Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

TRAUMATIC BRAIN INJURY

DEFINISI(1)

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), TBI disebabkan oleh
benturan, pukulan, atau sentakan pada kepala, atau cedera kepala tembus yang
mengganggu fungsi normal otak. Dampak traumatis cedera dapat didefinisikan sebagai
tertutup (nonpenetrating) atau terbuka (penetrating). 1,2

EPIDEMIOLOGI(1)

Pada tahun 2014, CDC mendokumentasikan 2,53 juta kunjungan gawat darurat (ED) terkait
TBI. Ada sekitar 288.000 rawat inap terkait TBI dan 56.800 kematian terkait TBI. Data ini
mencakup orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa yang lebih tua berusia 75 tahun ke
atas memiliki tingkat kunjungan UGD karena TBI dengan angka tertinggi (1682 per
100.000 orang) diikuti oleh anak anak berusia 0 hingga 4 tahun (1618,6 per 100.000 orang),
dan terakhir, diikuti oleh remaja dan dewasa muda 15 hingga 24 tahun (1010,1 per 100.000
orang). 1

Dimodifikasi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (2019). Laporan Pengawasan Kunjungan
Departemen Darurat terkait Cedera Otak Traumatis, Rawat Inap, dan Kematian—Amerika Serikat, 2014. Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.

Dimodifikasi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (2019). Laporan Pengawasan Kunjungan
Departemen Darurat terkait Cedera Otak Traumatis, Rawat Inap, dan Kematian—Amerika Serikat, 2014. Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS.
KLASIFIKASI
Trauma Kepala diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok. Untuk mempermudah,
pembagiannya dapat dilihat pada tabel di bawah.

GLASGOW COMMA SCALE

PATOFISIOLOGI(1)

Cedera traumatis mengganggu fungsi seluler normal di dalam otak melalui direct,rotational dan
shear force. Gaya ini mungkin terjadi di semua tingkat cedera. Gaya rotasi mengganggu akson
di dalam substansia alba otak, yang dapat menyebabkan cedera aksonal difus. Teknik MRI
khusus yang dikenal sebagai pencitraan tensor difusi dapat mengevaluasi kerusakan substansia
alba. Selain itu, cedera aksonal dapat menyebabkan pembengkakan lokal, yang memperlambat
4

transmisi sinyal. Cedera traumatis juga dikaitkan dengan perubahan aliran darah otak, yang
mengakibatkan penurunan awal aliran darah diikuti oleh vasodilatasi unresponsif akibat
pelepasan oksida nitrat dalam jaringan.
Diagram di Kotak 1 adalah diagram alur yang disederhanakan dari patofisiologi pada tingkat
sel pasca TBI.
Cedera Fokal(1)
Jenis cedera ini dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Penting untuk dipahami
bahwa, tidak seperti beberapa gangguan neurologis lainnya, cedera fokal pada otak akibat
trauma mungkin tidak menghasilkan gejala klinis yang dapat diprediksi. Contoh patologi
4

intrakranial akibat cedera fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural,


perdarahan subarachnoid (dalam kasus ruptur aneurisma terisolasi) dan perdarahan
intraventrikular disajikan dalam Kotak 2–5.
2,4
G
ambar 2. Hematom epidural (panah putih)menunjuk pada dua area lentiform (berbentuk lensa atau lemon) yang
sangat padat. Pada fase akut, darah tampak hiperdens (putih) pada CT scan. Hematoma epidural secara klasik terkait
dengan cedera pada arteri meningea media dan dianggap ekstradural, karena itu, mereka biasanya tidak melewati
garis sutura tengkorak.

Gambar 3. Hematom subdural (panah putih) menunjuk pada daerah hiperdens (putih) berbentuk bulan sabit
yang menunjukkan hematoma subdural. Hematoma subdural secara klasik dikaitkan dengan kerusakan pada
vena kortikal penghubung dan karena itu mereka dapat melewati garis jahitan. Pada gambar ini, Anda dapat
dengan jelas melihat kompresi ventrikel lateral kanan dan midline shift ke kiri akibat hematoma subdural.
Gambar 4. Perdarahan subarakhnoid. Panah menunjuk ke hiperdensitas dalam ruang subarachnoid
yang, pada fase akut, menunjukkan perdarahan subarachnoid.

Gambar 5. Perdarahan intraventrikular. Panah menunjuk ke ventrikel lateral otak yang biasanya tampak hipodens
atau hitam pada CT scan. Daerah hiperdens difus di dalam ventrikel menunjukkan perdarahan intraventrikular
akut.
Cedera Difus(1)
Kehadiran cedera aksonal difus pada studi pencitraan diffusion-weighted dikaitkan dengan
prognosis yang lebih buruk. Cedera difus, berlawanan dengan kontusio fokal, berhubungan
8

dengan gangguan kesadaran (Tabel 6).

Data dari Armstrong M, Chung K, Himmler M, dkk. Klasifikasi TBI dan Intensitas Rehabilitasi. Dalam: Eapen
BC, Cifu DX, editor. Rehabilitasi setelah Cedera Otak Traumatis. St Louis: Elsevier; 2018.

TATALAKSANA(2)
Primary Survey dan Resusitasi
Cedera otak sering diperparah oleh cedera sekunder. Angka kematian pasien dengan
cedera otak berat yang mengalami hipotensi saat masuk IGD lebih dari dua kali lipat dari
pasien yang tidak mengalami hipotensi. Adanya hipoksia, selain hipotensi dikaitkan dengan
peningkatan risiko relatif kematian sebesar 75%. Sangat penting untuk mencapai stabilisasi
kardiopulmoner dengan cepat pada pasien dengan cedera otak parah. KOTAK dibawah
menguraikan prioritas evaluasi awal dan triase pasien dengan cedera otak berat.
Prioritas untuk evaluasi awal dan triase pasien dengan cedera otak berat
1. Semua pasien harus menjalani survei primer, mengikuti prioritas ABCDE. Pertama menilai
jalan napas. Jika pasien memerlukan kontrol jalan napas, lakukan dan dokumentasikan
pemeriksaan neurologis singkat sebelum memberikan obat untuk intubasi. Kaji keadekuatan
pernapasan selanjutnya, dan pantau saturasi oksigen.
2. Segera setelah tekanan darah (BP) pasien menjadi normal, lakukan pemeriksaan neurologis,
termasuk skor GCS dan reaksi pupil. Jika TD tidak dapat dikoreksi, lanjutkan pemeriksaan
neurologis dan catat hipotensi.
3. Jika tekanan darah sistolik pasien tidak dapat dinaikkan hingga > 100 mmHg, prioritas
pertama dokter adalah menetapkan penyebab hipotensi; evaluasi bedah saraf mengambil
prioritas kedua. Dalam kasus tersebut, pasien harus menjalani penilaian terfokus dengan
sonografi untuk trauma (FAST) atau diagnostik peritoneal lavage (DPL) di UGD dan
mungkin perlu langsung ke OK untuk laparotomi. Lakukan CT scan kepala setelah
laparotomi. Jika ada bukti klinis dari massa intrakranial, burr hole diagnostik atau
kraniotomi dapat dilakukan di OK saat seliotomi sedang dilakukan.
4. Jika tekanan darah sistolik pasien > 100 mm Hg setelah resusitasi dan ada bukti klinis
kemungkinan massa intrakranial (misalnya pupil anisokor atau ada tanda lateralisasi pada
pemeriksaan motorik), prioritas tertinggi adalah melakukan CT scan kepala. Pemeriksaan
DPL atau FAST dapat dilakukan di IGD, area CT, atau OK, tetapi jangan menunda evaluasi
atau pengobatan neurologis pasien.
5. Dalam kasus-kasus perbatasan—seperti ketika tekanan darah sistolik dapat dikoreksi
sementara tetapi cenderung menurun perlahan-lahan—berusahalah untuk melakukan CT
kepala sebelum membawa pasien ke OK untuk laparotomi atau torakotomi. Kasus-kasus
seperti itu membutuhkan penilaian klinis yang baik dan kerjasama antara ahli bedah trauma
dan ahli bedah saraf.

Airway dan Breathing


Henti napas sementara dan hipoksia sering terjadi pada cedera otak berat dan dapat
menyebabkan cedera otak sekunder. Lakukan intubasi endotrakeal dini pada pasien koma.
Ventilasi pasien dengan oksigen 100% sampai pengukuran gas darah diperoleh, dan kemudian
lakukan penyesuaian yang tepat terhadap fraksi oksigen inspirasi (FIO2). Oksimetri nadi
adalah tambahan yang berguna, dengan target saturasi oksigen > 98%. Atur parameter
ventilasi untuk mempertahankan PCO2 sekitar 35 mm Hg. Reserve hiperventilasi secepatnya
pada pasien dengan cedera otak berat atau pada pasien dengan perburukan neurologis akut
atau tanda-tanda herniasi. Hiperventilasi berkepanjangan dengan PCO2 <25 mm Hg tidak
dianjurkan (Pedoman IIB).
Sirkulasi
Hipotensi biasanya bukan karena cedera otak itu sendiri, kecuali pada tahap terminal
ketika terjadi kegagalan medular atau ada cedera tulang belakang yang menyertai. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Jika pasien mengalami hipotensi,
kembalikan volume intravaskuler hingga euvolemia sesegera mungkin menggunakan produk
darah, atau cairan isotonik sesuai kebutuhan. Ingat, pemeriksaan neurologis pasien dengan
hipotensi tidak dapat diandalkan. Pasien hipotensi yang tidak responsif terhadap segala bentuk
stimulasi dapat pulih dan secara substansial membaik segera setelah tekanan darah normal
dipulihkan. Sangat penting untuk segera mencari dan mengobati sumber utama hipotensi.
Pertahankan tekanan darah sistolik (SBP) pada 100 mmHg untuk pasien 50 hingga 69
tahun atau pada 110 mm Hg atau lebih tinggi untuk pasien 15 hingga 49 tahun atau lebih dari
70 tahun; hal ini dapat menurunkan angka kematian dan meningkatkan keluaran klinis (III).
Tujuan pengobatan meliputi parameter klinis, laboratorium, dan pemantauan

Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status cardiopulmonary pasien tertangani, lakukan pemeriksaan neurologis
yang cepat dan terfokus.Pemeriksaan terutama terdiri dari penentuan skor GCS pasien, refleks
pupil, dan defisit neurologis fokal.
Penting untuk mengenali masalah perancu dalam evaluasi TBI, termasuk adanya
penggunaan obat-obatan, alkohol / minuman keras lainnya, dan cedera lainnya. Jangan
abaikan cedera otak parah pada pasien yang juga mabuk. Keadaan postiktal setelah kejang
traumatik biasanya akan memperburuk respons pasien selama beberapa menit atau jam. Pada
pasien koma, respons motorik dapat dirangsang dengan mencubit otot trapezius atau dengan
menekankan dasar kuku ke tepi supraorbital. Ketika seorang pasien menunjukkan respons
yang bervariasi terhadap stimulasi, respons motorik terbaik yang ditimbulkan adalah indikator
prognostik yang lebih akurat daripada respons terburuk.
Pemeriksaan doll's eye (oculocephalic), tes kalorimeter dengan air es (oculovestibular),
dan pemeriksaan respons kornea dapat ditunda dan dilakukan oleh ahli bedah saraf. Jangan
pernah mencoba pemeriksaan doll's eye sampai terbukti tidak ada cedera spinal.
Penting untuk menilai skor GCS dan melakukan pemeriksaan pupil sebelum memberikan
sedasi pada pasien, karena pengetahuan tentang kondisi klinis pasien penting untuk
menentukan pengobatan selanjutnya. Jangan gunakan obat paralitik dan obat penenang long-
acting selama primary survey. Hindari sedasi kecuali pada pasien agitasi yang beresiko.
Gunakan agen short-acting yang tersedia ketika memerlukan agen sedasi atau paralitik untuk
intubasi endotrakeal yang aman atau untuk memperoleh studi diagnostik yang reliable.
Bila pasien memerlukan intubasi karena gangguan jalan napas, lakukan dan catat hasil
pemeriksaan neurologis singkat sebelum memberikan agen sedasi atau paralitik.

Anestesi, Analgetik, dan Sedativa


Anestesi, sedasi, dan agen analgesik harus digunakan dengan hati-hati pada pasien yang
dicurigai atau dikonfirmasi cedera otak. Penggunaan berlebihan dari agen ini dapat
menyebabkan keterlambatan dalam mengenali perkembangan cedera otak yang serius,
mengganggu pernapasan, atau mengakibatkan pengobatan yang tidak perlu (misalnya,
intubasi endotrakeal).
Sebagai gantinya, gunakan agen short-acting, yang reversibel pada dosis terendah yang
diperlukan untuk efek penghilang rasa sakit dan sedasi ringan. Dosis rendah narkotika IV
dapat diberikan untuk analgesia dan direverse dengan nalokson jika diperlukan.
Benzodiazapine IV shortacting, seperti midazolam (Versed), dapat digunakan untuk sedasi
dan direverse dengan flumazenil.
Meskipun diprovan (Propofol) direkomendasikan untuk kontrol ICP, diprovan tidak
direkomendasikan karena tidak menurunkan mortalitas maupun meningkatkan outcome 6
bulan. Diprovan dapat menghasilkan morbiditas yang signifikan bila digunakan dalam dosis
tinggi (IIB).
Lakukan pemeriksaan serial (perhatikan skor GCS, tanda lateralisasi, dan reaksi pupil)
untuk mendeteksi perburukan neurologis sedini mungkin. Tanda awal herniasi lobus temporal
(uncal) yang terkenal adalah dilatasi pupil dan hilangnya respons pupil terhadap cahaya.
Trauma langsung pada mata juga dapat menyebabkan respon pupil abnormal dan dapat
mempersulit evaluasi pupil. Namun, dalam setting trauma otak, cedera otak harus
dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap tetap dilakukan selama
survei sekunder.
Untuk pasien dengan cedera otak traumatis sedang atau berat, dokter harus mendapatkan
CT scan kepala sesegera mungkin setelah normalisasi hemodinamik. Pemindaian CT juga
harus diulang setiap kali ada perubahan status klinis pasien dan secara rutin dalam 24 jam
setelah cedera untuk pasien dengan kontusio intraparenkim subfrontal/temporal, pasien yang
menerima terapi antikoagulasi, pasien yang lebih tua dari 65 tahun, dan pasien yang
mengalami perdarahan intrakranial dengan volume > 10 mL.
Temuan CT yang signifikan termasuk pembengkakan kulit kepala dan hematoma
subgaleal di daerah benturan. Fraktur tengkorak dapat terlihat lebih baik dengan bone window
tetapi sering terlihat bahkan pada soft-tissue window. Temuan CT yang penting adalah
perdarahan intrakranial, kontusio, midline shift (efek massa), dan obliterasi sisterna basal.
Pergeseran 5 mm atau lebih sering menunjukkan perlunya pembedahan untuk mengevakuasi
bekuan darah atau kontusio yang menyebabkan pergeseran.

Terapi medis untuk cedera otak


Tujuan utama dari protokol perawatan intensif adalah untuk mencegah kerusakan
sekunder pada otak yang cedera. Prinsip dasar pengobatan TBI adalah, jika jaringan saraf
yang cedera diberikan kondisi optimal untuk pulih, jaringan tersebut dapat kembali berfungsi
normal. Terapi medis untuk cedera otak termasuk cairan intravena, koreksi antikoagulan,
hiperventilasi sementara, manitol (Osmitrol), salin hipertonik, barbiturat, dan antikonvulsan.

Cairan Intravena
Untuk menyadarkan pasien dan mempertahankan normovolemia, dapat diberikan cairan
intravena, darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hipovolemia pada pasien TBI
berbahaya. Dokter juga harus berhati-hati untuk tidak membebani pasien dengan cairan, dan
menghindari penggunaan cairan hipotonik. Selain itu, menggunakan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia, yang dapat membahayakan otak yang cedera.
Oleh karena itu, larutan ringer laktat atau normal salin direkomendasikan untuk resusitasi.
Pantau dengan hati-hati kadar natrium serum pada pasien dengan cedera kepala. Hiponatremia
berhubungan dengan edema otak dan harus dicegah.

Koreksi antikoagulasi
Berhati-hatilah dalam menilai dan mengelola pasien TBI yang menerima terapi
antikoagulan atau anti-platelet. Setelah dilakukan pemeriksaan international normalized ratio
(INR), dokter harus segera melakukan pemeriksaan CT pasien ini bila diindikasikan.
Normalisasi cepat antikoagulan umumnya diperlukan

Hiperventilasi
Pada kebanyakan pasien, normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi bekerja dengan
mengurangi PaCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi serebral. Hiperventilasi yang agresif
dan berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia serebral pada otak yang sudah mengalami
cedera dengan menyebabkan vasokonstriksi serebral yang parah dan dengan demikian
mengganggu perfusi serebral. Risiko ini sangat tinggi jika PaCO2 dibiarkan turun di bawah
30 mm Hg (4,0 kPa). Hiperkarbia (PCO2 > 45 mm Hg) akan meningkatkan vasodilatasi dan
meningkatkan tekanan intrakranial, dan karenanya harus dihindari.
Hiperventilasi profilaksis (pCO2 <25 mm Hg) tidak direkomendasikan (IIB). Gunakan
hiperventilasi hanya dalam jumlah sedang dan untuk periode sesingkat mungkin. Secara
umum, lebih disukai untuk menjaga PaCO2 di sekitar 35 mm Hg (4,7 kPa), ujung bawah
kisaran normal (35 mm Hg sampai 45 mm Hg). Periode singkat hiperventilasi (PaCO2 dari 25
sampai 30 mm Hg [3,3-4,7 kPa]) mungkin diperlukan untuk mengelola kerusakan neurologis
akut sementara pengobatan lain dimulai. Hiperventilasi akan menurunkan TIK pada pasien
yang memburuk dengan hematoma intrakranial yang meluas sampai dokter dapat melakukan
kraniotomi darurat.
Mannitol
Manitol (Osmitrol) digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP. Sediaan yang paling
umum adalah larutan 20% (20 g manitol per 100 ml larutan). Jangan berikan manitol pada
pasien dengan hipotensi, karena manitol tidak menurunkan ICP pada pasien dengan
hipovolemia dan merupakan diuretik osmotik yang poten. Efek ini selanjutnya dapat
memperburuk hipotensi dan iskemia serebral. Deteriorasi neurologis akut—seperti ketika
pasien mengalami dilatasi pupil, hemiparesis, atau kehilangan kesadaran—merupakan
indikasi kuat untuk pemberian manitol pada pasien euvolemik. Dalam kasus ini, berikan
pasien bolus manitol (1 g/kg) dengan cepat (selama 5 menit) dan bawa segera ke pemindai CT
—atau langsung ke ruang operasi, jika lesi bedah penyebab sudah diidentifikasi. Jika layanan
bedah tidak tersedia, pindahkan pasien untuk perawatan definitif. Gunakan 0,25-1 g/kg untuk
mengontrol peningkatan TIK; hipotensi arteri (tekanan darah sistolik <90 mm Hg) harus
dihindari. Gunakan dengan monitor ICP, kecuali ada bukti herniasi, pertahankan Sosm <320
mOsm, pertahankan euvolemia, dan gunakan bolus daripada infus terus menerus.

Salin hipertonik
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP, dalam konsentrasi
3% hingga 23,4%; agen ini mungkin lebih disukai untuk pasien dengan hipotensi, karena
tidak bertindak sebagai diuretik. Namun, tidak ada perbedaan antara manitol dan salin
hipertonik dalam menurunkan TIK, dan tidak menurunkan cukup TIK pada pasien
hipovolemik.

Barbiturat
Barbiturat efektif dalam mengurangi TIK yang refrakter terhadap terapi lain, meskipun
tidak boleh digunakan pada hipotensi atau hipovolemia. Selain itu, barbiturat sering
menyebabkan hipotensi, sehingga tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh
yang panjang dari sebagian besar barbiturat memperpanjang waktu untuk menentukan
kematian otak, yang merupakan pertimbangan pada pasien dengan cedera yang parah dan
kemungkinan tidak dapat bertahan.
Barbiturat tidak direkomendasikan untuk menginduksi burst supresi yang diukur dengan
EEG untuk mencegah terjadinya hipertensi intrakranial. "Pemberian barbiturat dosis tinggi
direkomendasikan untuk mengontrol peningkatan ICP yang refrakter terhadap perawatan
medis dan bedah standar maksimum. Stabilitas hemodinamik sangat penting sebelum dan
selama terapi barbiturat (IIB)."

Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada sekitar 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada individu dengan cedera kepala berat. Tiga faktor utama
yang terkait dengan tingginya insiden epilepsi lanjut adalah kejang yang terjadi dalam minggu
pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tengkorak. Kejang akut dapat dikontrol
dengan antikonvulsan, tetapi penggunaan antikonvulsan dini tidak mengubah outcome kejang
traumatis jangka panjang.
Antikonvulsan dapat menghambat pemulihan otak, sehingga harus digunakan hanya jika
benar-benar diperlukan. Saat ini, fenitoin (Dilantin) dan fosfenitoin (Cerebyx) umumnya
digunakan pada fase akut. Untuk orang dewasa, dosis loading yang biasa adalah 1 g fenitoin
intravena yang diberikan tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan yang biasa
adalah 100 mg/8 jam, dengan dosis dititrasi untuk mencapai tingkat serum terapeutik. Valium
(Diazepam) atau ativan (Lorazepam) sering digunakan selain fenitoin sampai kejang berhenti.
Kontrol kejang terus menerus mungkin memerlukan general anestesi. Sangat penting untuk
mengontrol kejang akut sesegera mungkin, karena kejang berkepanjangan (30 sampai 60
menit) dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Penggunaan profilaksis fenitoin (Dilantin) atau valproat (Depakote) tidak dianjurkan
untuk mencegah kejang pascatrauma lanjut (PTS). Fenitoin direkomendasikan untuk
mengurangi kejadian PTS dini (dalam 7 hari setelah cedera), ketika manfaat keseluruhan
dirasakan lebih besar daripada komplikasi yang terkait dengan pengobatan tersebut. Namun,
PTS dini belum dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk (IIA).

Manajemen Bedah
Manajemen bedah mungkin diperlukan pada kasus luka pada kulit kepala, fraktur
tengkorak, dan lesi/ massa intracranial serta penetrating brain injury. (2)
Temuan intrakranial yang umum termasuk fraktur tengkorak depressed, hematoma
subdural, hematoma epidural, perdarahan subarachnoid, dan perdarahan intraventricular
memerlukan konsultasi ke departemen bedah saraf. Untuk selanjutnya dilakukan
manajemen terkait kondisi patologis intrakranial karena pasien dapat mengalami
peningkatan tekanan di dalam otak, menyebabkan herniasi dan kematian. (1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Capizzi A, Woo J, Verduzco-Gutierrez M. Traumatic Brain Injury: An Overview of
Epidemiology, Pathophysiology, and Medical Management. Med Clin North Am [Internet].
2020;104(2):213–38. Available from: https://doi.org/10.1016/j.mcna.2019.11.001
2. Sharon Henry M, Karen Brasel M, Ronald M. Stewart, MD F. Advanced Trauma Life Support
10th Edition. 2018. p. 117–22.

Anda mungkin juga menyukai