan serangan gangguan nonepileptik. Studi tambahan
telah menunjukkan bahwa kebingungan postictal, lidah tergigit, sianosis, tidak
responsive, sebelumnya déjà vu atau jamais vu, kepala atau mata berpaling ke
satu sisi, dan tungkai gemetar dengan irama atau sikap distonik juga penanda
kuat seizure.8

1. Convulsive syncope
Berdasarkan studi observasional pada pendonor darah, hingga 40%
dari pasien dengan sinkop akan memiliki beberapa komponen aktivitas
motorik, yang paling umum melibatkan ekstensi tonik pada tubuh atau
sentakan mioklonik diextremities. Fenomena ini telah diamati pada pasien
dalam posisi duduk. Peristiwa ini disebut sinkop kejang dan biasanya tidak
terkait dengn gerakan tonik-klonik, lidah tergigit, sianosis, inkontinensia,
atau kebingungan postictal. Mual atau berkeringat sebelum kejang jauh
lebih mungkin dibandingkan syncope.2
2. Cardiac dysrhytmias
Gejala disritmia dapat hadir dengan tiba-tiba kehilangan kesadaran
akibat hipoperfusi serebral dan hipoksia, yang dapat menyebaban aktivitas
kejang. Secara khusus, sindrom QT menahun yang telah salah didiagnosis
sebagi kejang. Anamnesis mungkin dapat mengidentifikasi gejala jantung
sebelumnya, seperti palpitasi, pusing, atau diaphoresis. Pada
elektrokardiogram (EKG) mungkin terdiagnosa, namun jika pemeriksaan
jantung tidak jelas, hasil pemeriksaan jantung secara bersamaan dapat
diindikasikan. Selain itu, kejang juga dapat mengakibatkan sinkop terkait
dysrhythmia.2
3. Serangan nonepileptik
Juga disebut sebagai serangan nonepileptik, merupakan suatu
peristiwa neurologis nonepileptic paroksismal yang mungkin menyerupai
kejang tetapi tidak terbukti ada pelepasan kotikal yang abnormal. Etiologi
untuk ini termasuk nafas memegang mantra, gerakan involunter, deserebrasi
atau sikap dekortikasi, dan kejang psikogenik.2
Kejang psikogenik (juga dikenal sebagai pseudoseizures atau kejang
nonepileptic) telah dilaporkan di 12% sampai 18% pada pasien dengan
kehilangan kesadaran sementara dan bisa terjadi bersamaan pada pasien
dengan kejang neurogenik. Psikogenik seizures jarang disebabkan oleh
berpura-pura sakit melainkan lebih umunya terjadi pada gangguan konversi.
Karakteristik dari kejang psikogenik termasuk fase tonik-klonik,
menyodorkan panggul kedepan, dan gerakan mata involunter yang jauh dari
pemeriksa. 2
3. TATALAKSANA STATUS EPILEPTIKUS

Manajemen awal umum


Pendekatan manajemen umum dalam general convulva, parsial kompleks, dan
SE yang halus harus mencakup: penilaian dan pengendalian saluran udara dan
ventilasi, pemantauan gas darah arterial untuk melihat apakah ada asidosis
metabolik dan hipoksia yang membutuhkan segera pengobatan melalui
manajemen jalan nafas dan oksigen, EKG dan pemantauan tekanan darah.
Tindakan lainnya meliputi iv glukosa dan tiamin, pengukuran darurat kadar
obat antiepilepsi, elektrolit dan magnesium, haematologi dan ukur fungsi hati
dan ginjal. Penyebab status epileptikus harus segera diidentifikasi dan mungkin
memerlukan perawatan dengan sendirinya (GPP).
Pengobatan farmakologis awal untuk GCSE dan NCSE
GCSE, jalur pengobatan yang lebih disukai adalah iv pemberian 0,1 mg / kg
lorazepam. Bergantung pada pasien medis umum, dokter dapat memutuskan
untuk memulai perawatan di dosis rendah 4 mg dan ulangi dosis ini jika SE
tidak dihentikan dalam waktu 10 menit. Tembakan tunggal dari 4 mg
lorazepam telah terbukti cukup banyak dari 80% pasien dengan SE yang
berhasil diobati. Jika iv lorazepam tidak tersedia berikan 10 mg diazepam
langsung diikuti dengan 18 mg / kg fenitoin atau fosfenytoin setara dapat
diberikan sebagai gantinya. Phenytoin harus diisi dengan cepat dengan tingkat
infus pada 50 mg / menit, rejimen ini sama amannya dengan pengobatan
anticonvulsant menggunakan obat lain. Namun, harus diingat panjang itu
waktu infus untuk diazepam diikuti oleh fenitoin ini sekitar 40 menit
dibandingkan dengan 5 menit untuk administrasi dari lorazepam. Jika
memungkinkan, perawatan pra-rumah sakit adalah direkomendasikan, dan di
GCSE, iv administrasi 2 mg lorazepam sama efektifnya dengan 5 mg
diazepam. Out-of-hospital, iv pemberian benzodiazepin di GCSE sama
amannya dengan pengobatan plasebo. Sejauh ini, penelitian yang tersedia
belum dengan meyakinkan menunjukkan kemanjuran yang cukup baik. Asam
valproik untuk dimasukkan ke dalam kelompok lini pertama untuk pengobatan
general kejang atau bentuk klinis SE lainnya. CPSE harus diobati awalnya
dengan cara yang sama seperti GCSE (GPP). SE halus berkembang dari GCSE
yang sebelumnya terbuka pada kebanyakan pasien sudah akan diobati dengan
antikonvulsan. Di pasien langka dengan SE halus yang tidak diobati
sebelumnya,pengobatan antikonvulsan awal harus sama dengan GCSE terbuka
(GPP).
Manajemen umum RSE
GCSE yang tidak merespon antikonvulsan awal zat perlu dirawat di unit
perawatan intensif (GPP).
Pengobatan farmakologis untuk generalisasi refrakter kejang dan halus
SE
Dalam general kejang dan halus SE, disarankan untuk segera lanjutkan ke infus
anestesi dosis midazolam, propofol atau barbiturat karena dari risiko progresif
kerusakan otak dan sistemik. Karena bukti buruk, tidak bisa direkomendasikan
zat bius mana yang seharusnya menjadi obat pilihan. Bergantung pada anestesi
yang digunakan pada individu. Protokol in-house, direkomendasikan titrasi
terhadap pola penekanan burst EEG dengan propofol dan barbiturat. Jika
midazolam diberikan, penindasan kejang direkomendasikan. Tujuan ini harus
dipertahankan untuk paling sedikit 24 jam. Bersamaan dengan itu, inisiasi yang
kronis pengobatan, pasien akan diobati dengan di masa depan harus dimulai
(GPP).
Barbiturat
Thiopental dimulai dengan bolus 3-5mg / kg, Kemudian bolak-balik lagi 1-
2mg / kg setiap 2-3min sampai kejang dikontrol, setelah itu terus menerus infus
pada tingkat 3-7mg / kg / jam (GPP). Pentobarbital (metabolit pertama
thiopental) adalah dipasarkan di Amerika Serikat sebagai alternatif ke
thiopental dan diberikan sebagai dosis bolus 5-15mg / kg di atas 1h diikuti
dengan infuse 0,5-1 mg / kg / jam, meningkat bila perlu 1-3 mg / kg / jam
(GPP)
Midazolam
Dosis awal yang efektif dari midazolam adalah 0,2 mg / kg bolus, dilanjutkan
dengan infus terus menerus pada tingkat 0,05-0,4 mg / kg / jam (GPP).
Propofol
Bolus iv awal 2-3 mg / kg harus diberikan diikuti oleh bolus lebih lanjut pada
1-2 mg / kg sampai kejang terkontrol, kemudian infus kontinyu pada 4-10mg /
kg / jam (GPP). Pada kasus pasien lanjut usia di mana intubasi dan ventilasi
buatan tidak akan dibenarkan, anaesthetising antikonvulsan dapat dicoba (GPP)
Perawatan farmakologis untuk kompleks SE parsial
Dalam SE parsial kompleks, waktu yang telah berlalu sampai penghentian
status kurang kritis dibandingkan dengan GCSE. Jadi, anestesi umum karena
kemungkinan parah komplikasi harus ditunda dan selanjutnya non-
anaesthetising antikonvulsan dapat dicoba sebelumnya. Karena kurang bukti
dan kekurangan studi perbandingan head to head, maka tidak bisa
merekomendasikan mana dari antikonvulsan non anaesthetising seharusnya
menjadi obat pilihan (GPP)
Fenobarbital
Bolus iv awal 20 mg / kg iv dengan laju infuse 50 mg / menit, pemberian bolus
tambahan memerlukan perawatan intensif (GPP).
Asam valproik
Bolus intravena 25-45 mg / kg diinfuskan pada tingkat kenaikan sampai 6 mg /
kg / menit (GPP).
Levetiracetam
Bolus intravena 1000-3000 mg diberikan jangka waktu 15 menit (GPP). Jika
rejimen pengobatan meliputi administrasi dari anestesi, protokol yang sama
berlaku seperti yang dijelaskan untuk GCSE.9

4. KOMPLIKASI
Status epilepticus menyebabkan perubahan fisiologis yang mendalam yang
dapat menyebabkan komplikasi sistemik yang parah dan mungkin juga
merusak atau bahkan membunuh neuron serebral.5
5. PROGNOSIS

Prognosis paling kuat berhubungan dengan etiology, durasi status epilepticus,


10
dan usia pasien. Kemungkinan mengalami kejang harus didiskusikan dan
informasi tentang epilepsi harus diberikan sebelum kejang terjadi, bagi orang
yang berisiko tinggi terkena kejang (seperti setelah otak parah cedera), orang
dengan ketidakmampuan belajar, atau orang yang memiliki riwayat keluarga
yang kuat dari epilepsi.5Sekitar 15% dari semua status epileptikus berkembang
menjadi super refrakter status epilepticus. Penyebab postulated meliputi
excitotoxicity, disfungsi neurotransmitter inhibito, kegagalan energi, inflamasi
proses dan reorganisasi jaringan.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Jessica, Walter F, Bleck T. Treatment of established Status


Epilepticus. 2016. J clin med;5:49.
2. Teran F, Kirsksey HK, Jagoda A. Clinical Decision Making In
Seizures And Status Epileptikus. 2015. Emergency medicine practice;
17:1
3. Smith MD, McGinnis LE, Walleigh JD, Ab end SN. Management of
Status Epiepticus in Children. 2016. J clin med;5:47.
4. Rilianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptickus. 2015.
Continuing medical education;42:16.
5. Fallahian F, Mohammas S, Hashemian R. Critical Management of
Status Epilepticus. 2017. J Clin intensive care med; 2:.001-015
6. Anurogo D, Ikrar T. The Neuroscience of Glutamate. 2014. Medical
journal of Indonesia;120:10.
7. Pramesti FA, Husna M, Kurniawan SN, Rahayu M. Penegakkan
Diagnosis dan Tatalaksana Nonconvulsive Status Epileptikus
(NCSE).2017. MNJ;03;01.
8. Rocco M, Caputo C, Fegiz A, et al. Status Epilepticus In Critically III
Patients 2015. European medical jurnal;3:1
9. Meierkord H, Boon P, Engelsen B, Gocke K, Shorvon S, Tinuper P,
Holtkamp M. EFNS Guidline on the Management of Status Epilepticus
in Adults. 2010. European journal of neurology; 17:348-355.
10. Clauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Baimbridge J, et
al. Evidence Based Guideline : Treatment of Convulsive Status
Epilepticus in Children and Adults: Repor of the guidline commite of
the American Epilepsy Society Guidine;16:1
11. Vyas DD, Dash KG. Supra-recommendation Treatment of Super-
refractory Status Epilepticus. 2016, Journal of epilepsy research;6:1.
BAGIAN NEUROLOGI REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2018
UNIVERSITAS HALU OLEO

STATUS EPILEPTIKUS

PENYUSUN

Yuliana Putri Lestai, S.Ked

K1 A1 12 101

PEMBIMBING :

Dr. Irmayani Aboe Kasim, M.Kes, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018

Anda mungkin juga menyukai