Anda di halaman 1dari 95

2008

RESUME SKENARIO 2 Oleh: KELOMPOK B


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Aries Rahman H. Dian Ayu I. Yonatha Novara P. Pristhania Rizka Cita Budiarti Freicillya R. C. M. Rudy Febriansyah Fina Aprilisa Ayunita Tri W. 082010101017 082010101024 082010101025 082010101027 082010101031 082010101039 082010101042 082010101044 082010101045 082010101049 082010101050 082010101051 082010101070 082010101079

10. Nindhita Retno P. 11. Bagus Lukman H. 12. Amin Kamaril W. 13. Rina Mulya Sari 14. Made Ngurah Arya P.

15.

[FAKULTAS KEDOKTERAN]
Universitas Jember

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

16. SKENARIO Suasana IGD RS Kepolisian Pusat berubah ramai setelah mendapat kiriman korban penggerebekan di sebuah sarang teroris. Tampak dua orang polisi tergolek lemah, seorah dengan avulsi pada regio frontoparietal dextra dengan kesadaran menurun akibat bacokan senjata tajam teroris, sedang seorang anggota lain bernafas tersengal-sengal akibat dadanya tertembus peluru setinggi ICS V. Sedangkan korban dari pihak teroris sebanyak 3 orang, dengan satu orang tewas akibat tertembus peluru petugas di mata sebelah kanan menembus telinga kanannya. Sementara satu orang teroris terkapar dengan luka tembak di dada kanan serta darah yang keluar dari telinga kanan. Di sudut lain ruangan tampak seorang teroris dengan kedua mata berdarah akibat ledakan bom polisi, dibebat seadanya.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

PERMASALAHAN
A. Trauma Kapitis 1. Trauma Difus 2. Terlokalisir a. Perdarahan epidural b. Perdarahan subdural c. Kontusio/ perdarahan intraserebral

3. Cedera otak
a. Ringan b. Sedang c. Berat B. Trauma Thoraks

1. Pneumothoraks
a. Simple b. Tension 2. Kontusio paru 3. Hemothoraks 4. Tamponade Jantung 5. Flail chest 6. Ruptur aorta C. Trauma Mata

1. Mekanik a. Tumpul b. Tajam


2. Kimia 3. Fisik / Radiasi D. Trauma THT 1. Tuli Mendadak 2. Epistaksis 3. Barotrauma Ear

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

4. Sindroma Post Concution E. Multiple trauma F. Traumatologi forensik Jenis trauma 1. Trauma Tajam 2. Trauma Tumpul 3. Trauma Tembak

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

PEMBAHASAN A. TRAUMA KAPITIS 1. Trauma Difus


Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami retro atau anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Pada kasus kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multiple diseluruh hemisfer otak yang terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.

2. Terlokalisir a. Perdarahan Epidural


Definisi Merupakan akumulasi traumatik antara lapisan dalam tengkorak dan lapisan duramater yang terlepas. Disebabkan biasanya oleh trauma tumpul. Pada 85-95% pasien merupakan akibat dari fraktur pada tulang tengkorak.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Patifisiologi Sekitar 70-80% EDH berada pada regio temporoparietal dimana fraktur tengkorak melewati jalur arteri meningeal media atau cabang arteri ke dura. Frontal dan oksipital hematoma terjadi pada 10% kejadian, yang dapat berlanjut ke atas atau ke bawah tentorium. Hematoma dan fraktur tengkorak jarang pada anak karena elastisitas kalvaria. Epidural hematoma biasanya berasal dari arteri namun 1 dari 3 pasien berasal perdarahan vena. Terkadang, robeknya sinus venosus menyebabkan epidural hematoma, khususnya pada regio parietal-oksipital atau fosa posterior. Cedera ini cenderung mengecil dan ringan. Biasanya, epidural hematoma vena hanya disertai depresi fraktur tengkorak, yang melepas dura dari tulang dan, oleh karena itu, menciptakan ruang untuk akumulasi darah. Pada pasien tertentu, epidural hematoma dapat diterapi non-bedah. Perdarahan yang meluas dan banyak dapat mengakibatkan midline shift dan herniasi uncus. Penekanan jaringan otak dapat mengenai saraf kranial III, mengakibatkan dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral atau respons motorik ekstensor. Epidural hematoma pada umumnya stabil, mencapai ukuran maksimum dalam beberapa menit namun dapat kronis dan dapat terdeteksi hanya beberapa hari setela cedera. Gejala Kurang dari 20% pasien menunjukkan gambaran klasik dari lucid interval antar trauma awal dan gangguan neurologis berikutnya. Berdasarkan cederanya, pasien dapat sadar atau tidak Sakit kepala berat Muntah Kejang Pasien EDH pada fosa posterior dapat mengalami kerusakan neurolis yang terlambat, pasien dapt sadar dan berbicara dan beberapa menit kemudian apneu, koma dan beberapa menit lagi meninggal. terjadi

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pemeriksaan fisik Respons Cushing dapat mengidikasi peningkatan TIK:

o Hipertensi o Bradikardi o Bradipnea Tingkat kesadaran dapat berkurang, dengan penurunan atau fluktuasi GCS. Kontusio, laserasi, atau depresi tulang dapat di observasi pada area cedera. Pupil dilatasi, lamabt atau tidak reaktif, cedera ipsilateral atau bilateral, kemungkinan peningkatan TIK atau herniasi. Trias Klasik indikasi herniasi transtentorial terdiri dari :

o Koma o Pupil dilatasi dan tidak respons o Sikap deserebrasi Hemiplegia kontra lateral Pemeriksaan Lab. Abnormalitas koagulasi merupakan tanda cedera kepala berat. Kerusakkan BBB dengan jaringan otak yang terpapar merupakan penyebab potesial untuk DIC. Pemeriksaan Radiologi CT scan pada kepala

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Terapi Pra-RS
o

Stabilkan kondisi mengancam jiwa akut dan memulai terapi pendukung. Kontrol airway dan tekanan darah yang masalah paling penting. Akses IV, kelola oksigen, dan monitor. Mengadministrasikan IV kristaloid untuk menjaga tekanan darah yang memadai. Intubasi, sedasi, dan blokade neuromuskular per protokol. Ada beberapa saran dari mortalitas yang meningkat dengan intubasi prehospital pada tinjauan retrospektif trauma pasien dengan cedera kepala sedang-ke-berat dibandingkan dengan pasien intubasi di UGD.

o o o o

o Bag-valve-mask ventilasi dengan teknik yang baik mungkin lebih menguntungkan untuk pasien cedera otak dari prehospital intubasi. DI UGD
o

Membuat akses IV, kelola oksigen, dipantau, dan kelola kristaloid IV yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai. Intubasi menggunakan induksi urutan cepat (RSI), yang umumnya termasuk premedikasi dengan lidokain, suatu agen sedasi cerebroprotectif (misalnya, etomidate), dan agen memblokir neuromuskular. Lidokain mungkin terbatas efeknya dalam situasi ini, namun hampir tidak ada resiko. Premedikasi dengan fentanil juga dapat sedikit mengatasi kenaikan TIK. Intubasi setelah pemeriksaan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

neurologis dasar untuk memfasilitasi oksigenasi, melindungi jalan napas, dan hiperventilasi yang diperlukan.
o

Tinggikan kepala tempat tidur 30 setelah tulang belakang dibersihkan, atau menggunakan posisi terbalik Trendelenburg untuk mengurangi TIK dan meningkatkan drainase vena.

Mengadministrasikan manitol 0,25-1 g / kg IV setelah berkonsultasi seorang ahli bedah saraf jika MAP adalah lebih besar dari 90 mm Hg dengan lanjutan tanda-tanda klinis TIK meningkat. Hal ini akan mengurangi baik TIK (mengurangi edema otak secara osmotik) dan viskositas darah, yang meningkatkan aliran darah otak dan pengiriman oksigen. Cairan harus diganti dan hipovolemia dihindari.

o Hiperventilasi untuk tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) dari 30-35 mm Hg mengatasi herniasi atau tanda-tanda baru jadi meningkatkan TIK, namun, ini kontroversial. Berhati-hatilah untuk tidak menurunkan PCO2 terlalu jauh (<25 mm Hg). Lakukan hiperventilasi jika tanda-tanda klinis proses peningkatan TIK dan tahan untuk obat penenang, kelumpuhan, diuretik osmotik, dan jika mungkin, CSF drainase. Prosedur ini mengurangi TIK dengan vasokonstriksi hipokarbik dan mengurangi risiko hypoperfusion dan kematian sel terluka.
o

Fenitoin mengurangi kejadian kejang pasca trauma awal, meskipun tidak mempengaruhi serangan akhir-awal atau perkembangan gangguan kejang persisten.

b. Perdarahan Subdural
Definisi Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya venavena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Gb. Hematoma Subdural Etiologi Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:

Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.

Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Patofisiologi

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens. 2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin. 3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu bermingguminggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens. Pembagian Subdural kronik: Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu : 1. Tipe homogen ( homogenous) 2. Tipe laminar 3. Tipe terpisah ( seperated) 4. Tipe trabekular (trabecular) Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu: 1. Tipe konveksiti ( convexity). 2. Tipe basis cranial ( cranial base ). 3. Tipe interhemisferik
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif. Gejala Klinis 1.Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah. 2. Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 3.Hematoma Subdural Kronik

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: sakit kepala yang menetap rasa mengantuk yang hilang-timbul linglung perubahan ingatan kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan. Penatalaksanaan Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang ) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejalagejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang. Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata Adanya tanda herniasi/ lateralisasi Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh - pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan Markam. Follow-up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian. Rehabilitasi Berbaring lama dan inaktiviti bisa menimbulkan komplikasi gerakan seperti kontraktur, osteoporosis, dekubitus, edema, infeksi, trombophlebitis, infeksi saluran kencing.

Goal jangka pendek

1) Meningkatkan spesifik area seperti kekuatan, koordinasi, ROM, balans, dan posture untuk mobilitas dan keamanan. 2) Pengobatan tergantung kondisi pasien kestabilan kardiopulmoner, fungsi musculoskletal, defisit neurologi
a) Rehabilitasi dini pada fase akut terutama untuk menghindari komplikasi

seperti kontraktur dengan terapi fisik pengaturan posis, melakukan gerakan ROM (pergerakan sendi) dan mobilisasi dini
b) Terapi ini kemudian dilanjutkan dengan home program terapi yang

melibatkan lingkungan dirumah


c) Pada pasien tidak sadar dilakukan dengan strategi terapi coma

management dan program sensory stimulation


d) Penanganan dilakukan oleh tim secara terpadu dan terorganisis : dokter

,terapis, ahli gizi, perawat, pasien dan keluarga.


e) Melakukan mobilisasi dini, rehabilitasi termasuk stimulasi, suport nutrisi

yang adekuat, edukasi keluarga. Prognosis Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

C. Kontusio / Perdarahan Intraserebral


Definisi Lesi kontusio adalah suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa adanya kerusakan duramater. Patofisiologi Kontusio dapat terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi. Kontusio serebri yang tidak terlampau berat dapat terjadi dengan adanya gangguan-gangguan di susunan kardiopulmonal pada trauma kapitis, dengan mekanisme melalui sistem vaskular yang ikut terkena secara langsung karena perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraselular. Keadaan ini bisa ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa plasma atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya adalah tekanan osmotik dan O2 (PO2) menurun. Gejala Klinik Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (coup) countrecoup dan intermediated, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa refleks Babinski yang positif dan kelumpuhan U.M.N. Setelah penderita pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrom. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau tidak dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

berlangsung lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subaraknoid atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan dapat menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat diputus. Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa atau bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi. Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan ialah foto rontgen polos, bila perlu scan tomografik,EEG, pungsi lumbal. Penatalaksanaan Tindakan yang diambil pada kontusio berat ditujukan untuk mencegah meningginya tekanan intrakranial. 1.

Usahakan jalan napas yang lapang dengan : Membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan Melonggarkan pakaian yang ketat
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung Untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan Bila perlu pasang pipa endotrakea atau lakukan trakeotomi O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasi Hentikan perdarahan Bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasi Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas

2. 3. 4. 5. 6.

keluar dan tidak mengganggu jalan napas. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan harinya. Pada hari pertama pemberian infus berikan 1,5 liter cairan perhari, dimana 0,5 liternya adalah NaCl 0,9%. Bila digunakan glukosa pakailah yang 10% untuk mencegah edema otak dan kemungkinan timbulnya edema pulmonum. Setelah hari keempat jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter per 24 jam. Bila bising usus sudah terdengar, baik diberi makanan cair per sonde. Mula-mula dimasukkan glukosa 10% 100 cm3 tiap 2 jam untuk menambah kekurangan cairan yang telah masuk dengan infus. Pada hari berikutnya diberi susu dan pada hari berikutnya lagi, makanan cair lengkap 2-3 kali perhari, 2000 kalori, kemudian infus dicabut. 7. 8. 9. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus sebanyak 250 cm3 dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam. Furosemid intramuskuler 20 mg/24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut : Hari I Hari II Hari III : 10 mg intravena diikuti 5 mg tiap 4 jam : 5 mg intravena tiap 6 jam : 5 mg intravena tiap 8 jam

Hari IV-V : 5 mg intramuskular tiap 12 jam


2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Hari IV

: 5 mg intramuskular

Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur P CO2 dan P O2 darah. Keadaan yang normal adalah P CO2 sekitar 42 mmHg dan P O2 di atas 70 mmHg. Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma

3. Cedera Otak a. Ringan


Definisi : Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007: 3). Epidiemologi : Di dunia diperkirakan sebanyak 1,2 juta jiwa nyawa melayang setiap tahunnya sebagai akibat kecelakaan bermotor, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% mengalami cedera kepala. Di Indonesia diperkirakan lebih dari 80% pengendara kendaraan mengalami resiko kecelakaan. 18% diantaranya mengalami cedera kepala dan kecederaan permanen, tingginya angka kecelakaan lalu lintas tidak terlepas dari makin mudahnya orang untuk memiliki kendaraan bermotor dan kecelakaan manusia. (Shell, 2008) Pengertian : Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer, 2001:2211). Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi (Mansjoer, 2000:4). Cidera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul. (Bedong, M.A, 2001) Cedera kepala ringan adalah cedera kepala tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara (Corwin, 2000: 176)

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Jadi cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunya kesadaran sementara, mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya. Etiologi : a. Trauma tumpul : Kecepatan tinggi (tabrakan motor dan mobil) kecepatan rendah (terjatuh, dipukul) b. Trauma tembus : Luka tembus peluru dari cedera tembus lainnya (Mansjoer, 2000: 3) Klasifikasi Klinis a. Cedera kepala ringan CGS : 15, Tidak ada konkusi, pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala. b. Cedera kepala sedang CGS : 9-14, konkusi, amnesia pasca trauma, muntah, tanda fraktur tengkorak, kejang. c. Cedera kepala berat GCS : 3-8, penurunan derajat kesadaran secara progresif, Tanda neurologist fokal. (Mansjoer, 2000 :4) Tanda dan Gejala a. Hilangnya tingkat kesadaran sementara b. Hilangnya fungsi neurology sementara c. Sukar bangun d. Sukar bicara e. Konkusi f. Sakit kepala berat g. Muntah h. Kelemahan pada salah satu sisi tubuh Penanganan cedera kepala ringan: pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat, kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal

b. Sedang
10% dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak sedang. Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat disertai deficit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Saat diterima di UGD dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan. CT Scan kepala harus selalu dilakukan dan harus segera menghubungi ahli bedah saraf. Penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama 12-24 jam pertama. Pemeriksaan CT Scan lanjutan dalam 12-24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan status neurologis penderita.

c. Berat
Penderita dengan cedera otak berat tidak mampu melakukan perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup berbagai cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang paling besar. Primary survey dan resusitasi Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak berat dengan hipotensi memiliki mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding penderita tanpa hipotensi. Adanya hipoksia pada penderita yang disertai hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh karena itu, tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera otak berat harus dilaksanakan secepatnya. Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada penderita cedera otak berat dn dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma. Penderita diberi ventilasi dengan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Pemakaian pilse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmoner penderita stabil. Pemeriksaan ini terdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indicator prognostik yang paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (dolls eye phenomena, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulovestibuler), dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf. Pemeriksaan dolls eye, reflek oculovestibular, dan refleks kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal. Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil sebelum melakukan sedasi pada penderita.

Terapi Medikamentosa Untuk Cedera Otak


Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila sel saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami kematian. a. Cairan intravena Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang menggunakan glukosa dapat mengakibatkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

atau ringers laktat. Kadar natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya cedera otak yang harus segera dicegah. b. Hiperventilasi Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak akibat vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCO2 dibiarkan turun sampai dibawah 30 mmHg. Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan dalam waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. c. Manitol Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia biasanya cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1g/kgbb diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah diuretic osmotic yang poten. Indikasi penggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan keasadaran saat pasien dalam observasi. Pada saat ini pemberian bolus manitol harus diberikan secara cepat (dalam waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT Scan atau ke kamar operasi bila lesi penyebabnya sudah dketahui melalui CT Scan. d. Furosemid Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK . dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgbb diberikan secara intravena. Seperti pada penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan pada pasien hipovolemik. e. Steroid Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaat steroid untuk mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat. Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otak tidak dianjurkan.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

f.

Barbiturat Barbiturate bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obatobatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaan hipotensi atau hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat. Karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.

g.

Antikonvulsan Epilepsy pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insidensi epilepsy , (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) perdarahan intracranial, (3)fraktur depresi. Penelitian tersanar ganda menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera namun tidak setelah itu.

B. TRAUMA THORAX 1. Pneumothorax a. Simple


Defek atau bluka yang besar pada dinding dada akan menyebabkan pneumothorax terbuka. Tekanan udara di dalam rongga pleura akan sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek yang terjadi lebih dari 2/3 diameter trakea maka udara akan mengalir melewati defek tersebut karena memiliki tahan yang lebih kecil dari trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah utama adalah menutup luka dengan kasa oklusif steril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti itu diharapkan adanya efek katup. Dimana saat inspirasi kasa akan menutup luka, mencegah kebocoran dari dalam. Saat ekspirasi kasa akan membuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu dipasang selang dada yang letaknya berjauhan dengan luka primer dilanjutkan dengan penjahitan luka.

b. Tension
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Merupakan pneumothorax dengan tension (udara dapat masuk ke cavum thorax tp tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan meningkat). Jadi harus ditegakkan dulu adanya pneumothorax. Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paruatau dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk kedalam rongga pleura yang tiddak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan semakin meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong kesisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang ada kerusakan pada pleura visceral. Tension pneumothorax juga dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumothorax sederhana akibat cedera thorax tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang tidak menutup atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabka tension pneumotorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut kedap udara yang kemudian akan menimbulkan mechanisme katup . Juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang torax yang mengalami pergeseran. Diagnosis ditegakkan secara klinis dan terapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis. Ditandai gangguan nyeri dada, sesak yang berat, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gx dengan tamponade jantung maka pada awalnya sering membigungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks akan dapat membedakannya. Membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga 2 grs midclavicular pd hemithorax yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax sederhana. Evauasi ulang sll diperlukan.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Keterangan 1. Emfisema sub kutis tampak dari luar 2. Rongga pleura membesar karena paru-paru kolaps 3. Pengumpulan udara di lapisan sub kutis 4. Defek dinding dada karena trauma 5. Jantung dan aorta yang bergeser Gambaran Radiologis Bayangan udara dalam rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura visceral (gambar 1 dan 2). Gambar 1.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Gambar 2.

Pada foto terlihat bayangan udara dari pneumotoraks yang berbentuk cembung, yang memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis. Bila pneumotoraksnya tidak begitu besar, foto dengan pernafasan dalam (inspirasi penuh) pun tidak akan menunjukkan kelainan yang jelas. Dalam hal ini dianjurkan membuat foto dada dengan inspirasi dan ekspirasi penuh. Selama ekspirasi maksimal udara dalam rongga pleura lebih didorong ke apeks, sehingga rongga intrapleura di apeks jadi lebih besar. Selain itu terdapat perbedaan densitas antara jaringan paru dan udara intrapleura sehingga memudahkan dalam melihat

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

pneumotoraks, yakni kenaikan densitas jaringan paru selama ekspirasi tapi tidak menaikkan densitas pneumotoraks. Terapi Bila disebabkan karena lubang di dinding dada (open pneumothorax), tutup lubang dengan kasa yang diplester di ketiga sisinya, sisi yang satu biarkan terbuka. Sehingga seperti katup dimana udara tidak bisa masuk ke rongga pleira saat inspirasi tapi bisa keluar saat ekspirasi Bila close pneumothorax, tusuk dengan jarum besar di SIC 2 untuk dekompresi WSD (Water Seal Drainage) untuk menghilangkan pneumothoraxnya Bila terdapat emfisema subkutis lakukan tusukan jarum multiple di tempat yang emfisema

2. Kontusio Paru
Definisi Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat. Etiologi Trauma toraks Kecelakaan lalu lintas Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim ManifestasiKlinis Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma Dispnea PO arteri Ronki Infiltrat pada foto thoraks

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pada kondisi berat dapat disertai :sekret trakeobronkial yang banyak, hemoptisis, dan edema paru Primary surveys Primary surveys di TKP (ABCDE) Yang dinilai : A:

Kelancaran jalan napas Jika penderita dapat berbicara mengindikasikan A-nya baik Identifikasi kemungkinan-kenungkinan obstruksi A (eg: oleh karena benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea, fraktur servikal) B:

Melibatkan paru, dinding dada, dan diafragmanya harus dievaluasi secara cepat Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernapasan Auskultasi untuk memastikan udara masuk ke paru-paru Perkusi untuk menilai adanya udara atau darah pada rongga pleura Inspeksi dan palpasi dapat menilai kelainan dinding dada C: Penilaian volume darah dan CO - Tingkat kesadaran :akibat suplai darah keotak, kesadaran - Warna kulit (dapat membantu diagnosis hipovolemik) :wajah yang pucat keabuan, kulit ekstrimitas yang pucat menandakan hipovolemik - Nadi, periksa pada nadi yang besar eg: Femoralis, karotis untuk kekuatan, kecepatan, dan irama : * tidak cepat, kuat, teratur = normovolemi * cepat, kecil = hipovolemi * tidak teratur = biasanya gangguan jantung * tidak ditemukan = perlu resusitasi segera

Penilaian ada tidaknya perdarahan luar,perdarahan juga bisa terjadi di dalam /internal /tidak terlihat, eg. Perdarahan pada rongga thoraks,
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis, atau sebagai akibat luka tembus dada/perut Secondary surveys D : (sepintas bisa primary,,, tapi selengkapnya bisa secondary)

Tingkat kesadaran, Ukuran dan reaksi pupil, Tanda tanda lateralisasi, Tingkat/level cidera spinal : Tingkat kesadaran dapat dinilai dengan GCS atau APVU. Penurunan kesadaran dapat disebabkan : oksigenasi (hipoksia) atau hipoperfusi (hipovolemi) keotak Trauma langsung pada otak / trauma kapitis Obat-obatan, alkohol

E : (secondary)

Pemeriksan head to toe, periksa kemungkinan-kemungkinan trauma lain,,, jaga suhu tubuh pasien / cegah hipotermia (selimuti,dll)

Faktor Resiko Trauma toraks Fraktur iga

Tatalaksana Resusitasi Awal A:


Usaha untuk membebaskan A harus melindungi vertebra servikal Dapat dengan chin lift atau jaw thrust Dapat pula dengan naso-pharyngeal airway atau oro-pharyngeal airway Selama memeriksa dan memperbaiki A tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi leher Pertimbangkan bantuan A definitif (krikotirotomi, ETT,dll) kalau raguberhasil

B:

Kontrol A pada penderita yang A terganggu karena faktor mekanik, gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran bisa dengan intubasi ETT

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

(oral/nasal) jika ETT tidak bisa (karena KI atau masalah teknis),, bisa surgical A / krikotiroidotomy

Setiap penderita trauma, beri O,, jika tidak intubasi, bisa pakai sungkup Jika ada perdarahan arteri luar, harus segera DIHENTIKAN, bisa dengan balut tekan atau dengan spalkudara. Jangan pakai Torniquet, karena dapat merusak jaringan dan menyebabkan iskemia distal, sehingga torniquet hanya dipakai jika ada amputasi traumatik

C:

Jika ada gangguan sirkulasi pasang iv line (sekalian ambil sampel darah u/ diperiksa lab rutin dan tes kehamilan). Infus, RL / kristaloid lain 2-3 L ,,, jika tidak respon beri gol. Darah sesuai, kalau tidak ada bergol O Rh > gol O Rh + titer rendah hangatkan dulu u/ mencegah hipotermia

Jangan beri vasopresor, steroid, bicarbonat natricus Monitor EKG Pasang kateter urin dan lambung Rontgen ,dll. Mempertahankan oksigenasi Mencegah/mengurangi edema Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)

Tambahan :

Tujuan:

Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang ventilasi mekanik dengan continuous positive end-expiratory pressure (PEEP)

Prognosis Dengan diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat prognosisnya baik Komplikasi Sindrom distress pernapasan pada dewasa

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

3. Hemothoraks
Hemotoraks adalah akumulasi darah pada rongga intrapleura. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah sistematik maupun pembuluh darah paru, dan pada trauma yang tersering perdarahan berasal dari arteri interkostalis dan arteri mammaria interna. Akumulasi darah pada rongga intrapleura sering ditemukan pada penderita trauma toraks, baik oleh karena trauma tajam maupun pada trauma tumpul toraks. Perdarahan dari paru-paru jarang menyebabkan kematian dan umumnya dapat berhenti sendiri, hal ini disebabkan oleh: a. b. c. d. Efek tamponade oleh adanya bekuan Kadar tromboplastin yang tinggi dalam jaringan paru Tekanan pembuluh darah paru yang rendah (20 sampai 30 mmHg) Paru-paru yang kolaps Pada orang dewasa secara teoritis hemotoraks dibagi dalam 3 golongan, yaitu: 1. Hemotoraks ringan : jumlah darah kurang dari 400 cc. 2. Hemotoraks sedang : jumlah darah 500 sampai 2000 cc 3. Hemotoraks berat : jumlah darah lebih dari 2000 cc Pemeriksaan radiologis dibutuhkan untuk menilai keadaan dari toraks serta evaluasi dari pengobatan, dan foto dibuat sebaiknya dalam posisi tegak. Tata Laksana Pada hemotoraks yang ringan hanya dilakukan tindakan yang non invasive dan darah yang tertumpuk tersebut diharapkan akan diabsorpsi secara perlahan dalam 10 sampai 14 hari(Borrie J.). Hemotoraks sedang/berat biasanya perdarahan telah mengisi lebih dari bagian hemitoraks yang bersangkutan atau 1000 cc biasanya sudah terlihat adanya gejala-gejala kekurangan darah dan gangguan pernafasan. Pada penderita ini sebaiknya segera dilakukan tindakan torakostomi tertutup untuk mengevakuasi darah dari rongga pleura sehingga paru-paru mengembang, dan tindakan torakostomi tertutup tersebut juga bermanfaat untuk mengevaluasi perdarahan dari rongga intrapleura.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Tindakan torakostomi tertutup, transfusi darah dan pengambil alihan pernafasan dengan menggunakan ventilator pada penderita hemotoraks yang masif adalah penting sebagai tindakan resusitasi. Water Seal Drainage (WSD) Suatu sistem drainase tertutup dari rongga intrapleura dengan botol yang berisi cairan yang dimaksudkan untuk mengeluarkan darah, udara dan cairan dari rongga intrapleura. Continous Suction Drainage (CSD) Suatu sistem drainase tertutup dari rongga intrapleura dengan pompa isap secara langsung atau satu lagi botol tambahan dan pompa isap atau dua lagi botol tambahan dan pompa isap. Tehnik Torakostomi Tertutup Penderita dengan posisi supine, tangannya diangkat ke belakang kepala, dengan kepala dielevasikan kira-kira 450 dari tempat tidur atau di kursi dan bersandar di depan meja. Daerah operasi didesinfeksi dan ditutup dengan kain steril kecuali lapangan operasi serta anasthesi local secara infiltratif terutama kulit,periosteum, pleura, yang mana merupakan jaringan yang sensitif. Dibuat insisi sepanjang 2-3 cm di bawah iga pada midaksilaris. Insisi diperdalam secara tumpul dengan menggunakan forcep arteri, secara obligue diperluas ke pinggir atas iga V, kemudian pleura parietalis ditusuk masuk ke dalam cavum pleura. Perluasan secara subcutaneous oblique ini mengurangi masuknya udara ke dalam cavum pleura. Jadi dimasukkan ke dalam cavum pleura sambil menggerakkan kesekeliling untuk memastikan itu adalah suatu rongga yang mana drain akan diinsersikan. Dengan bantuan klem tube toraks dimasukkan melalui insisi ke dalam rongga untrapleura ke arah cranial dan posterolateral, dapat juga tube ini dimasukkan dengan bantuan trokar. Tube toraks difiksasi ke kulit dengan jahitan mattras horizontal mengelilingi tube yang mudah dilepaskan. Drain dihubungkan dengan sistem drainase yang telah ditentukan (WSD dan CSD).

4. Tamponade Jantung
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Terjadi akibat trauma tajam atau tumpul yang menimbulkan perikardium terisi darah. Perikard tersusun dari jaringan ikat yang kasar sehingga terisi darah sedikit saja dapat mengakibatkan gangguan aktivitas dan pengisian jantung. Diagnosis klasik tamponade jantung adalah adanya trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arterial, dan suara jantung menjauh. Pulsus paradoksus adalah keadaan fisiologik dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Penurunan > 10 mmHg merupakan tanda dari tamponade jantung. Tanda kussmaul yaitu peningkatan tekanan vena sewaktu inspirasi biasa adalah kelainan paradoksal yang sesungguhnya menunjukkan tamponade jantung. Tanda lain adalah adanya PEA dimana tidak ditemukan hipovolemia dan tension pneumothorax. Pemasangan CVP dan echocardiografi dapat membantuk penegakan diagnosis. Pada trauma tumpul dengan kelainan hemodinamik dapat dilakukan pemasangan USG abdomen untuk mendeteksi cairan di rongga perikard selama tidak mengganggu resusitasi. Cara diagnosis yang cepat dan akurat adalah dengan USG (Forced assesmentsonogram in cedera-FAST). Jika melalui FAST didapatkan cairan intraperikardial, maka dapat dilakukan perikardiosintesis untuk menstabilkan hemodinamik selama menunggu oprasi. Perikardiosintesis dapat berfungsi sebagai dignostik dan terapi namun bukan sebagai terapi definitive untuk tamponade jantung. Evakuasi darah dengan cepat dari perikard diindikasikan bila penderita mengalami syok hemoragik yang tidak berespon terhadap resusitasi cairan dan dimungkinkan terjadi tamponade jantung. Perikardiosintesis dilakukan dengan metode subsifoid. Tindakan lain adalah dengan melakukan oprasi jendela perokard atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Walaupun kecurigaan besar terjadi tamponade jantung, tetap dilakukan pemberian cairan infuse awal karena dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara sambil menunggu tindakan perikardiosintesis dengan cara subsifoid. Pada tindakan ini, penggunaan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara yang paling baik. Tetapi dalam keadaan gawat prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Minitoring EKG dapat menunjukkan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

tertusuknya miokard ( peningkatan voltase dari gelombang T ketika jarum menyentuk miokard) atau terjadinya disritmia. Karena luka jantung menutup sendiri, perikardiosintesis akan memperbaiki gejala untuk sementara. Semua pasien dengan perikardiosintesis positif memerlukan torakotomi atau median sternotomi. Namun perikardiosintesis dapat negatif jika darah dalam rongga pleura membeku.

5. Flail Chest
Definisi Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan 3 iga , dan memiliki garis fraktur 2 ( segmented) pada tiap iganya. Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi. Patofisologi Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi Karakteristik

Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; Menunjukkan trauma hebat Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective

tidak terlihat pada pasien dalam ventilator


ekstremitas) air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Penatalaksanaan

pain control stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal bronchial toilet fisioterapi agresif tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks Gagal/sulit weaning ventilator Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif) Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif) Menghindari cacat permanen Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak

melalui operasi)

Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest: 1. 2. 3. 4. 5. 6. masif, dsb)

didapatkan lagi area "flail"

6. Ruptur Aorta
Ruptur aorta traumatik biasanya menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Sesampainya di rumah sakit, kemungkinan dapat selamat apabila ruptur aorta dapat diidentifikasi segera dan ditangani secepatnya. Penderita ruptur aorta yang masih bisa ditolong adalah bila laserasinya tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lappisan adventesia yang masih utuh atau aadanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera. Hipotensi menetap atau berulang ditemukan sedangkan perdarahan ditempat lain tidak ada. bila rupturnya berupa transeksi aorta, maka darah akan masuk ke rongga pleura yang menyebabkan hipotensi, berakibat fatal dan harus dilakukan operasi dalam hitungan menit. Tanda
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

gejala tidak khas, namun berdasarkan kecurigaan aadanya trauma, adanya gaya deselersi dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi. Gambaran radiologi yang mengindikasikan adanya cedera pembuluh darah besar dalam toraks. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Pelebaran Mediasstinum Obliterasi lengkung aorta Deviasi trakea ke arah kanan Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta Bronkus utama kiri tertekan ke bawah Deviasi esofagus kearah kanan Pelebaran paratrakeal tidak merata Pelebaran paraspinalDitemukan adanya pleura atau apical cap Hemotoraks kiri Fraktur iga 1 atau ke 2 atau scapula.

Angiografi merupakan pemeriksaan gold standar, tetapi transesofageal ekokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasif yang membentu enegakan diagnosis. CT-helikal dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta. Akurasi dengan CT-helikal mencapai 100%, namun sangat tergantung alat dan ahli. Bila CT-helikal tidak menunjukkan adanya hematoma mediastinum maupun cedera aorta, maka pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT-helikal positif maka harus dilakukan aortografi. Tatalaksana Ahli bedah berpengalaman harus membantu penegakan diagnosis. Terapi yang dapat dilakukan adalah penjahitan primer aorta dan dipasang graft.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

C. TRAUMA MATA 1. Mekanik


Trauma mekanik pada mata sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak-anak dan orang dewasa muda. Pada kelompok inilah trauma pada mata sering terjadi (50%) yaitu umur kurang dari 18 tahun (di USA). Trauma mekanik pada mata dibedakan ada 2 macam yaitu :

a. Trauma mekanik tumpul


Gelombang tekanan akibat trauma menyebabkann tekanan yang sangat tinggi dalam waktu singkat didalam bola mata. Tekanan dalan bola mata ini akan menyebar antara cairan vitreus dan sclera yang tidak elastis. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana ada perbedaan elastisitas, misal daerah limbus, sudut iridocorneal, ligamentum zinni dan corpus ciliaris. Respon jaringan akibat trauma menimbulkan : 1). Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan menyebabkan kromatolisis sel. 2). Reaksi Pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar dari pembuluh darah maka terjadi edema. 3). Reaksi Jaringan. Reaksi Jaringan ini biasanya berupa robekan pada cornea, sclera dan sebagainya. A. Palpebra 1. Perdarahan di palpebra = ecchymosis, black eye Pada perdarahan hebat, palpebra menjadi bengkak dan berwarna kebirubiruan, karena jaringan ikat palpebra halus, perdarahan ini dapat menjalar ke jaringan lain di muka, juga dapat menyeberang melalui pangkal hidung ke mata yang lain menimbulkan hematom kacamata (bril hematom) atau menjalar ke belakang menyebabkan eksofthalmos. Bila ecchymosisi tampak segera sesudah trauma, menunjukkan bahwa traumanya hebat, oleh karenanya harus dilakukan pemeriksaan seksama dari bagian mata yang lainnya. Juga perlu pemeriksaan foto rontgen tengkorak.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Bila tak terdapat kelainan mata lainnya dapat diberikan kompres dingin dan 24 jam kemudian kompres hangat untuk mempercepat resorpsi, disamping obat koagulansia. Bila perdarahan timbul 24 jam setelah trauma, menunjukkan adanya fraktura dari dasar tengkorak. Dari waktu antara trauma terjadi sampai timbulnya ecchymosis dapat diketahui kurang lebih letak fraktura tesebut. Kalau perdarahannya timbul 3 - 4 hari setelah trauma, maka frakturanya terletak di belakang sekali. 2. Emfisema palpebra Menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga timbul hubungan langsung antara ruang orbita denga ruangan hidung atau sinus- sinus sekeliling orbita. Sering mengenai lamina papyricea os ethmoidalis, yang merupakan dinding medial dari rongga orbita, karena dinding ini tipis. Pengobatan : berikan balutan yang kuat untuk mempercepat hilangnya udara dari palpebra dan dinasehatkan jangan bersin atau membuang ingus karena dapat memperhebat frakturanya. 3. Luka laserasi di palpebra Bila luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera dijahit, tetapi bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang steril. Bila pembengkakannya telah berkurang, baru dijahit. Jangan membuang banyak jaringan, bila tidak perlu. Bila luka hebat, sehingga perlu skingraft, yang dapat Kausa :

emfisemanya.

Kemudian

disusul

dengan pengobatan

dari

diambil

dari

kulit

retroaurikuler,

brachial

dan

supraklavikuler.

4. Ptosis parese atau paralise m. palpebra superior (N. III.) pseudoptosis, oleh karena edema palpebra

Bila ptosisnya setelah 6 bulan pengobatan denga kortikosteroid dan neurotropik tetap tak menunjukka perbaikan, mak dilakukan operasi. B. Konjungtiva 1. Perdarahan subkonjungtiva

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Tampak sebagai bercak merah muda atau tua, besar, kecil tanpa atau dsertai peradangan mata. Pengobatannya, simptomatis dengan Sulfazinci, antibiotika bila taku terkena infeksi. Perdarahannya sendiri dapat diabsorbsi dalam 1 2 minggu, yang dapat dipercepat dengan pemberian kompres hangat selam 10 menit setiap kali. Kompres hangat jangan diberikan pada hari pertama, karena dapat memperhebat perdarahannya, 2. Edema Bila masif dan terletak sentral dapat mengganggu visus. Kondisi ini dapat diatasi dengan jalan reposisi konjungtiva atau menusuk konjungtiva sehingga terjadi jalan untuk mengurangi edema tersebut. Dapat juga dibantu dengan cairan saline yang hipertonik untuk mempercepat penyerapan. 3. Laserasi Bila laserasi sedikit ( < 1 cm) dapat diberi antibiotika untuk membatasi kerusakan. Daya regenerasi epitel konjungtiva yang tinggi sehingga akan tumbuh dalam beberapa hari. Bila > 1 cm dijahit dan diberikan antibiotika. C. Kornea 1. Erosi Kornea Bila pennderita mengeluh nyeri, photofobi, epifora, blefarospasme, perlu kita lakukan pemeriksaan pengecatan fluorescein. Bila (+) berarti sebagian kornea tampak hijau yang berarti ada suatu lesi atau erosi kornea. Pengobatan dengan bebat mata dan diharapkan 1 - 2 hari terjadi penyembuhan. Bila erosi luas maka perlu tambahan antibiotika. 2. Edema Kornea Dapat berupa edema yang datar atau edema yang melipat dan menekuk ke dalam masuk ke membran bowman dan descemet. Pengobatan dengan bebat mata dan antibiotika, kadang-kadang diperlukan lensa kontak untuk melindungi kornea pada fase penyembuhan. D. Bilik Mata Depan 1. Hifema pada waktu ini sebaiknya diberikan kompres dingin.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Perdarahan ini berasal dari iris atau badan siliar. Merupakan keadaan yang gawat. Sebainya dirawat, Karena takut timbul perdarahan sekunder yang lebih hebat daripada perdaran primer, yang biasanya timbul hari kelima setelah trauma. Perdarahan sekunder ini terjadi karena bekuan darah terlalu cepat diserap, sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu cukup untuk regenerasi kembali, dan menimbulkan perdarahan lagi. Adanya darah di dalam bilik mata depan, dapat menghambat aliran aquos ke dalam trabekula, sehingga dapat menimnbulkan galukoma sekunder. Hifema dapat pula menyebabkan uveitis. Darah dapat terurai dalam bentuk hemosiderin, yang dapat meresap masuk ke dalam kornea, menyebabkan kornea berwarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea. Jadi penyulit yang harus diperhatikan pada hifema adalah : glaucoma sekunder, uveitis dan hemosiderosis atau imbibisio kornea. Hifema dapat sedikit dapat pula banyak. Bila sedikit ketajaman penglihatan mungkin masih baik dan tekanan intraokuler normal. Perdarahan yang mengisi setengah bilik mata depan, dapat menyebabkan gangguan visus dan kenaikan tekanan intraokuler, sehingga mata terasa sakit oleh glaukomanya. Jika hifemanya mengisi seluruh bilik mata depan rasa sakit bertambah dan visus lebih menurun lagi, karena tekanan intraokulernya bertambah pula. Pengobatan: Harus masuk rumah sakit. Istirahat ditempat tidur dengan elevasi kepala 30 45 derajat. Kepala difiksasi dengan bantal pasir dikedua sisi, supaya tak bergerak. Keadaan ini harus dipertahankan minimal 5 hari. Pada anakanak mungkin harus diikat tangan dan kakinya ditempat tidur. Kedua mata ditutup, atau dapat pula mata yang sakit saja yang ditutup. Beri salep mata, koagulansia. Bila terisi darah segar, berikan antifibrinolitik, supaya bekuan darah tak terlalu cepat diserap, untuk memberi kesempatan pembuluh darah menyembuh, supaya tak terjadi perdarahan sekunder. Pemberiannya tak boleh melewati 1 minggu, karena dapat mengganggu aliran humor aquos, menimbulkan glaucoma dan imbibisio kornea. Dapat diberikan 4 kali 250 mg transamic acid. Selama dirawat yang perlu dipehatikan adlah hifema penuh atau tidak, tekanan intraokuler naik atau tidak, fundus terlihat atau tidak.Hifema yang penuh dengan kenaika intra okuler, perlu pemberian diamox, gliserin yang harus dinilai dalam
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

24 jam. Jika tekanan intraokuler tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal, dilakukan parasentese. Jika tekanan menjadi normal, diamox tetap diberikan dan dinilai setiap hari. Bila tekanan ini tetap normal dan darah masih terdapat sampai hari ke 5 9,dilakukan parasentese. Bila terdapat glaukoma yang tak dapat dikontol dengan cara diatas, maka dilakukan iridenkleisis, dengan merobek iris, yang kemudian diselipkan diantara insisi korneo skleral, sehingga pupil tampak sebagai lubang kunci yang terbalik. E. Iris 1. Iridoplegi Merupakan kelumpuhan otot sfinter pupil sehingga pupil menjadi midriasis. Iridoplegi ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfinter dan pemberian roboransia. 2. Iridodialisis Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak kepinggir letaknya, pada pemeriksaan biasa teerdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris tempat iridodialisa. Pada pemerisaan oftalmoskop terdapat warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan reflek fundus.Pengobatan dapat dicoba dengan midriatika, sehingga pupil menjadi lebar dan menekan pada akarnya. Istirahat ditempat tidur. Mata ditutup. Bila menimbulkan diplopia, dilakukan reposisi, dimana iris dikaitkan pada sclera. F. Pupil 1. Midriasis Disebabkan iriodoplegi, akibat parese serabut saraf yang mengurus otot sfingter pupil. Iridoplegi ini dapat terjadi temporer 2 3 minggu, dapat juga permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu ini mata terasa silau. Pengobatan sebaiknya istirahat untuk mencegah terjadi kelelahan sfingter dan pemberian roboransia. G. Lensa 1. Dislokasi Lensa

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Dislokasi lensa terjadi karena ruptura dari zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat kedepan dapat pula ke belakang. Bila tak menimbulkan penyulit glaucoma atau uveitis, dibiarkan saja, dengan memberi koreksi keadaan refraksinya. Baru dilakukan ekstraksi lensa bila kemudian timbul penyulit glaucoma, uveitis dan katarak, setelah glaucoma dan uveitisnya diredakan dahulu. 2. Katarak Traumatika Katarak ini timbul karena gangguan nutrisi. Ada macam-macam katarak traumatika yaitu vosius ring, berbentuk roset(bintang), dengan kapsula lensa yang keriput. Pengobatan tergantung saat terjadinya. Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia dapat dipasang lensa intraokuler primer atau sekunder. Pada katarak trauma bila tidak terjadi penyulit dapat ditunggu sampai mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaucoma, uveitis dan lai sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. H. Badan Kaca 1. Perdarahan Badan Kaca Darah berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat perdarahan didalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi, untuk mengetahui keadaan dibagian posterior mata. Pengobatan dapat diberikan koagulansia per oral atau parenteral disamping istirahat di tempat tidur. Tindakan operatif vitrektomi, baru dilakukan bila setelah 6 bulan dilakukan pengobatan, masih terdapat kekeruhan, untuk memperbaiki tajam penglihatan. I. Retina 1. Edema Retina Edema retina biasanya didaerah polus posterior dekat macula atau di perifer. Tampak retina dilapisi susu. Bila terjadi di macula, visus sentral terganggu dengan skotoma sentralis. Dengan istirahat, edema dapat diserap dan refleks fovea tampak kembali. Untuk mempercepat penyerapan dapat disuntikkan kortison subkonjungtiva 0,5 cc 2 kali seminggu.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

2. Ruptura Retina Robekan pada retina menyebabkan ablasi retina = retinal detachment. Umumnya robekan berupa huruf V didapatkan di daerah temporal atas. Melalui robekan ini, cairan badan kaca masuk ke celah potensial di antara sel epitel pigmen dan lapisan batang dan kerucut, sehingga visus dapat menurun, lapang pandang mengecil, yang sering berakhir kebutaan, bila terdapat ablasi total. Pengobatan harus dilakukan segera, dimana prinsipnya dilakukan pengeluaran cairan subretina, koagulasi ruptura dengan diatermi. 3. Perdarahan Retina Dapat timbul bila trauma tumpul menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk perdarahan tergantung lokalisasinya. Bila terdapat dilapisan serabut saraf tampak sebagai bulu ayam, bila tampak lebih keluar tampak sebagai bercak yang berbatas tegas, perdarahan di depan retina mempunyai permukaan yang datar di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan penglihatannya, kalau banyak masuk kedalam badan kaca dapat menutup jalannya cahaya, sehingga visus terganggu. Pengobatan dengan istirahat di tempat tidur, istirahat mata, di beri koagulansia, bila masuk ke badan kaca diobati sebagai perdarahan badan kaca. J. Sklera 1. Robekan Sklera Kalau robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak di bagian atas. K. Nervus Optikus 1. Avulsi Papil saraf Optik Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata. Keadaan ini akan mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan kebutaan.Penderita ini perlu dinilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya. 2. Optik Neuropati Traumatik
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian pula perdarahan dan edema sekitar saraf optik. Penglihatan akan berkurang setelah cedera mata. Terdapat reaksi defek aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf optik dapat normal dalam beberapa minggu sebelum menjadi pucat. Pengobatan adalah dengan merawat penderita pada waktu akut dengan memberi steroid. Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu dipertimbangkan untuk pembedahan. K. Enoftalmus Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon yang menyelubungi bola mata di luar sclera atau disebabkan fraktura dasar orbita. Oleh karena itu harus dibuat foto rontgen dari tulang tengkorak. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama masih terdapat edema. Gejalanya : penderita merasa sakit, mual, terdapat diplopi pada pergerakan mata keatas dan ke bawah. Saraf infra orbita sering rusak dan penderita mengeluh anesthesia pada kelopak mata atas dan ginggiva. Pengobatan : operasi, dimana dasar orbita dijembatani dengan graft tulang kartilago atau badan aloplastik. L. Eksoftalmos Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber berasal dari A. Oftalmika beserta cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur perdarahan diserap kembali, juga diber koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan souffles, berarti ada aneurisma antara arteri karotis interna dan sinus kavernosus. Pengobatan : pengikatan pada a. karotis sisi yang sama.

b. Trauma Mekanik Tajam


Pada trauma mekanik tajam ada baiknya diberi anestesi lokal, supaya pemeriksaan dapat dilakukan dengan teliti dan pada luka-luka yang hebat, yang dapat menimbulkan prolaps dari isi bola mata. Serum antitetanus harus diberikan pada setiap luka akibat benda tajam. A. Palpebra
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Kalau pinggiran palpebra luka dan tak diperbaiki, dapat menimbulkan koloboma palpebra akwisita. Bila besar dapat akibatkan kerusakan kornea oleh karena mata tak dapat menutup dengan sempurna. Oleh karena itu tindakan harus dilakukan secepatnya. Kalau tidak kotor dapat ditunggu sampai 24 jam. Pada tindakan tersebut harus diperbaiki kontinuitas margo palpebra dan kedudukan bulu mata. Jangan sampai menimbulkan trikiasis. Bila robekan mengenai margo inferior bagian nasal, dapat memotong kanalikuli lakrimal inferior, sehingga air mata tak dapat melalui jalan yang seharusnya dan mengakibatkan epifora. Rekanalisasi dapat dikerjakan secepatnya, bila ditunggu 1 2 hari sukar untuk mencari ujung-ujunng kanalikuli tersebut. B. Konjungtiva 1. Perdarahan Penatalaksanaan 2. Robekan Bila kurang dari 1 cm tidak dijahit, diberikan anestesi lokal. Bila lebih dari 1 cm dijahit denga benang cut gut atau sutera berjarak 0,5 cm antara tiap-tiap jahitan. Diberikan antibiotika lokal selam 5 hari dan bebat mata untuk 1 - 2 hari. C. Kornea 1. Erosi Kornea Penatalaksanaan seperti rudapaksa tumpul. 2. Luka Tembus Kornea Dari anamnesa didapatkan teraba nyeri, epifora, photofobi dan blefarospasme. Pada pemeriksaan didapat tes fluorescein (+). Pengobatan: tanpa mengingat jarak waktu antara kecelakaan dan pemeriksaan, tiap luka terbuka kornea yang masih menunjukkan tanda-tanda adanya kebocoran harus diusahakan dijahit. Jaringa intraokuler yang keluar dari luka, missal: badan kaca, prolap iris sebaiknya dipotong sebelum luka dijahit. Janganlah sekali-kali dimasukkan dalam bolamata. Jahitan kornea dilakukan secara lamellar untuk menghindari terjadinya fistel melalui bekas jahitan. Luka sesudah dijahit dapat ditutup lembaran konjungtiva yang terdekat. Tindakan ini dapat dianggap dapat mempercepat epitelialisasi. Diberikan antibiotika lokal
2

sama

dengan

rudapaksa

mata

mekanis

tumpul.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

dalam bentuk salep, tetes atau subkonjungtiva. Atropin tetes 0,5 1% tiap hari. Dosis dikurangi bila pupil sudah cukup lebar. Bila ada tanda-tanda glaucoma sekunder dapat diberikan tablet. Analgetik, antiinflamasi, koagulasi dapat diberika bila perlu. 3. Ulkus Kornea Sebagian besar disebabkan oleh trauma yang mengalami infeksi sekunder. Dari anamnesa teraba nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan nampak kornea yang edema dan keruh dan tes flurescein (+). Pengobatan dapat diberikan antibiotika lokal tetes, salep atau subkonjuntiva, scraping atau pembersihan jaringan nekrotik secara hati-hati bagian dari ulkus yang nampak kotor, aplikasi panas, cryo terapi. D. Sklera 1. Luka Terbuka atau Tembus Luka ini lekas tertutup oleh konjungtiva sehingga kadang sukar diketahui. Luka tembus sclera harus dipertimbangkan apabila dibawah konjungtiva nampak jaringan hitam (koroid). Pengobatan: sama dengan luka tembus pada kornea. Bila luka sangat besar dan diragukan bahwa mata tersebut masih dapat berfungsi untuk melihat, maka sebaiknya dienukleasi untuk menghindarkan timbulnya oftalmia simpatika pada mata yang sehat. E. Badan Siliar 1. Luka pada Badan Siliar Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan terbesar dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis, yang dapat berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Oleh karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps isi bola mata sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya dilakukan enukleasi bulbi supaya mata yang sehat masih tetap baik. F. Bilik Mata Depan Penatalaksanaan sama denga trauma tumpul G. Iris
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

1. Iritis Sering akibat dari trauma. Dari anamnese didapatkan keluhan nyeri, epifora, photofobi, dan blefarospasme. Dari pemeriksaan didapatkan pupil miosis, reflek pupil menurun dan sinekia posterior. Pengobatan dapat diberikan Atropin tetes 0,5 1% 1 - 2 kali selama sinekia belum lepas dan antibiotika. Diberikan diamox bila ada komplikasi glaukoma. H. Lensa 1. Dislokasi Lensa Penatalaksanaan 2. Katarak Penatalaksanaan I. Segmen Posterior Penatalaksanaan sama denga trauma mekanik tumpul. J. Luka dengan Benda Asing (Corpus Alienum) Pemeriksaan yang teliti secara sistimatis sangat diperlukan untuk dapat menentukan 1. Anamnese : Terutama pada penderita yang bekerja di perusahaan, dimana benda logam memegang peranan. Harus ditanyakan apa pekerjaannya dan benda asing apakah kiranya yang masuk ke dalam mata. 2. Pemeriksaan : Benda asing tersebut harus dicari secara teliti maemakai penerangan yang cukup mulai dari palpebra, konjungtiva, fornixis, kornea, bilik mata depan.Bila mungkin benda tersebut berada dalam lensa, badan kaca diman perlu pemeriksaan tambahan berupa funduskopi, foto rontgen, ultrasonografi, pemerisaan dengan magnet, dan coronal CT Scan. MRI merupakan kontra indikasi untuk benda logam yang mengandung magnet. Benda asing yang dapat masuk ke dalam mata dibagi dalam beberapa kelompok: adanya, macamnya, lokalisasi dari benda tersebut. sama denga trauma mekanik tumpul. sama dengan trauma mekanik tumpul.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

1. Benda logam, seperti emas, perak, platina, timah hitam, besi tembaga. Terbagi menjadi benda logam magnit dan bukan magnit. 2. Benda bukan logam, seperti batu, kaca, bahan tumbuh-tumbuhan, bahan pakaian. 3. Benda inert, yaitu benda yang terbuat dari bahan-bahan yang tidak menimbulkan reaksi jaringan mata, kalau terjadi reaksipun hanya ringan saja dan tidak mengganggu fungsi mata. Contoh: emas, platina batu, kaca, dan porselin. 4. Benda reaktif : terdiri dari benda-benda yang dapat menimbulkan reaksi jaringan mata sehingga mengganggu fungsi mata. Contoh : timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga, bulu ulat. Pengobatan yaitu dengan mengeluarkan benda asing tersebut. Bila lokalisasi di palpebra dan konjungtiva, kornea maka dengan mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anestesi lokal.Untuk mengeluarkan perlu kapas lidi atau jarum suntik tumpul atau tajam.Arah pengambilan adalah dari tengah ke tepi.Bila benda bersifat magnetik maka dapat dikeluarkan dengan magnet portable atau giant magnet. Kemudian diberi antibiotika lokal, sikloplegik dan mata dibebat. Pecahan besi yan terletak di iris, dapat dikeluarkan dengan dibuat insisi di limbus, melalui luka ini ujaung dari magnit dimasukkan untuk menarik benda tersebut, bila tidak berhasil dapat dilakukan iridektomi dari iris yang mengandung benda asing tersebut. Pecahan besi yang terletak di dalam bilik mata depan dapat dikeluarkan dengan magnit pula seperti pada iris. Bila letaknya di lensa juga dapat ditarik denga magnit, sesudah dibuat sayatan di limbus kornea, jika tidak berhasil dapat dilakukan pengeluaran lensa denga cara ekstraksi linier pada orang muda dan ekstraksi ekstra kapsuler atau intrakapsuler pada orang yang lebih tua. Bila lokalisasinya di dalam badan kaca dapat dilakukan pengeluaran dengan magnit raksasa, setelah dibuat sayatan dari skera. Bila tidak berhasil atau benda asing itu tidak magnetik dapat dikeluarkan dengan opersai viterektomi. Bila benda asing itu tidak dapat diambil harus dilakukan enukleasi bulbi untuk mencegah timbulnya oftalmia simpatika pada mata sebelahnya.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

b. Kimia
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan dalam laboratorium, industr, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan peperangan yang memakai bahan kimia. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk: Trauma asam Trauma basa atau alkali

Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia tersebut. Klasifikasi 1. Trauma asam Contoh bahan kimia bersifat asam adalah asam sulfat, air accu, asam sulfit, asam klorida, zat pemutih, asam asetat. Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan atau penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif. Kerusakan hanya pada bagian superficial saja. Bahan asam dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma basa sehingga kerusakan yang diakibatkan akan lebih dalam. Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatcepatnya dan selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu. 2. Trauma basa atau alkali Contoh bahan kimia bersifat basa adalah amoniak, freon, sabun, shampoo, kapur gamping, semen, tiner, lem, kaustik soda. Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan disertai dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik. Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita. Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam: Derajat 1: hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata Derajat 2: hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea Derajat 3:hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea Derajat 4: konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan irigasi degan garam fisiologik dan dilakukan selama mungkin. Irigasi dilakukan paling sedikit 60 mneit segera setelah trauma. Penderita diberi sikloplegia, antibiotic, EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma alkali, diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke-7. Penyulit yang dapat timbul adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ptisis bola mata. Anamnesis dan gejala klinis Subyektif: Penderita mengeluh adanya bahan kimia asam atau basa yang mengenai mata disertai rasa nyeri sampai tidak bisa membuka mata, berair, kabur dan silau. Obyektif: Visus menurun Kelopak mata bengkak, kadang ada luka bakar Konjungtiva hiperemi, kemosis, karena bahan kimia basa bisa terjadi Kornea edema, tes fluoresin +/erosi, sampai kekeruhan kornea yang hebat. Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan M.J Roper-Hall

iskemi dan nekrosis konjungtiva dan sclera, tergantung berat ringannya keadaan

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Grade I II

Kornea Erosi kornea Keruh, detail iris jelas Kerusakan epitel total,

Konjungtiva Iskemia (-) Iskemia < limbus Iskemia 1/3-1/2 limbus

Prognosis Baik Baik Kurang baik

III

stromal keruh, detail iris kabur

IV

Keruh/putih, detail iris tak tampak

Iskemia > limbus

Jelek

Klasifikasi tingkat keparahan akibat rudapaksa kimia berdasarkan Hughes: 1. Ringan: a. erosi kornea b. kornea agak keruh c. tidak ada iskemia, nekrosis konjungtiva dan sklera 2. Sedang: 3. Berat: a. kornea keruh, detail iris tak tampak a. pupil tak tampak b. iskemia, nekrosis konjungtiva dan sclera minimal b. konjungtiva dan sclera kemosis hbat, pucat (blanching) Diagnosis/cara pemeriksaan Anestesi local Tes fluoresin Pemeriksaan memakai lampu senter+loupe, slit lamp biomikroskop Kertas pH meter/lakmus untuk mengetahui jenis bahan kimia Lid retractor/desmares untuk membantu membuka kelopak mata.

Hal yang berpengaruh terhadap prognosis kesembuahn akibat trauma kimia: Pertolongan prognosisnya Jumlah dan tingkat kepekatan konsentrasi bahan kimia, semakin banyak jumlah dan kepekatannya tinggi maka kerusakan semakin hebat.
2

pertama

saat

kejadian,

semakin

cepat,

semakin

baik

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Penatalaksanaan Semua rudapaksa/trauma kimia merupakan kasus darurat, sebaiknya pertolongan pertama mulai dilaukan pada tempat kejadian sesegera mungkin dengan mencuci dengan air bersih sesering mungkin sebelum dirujuk ke rumah sakit terdekat. Berikan anestesi lokal tetes mata Diikuti irigasi dengan aquades steril, cairan fisiologis secara manual memakai spuit 20 cc disposable atau secara drip dengan infuse set. Irigasi selain ditujukan pada kornea mata, juga untuk fornik superior/inferior, bila ada sisa bahan kimia dapat dibersihkan dengan lidi kapas steril basah atau pinset. Irigasi minimal 1 liter untuk masing-masing mata, untuk bahan kimia asam irigasi dilakukan selama jam, untuk bahan kimia basa irigasi selama 1 jam. Parasentese untuk menetralisir H di BMD dengan memakai BSS untuk mengganti aquos humor yang terkontaminasi bahan kimia. Obat-obatan: Sikloplegik jangka panjang (Atropin 2%) diberika 1 tetes untuk mengurangi spasme iris, mengurangi/mencegah perlekatan iris dengan lensa (sinekia anterior). Antibiotic tetes mata untuk mencegah infeksi sekunder Untuk kasus berat (grade 3 dan 4), dengan uveitis dapat diberikan kortikosteroid tetes mata pada 2 minggu pertama untuk mengurangi inflamasi dengan evaluasi ketat.hati-hati dalam mengguanakan steroid karena dapat menghambat reepitelisasi Vitamin C tetes mata, mengurangi perlunakan kornea

c. Fisik / Radiasi
Trauma radiasi yang sering ditemukan adalah: 1. Trauma sinar infra merah

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Akibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari dan pada saat bekerja di pemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar infra merah terlihat. Kaca yang mencair seperti yang ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkna sinar infra merah. Mata yang terkena sinar infra merah selama 1 menit pupilnya akan midriasis dan suhu lensa akan naik sebanyak 9 derajat celcius, iris akan mengabsorpsi sinar infra merah yang panas sehingga berakibat tidak abik terhadap kapsul lensa. Mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul lensa. Sinar infra merah akan mengakibatkan keratitis superfisialis, katarak kortikal anterior posterior, dan koagulasi pada koroid. Tidak ada engobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi kecuali mencegah terkenanya mata oleh infra merah. Steroid sistemik dan local diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada macula atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul. 2. Trauma sinar ultra violet (sinar las) Sinar ultra violet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat. Sinar ultra violet banyak terdapat pada saat bekerja las dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari di atas salju. Sinar ini akan segera merusak epitel kornea. Sinar ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera membaik setelah beberapa waktu dan tidak akan memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap. Pasien yang terpajan sinar ini akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Merasa mata sangat sakit, seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofoia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Kornea akan menunjukkan adanya infiltrate pada permukaannya yang terkadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluoresin positif. Pupil terlihat miosis, tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis ini akan dapat sembuh tanpa cacat, tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegia, antibiotic local, analgetik, dan mata ditutup untuk selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam. 3. Sinar X
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis kataraktogenik bervariasi dengan energy dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan lebih peka. Akibat sinar ini pada lensa terjadi pemecahan dini sel epitel secara tidak normal. Sedangkan sel-sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak menjadi jarang. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan DM berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuresis mata dan eksudat. Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topical dengan steroid 3 kali sehari dan sikloplegik satu kali sehari. Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

D. TRAUMA THT 1. Tuli Mendadak


Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba, bersifat sensorineural dan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui.1 Beberapa ahli mendefinisikan tuli mendadak sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih paling sedikit pada tiga frekuensi berturut-turut yang berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Tuli mendadak bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari banyak penyakit. Suckfull dkk mendefinisikan tuli mendadak sebagai berikut: tuli sensorineural yang berlangsung mendadak lebih dari 15 dB pada tiga frekuensi atau lebih dibandingkan dengan telinga yang sehat atau pemeriksaan audiometri sebelumnya, disertai dengan atau tanpa gejala tinitus dan vertigo Etiologi Dan Patofisiologi Tuli Mendadak Etiologi tuli mendadak sampai sekarang belum diketahui secara pasti.. Banyak ahli berpendapat bahwa tuli mendadak bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala dengan banyak faktor penyebab Terdapat 4 teori utama penyebab tuli mendadak yang berkembang berdasarkan studi etiologi, yaitu: infeksi virus, autoimun, kerusakan membran telinga dalam dan gangguan vaskuler. Gejala Klinik Penderita mengeluh pendengarannya tiba-tiba berkurang pada satu atau kedua telinga yang sebelumnya dianggap normal. Biasanya keadaan ini disadari penderita ketika bangun tidur pagi hari ataupun setelah bekerja. Umumnya penderita dapat mengatakan dengan pasti saat mulai timbulnya ketulian. Ketulian dapat mengenai semua frekuensi pendengaran, tetapi yang sering pada frekuensi tinggi. Tuli mendadak biasanya disertai dengan tinitus (91,0%), vertigo (42,9 %), rasa penuh pada telinga yang sakit (40,7%), otalgia (6,3%), parestesia (3,5%), tuli

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

saraf sebelumnya(9,2%), tinitus sebelumnya (4,2% dan gangguan vestibuler sebelumnya(5,0%). Diagnosis Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan THT, audiologi, laboratorium serta pemeriksaan penunjang lain. Anamnesis yang teliti mengenai proses terjadinya ketulian, gejala yang menyertai serta faktor predisposisi penting untuk mengarahkan diagnosis. Pemeriksaan fisik termasuk tekanan darah sangat diperlukan. Pada pemeriksaan otoskopi tidak dijumpai kelainan pada telinga yang sakit. Pada pemeriksaan audiologi didapatkan: 1. Tes penala : Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach memendek. Kesan: tuli sensorineural. 2. Audiometri nada murni: tuli sensorineural derajat ringan sampai sangat berat. 3. BERA (pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif) : tuli saraf ringan sampai berat. 4. Tes SISI (short increment sensitivity index) skor 70-100%. Kesan : dapat ditemukan rekruitmen. 5. Tes Tone Decay : tidak ada kelelahan. Kesan : bukan tuli retrokoklea. 6. Audiometri tutur: speech discrimination score (SDS) kurang dari 100%. Kesan : tuli sensorineural 7. Audiometri impedans: timpanogram tipe A (normal), refleks stapedius ipsilateral. negatif atau positif, sedangkan kontralateral positif. Kesan : tuli sensorineural koklea. Penatalaksanaan

Tirah baring (total bed rest), istirahat fisik dan mental selama dua minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskuler.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pengobatan Vasodilator

Secara teoritis, vasodilator dapat memperbaiki suplai darah ke koklea, mencegah terjadinya hipoksia. Papaverin, histamin, asam nikotinik, , prokain, niasin, dan karbogen digunakan untuk memperbaiki aliran darah koklearis. Inhalasi karbogen (5% CO2) menunjukkan adanya peningkatan tekanan oksigen perilimfatis. Rheologik Reologik agen mengubah viskositas darah dengan menggunakan dekstran dengan berat molekul yang rendah, pentoksifilin, atau anti koagulan (heparin, warfarin) untuk memperbaiki aliran darah dan oksigenasi. Dekstran dapat menyebabkan terjadinya hemodilusi hipervolemik dan mempengaruhi faktor VII, yang keduanya dapat meningkatkan aliran darah. Pentoksifilin dapat menyebabkan terjadinya deformitas platelet sedangkan antikoagulan memberikan efek balik terhadap terjadinya koagulan untuk mencegah terjadinya emboli. Anti Inflamasi Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengobati ketulian sensorineural mendadak idiopatik. Mekanisme kerjanya terhadap ketulian mendadak belum diketahi dengan pasti, meskipun terjadi reduksi inflamasi koklea dan saraf auditorius setelah pemberian. AntiVirus Asiklovir dan Amantadin dibatasi penggunaannya pada pengobatan ketulian sensorineural mendadak idiopatik, hanya pada etiologi virus. Famsiklovir dan valasiklovir merupakan obat terbaru, yang memiliki struktur dan cara kerja yang serupa dengan asiklovir dan belum dilaporkan penggunaannya pada ketulian yang mendadak. Diuretik Pada beberapa episode ketulian sensorineural idiopatik yang merupakan sekunder dari hydrops endolimfatik koklea, diuretic biasa digunakan sebagai pengobatan, seperti pada penyakit Meniere, mekanisme kerja diuretic pada ketulian mendadak belum dipahami dengan jelas.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Hyperbarik Oksigen Terapi hiperbarik oksigen menggunakan 100% oksigen dengan tekanan 250 kPA selama 60 menit dalam ruangan tertutup. Hyperbarik dengan kombinasi glukokortikoid dosis tinggi dapat meningkatkan hasil terapi, dan hasil terbaik dicapai jika perawatan dimulai sedini mungkin. Bedah Memperbaiki celah fistula perilimfatis digunakan pada kasus ketulian sensorineural mendadak idiopatik yang berkaitan dengan tes fistula positif atau terdapat riwayat trauma atau barotrauma. Kekurangan perilimfatis dapat menyebabkan ketulian mendadak berkaitan dengan teori terjadinya ruptur membran intrakoklearis. Alternatif lain, tekanan perilimfatis yang rendah dapat menghasilkan hidrops endolimfatis koklear. Tindakan pembedahan dalam memperbaiki fistula perilimfatik ini menimbulkan kontroversi.

2. Epistaksis
Epistaksis atau sering disebut mimisan adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit melainkan gejala suatu kelainan. Perdarahan yang terjadi di hidung adalah akibat kelainan setempat atau penyakit umum. Etiologi Penyebab lokal : 1. Trauma, misalnya mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing di hidung, trauma pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang. 2. Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rinitis, sinusitis; serta granuloma spesifik, seperti lepra dan sifilis. 3. Tumor, baik jinak maupun ganas pada hidung, sinus paranasal dan nasofaring. 4. Lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada penerbang dan penyelam (penyakit Caisson) atau lingkungan yang udaranya sangat dingin.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

5. Benda asing atau rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan disertai ingus berbau busuk. 6. Idiopatik, biasanya merupakan epistaksi yang ringan dan berulang pada anak dan remaja. Penyebab sistemik : 1. Penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah. 2. Kelainan darah, seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia. 3. Infeksi sistemik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili, dan 4. demam tifoid. 5. Gangguan endokrin, seperti kehamilan, menars, dan menopause. 6. Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhagic telangiectasia). Patofisiologi Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach (yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anakanak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskular. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan yang diperlukan berupa:

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

1. Rinoskopi anterior.P emeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan cermat. 2. Rinoskopi posterior. Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. 3. Pengukuran tekanan darah. Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. 4. Rontgen sinus Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi. 5. Skrining terhadap koagulopati. Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. 6. Riwayat penyakit. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis Treatment epistaksis anterior dan posterior : 1. Epistaksis anterior # Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang dan mudah membatukkan darah dari tenggorokan # Epistaksis anterior yang ringan biasanya bisa dihentikan dengan cara menekan cuping hidung selama 5-10 menit # Jika tindakan diatas tidak mampu menghentikan perdarahan, maka dipasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan lidocain atau pantocain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

# Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam trichloracetat 10%) atau dengan elektrokauter # Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan ulang pada saat tampon dilepaskan. Tampon anterior dimasukkan melalui lubang hidung depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang selama 1-2 hari. # Jika tidak ada penyakit yang mendasarinya, penderita tidak perlu dirawat dan diminta lebih banyak duduk serta mengangkat kepalanya sedikit pada malam hari. Penderita lanjut usia harus dirawat. 2. Epistaksis posterior # Pada epistaksis posterior, sebagian besar darah masuk ke dalam mulut sehingga pemasangan tampon anterior tidak dapat menghentikan perdarahan. Perdarahan posterior lebih sukar diatasi karena perdarahan biasanya hebat dan sulit melihat bagian belakang dari rongga hidung. # Dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq), yaitu tampon yang mempunyai tiga helai benang, 1 helai di setiap ujungnya dan 1helai di tengah. Tampon dipasang selama 2-3 hari disertai dengan pemberian antibiotik per-oral untuk mencegah infeksi pada sinus ataupun telinga tengah. # Pada epistaksis yang berat dan berulang, yang tak dapat diatasi dengan pemasangan tampon, perlu dilakukan pengikatan arteri etmoidalis anterior dan posterior atau arteri maksilaris interna. Epistaksis akibat patah tulang atau septum hidung biasanya berlangsung singkat dan berhenti secara spontan, kadang-kadang timbul kembali beberapa jam atau beberapa hari kemudian setelah pembengkakan berkurang. Jika hal ini terjadi mungkin perlu dilakukan pembedahan terhadap patah tulang atau pengikatan arteri. # Pada penderita telangiektasi hemoragik herediter (kelainan bentuk pembuluh darah), epistaksis yang hebat bisa menyebabkan anemia berat yang

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

tidak mudah dikoreksi dengan pemberian zat besi tambahan. Untuk mengatasi anemia, dilakukan pencangkokan kulit ke dalam septum hidung.

3. Barotrauma Ear
Definisi Barotrauma adalah kerusakan di bagian dalam telinga yang disebabkan oleh tidak samanya tekanan udara di kedua gendang pendengar. Gendang pendengar memisahkan saluran telinga dan telinga bagian dalam. Jika tekanan udara di saluran telinga dari udara luar dan tekanan udara di telinga bagian dalam timpang, gendang pendengar bisa cedera. Biasanya, eustachian tube, yang menyambung telinga bagian dalam dan bagian belakang hidung, membantu memepertahankan keseimbangan tekanan pada kedua gendang pendengar dengan membolehkan udara luar memasuki telinga bagian dalam. Kalau tekanan udara luar berubah tiba-tiba misalnya, selama pendakian atau turun kapal terbang atau penyelaman laut dalam udara harus bergerak lewat eustachian tube untuk menyamakan tekanan di telinga bagian dalam. Tuba eustachian : menjaga tekanan udara tetap seimbang

Tuba eustachian menolong mengurusi tekanan udara setara di kedua pihak gendang telinga dengan membolehkan di luar udara memasuki telinga bagian dalam. Jika eustachian tube mampet, udara tidak bisa mencapai telinga bagian dalam, oleh sebab itu tekanan di sana berkurang. Kalau tekanan udara lebih rendah di telinga bagian dalam daripada di saluran telinga, gendang telinga menonjol ke dalam. Perbedaan tekanan bisa menyebabkan rasa sakit dan bisa menjadi memar atau memecahkan gendang telinga.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Jika tuba eustachie sebagian atau betul-betul mampet karena luka, tumor, infeksi, pilek, atau alergi, udara tidak bisa bergerak ke dalam dan keluar telinga bagian dalam. Perbedaan tekanan dapat membuat gendang pendengar memar atau malah pecah dan berdarah. Jika perbedaan tekanan sangat luar biasa, jendela lonjong (pintu masuk ke dalam telinga bagian dalam dari telinga bagian tengah) mungkin pecah, membolehkan cairan dari telinga bagian dalam bocor ke dalam telinga bagian dalam. Kehilangan pendengaran atau kegamangan yang terjadi selama turun pada penyelaman di laut dalam kebocoran seperti itu sering terjadi. Gejala yang sama terjadi selama pendakian dimana gelembung udara sudah terbentuk di telinga bagian dalam. Ketika perubahan mendadak pada tekanan menyebabkan rasa sakit yang sangat di telinga, seringkali tekanan di telinga bagian dalam bisa disamakan dan ketidaknyamanan dikurangi dengan beberapa manuver. Jika tekanan luar berkurang, misalnya sewaktu pesawat naik ke atas, orang sebaiknya mencoba bernafas dengan mulut terbuka, mengunyah permen karet, atau menelan. Tindakan yang mana pun mungkin membuka eustachian tube dan membolehkan udara dari telinga bagian dalam. Jika tekanan luar meningkat, sewaktu pesawat turun atau melakukan penyelaman lebih dalam di air, orang sebaiknya menjepit hidungnya agar tutup, menahan mulut tetap tertutup, dan mencoba mengeluarkan udara dengan lembut lewat hidung. Hal Ini akan membuka paksa udara lewat eustachian tube yang mampet. Orang yang mempunyai infeksi atau alergi yang mempengaruhi hidung dan kerongkongan mungkin mengalami ketidaknyamanan kalau mereka naik pesawat atau menyelam. Tetapi, jika naik pesawat harus, dekongestan, seperti tetes hidung atau semprot hidung phenylephrine, mengurangi kongesti dan menolong terbukanya eustachian tube, menyamakan tekanan pada gendang pendengar. Menyelam sebaiknya dihindari sampai infeksi atau alergi terkendali. Patofisiologi Seperti yang dijelaskan di atas, tekanan yang meningkat perlu diatasi untuk menyeimbangkan tekanan, sedangkan tekanan yang menurun biasanya
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

dapat diseimbangkan secara pasif. Dengan menurunnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah akan mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba eustakius. Dengan meningkatnya tekanan lingkungan, udara dalam telinga tengah dan dalam tuba eustakius menjadi tertekan. Hal ini cenderung menyebabkan penciutan tuba eustakius. Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai 100mmhg), maka bagian kartilaginosa diri tuba eustakius akan semakin menciut. Jika tidak ditambahkan udara melalui tuba eustakius untuk memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-struktur dalam telinga tengah dan jaringan didekatnya akan rusak dengan makin bertambahnya perbedaan. Terjadi rangkaian kerusakan yang dapat dipekirakan dengan berlanjutnya keaadan vakum relatif dalam rongga telinga tengah. Mula-mula membrana timpani tertarik kedalam. Retraksi menyebabkan membrana dan pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil sehingga tampak gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gambaran injeksi dan bula hemoragik pada gendang telinga tengah juga mukosa telinga tengah juga akan berdilatasi dan pecah, menimbulkan hemotapimum. Kadang-kadang tekanan dapat menyebabkan ruptur membrana timpani. Baotrauma pada telinga tengah dapat terjadi saat menyelam ataupun saat terbang. Perubahan tekanan pada kedalaman 17 kaki pertama di bawah air setara dengan perubahan tekanan pada ketinggian 18.000 kaki pertama diatas bumi. Dengan demikian, perubahan tekanan lingkungan terjadi lebih cepat pada saat menyelam dibandingkan dengan saat terbang. Hal ini dapat menjelaskan relatif tingginya insidens barotrauma pada telinga tengah pada saat menyelam. Barotrauma telinga tengah dapat terjadi pada penyelam kompresi udara (SCUBA) atau penyelaman dengan menahan napas. Seringkali terjadi pada kedalaman 10 sampai 20 kaki. Sekalipun insidens reltif lebih tinggi pada saat menyelam, masih lebih banyak orang yang bepergian dengan pesawat dibandingkan orang menyelam. Pesawat komersial telah diberi tekanan udara namun hanya sampai

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

8.000 kaki. Maka berotrauma masih mungkin terjadi, namun insidensnya tidak setinggi yang diakibatkan menyelam. Pada saat pesawat mulai naik, akan terjadi perubahan tekanan udara yang tiba-tiba, dimana akan timbul tekanan positif pada rongga telinga tengah dan negatif pada bagian luar membran timpani. Hal ini akan menimbulkan penonjolan keluar dari genderang telinga (bulging), sedangkan saat pesawat akan mendarat akan terjadi keadaan yang sebaliknya -- akan timbul tekanan negatif pada liang telinga tengah, positif pada bagian luar genderang telinga akibatnya terjadi retraksi-penarikan ke arah dalam. Di sinilah sangat dibutuhkan fungsi normal tuba eusthacius untuk dapat mengalirkan udara yang terperangkap di telinga tengah keluar melalui nasopharynx. Gejala-gejala Gejala yang sering didapat adalah nyeri, rasa penuh dan berkurangnya pendengaran. Diagnosis dipastikan dengan otoskop. Gendang telinga tampak mengalami injeksi dengan pembentukan bleb hemoragik atau adanya darah dibelakang gendang telinga. Kadang-kadang membrana timpani akan mengalami perforasi.dapat disertai gangguan pendengaran konduktif ringan. Perlu ditekankan bahwa tinitus yang menetap, vertigo dan tuli sensorineural adalah gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Mndengar suara sendiri (autofoni), telinga mendenging (tinitus), vertigo (perasaan berputar), nyeri, atau perasaan ada air dalam telinga Pengobatan Pengobatan merupakan dekongestan dan menghindari menyelam ataupun terbang sampai pasien kembali dapat menyeimbangkan telinga tengah. Kasuskasus berat memerlukan waktu hingga 4-6 minggu untuk menyembuh, tapi umumnya dapat sembuh dalam dua atau tiga hari. Antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi pula perforasi didalam air yang kotor. Barotrauma dapat dicegah dengan menghindari terbang ataupun menyelam pada waktu pilek dan menggunakan teknik pembersihan yang tepat. Jika terasa nyeri, agaknya tuba eustakius telah menciut. Yang harus yang dikerjakan jika ini terjadi pada saat menyelam adalah hentikan menyelam atau naiklah beberapa kaki
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

dan mencoba menyeimbangkan tekanan kembali. Hal ini tidak dapat dilakukan jika sedang terbang dalam pesawat komersial, maka perlu untuk mencegah penciutan tuba eustakius. Metode terbaik adalah mulai melakukan manuver-manuver pembersihan dengan hati-hati beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Jika pasien harus terbang dalam keadaan pilek, maka sebaiknya menggunakan dekongestan semprot hidung atau oral. Barotruma telinga tengah tidak jarang menimbulkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam merupakan masalah yang serius dan mungkin memerlukan pembedahan untuk mencegah kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan barotrauma harus menjalani uji pendengaran dengan rankaian penala untuk memastikan bahwa gangguan pendengaran bersifat konduktif dan bukannya sensorineural. Episode-episode veritgo singkat yang terjadi saat naik atau turun disebut vertigo alternobarik. Hal ini sering dikeluhkan dan lazim menyertai barotrauma telinga tengah. Selama vertigo dapat mereda dalam beberapa detik, tidak diperlukan pengobatan ataupun evaluasi lebih lanjut.

4. Sindroma Postconcussion
Defenisi Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori, menurutnya konsentrasi daninsomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13-15.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Etiologi Dan Patofisiplogi Pada sindroma postconcussion tidak jelas adanya perubahan-perubahan struktural secara gross pada SSP, meskipun pada concussion dikatakan terdapat perubahan mikroskopik pada sel-sel saraf dan vaskuler. Kondisi ini mulanya diduga samata-mata atas dasar psikologis, tapi sekarang diketahui bahwa pada suatu cedera sedemikian sehingga menyebabkan gangguan kesadaran atau adanya suatu periode amnesia pascatrauma, terjadi kerusakan neuronal. Cedera yang ringan bila berulang akan mempunyai efek kumulatif. Para ahli patologi belakangan ini dapat menunjukkan adanya lesi di otak pada pasen yang meninggal yang sebelumnya telah mengalami pemulihan setelah cedera kepala ringan. Saat ini telah diakui bahwa meskipun pada concussion singkat, terjadi kerusakan struktural otak. Mekanisme utama pada cedera kepala ringan nampaknya adalah shear strain. Kekuatan rotasional dapat ditimbulkan sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini pertama bisa menyebabkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Selanjutnya kekuatan ini dapat sedemikian rupa sehingga menyebabkan disrupsi mielin dan neurilemma. Akhirnya dapat terjadi perdarahan kapiler. Hal-hal ini dapat terlihat secara mikroskopik dengan terbentuknya axonal retraction bulba dan parut mikrogilial. Perubahan ini terjadi secara difus, terutama pada corpus callosum dan kuadran dorsolateral batang otak. Perubahan-perubahan tersebut diatas dikenal sebagai diffuse axonal injury. Perubahan fisiologik terjadi pada cedera kepala ringan. Pada percobaan binatang didapatkan adanya depresi amplutudo aktivitas listrik. Gejala Klinik Pada kasus-kasus sindroma postconcussion secara khas terdapat keluhan gejala-gejala yang stereotipik yang hanya sedikit berbeda dari satu pasen dengan pasen lainnya. Dari anamnesa terdapat cedera kepala ringan dengan sedikit atau tanpa gangguan kesadaran. Keluhan-keluhan tersebut terdiri atas nyeri kepala, iritabilitas dan dizziness, biasanya dipresipitasi dengan postur tegak. Vertigo tidak

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

lazim didapat, bila ada diduga akibat kerusakan pada telinga bagian dalam, N. VIII atau batang otak. Gejala lain yang jarang adalah fotofobia dan rentan terhadap suara. Kadang-kadang terdapat reaksi konversi, meliputi gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, ataksia, parese atau lebih anggota gerak dan keluhan gangguan sensorik yang tidak jelas. Gangguan kemampuan berkonsentrasi dan kesulitan dalam berfikir pada banyak pasen dapat menimbulkan ansietas. Ketidakmampuan untuk melaksanakan tugas tertentu dengan efisiensi dan kecepatan yang sama seperti sebelum terjadi cedera menimbulkan berbagai pertahanan psikologik. Beberapa pasen menjadi iritable, bersikap bermusuhan dan mudah berprasangka, sementara pada pasen lain menarik diri dari lingkungannya untuk bersembunyi dari kekurangannya. Depresi kadang-kadang terlihat setelah 1-3 bulan. Namun kebanyakan pasen dapat kembali bekerja dan akhirnya mengalami remisi dari gejala-gejalanya. Pada kasus-kasus dengan gambaran psikoneurotik, pemeriksaan neurologik hasilnya normal dan tidak sejalan dengan gejala pengobatan. Program terapi yang mendasar pada sindroma ini belum dapat diformulasikan karena mekanisme dari sindroma ini belum sepenuhnya diketahui. Untuk mengurangi sekecil mungkin disabilitas akibat sindroma postconcussion, dokter dapat berperan besar dengan memberikan keyakinan pada pasen yang cendrung terdapat kecemasan setelah cedera kepala. Gejala-gejala pada pasen sering dapat diperbaiki dengan memberikan penjelasan mengenai penyebab, mekanisme dan perjalanan penyakit dari gejala-gejala yang dialami pasen, menggaris bawahi kemungkinan yang besar untuk pulih secara sempurna dalam waktu relatif singkat. Sikap penuh perhiatian dari dokter sangat membantu. Dokter perlu menyediakan waktu pada saat pemeriksaan pertama maupun pada follow-up selanjutnya dan mendiskusikan dengan pasen mengenai masalah cederanya. Nyeri kepala adalah gejala sindroma postconcussion yang dapat diobati meskipun menfaatnya relatif terbatas. Dapat diberikan alkaloid ergot (Ergonovine) sebagai profilaksis. Bila perlu dapat diberikan Phenothiazine.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Amitriptilin dan Propranolol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebih. Dengan menggunakann Ergonovin, Amitriptilin dan Propranolol pada 100 pasen, 19 diperoleh perbaikan yang nyata, 24 perbaikan sdang dan sisanya hanya sedikit perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgetik dapat mendukung, namun harus dibatasi penggunaan hariannya. Indometasin (75-250 mg/hari) dan Naproxen (1000-15000 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgetik. Seperti halnya pada pasen dengan nyeri kepala kronik, kontraksi otot-otot leher secara sekunder bisa meningkatkan masalah nyeri. Hal ini dapat dicoba diatasi dengan pemberian pemanasan, pijat, traksi leher, collar, bantal pada leher. Ambulasi dini sering dapat mencegah timbulnya gejala neurotik, dan pasenpasen cedera kepala ringan dapat diijinkan untuk bergerak dan mandiri sesegera mungkin. Bagi yang mampu dianjurkan untuk kembali bekerja segera. Namun pada pasen-pasen dengan pekerjaan yang membutuhkan intelektualitas hendaknya tidak terlalu cepat dianjurkan kembali bekerja untuk menghindari timbulnya keyakinan bahwa dirinya sudah tidak mampu melaksanakan pekerjaannya. Hal ini bisa memulai suatu lingkaran konflik antara keinginan bekerja dan kecemasan yang akan dapat memperberat gejala-gejalanya.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

E. MULTIPLE TRAUMA
Definisi Cedera yang terjadi secara bersamaan pada beberapa bagian tubuh akibat trauma. Hampir setiap trauma merupakan trauma multipel. Yang penting menentukan berapa organ dan sistem tubuh yang cedera. Oleh karena itu penting untuk membedakan cedera berat, yaitu mengenai satu atau lebih daerah tubuh( kepala, leher, toraks, vertebra, abdomen, pelvis dan tungkai); cedera kritis, yaitu cedera yang menyebabkan kegagalan satu atau lebih sistem tubuh (saraf, pernafasan, kardiovaskuler, hati, ginjal, dan pankreas). Etiologi Kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dll. Symptoms Pain. Swelling. Deformity, lesions, bleeding. Altered mental status or unconscious. Hypotension or shockArrest. Tata laksana Dalam penanggulangan trauma majemuk, selain melakukan trias resusitasi sebagai tindakan pertama, perlu diketahui riwayat cederanya (biomekanik kecelakaan) sehingga dapat diperkirakan organ dan sistem tubuh mana yang akan mengalami kegagalan. Kemudian dilakukan triase apakah penderita terancam jiwanya sehingga dapat diputuskan untuk melakukan RJP atau tidak. Sambil melakukan resusitasi dipasang dua infus ditangan. Bila infus dipasang dikaki, tujuan resusitasi cairan tidak akan tercapai bila terdapat cedera vena kava karena akan terjadi kebocoran. Contoh darah diambil sebagai persiapan tranfusi. Untuk memantau resusitasi cairan, dipasang kateter urin dan kateter vena central.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pemberian infus dimulai dengan laritan Nacl, RL atau darah sebanyak 1000ml dan bila tidak ada perubahan kardiovasa, perdarahan dianggap cukup besar. Maka harus segera dilakukan laparotomi atau torakotomi karena perdarahan perut/toraks biasanya menyebabkan perdarahan besar. Pada semua penderita trauma multipel diberikan juga bolus glukosa. Setelah yakin bahwa dengan resusitasi ini ancaman kematian mendadak telah disingkirkan, dilakukan evaluasi sekunder. Tindakan ini dimulai dengan menggunting semua pakaian korban sehingga pemeriksaan seluruh tubuhnya dapat dilakukan dengan cermat, kemudian dilakukan anamnesis selengkapnya bila penderita sadar

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

F. TRAUMATOLOGI FORENSIK JENIS TRAUMA 1. Trauma Tajam


Putusnya atau rusaknya continuitas jaringan karena trauma akibat alat atau senjata yang bermata tajam dan atau berujung runcing. Ciri luka akibat benda tajam : 1. Tepi luka rata Sudut luka tajam Rambut ikut terpotong Jembatan jaringan ( - ) Memar/lecet di sekitarnya ( - ) - Perdarahan - Kerusakan organ vital - Emboli udara - Aspirasi darah 2. yaitu : Luka Iris (Incisied Wound) Luka Tusuk (Stab Wound) Luka Bacok (Chop Wound) Sepsis / infeksi Trauma tajam yang diakibatkan oleh benda tajam menyebabkan tiga macam luka,

Sebab kematian luka akibat benda tajam :

a. Luka Iris
Luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan kekuatan relatif ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit. Ciri luka iris : Pinggir luka rata
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Sudut luka tajam Rambut ikut terpotong Jembatan jaringan ( - ) Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai tulang Bunuh diri ( tersering ) Pembunuhan Kecelakaan Lokalisasi luka pada daerah tubuh yang dapat dicapai korban sendiri. leher pergelangan tangan lekuk siku, lekuk lutut pelipatan paha

Cara Kematian : -

Luka iris pada BUNUH DIRI :

Ditemukan Luka Iris Percobaan Tidak ditemukan Luka Tangkisan Pakaian disingkirkan dahulu tidak ikut robek Sebenarnya sukar membunuh seseorang dengan irisan, kecuali kalau fisik

Luka Iris pada PEMBUNUHAN : korban jauh lebih lemah dari pelaku atau korban dalam keadaan/dibuat tidak berdaya Luka di sembarang tempat, juga pada daerah tubuh yang tidak mungkin Ditemukan luka tangkisan/tanda perlawanan Pakaian ikut koyak akibat senjata tajam tsb dicapai tangan korban sendiri

b. Luka Tusuk
Luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Contoh:
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

- Belati, bayonet, keris - Clurit - Kikir - Tanduk kerbau Ciri luka tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) Tepi luka rata Dalam luka lebih besar dari panjang luka Sudut luka tajam Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam Sering ada memar / echymosis disekitarnya

Identifikasi Senjata pada LUKA TUSUK: 1. Panjang Luka : - ukuran maksimal dari lebar senjata 2. Dalam luka : - ukuran minimal dari panjang senjata Untuk luka tusuk di perut tidak dapat diambil kesimpulan panjang senjatanya karena perut sangat elastis. Cara Kematian pada LUKA TUSUK : Pembunuhan (paling sering) Bunuh diri Kecelakaan Lokalisasi di sembarang tempat, juga di daerah tubuh yang tak mungkin Jumlah luka dapat satu/lebih Didapatkan tanda perlawanan dari korban yang menyebabkan luka Pakaian ikut terkoyak

Luka Tusuk pada PEMBUNUHAN: dicapai tangan korban

tangkisan Luka Tusuk pada BUNUH DIRI :

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

perut)

Lokalisasi pada daerah tubuh yang mudah dicapai tubuh korban (dada, Jumlah luka yang mematikan biasanya satu Ditemukan Luka Tusuk Percobaan Tidak ditemukan Luka Tangkisan Bila pada daerah yang ada pakaian, maka pakaian disingkirkan lebih Kadang-kadang tangan mengalami CADAVERIC SPASM

dahulu, sehingga tidak ikut terkoyak

c. Luka Bacok
Luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar Contoh : pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal Ciri LUKA BACOK : Luka biasanya besar Pinggir luka rata Sudut luka tajam Hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan Kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, aberasi

bagian tubuh yang terkena bacokan

2. Trauma Tumpul
1.

Trauma Tumpul Benda tumpul adalah benda yang tidak bermata tajam, konsistensinya

keras / kenyal, permukaannya halus / kasar. Contoh luka akibat benda tumpul : kecelakaan lalu lintas, tersentuh karet ban mobil, disepak kuda, diinjak gajah, kejatuhan kapas / kertas (se-kapal tanker), menjatuhkan diri dari jembatan semanggi, dll.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Cara kematiannya tersering pada kecelakaan, pembunuhan, jarang pada bunuh diri. Sebab kematiannya karena kerusakan organ vital, perdarahan, syok, trombosis, emboli dan infeksi. Klasifikasi luka tumpul : a) Abrasion (luka lecet)

Luka akibat kekerasan benda yang berpermukaan kasar sehingga epidermis sebagian / seluruh lapisannya hilang. Ciri luka lecet : Sebagian/seluruh epitel hilang Permukaan tertutup exudasi yang akan mengering (CRUSTA) Timbul reaksi radang (Sel PMN) Biasanya pada penyembuhan tidak meninggalkan jaringan parut

Memperkirakan umur luka lecet : Hari ke 1 3 warna coklat kemerahan Hari ke 4 6 warna menjadi lebih gelap dan suram Hari ke 7 14 pembentukan epidermis baru Beberapa minggu terjadi penyembuhan lengkap Luka lecet : ANTE MORTEM 1. 2. 3. 4. Coklat kemerahan Terdapat sisa-sisa epitel Tanda intravital (+) Sembarang tempat 1. 2. 3. 4. POST MORTEM Kekuningan Epidermis terpisah

sempurna dari dermis Tanda intravital (-) Pada daerah yg ada

penonjolan tulang b) Contusion (luka memar)

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak perlu rusak, menjadi bengkak, berwarna merah kebiruan. Memperkirakan umur luka memar : Hari ke 1 terjadi pembengkakan warna merah kebiruan Hari ke 2 3 warna biru kehitaman Hari ke 4 6 biru kehijauan coklat 1 minggu 4 minggu menghilang atau sembuh

LUKA MEMAR 1. 2. 3. 4. 5. Di sembarang tempat Pembengkakan (+) Tanda Intravital (+) Ditekan tidak menghilang Diiris: tidak menghilang 1. 2. 3. 4. 5.

LEBAM MAYAT Bagian (-) (-) Menghilang Diiris: dibersihkan tubuh yang

terendah

dengan kapas bersih

c)

Laceration (luka robek / retak)

Adalah kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Mudah terjadi pada kulit yang ada tulang di bawahnya. Biasanya pada penyembuhan, meninggalkan jaringan parut. Gambar :
1. abrasion 2. contusion 3. laseration

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

3. Trauma Tembak
Harus selalu ada di dalam benak kita bahwa saat tembakan terjadi, dilepaskan 3 substansi berbeda dari laras senjata. Yaitu anak peluru, bubuk mesiu yang tidak terbakar, dan gas. Gas tersebut dihasilkan dari pembakaran bubuk mesiu yang memberikan tekanan pada anak peluru untuk terlontar keluar dari senjata. Proses tersebut akan menghasilkan jelaga. Ada bagian yang berbentuk keras seperti isi pensil untuk menyelimuti bubuk mesiu. Sebenarnya tidak semua bubuk mesiu akan terbakar; sejumlah kecil tetap tidak terbakar, dan sebagian besar lainnya diledakkan keluar dari lubang senjta sebagai bubuk, yang masingmasing memiliki kecepatan inisial sama dengan anak peluru atau misil lain. Massa materi yang terlontar dari laras pada saat penembakan dapat menjadi patokan jarak yang ditempuhnya. Gas, yang bersamanya juga terkandung jelaga, sangat jelas dan dapat melalui jarak yang sangat pendek yang diukur dengan satuan inch. Bubuk mesiu yang tidak terbakar, dengan massa yang lebih besar, dapat terlontar lebih jauh. Tergantung kepada tipe bubuknya, kemampuan bubuk mesiu untuk terlontar bervariasi antara 2-6 kaki (0,6-2 m). Makin berat anak peluru tentu saja membuatnya terlontar lebih jauh menuju target yang ditentukan atau tidak ditentukan. Jarak Tembakan Efek gas, bubuk mesiu, dan anak peluru terhadap target dapat digunakan dalam keilmuan forensik untuk memperkirakan jarak target dari tembakan dilepaskan. Perkiraan tersebut memiliki kepentingan sebagai berikut: untuk membuktikan atau menyangkal tuntutan; untuk menyatakan atau menyingkirkan kemungkinan bunuh diri; membantu menilai ciri alami luka akibat kecelakaan. Meski kisaran jarak tembak tidak dapat dinilai dengan ketajaman absolut, luka
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

tembak dapat diklasifikasikan sebagai luka tembak jarak dekat, sedang, dan jauh. Seperti yang tertera pada tabel 1. Perlu dicatat bahwa ciri-ciri yang terdapat pada tabel tersebut disebabkan oleh senapan dan pistol, termasuk juga revolver dan pistol otomatis.

Luka tembak tempel Banyak orang yang tidak mengetahui bahwa pembakaran bubuk mesiu saat tembakan terjadi menghasilkan sejumlah besar gas. Gas inilah yang mendorong anak peluru keluar dari selongsongnya, dan selanjutnya menimbulkan suara yang keras. Gas tersebut sangat panas dan kemungkinan tampak seperti kilatan cahaya, yang jelas pada malam hari atau ruangan yang gelap. Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi bentuk luka yaitu hasil kombinasi antara gas dan anak peluru: (1) sejumlah gas yang diproduksi oleh pembakaran bubuk mesiu; (2) efektivitas pelindung antara kulit dan anak peluru; dan (3) ada tidaknya tulang dibawah jaringan yang terkena tembakan. Faktor pertama, jumlah gas yang diproduksi oleh bubuk mesiu yang terbakar memilik hubungan dengan kecepatan melontar senjata. Secara jelas dapat dikatakan dengan meningkatkan kecepatan melontar berarti juga meningkatkan kecepatan anak peluru. Meningkatnya jumlah gas yang diproduksi merupakan suatu prinsip untuk meningkatkan dorongan terhadap anak peluru. Faktor kedua yang berpengaruh

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

terhadap efektifitas pelindung antara kulit dan anak peluru. Makin efisien pelindung tersebut makin banyak gas yang gagal ditiupkan di sekitar moncong senjata sehingga makin banyak gas yang dapat ditemukan di jaringan tubuh. Faktor terakhir adalah keberadaan lapisan tulang dalam jarak yang dekat di bawah kulit yang dapat dibuktikan menjadi pembatas terhadap penetrasi yang masif dan ekspansi gas menuju jaringan yang lebih dalam. Luka Tembak Jarak Dekat Tanda luka tembak dengan jarak senjata ke kulit hanya beberapa inch adalah adanya kelim jelaga disekitar tempat masuk anak peluru. Luasnya kelim jelaga tergantung kepada jumlah gas yang dihasilkan, luasnya bubuk mesiu yang terbakar, jumlah grafit yang dipakai untuk menyelimuti bubuk mesiu. Pada luka tembak jarak dekat, bubuk mesiu bebas dapat ditemukan didalam atau di sekitar tepi luka dan disepanjang saluran luka. kelim tato yang biasa tampak pada luka jarak sedang, tidak tampak pada luka jarak pendek kemungkina karena efek penapisan oleh jelaga. Pada luka tembak jarak dekat, sejumlah gas yang dilepaskan membakar kulit secara langsung. Area disekitarnya yang ikut terbakar dapat terlihat. Terbakarnya rambut pada area tersebut dapat saja terjadi, namun jarang diperhatikan karena sifat rambut terbakar yang rapuh sehingga patah dan mudah diterbangkan sehingga tidak ditemukan kembali saat dilakukan pemeriksaan. Rambut terbakar dapat ditemukan pada luka yang disebabkan senjata apapun. Luka Tembak Jarak Sedang Tanda utama adalah adanya kelim tato yang disebabkan oleh bubuk mesiu yang tidak terbakar yang terbang kearah kulit korban. Disekitar zona tato terdapat zona kecil berwarna magenta. Adanya tumbukan berkecepatan tinggi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil dan menghasilkan perdarahan kecil. Bentuk tato memberikan petunjuk mengenai tipe bubuk mesiu yang digunakan. Serpihan mesiu menyebabkan tato dengan bentuk yang beraneka ragam, tergantung bagaimana masing-masing mesiu membentur kulit dengan bentuk pipih pada tepinya. Gumpalan mesiu, berbentuk bulat atau bulat telur,
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

menyebabkan tato bentuk bintik-bintik atau titik-titik. Karena bentuk gumpalan lebih kecil dari bentuk serpihan sehingga daerah berkelim tato pada gumpalan lebih halus. Luas area tato menunjukkan jarak tembak. Makin besar jarak tersebut, makin besar area, namun semakin halus. Metode pengukuran luas yang umum dipakai adalah dengan mengukur 2 koordinat, potongan longitudinal dan transversal. Untuk kemudian dibuat luka percobaan, dengan menggunakan senjata yang sama, amunisis yang sama, kondisi lingkungan yang sama dengan hasil luka terlihat yang sama persis dengan korban, dapat di ukur jarak tembak. Jarak tempuh bubuk mesiu beraneka ragam. Bubuk mesiu yang terbungkus dapat dibawa hingga 8-12 kaki. Namun kelim tato tidak akan ditemukan lagi bila jarak tembak melebihi 4-5 kaki. Luka tembak jarak jauh Tidak ada bubuk mesiu maupun gas yang bisa terbawa hingga jarak jauh. Hanya anak peluru yang dapat terlontar memebihi beberapa kaki. Sehingga luka yang ada disebabkan oleh anak peluru saja. Terdapat beberapa karakteristik luka yang dapat dinilai. Umumnya luka berbentuk sirkular atau mendekati sirkular.Tepi luka compang-camping. Jika anak peluru berjalan dengan gaya nonperpendikular maka tepi compang-camping tersebut akan melebar pada salah satu sisi. Pemeriksaan ini berguna untuk menentukan arah anak peluru. Pada luka tembak masuk jarak jauh memberi arti yang besar terhadap pengusutan perkara. Hal ini karena luka jenis ini menyingkirkan kemungkinan penembakan terhadap diri sendiri, baik sengaja tau tidak. Terdapat 4 pengecualian, yaitu (1) Senjata telah di set sedemikian rupa sehingga dapat di tembakkan sendiri oleh korban dari jarak jauh; (2) kesalahan hasil pemeriksaan karena bentuk luka tembak tempel yang mirip luka tembak jarak jauh; (3) Kesulitan interpretasi karena adanya pakaian yang menghalangi jelaga atau bubuk mesiu mencapai kulit; dan (4) Jelaga atau bubuk mesiu telah tersingkir. Hal tersebut terjadi bila tidak ada pengetahuan pemeriksa dan dapat berakibat serius terhadap penyelidikan. Luka Tembak Keluar
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Peluru yang berhasil melewati tubuh akan keluar dan menghasilkan luka tembak keluar. Biasanya karakteristik luka berbeda dengan luka tembak masuk. Bentuknya tidak sirkular melainkan bervariasi dari seperti celah (slitlike), seperti bintang, iregular, atau berjarak (gaping). Bentuk luka tembak keluar tidak dapat di prediksi. Latar belakang variasi bentuknya adalah sebagai berikut: 1. masuk 2. 3. Anak peluru mengalami perubahan bentuk selama melewati tubuh sehingga memberi bentuk iregular saat keluar. Anak peluru hancur di dalam tubuh, sehingga keluar tidak dalam 1 kesatuan melainkan dalam potongan-potongan kecil. Jika memiliki jaket, maka jaket dapat terpisah komplit atau sebagian. 4. 5. Anak peluru yang mengenai tulang atau tulang rawan, dapat membuat fragmen tulang tersebut ikut terlontar keluar bersama anak peluru. Anak peluru yang melewati kulit yang tidak ditopang oleh struktur anatomi apapun akan membuat kulit tersebut koyak, hal ini sedikit berhubungan dengan bentuk anak peluru yang menyebabkannya. Tidak adanya penahan pada kulit akan menyebabkan anak peluru mengoyak kulit pada saat keluar. Dalam beberapa keadaan dimana kulit memiliki penahan, maka bentuk luka tembak sirkular atau mendekati mendekati sirkular yang disekelilingnya dibatasi oleh abrasi. Teka-teki ilmiah forensik klasik membedakan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Luka tembak masuk dan luka tembak keluar sulit dibedakan apabila pada luka tembak luar terdapat penahan kulit, pada luka tembak masuk terdapat pakaian yang menghalangi residu lain, senjata yang digunakan kaliber kecil (kaliber 22), dan tulang tidak langsung berada di bawah kulit. Luka tembak luar bentuk shored umumnya ditemukan pada pemakaian pakaian, pada posisi bagian tubuh tertentu seperti pakaian yang sangat ketat, bagian ikat pinggang dari celana panjang, celana pendek, atau celana dalam, bra, kerah baju, dan dasi. Luka jenis sama juga terjadi karena bagian tangan menahan Anak peluru terpental dari dalam tubuh sehingga keluar dari tempatnya

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

tempat keluar anak peluru kemudian posisi pasien tiduran, duduk, atau menempel pada objek yang keras. Tidak semua anak peluru dapat keluar dari tubuh. Terdapat banyak tulang dan jaringan padat yang dapat menghalangi lewatnya peluru. Peluru jarang dapat dihentikan oleh tulang, terutama tulang-tulang yang tipis seperti skapula dan ileum atau bagian tipis dari tenglorak. Kebanyakan anak peluru masuk ke dalam tubuh dan menghabiskan energi kinetiknya di kulit. Kulit adalah penghalang kedua yang paling menghalangi lewatnya anak peluru. Anak peluru yang mengenai lokasi yang tidak biasa dapat menyebabkan luka dan kematian tetapi luka tembak masuk akan sangat sulit untuk ditemukan. Contohnya telinga, cuping hidung, mulut, ketiak, vagina, dan rektum. Kecepatan Anak Peluru Jarak tembakan harus ditentukan atau dipikirkan untuk menilai kecepatan tolakan anak peluru. Perkiraan kecepatan bisa dinilai dengan melakukan pemeriksaan cartridge manufacturers range tables atau untuk lebih tepat dapat menggunakan kronografi, menguji ulang tembakan dengan menggunakan tipe senjata yang sama dan tipe amunisi yang sama yang dicoba-coba pada beberapa jarak tertentu. Kecepatan pistol untuk melontar umumnya antara 350 dan 1500 kaki per detik. Terdapat sebuah rumus untuk menilai energi kinetik yaitu KE = mv2/2g Keterangan : KE adalah energi kinetik dalam satuan foot-pounds m adalah massa anak peluru (pounds) v adalah kecepatan (feet) g adalah gaya gravitasi Area yang tidak terluka pada kasus luka tembak Ada 4 situasi yang akan diterangkan pada bab ini, yaitu mengenai peluru yang berhubungan dengan efek yang terlihat pada tubuh yang berupa kelainan abnormal. Situasi tersebut adalah: 1. Percikan darah (dan kadang-kadang jaringan) pada kedua tangan. Kondisi ini sering ditemukan pada korban bunuh diri. Percikan darah atau jaringan pada tangan terjadi ketika kontak antara senjata api dengan tangan yang memegang pelatuk senjata. Selian itu juga sering ditemukan percikan jaringan otak. Pada
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

korban penyerangan atau pembunuhan, pada tangan penyerang sering ditemukan percikan darah/jaringan korban, namun seringkali penyerang sudah membersihkan percikan tersebut. 2. Darah mungkin bisa turun ke bagian kaki atau bagian bawah yang lain dari korban. 3. Residu (sisa) dari senjata api yang terdapat pada daerah luka bisa menggambarkan posisi dan waktu korban itu ditembak. Percikan api atau bubuk mesiu yang keluar dari lubang yang berbentuk silinder senjata bisa menggambarkan posisi tembakan dan jenis senjata yang digunakan. Percikan bubuk mesiu ini membentuk sebuah tatto pada luka korban. 4. Terdapat tanda pada telapak tangan yang memegang senjata api berupa jelaga dan bubuk mesiu korban bunuh diri. Perubahan Luka pada Luka Tembak Ada beberapa kondisi yang bisa merubah gambaran luka tembak dengan cepat. Perubahan itu dapat disebabkan antara lain oleh: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. luka terbuka yang sudah mengering proses pembusukan tubuh penyembuhan dari luka itu sendiri intervensi tenaga medis intervensi bedah intervensi oleh personel atau orang yang tidak profesional pencucian atau pembersihan luka setelah korban mati Residu senjata api Istilah residu sebenarnya adalah sesuatu yang tersisa. Pada bagian ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang memiliki arti yang sama dengan residu. Tiap inevestigator akan cenderung tertarik melihat residu senjata api dengan sudut pandang yang berbeda. Para petugas hukum akan mengartikan residu dengan menghubungkan yang tersisa di tangan penyerang dengan senjata api penyerang. Sedangkan ahli senjata lebih tertarik dengan residu yang dihubungkan dengan senjata api yang digunakan. Ahli patologi forensik menguraikan antara residu yang terdapat pada tubuh korban dan luka tembak yang ditemukan.

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pokok persoalan mengenai residu senjata api ini cukup kompleks, meliputi identifikasi, pengumpulan,pemeliharaan, dokumentasi, analisis, dan interpretasi yang baik. Namun hal ini agak kurang dilakukan. Secara tradisional, residu berarti bubuk sisa tembakan (bubuk mesiu) yang terjadi akibat proses pembakaran. Ada beberapa macam bentuk residu yang terdapat setelah proses penembakan menurut investigasi medikolegal. Residu juga terdapat pada peluru tetapi jarang sekali berguna untuk kepentingan forensik. Tetapi bubuk mesiu yang terdapat pada peluru seringkali digunakan oleh pemeriksa medikolegal untuk menemukan jenis senjata api yang digunakan. Residu tersebut kadang terlihat dengan mata telanjang dan digambarkan sebagai sebuah kelim tatto pada bagian tubuh korban. Sebagai tambahan, bubuk mesiu peluru dan fragmennya bisa terlihat pada bagian atas kulit atau bagian bawah kulit dan bisa juga tidak teridentifikasi. Studi mengenai residu ini adalah baru awal, tidak pernah ada pertanyaan yang menganalisa detail mengenai keberadaan residu pada luka tembak dalam atau luka tembak luar pada bagian tubuh korban yang telah mengalami pembusukan. Residu Senjata Api pada Tangan Tersangka Petugas hukum biasanya menginginkan untuk mengecek tangan tersangka pada kasus pembunuhan dengan luka tembak senjata api. Sedangkan ahli patologi forensik mengecek tangan korban bunuh diri untuk mendapatkan bukti tambahan bahwa memang kematian disebabkan oleh korban sendiri. Ahli patologi forensik juga mendemonstrasikan hubungan residu yang tertinggal dengan korban melalui bahasa tubuh (gesture) korban yang bertahan atau terdapat perlawanan korban terhadap kontrol senjata api. Residu pada tangan mungkin bisa terlihat, pada kasus ini keberadaan residu harus dideskripsikan dan diobservasi, dan mungkin harus difoto dan didokumentasikan. Pada kebanyakan kasus, residu tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Ada teknik-teknik tertentu untuk melihat adanya residu. Teknik pertama yang diperkenalkan sekitar tahun 1930an adalah teknik parafin. Teknik ini mendemonstrasikan nitrat dengan menggunakan parafin untuk mengumpulkan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

partikel. Nitrat mampu mengoksidasi substansi dari bubuk mesiu dengan jumlah yang besar. Adanya partikel tersebut akan menyebabkan efek warna setelah diberikan parafin. Tetapi teknik nitrat dengan menggunakan parafin ini hanya bagus pada teori. Teknik ini tidak sensitif dan susah untuk dilakukan (tidak praktis). Dengan alasan yang tidak jelas, beberapa petugas hukum masih melakukan tes parafin ini, dan laboratorium kriminal di AS juga masih menggunakan prosedur ini. Pada tahun 1960an, dikembangkan teknik aktivasi neutron yang lebih digunakan dan akurat. Bahan yang diambil dari tangan dengan menggunakan parafin atau larutan asam. Kemudian dilihat dengan sinar radiasi emisi neutron. Radioaktif sekunder akan memisahkan partikel-partikel residu dengan teliti dan akurat. Teknik ini sangat sensitif dengan membutuhkan sedikit residu. Meskipun demikian hanya beberapa laboratorium di AS dapat mengerjakannya karena biaya yang mahal. Absorbsi percikan nyala api dari senjata api yang berupa partikel atom merupakan salah satu cara untuk mendeteksi residu primer. Teknik ini dilakukan menggunakan temperatur yang sangat tinggi untuk menguapkan partikel metalik dari primer residu kemudian dinilai dengan spektrofotometri. Teknik ini sangat cepat, sensitif, dan ekonomis. Teknik yang lain adalah skanning dengan mikroskop elektron sebagai alat sentral analisis residu primer yang dikembangkan oleh aerospace corporation. Semua prosedur yang telah diterangkan diatas akan berguna apabila pada tangan korban atau suspek dijaga dan dilindungi dengan cepat supaya residu tidak hilang atau terkontaminasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan kertas, bukan plastik untuk menutupi bagian tangan sebelum mendapat manipulasi atau perubahan posisi. Pada suspek hidup, tidak dibenarkan bagi mereka untuk mencuci tangan, memasukkan tangan ke dalam saku, atau menyentuh apapun. Residu senjata api pada korban yang dihubungkan dengan pintu masuk luka Residu yang terlihat, seperti yang telah diterangkan diatas, dapat berupa jelaga, minyak pelumas peluru, kelim tatto, bubuk mesiu, atau terkadang berupa
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

jelaga yang berasal dari celah silinder dari pistol. Residu yang tidak terlihat bisa berupa material primer dan partikel metal yang telah menguap yang berasal dari peluru, jaket, atau selongsong peluru. Pada umumnya, residu yang dapat dilihat akan berdekatan dengan masuknya luka (pintu masuk luka). Tepi luka yang rusak bisa tertutup oleh residu dari senjata api apabila tembakan yang dilakukan pada jarak dekat. Pada luka akibat tembakan, residu tidak terlihat secara eksternal, kecuali tepi luka yang rusak itu berwarna kehitaman, hal itu terjadi karena deposit residu peluru pada jaringan. Deteksi yang terbaik adalah dengan mengambil bagian sekeliling kulit yang rusak akibat tembakan, dan termasuk lapisan subkutan dan mungkin jaringan yang lebih dalam lagi untuk menemukan bubuk mesiu. Hal ini sangat baik dilakukan dengan mikroskop dan dilakukan pada ruang otopsi. Prosedur ini juga dilakukan untuk membedakan luka tembak dalam dan luka tembak luar pada tubuh yang sudah membusuk atau berubah karena dibakar, temabakan yang dilakukan dalam jarak dekat atau jarak jauh, dan luka oleh kaliber 22. Residu yang terlihat kadang bisa terlihat dengan pemeriksaan histologis. Teknik ini digunakan untuk mencari adanya bubuk mesiu. Kemudian setelah itu bisa dilakukan pemeriksaan nitrat atau nitrit. Menurut pengalaman penulis, sejauh ini teknik ini lebih bermanfaat dibandingkan pemeriksaan dengan mikroskop saja pada jaringan yang masih baru (fresh). Pada saat pencarian residu yang tidak terlihat disekeliling tepi luka tembak, pengambilan jaringan dan pemeriksaan dengan energi dispersi dari alatalat X-ray akan sangat menguntungkan. Dengan teknik ini komponen primer dan jumlah yang sangat kecil dari deposit metal yang tersisa dari peluru, jaket maupun selongsongnya bisa dideteksi semikuantitatif. Residu dari senjata api bisa berupa gas karbonmonoksida. Gas ini diproduksi akibat proses pembakaran bubuk mesiu. Ketika senjata kontak dengan kulit, karbonmonoksida akan dideposit dibawah lapisan kulit dan terdifusi pada jaringan. Gas karbonmonoksida akan bergabung dengan hemoglobin darah dan mioglobin otot dan membentuk karboksihemoglobin dan karboksimioglobin. Deskripsi luka senjata api
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Kepentingan medikolegal deskripsi yang adekuat dari luka senjata api bergantung pada besarnya potensi seorang korban meninggal. Jika korban masih hidup, deskripsi singkat dan tidak terlalu detail. Dokter mempunyai tenggung jawab yang utama luka, untuk memberikan dan penatalaksanaan gawat darurat. dan Membersihkan membuka mengeksplorasi, debridement

menutupnya, kemudian membalut adalah bagian penting dari merawat pasien bagi dokter. Penggambaran luka secara detail akan dilakukan nanti., setelah semua kondisi gawat darurat dapat disingkirkan. Oleh karena singkatnya waktu yang dimiliki untuk mempelajari medikolegal, seringkali dokter merasa tidak mempunyai kewajiban untuk mendeskripskan luka secara detail. Deskripsiluka yang minimal untukpasienhidupterdiridari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Lokasi luka Ukuran dan bentuk defek Lingkaran abrasi lipatan kulit yang utuh dan robek bubuk hitam sisa tembakan, jika ada tattoo, jikaada bagian yang ditembus/dilewati titik hitam atau tanda penyembuhan akibat bedah pengeluaran benda asing dan susunannya penatalaksanaan luka, termasuk debridement, penjahitan, pengguntingan rambut, pembalutan, drainase, danoperasi perluasan luka Pada korban mati, tidak ada tuntutan dalam mengatasi gawat darurat.Meskipun demikian, tubuhnya dapat saja sudah mengalami perubahan akibat penanganan gawat darurat atau pihak lain. Sebagai tambahan, tubuh bisa berubah akibat perlakuan orang-orang yang mempersiapkan tubuhnya untuk dikirimkan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk menerimanya. Di lain pihak tubuh mungkin sudah dibersihkan, bahkan sudah disiapkan untuk penguburan, luka sudah ditutup dengan lilin atau material lain. Penting untuk mengetahui siapa dan apa yang telah dikerjakannya terhadap tubuh korban, untuk mengetahui gambaran luka sebenarnya.
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Hal-hal yang penting dalam deskripsi luka tembak : 1. 2. a. b. c. d. e. 3. a. b. c. d. 4. a. b. 5. a. b. c. d. 6. Lokasi jarak dari puncak kepala atau telapak kaki serta ke kanan dan kiri garis pertengahan tubuh lokasi secara umum terhadap bagian tubuh Deskripsilukaluar ukuran dan bentuk lingkaran abrasi, tebal dan pusatnya luka bakar lipatan kulit, utuh atau tidak tekanan ujung senjata Residu tembakan yang terlihat grains powder deposit bubuk hitam, termasuk korona tattoo metal stippling Perubahan oleh tenaga medis oleh bagian pemakaman Track penetrasi organ arah depan ke belakang (belakang ke depan) kanan ke kiri(kiri ke kanan) ataskebawah kerusakansekunder perdarahan daerahsekitarluka kerusakan organ individu Penyembuhan luka tembakan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

a. b. c. d. 7. a. b. 8. 9.

titik penyembuhan tipe misil tanda identifikasi susunan Luka keluar lokasi karakteristik Penyembuhan fragmen luka tembak Pengambilan jaringan untuk menguji residu

Deskripsi medikolegal harus lebih detail dan harus mencakup juga perubahan yang terjadi oleh orang lain maupun karena reaksi penyembuhan. Fasilitas Otopsi untuk korban luka tembak Fasilitas merupaka bagian penting dalam melakukan pemeriksaan yang adekuat bagi korban luka tembak. Fasilitas yang perlu dievaluasi adalah tempat, tenaga kerja dan peralatan. Tempat Tempat untuk otopsi bagi otopsi medikolegal dapat disediakan oleh bagian peradilan, atau oleh ahli patologi. Lokasi yang paling ideal adalah fasilitas otopsi patologi forensik. Ini memungkinkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat dan tanpa mengeluarkan banyak tenaga. Masalah lain yang perlu dipikirkan adalah tempat penyimpanan tubuh yang baik untuk mencegah perubahan yang berkaitan dengan pembusukan. Penyimpanan yang baik adalah suhu dingin 2-6 C, dan aman dari tangan-tangan jahil. Juga diperlukan adanya cahaya yang cukup untuk pemeriksaan dan fotografi. Tenaga kerja Ahli patologi tidak mungkin bekerja seorang diri. Asisten yang dapat membantu otopsi agar mendapatkan hasil yang adekuat adalah orang-orang dari bagian patologi, residen patologi, teknolog medis, perawat dan orang dari petugas ruang patologi. Peralatan
2

[KELOMPOK B SKEN 2] January 1, 2008

Pemeriksan X-Ray harus tersedia. Hal ini dapat melancarkan pemeriksaan otopsi. Konsep-konsep yang salah dalam investigasi tembakan senjata Luka tembak masuk selalu lebih kecil daripada luka tembak keluar Ketika luka tembak masuk lebih tinggi dibanding luka tembak keluar, arah serangan dari bawah ke atas Peluru selalu berjalan dalam garis lurus di dalam tubuh, mulai dari tempat masuk sampai keluar dari tubuh, atau bila tertinggal di dalam tubuh Ketika peluru diketahui dari luka terbuka senjata api, berefek sanga panas sehingga membakar kulit Peluru tembakan dari senjata yang beralur (spiral), mengalami perputaran dengan kecepatan yang sangat tinggi, menuntun jalannya pada dan melalui target. Gerakan berputar atau mengebor menghasilkan lingkaran abrasi pada luka tembak masuk Peluru yang dihasilkan senjata atau revolver dengan setengah jaket atau peluru berlubang membuathamburgerpada organ daerah dada dan abdomen Beberapa individu meninggal karena komplikasi akibat perlakuan saat membersihkan luka Individu yang dominan tangan kanan membunuh diri dengan memegang senjata dengan tangan kanan dengan luka terbuka pada kontak dengan atau dekat dengan pelipis kanan Adalah mungkin untuk memperkirakan berapa lama korban hidup setelah cedera fatal dari pemeriksaan luka Otopsi pada korban luka tembak merupakan prosedur yang sederhana.

Yang penting adalah menemukan luka masuk dan luka keluar, lokasi peluru, dan jaringan serta organ yang terluka.

Anda mungkin juga menyukai