Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

EPIDURAL HEMATOMA
RUANG PERAWATAN LONTARA 3 BEDAH SARAF
DI RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO

Nama Mahasiswa : Andi Nurul Atika


Nim : R014192019

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) (Dr. Takdir Tahir.,S.Kep.,Ns.,M.Kes)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi

Epidural Hematoma (EDH) merupakan salah satu cedera sistem saraf pusat.
Epidural hematoma, yang disebut juga hematoma ekstradural, terbentuk diantara
tengkorak dan duramater [ CITATION Bla143 \l 14345 ]. Hematoma ini terjadi pada sekitar
10% dari cedera kepala yang parah dan biasanya berhubungan dengan fraktur tengkorak.
EDH merupakan gejala sisa serius yang terjadi akibat trauma kepala dan dapat
menyebabkan kematian.

Angka mortalitas EDH dapat mencapai 50% dan paling sering terjadi pada bagian
parietotemporal. EDH yang terjadi pada bagian frontal dan epidural sering kali tidak
menunjukkan tanda-tanda yang tidak jelas dan tidak dicurigai. Hematoma epidural terjadi
akibat cedera pada pembuluh darah serebral, paling sering arteri meningeal tengah.
Perdarahan biasanya kontinu dan membentuk bekuan besar yang memisahkan dura dari
tengkorak Gumpalan darah pada EDH biasanya dapat terjadi akibat robekan dari arteri
meningea akibat fraktur pada tulang tengkorak [ CITATION Kow171 \l 14345 ].

B. Etiologi
Menurut Brunner, & Suddarth. (2013) EDH umumnya disebabkan oleh gangguan
struktur duramater dan pembuluh darah kepala yang terjadi akibat fraktur. Cedera kepala
yang dapat menyebabkan keretakan pada tengkorak umunya terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas di jalan raya. Penyebab lain yang mungkin menyebabkan cedera kepala seperti
terjatuh, pukulan yang sangat keras, atau kontak fisik ketika olahraga. Keretakan ini
kemudian membuat lapisan dura terlepas dari tengkorak dan merusak pembuluh darah
utama hingga terjadi perdarahan di area epidural. Seseorang yang mengalami benturan
keras atau tiba-tiba, juga bisa membuat otak bergeser atau bersinggungan dengan bagian
dalam tengkorak hingga terjadi memar atau robekan. Benturan dapat merobek lapisan,
jaringan, atau pembuluh darah yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan di area
epidural. Darah yang dihasilkan dari benturan ini kemudian mengumpul dan membentuk
hematoma yang kemudian menciptakan tekanan pada jaringan otak. Hal ini menyebabkan
otak akan mulai kekurangan asupan darah.

C. Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda pada penderita EDH dapat bervariasi, namun gejala yang khas
yaitu adanya periode tidak sadar yang dialami secara singkat dan diikuti oleh periode
lusidum. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa interval lusidum bukan merupakan
tanda diagnostic yang dipercaya pada EDH. Hal ini terjadi akibat interval lusidum yang
mungkin berlalu tanpa diketahui terutama jika interval lusidum hanya terjadi sekejap saja.
Selain itu penderita dengan cedera otak berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan
stupor [ CITATION Bla143 \l 14345 ].
Hematoma yang meluas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
(unkus dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi dibawah tepi tetorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis yaitu tanda refleks okulosefalik (gerakan mata boneka) dan refleks kornea.
Tekanan herniasi unkus pada sikulasi arteria ke formasio etikularis edula oblongata
menyebabkan hilangnya kesadaran.
Ditempat ini juga terdapat nuklei saraf kranial III (okulomotorius). Tekanan pada
saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada jaras
kortikospinalis asendens pada area ini menyebabkan kelemahan respons motorik
kontralateral (yaitu berlawanan dengan tempat hematoma), refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinsky positif. Dengan semakin meluasnya hematoma, seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan sehingga terjadi peningkatan intracranial
preassure (ICP), termasuk kekakuan deserebrasi dan ganggan tanda vital serta fungsi
pernafasan.
Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher (2014) menyebutkan Gejala yang sangat
menonjol pada epidural hematoma adalah kesadaran menurun secara progresif. Pasien
dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar mata dan dibelakang
telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Gejala
yang paling sering muncul adalah :

1. Penurunan kesadaran (koma)


2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Mual dan muntah
6. Nyeri kepala yang hebat
7. Keluar cairan dari hidung dan telinga
8. Pusing
9. Berkeringat
D. Komplikasi
Lewis, Dirksen, Heitkemper & Bucher (2014) mengatakan EDH dapat
memberikan komplikasi :
1. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan ini
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
2. Kompresi batang otak merupakan pergeseran isi intrakranial dan peningkatan TIK
yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral
dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut [ CITATION Kow171 \l 14345 ] diagnosis perdarahan epidural dapat
ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta beberapa pemeriksaan penunjang
lain yang dapat dilakukan meliputi:

1. Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering
di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah.

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.
F. Penatalaksanaan
Pengobatan pada EDH adalah dengan evakuasi bedah hematoma dan mengatasi
pendarahan ateri meningea media yang rusak. Intervensi bedah harus dilakukan sedini
mungkin sebelum penekanan pada jaringan otak menimbulkan kerusakan otak. Mortalitas
dapat tetap tinggi meskipun diagnosis dan pengobatan telah dilakukan sedini mungkin.
Hal ini dapat terjadi karena trauma dan gejala sisa berat yang menyertainya. Beberapa
penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi [ CITATION Bla143 \l 14345 ]:
1. Penanganan darurat:
a. Dekompresi dengan trepanasi sederhana
b. Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal
atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan intracranial
dan meningkakan drainase vena.
c. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
3. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang
dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa
naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena gunakan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
b. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
(1) Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu
menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan
asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2
diantara 2.530 mmHg.
(2) Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk menarik air
dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki,manitol hams
diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan :
0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah.
c. Kortikosteroid
Dexametason dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4
mg. Selain itu juga Metilprednisolon digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan
Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
d. Barbiturat.
Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kerusakan akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya
dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama, penaggung jawab,
status perkawinan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat medis dan kejadian yang lalu
b. Riwayat kejadian cedera kepala, seperti kapan terjadi dan penyebab terjadinya
c. Paparan radiasi.
d. Riwayat tidak sadarkan diri setelah cedera terjadi
3. Pemeriksaan fisik
a. Aktifitas dan istirahat: penekanan perdarahan serebral menyebabkan terjadinya
penurunan tingkat kesadaran akibat hipoksia serebral
b. Sirkulasi: Dapat terjadi perubahan denyut nadi dan tekanan darah
c. Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut,
gerak peristaltik usus
d. Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas, gelisah
dan menarik diri.
e. Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f. Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g. Neurosensori : hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil, gangguan penglihatan
h. Nyeri/kenyamanan : nyeri kepala
i. Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j. Keamanan: suhu yang naik turun

4. Pemeriksaan diagnostic
a. CT- SCAN sebagai dasar dalam menentukan diagnosa dengan memperlihatkan
lokasi hematoma dan juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan
jaringan.
b. MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang dapat di angkat berdasarkan NANDA 2018-2020 (Herdman & Kamitsuru,
2015) adalah :
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
3. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakanial
4. Hambatan mobilitas fisik behubungan dengan penurunan kekuatan otot
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi/makanan
6. Defisien volume cairan berhubungan dengan gangguan yang memengaruhi asupan
cairan
7. Risiko infeksi
C. Rencana/Intervensi Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan dan kriteria hasil berdasarkan Moorhead, Jhonson, Maas, &
Swanson (2013). dan Bulechek, Butcher, Dochterman, & Wagner, (2013) adalah sebagai
berikut:
Diagnosa : Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Faktor risiko NOC NIC
a. Gangguan Setelah perawatan selama 2x24 Monitor neurologis
serebrovaskular jam, nyeri kronis klien a. Monitor tingkat kesadaran
b. Trauma berkurang dengan kriteria hasil: dengan menggunakan skala
Koma Glasgow
Status neurologi b. Monitor tanda-tanda vital:
a. Kesadaran (GCS meningkat) tekanan darah, nadi,
b. Tekanan darah dalam pernapasan, dan suhu
rentang normal (Dewasa= c. Monitor status pernapasan:
100-140/60-90 mmHg) pola napas, kedalaman, irama,
c. Pola pergerakan mata dan usaha bernapas
d. Hindari kegiatan yang dapat
Perfusi serebral meningkatkan tekanan
intrakranial
a. Tekanan darah sistolik (100- e. Beri jarak kegiatan
140 mmHg) keperawatan yang diperlukan
b. Tekanan darah diastolik (60- yang bisa meningkatkan
90 mmHg) tekanan intracranial
c. Kesadaran (GCS meningkat). f. Beritahu Dokter mengenai
perubahan kondisi pasien
Manajemen Edema Serebral
a. Monitor tanda-tanda vital
pasien (tekanan darah, nadi,
pernapasan, dan suhu)
b. Tentukan tekanan nadi
proporsional dengan cara
mengurangkan tekanan darah
sistolik dan diastolik lalu dibagi
dengan tekanan darah diastolik
untuk pemeriksaan risiko gagal
jantung
c. Monitor status pernapasan:
frekuensi, irama, kedalaman
pernapasan, PaO2, PCO2, pH,
HCO3
d. Posisikan tinggi kepala tempat
tidur 30º
e. Monitor intake dan output
cairan
f. Hindari fleksi leher, atau fleksi
ekstrem pada lutut/panggul
Diagnosa : Ketidakefektifan pola napas b/d hiperventilasi
Batasan NOC NIC
Karakteristik
a. Bradipnea Setelah perawatan selama 3x24 Monitor pernapasan
b. Dyspnea jam, diagnosa dapat teratasi a. Monitor kecepatan, irama,
c. Penggunaan otot dengan kriteria: kedalaman, dan kesulitan
bantu pernafasan bernapas
d. Penurunan Status pernapasan b. Catat pergerakan dada, catat
kapasitas vital a. Frekuensi ketidaksimetrisan, penggunaan
e. Penurunan pernapasan (16-24 ×/menit) otot-otot bantu pernapasan, dan
tekanan ekspirasi b. Irama retraksi pada otot
f. Penurunan pernapasan regular atau supraclavicularis dan interkosta
tekanan inspirasi teratur c. Monitor suara napas tambahan
g. Pernapasan bibir c. Kedalaman seperti ngorok atau mengi
h. Pernapasan inspirasi normal d. Monitor pola napas (misalnya:
cuping hidung d. Suara bradipneu, takipneu,
i. Pola napas auskultasi napas: trakeal, hiperventilasi, pernapasan
abnormal bronkovesikuler, dan kussmaul
vesikuler e. Monitor saturasi oksigen seperti
SaO2, SvO2, SpO2 untuk pasien
dengan penurunan tingkat
kesadaran

Monitor neurologis
a. Monitor tingkat kesadaran
dengan menggunakan skala
Koma Glasgow
b. Monitor tanda-tanda vital:
tekanan darah, nadi,
pernapasan, dan suhu
c. Monitor status pernapasan:
pola napas, kedalaman, irama,
dan usaha bernapas
d. Hindari kegiatan yang dapat
meningkatkan tekanan
intrakranial
e. Beri jarak kegiatan
keperawatan yang diperlukan
yang bisa meningkatkan
tekanan intrakranial
f. Beritahu Dokter mengenai
perubahan kondisi pasien
Dianosa : Nyeri akut b/d agen cedera fisik trauma kepala
Batasan NOC NIC
Karakteristik
a. Ekspresi wajah Setelah perawatan selama 3x24 Manajemen Nyeri
meringis jam, diagnosa dapat teratasi a. Lakukan pengkajian nyeri
b. Keluhan tentang dengan kriteria: secara komprehensif
nyeri b. Observasi adanya petunjuk
menggunakan Tingkat Nyeri nonverbal terkait nyeri maupun
NRS a. Nyeri yang ketidaknyamanan terutama pada
c. Keluhan tentang dilaporkan berkurang dari pasien yang tidak dapat
karakteristik level berat/1 menjadi level berbicara
nyeri ringan/4 c. Pastikan perawatan analgesik
d. Laporan tentang b. Panjangnya episode pada pasien dilakukan dengan
perubahan nyeri berkurang dari level tepat
aktivitas akibat berat/1 menjadi level d. Gunakan strategi komunkasi
nyeri ringan/4 terapeutik untuk mengetahui
e. Perilaku distraksi c. Iritabilitas berkurang pengalaman klien terkait nyeri
f. Perubahan pada dari level berat/1 menjadi dan penerimaan klien terhadap
parameter level ringan/4 nyeri
fisiologis (tanda- e. Gali bersama pasien faktor-
tanda vital) Keparahan cedera fisik faktor yang dapat memperberat
g. Perubahan posisi a. Cedera kepala berkurang maupun mengurang nyeri
untuk dari level berat/1 menjadi f. Evaluasi bersama klien
menghindari level ringan/4 efektifitas tindakan
nyeri b. Perdarahan berkurang pengurangan nyeri yang pernah
h. Dilatasi pupil dari level berat/1 menjadi dilakukan sebelumnya jika ada
level ringan/4 g. Bantu keluarga untuk
menyediakan dukungan bagi
klien
h. Berikan informasi mengenai
nyeri seperti penyebab nyeri
dan berapa lama nyeri akan
dirasakan
i. Kendalikan faktor lingkunan
yang dapat mempengaruhi nyeri
dan ketidaknyamanan
j. Pilih dan implementasikan
tindakan yang beragam seperti
farmakologis dan non
farmakolois untuk memfasilitasi
penurunan nyeri
k. Pertimbangkan tipe dan sumber
nyeri ketika memilih strategi
penurunan nyeri sesuai dengan
kebutuhan
l. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri
m. Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis seperti
relaksasi nafas dalam, aplikasi
panas/dingin dan pijatan jika
memungkinkan.
n. Kolaborasikan dengan tim
kesehatan unntuk menggunakan
teknik farmakologi jika
memungkinkan
o. Evaluasi keefektifan dari
tindakan pengontrol nyeri
selama pengkajian nyeri
dilakukan
p. Mulai modifikasi tindakan
pengontrolan nyeri berdasarkan
respon klien
q. Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
r. Informasikan dengan tim
kesehatan lain dan keluarga
tentang strategi nonfarmakologi
yang sedang digunakan untuk
mendorong preventif terkait
dengan manajemen nyeri

Diagnosa : Hambatan mobilitas fisik b/d penurunan kekuatan otot


Batasan NOC NIC
Karakteristik
a. Dispnea setelah Setelah perawatan selama 2x24 Terapi latihan ambulasi
beraktifitas jam, diagnosa dapat teratasi a. Monitoring vital sign
b. Gerakan lambat dengan kriteria: sebelm/sesudah latihan dan
c. Kesulitan lihat respon pasien saat latihan
membolak- Kemampuan berpindah b. Konsultasikan dengan terapi
balikan posisi a. Kemampuan fisik tentang rencana ambulasi
d. Ketidaknyamana klien meningkat dalam sesuai dengan kebutuhan
n aktivitas fisik c. Bantu klien untuk
e. Penurunan b. Mengerti tujuan menggunakan tongkat saat
kemampuan dari peningkatan mobilitas berjalan dan cegah terhadap
melakukan c. Memverbalisasi cedera
motorik halus kan perasaan dalam d. Ajarkan pasien atau tenaga
maupun kasar meningkatkan kekuatan dan kesehatan lain tentang teknik
f. Tremor akibat kemampuan berpindah ambulasi
bergerak e. Kaji kemampuan pasien dalam
g. Gerakan tidak Tingkat nyeri mobilisasi
terkoordinasi a. Nyeri yang dilaporkan f. Latih pasien dalam pemenuhan
b. Panjangnya episode nyeri kebutuhan ADLs secara
c. Ekspresi wajah mandiri sesuai kemampuan
d. Tidak bisa beristirahat g. Dampingi dan bantu pasien
saat mobilisasi dan bantu
penuhi kebutuhan ADLs
pasien.
h. Berikan alat bantu jika klien
memerlukan.
i. Ajarkan pasien bagaimana
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
Diagnosa : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan
memasukkan atau mencerna nutrisi/makanan
Faktor Risiko NOC NIC
a. Berat badan Setelah dilakukan perawatan a. Kaji adanya alergi makanan
>20% dibawah selama 3x24 jam, diperoleh b. Kolaborasi dengan ahli gizi
rentang berat kriteria hasil : untuk menentukan jumlah
badan ideal kalori dan nutrisi yang
b. Bising usus a. Albumin serum berada pada dibutuhkan pasien
hiperaktif rentang normal c. Yakinkan diet yang dimakan
c. Diare b. Pre albumin serum berada mengandung tinggi serat untuk
d. Kelemahan otot pada rentang normal mencegah konstipasi
pengunyah c. Hematokrit berada pada d. Ajarkan pasien bagaimana
e. Kelemahan otot rentang normal membuat catatan makanan
untuk menelan d. Hemoglobin berada pada harian.
f. Nyeri abdomen rentang normal e. Monitor adanya penurunan BB
g. Ketidakmampuan e. Total iron binding capacity dan gula darah
mencerna berada pada rentang normal f. Monitor lingkungan selama
makanan f. Jumlah limfosit berada pada makan
rentang normal g. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
h. Monitor turgor kulit
i. Monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan
kadar Ht
j. Monitor mual dan muntah
k. Monitor pucat, kemerahan, dan
kekeringan jaringan
konjungtiva
l. Monitor intake nuntrisi
m. Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
n. Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
o. Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
p. Kelola pemberan anti emetik
q. Anjurkan banyak minum
r. Pertahankan terapi IV line
s. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oral
BAB III
WEB OF CAUTION (WOC)
WEB OF CATION (WOC) EPIDURAL HEMATOMA (EDH)

Kecelakaan lalu Jatuh Cedera olahraga Perkelahian


lintas

Fraktur tulang
tengkorak Perdarahan pada ruang
interna kranii antara
durameter dan bagian
Terjadi robekan arteri meningeal media inferior tengkorak

Menekan Hematoma epidural


Lobus frontalis: lobus
- Kemampuan berpikir abstrak dan
nalar, motorik bicara, pusat
penciuman dan emosi
Jaringan sekitar Lobus temporalis:
tertekan - Kemampuan ingatan visual,
pendengaran, penglihatan,
pemahaman bahasa, dan ingatan
Pe↑ asam lambung baru
Pe↑ TIK

Mengeluarkan Nyeri kepala Nyeri


Perubahan perfusi
kortikosteroid akut
jaringan serebral

Merangsang hipofisis Gangguan hemisfer Hipoksia serebral


anterior motorik

Mual, muntah, Kesadaran menurun


Pe↓ kesadaran dan
anoreksia
tonus otot
Hipoventilasi

Ketidakseimbangan Hambatan mobilitas fisik


nutrisi kurang dari Kerusakan
kebutuhan tubuh pertukaran gas
Risiko
Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
pola nafas
otak
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Buku Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 3. Singapore: Elseiver.

Brunner & Suddarth .(2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., & Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elseviers.

Herdman, T.H & Kamitsuru, S. (2015). Nanda- I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC.

Kowalak, J.P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lewis, S. L., Dirksen, S. R., Heitkemper, M. M., & Bucher, L. (2014). Medical-Surgical
Nursing Ninth edition. Canada: Elsevier.

Moorhead, S., Jhonson , M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification Edisi Bahasa Indonesia. Indonesia: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai