Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI Tn.

W DENGAN DIAGNOSA
MEDIS INTRA CEREBRAL HEMORAGHIC (ICH) DENGAN TINDAKAN
CRANIOTOMY MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTESI DI
RSUD Dr. MOHAMAD SOEWANDHIE SURABAYA

Disusun untuk memenuhi tugas praktek klinik 3

Dosen Pembimbing : Kaslinda Nur Umifa, S.Kp.Ns., M.kep

Pembimbing Lapangan : Samsudi, S. Kep. Ns.,

Disusun Oleh :

Oleh:
ABDUR ROHIM
NIM : 2213108AJ

INSTITUT TEKNOLOGI, SAINS DAN KESEHATAN RS DR. SOEPRAOEN


KESDAM V BRAWIJAYA MALANG
PRODI D4 KEPERAWATAN ANESTESI
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI Tn.W DENGAN DIAGNOSA MEDIS


INTRA CEREBRAL HEMORAGHIC (ICH) DENGAN TINDAKAN
CRANIOTOMY MENGGUNAKAN TEKNIK GENERAL ANESTESI

DI RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHIE SURABAYA

Diajukan untuk disetujui

pada, Hari :

Tanggal :

Tempat :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lapangan

(Kaslinda Nur Umifa, S.Kp.,Ns., M.kes) (Samsudi, S.Kep.Ns.,)


BAB I

PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Penyakit


1. Definisi Intracranial Hematome ( ICH )

Intracerebral Hematoma (ICH) adalah perdarahan yang terjadi


pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada
dalam jaringan otak. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan lesi
perdarahan di antara neuron otak yang relatif normal. Indikasi dilakukan
operasi adanya daerah hiperdens, diameter > 3 cm, perifer, adanya
pergeseran garis tengah (Nanda NIC-NOC 2015).

Intracerebral Hematoma adalah akumulasi darah dalam jaringan


otak. Penyebab traumatik hematoma intracerebral mencakup tulang
tengkorak, terdepresi, cedera tembak, dan akselerasi-deselerasi mendadak.
Sehingga perdarahan tiba-tiba menerobos jaringan ke otak dan dapat
menyebabkan perdarahan ke dalam otak. Hemoragi ini biasanya terjadi
pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai daerah
kecil (Smeltzer dan Bare, 2002).

Dari berbagai pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa


Intracebral hematoma adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
subtansi otak yang disebabkan oleh traumatik sehingga darah menorobos
jaringan ke otak dan dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

2. Etiologi

Menurut Weatherspoon (2015), tekana darah tinggi adalah


penyebab paling umum dari perdarahan intraserebral. Pada orang muda,
penyebab umum lainnya abnormal terbentukya pembuluh darah di otak.
Penyebab lainya yaitu :

 Cedera kepala atau trauma

 Anuerisme otak pecah (titik lemah dalam pembuluh darah yang


semburan)
 Arteriovenous malformation (pengelompokan pembuluh darah cacat
di otak yang mengganggu aliran darah normal).
 Penggunaan pengencer darah.
 Perdarahan tumor
 Penggunaan kokai (dapat meyebabkan hipertensi berat dan
menyebabkan perdarahan).
 Gangguan perdarahan (misalnya, hemofilia, anemia sel sabit ).

 Nontraumatic perdarahan pada kasus intraserebral paling sering terjadi


dan menyebabkan kerusakan dinding pada pembuluh darah misalnya
hipertensi, eklampsia, penyalagunaan narkoba, tetapi mungkin juga
karena autoregulatory disfungsi dengan aliran darah ke otak yang
berlebihan misalnya, cedara reperfusi, transformasi hemoragik,
paparan dinding, pecahnya aneurysm atau arteriovenous
maIlformation (AVM), arteriopati misalnya, amyloid serebral
angiopathy, moyamoya, diubah hemostasis misalnya, trombolisis,
antikoagulan, perdarahan diathesis, hemoragik nekrosis misalnya
tumor, infeksi atau vena obstruksi outflow thrombosis vena misalnya,
otak (Weatherspoon, 2015)

3. Tanda Gejala

Gejala yang paling umum adalah perubahan tingkat kesadaran,


sakit kepala, mual, dan muntah. Kelemahan mendadak, kesemutan, atau
kelumpuhan di wajah, lengan, atau kaki, terutama terjadi hanya pada satu
sisi tubuh, tiba-tiba sakit kepala parah, kesulitan menelan, kesulitan visi
dalam satu atau kedua mata, kehilangan keseimbangan dan koordinasi,
pusing, masalah dengan kemampuan bahasa (membaca, menulis,
berbicara, pemahaman), apatis, mengantuk, lesu, kebingungan
(Weatherspoon, 2015 ).

4. Pemeriksaan Penunjang

Pengujian diagnostik untuk ICH mungkin termasuk CT-scan. Jenis


tes menciptakan gambar dari otak, yang dapat mendeteksi patah tulang
tengkorak atau mengkonfirmasi perdarahan. MRI dapat membantu dokter
anda melihat otak lebih jelas untuk mengidentifikasi penyebab
perdarahan. Angiograrm menggunakan teknologi X-ray untuk mengambil
gambar dari aliran darah dalam arteri. Tes dapat mengidentifikasi
gangguan sistem kekebalan tubuh, peradangan, dan masalah pembekuan
darah yang dapat menyebabkan perdarahan di otak (Weatherspoon, 2015).

5. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan pada perdarahan intraserebral dalam tiga jam pertama


timbulnya gejalah umumnya menghasilkan hasil yang lebih baik. Operasi
dapat mengurangi tekanan darah otak dan memperbaiki robek arteri.
Obat- obatan tertentu dapat membantu mengelola gejala, seperti obat
penghilang rasa sakit untuk meringankan sakit kepala parah. Obat anti
ansietas mungkin diperlukan untuk mengontrol tekanan darah. Jika dokter
menentukan bahwa pasien berisiko untuk kejang, obat antiepipsi mungkin
diperlukan.

Pengobatan jangka panjang akan dibutuhkan untuk mengatasi


gejalah yang disebabkan oleh kerusakan otak. Tergantung pada gejala,
pengobatan dapat dilakukan dengan terapi fisik dan bicara untuk
membantu mengembalikan fungsi otot atau menigkatkan komunikasi.
Terapi okupasi dapat membantu seseorang dapat kembali kemampuan dan
kemandirian tertentu dengan berlatih dan memidifikasi aktivitas sehari-
hari (Weatherspoon, 2015 ).

6. Penatalaksanaan Operatif
Penatalaksaan operatif akan dilakukan agar tujuan kembalinya
pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas
normal, kontrol pendarahan dan mencegah perdarahan ulang. lndikasi
operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

• Status neurologis

• Status radiologis

• Pengukuran tekanan intrakranial


Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

 Massa hematoma kira-kira 40 cc

 Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

 EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis


tengah dengan GCS 8 atau kurang.

 Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang


jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

 Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu


disertai berkembangnya

 Tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25


mmHg.

7. Tehnik Operasi

a) Epidural hematom :

• lokasi : 50% ditemporal, 15%-20% di frontal dan sisanya di


occipital, fossa posterior dan parietal

• bila ada mix lessi (hipodens clan hiperdens ) curigai adanya


gangguan pembekuan darah

• teknik : a. Incisi bentuk question mark atau tapal kuda

b. Burr hole I di daerah yang paling banyak clothing


biasanya di lobus temporal, bila perlu dilanjutkan dulu
kraniektomi kecil dan evakuasi clothing untuk
mengurangi tekanan, lalu dilanjutkan kraniotomi untuk
mengevakuasi massa.

c. Bila duramater tegang kebiruan lakukan intip dura


dengan incisi kecil d. Kemudian duramater dijahit clan
dilakukan gantung dura.
b) Subdural hematom :

• lokasi paling sering di temporal dan parietal

• incisi bentuk tapal kuda atau question mark

• Kraniotomi seekspos mungkin dan bila ada clothing kecil dan


tidak jelas terlihat sebaiknya ditinggalkan.

• duramater dibuka dan dievakuasi clothingnya.

• duramater dijahit waterproof, bila swelling tidak dapat


dikontrol, biarkan terbuka dan tulang tidak dipasang dan langsung
diflap.

c) Intracerebral hematom :

• lokasi : 80% -90% di temporal dan frontal

• kraniotomi secara prinsip sarna dengan perdarahan intrakranial


lainnya • perdarahan dirawat dengan bipolar, surgicel

• durameter dijahit waterproof 5. Hematoma fossa posterior

• 80% -100% pasien EDH fossa posterior disertai fraktur os


occipitalis

• bila ada EDH supra dan infra tentorial, 30% disertai


hidrocefalus

• incisi kulit linier/stick golf di para median atau midline

• konservatif bila simptom minimal dan stabil terutama bila ada


fraktur diatas sinus.

B. Pertimbangan Anestesi

1. Anestesi Umum (General Anesthesia)


Menurut Mangku (2010) general anesthesia merupakan tindakan
meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat
pulih kembali (reversible). General anestesi menyebabkan mati rasa
karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang
tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus cukup untuk
beredar di dalam darah dan tinggal di dalam jaringan tubuh. Beberapa
teknik general anestesi inhalasi adalah Endotrakeal Tube (ETT) dan
Laringeal Mask Airway (LMA).

2. Intubasi Trakhea (ETT)


 Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea
kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan
bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea
merupakan salah satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi.
 Ukuran ETT
Pipa endotrakheal terbuat dari karet atau plastik. Untuk
operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan
pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi
(non- kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas,
kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung
distalnya. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak
karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid.

Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena


bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa
digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 –
9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007). Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-anak
dipakai rumus (Latief, 2007):
Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan
pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih
kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.
 Indikasi Intubasi Trakhea

Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya


digolongkan sebagai berikut (Latief, 2007):

 Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun


Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus,
pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
 Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
 Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal
dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi
menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).
 Kotraindikasi ETT
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang
diperkirakan akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan
intubasi, antara lain:
 Tumor: Higroma kistik, hemangioma, hematom
 Infeksi: Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis
 Kelainan kongenital: Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis
kraniofasial
 Benda asing
 Trauma: Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma
tulang leher
 Obesitas
 Extensi leher yang tidask maksimal: Artritis rematik,
spondylosis arkilosing, halo traction
 Variasi anatomi: Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
 Pemasangan Intubasi Endotrakheal
Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai
berikut (Latief, 2007)
 Persiapan Alat (STATICS):
 Scope: Laringoscope, Stetoscope
 Tubes: Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
 Airway: Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
 Tape: Plester untuk fiksasi dan gunting
 Introducer: Mandrin / Stylet, Magill Forcep
 Conector: Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan
anestesi.
 Suction: Penghisap lendir siap pakai.
 Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin
anestesi yang siap pakai, lengkap dengan sirkuit dan sumber
gas).
 Sarung tangan steril
 Xylocain jelly/ Spray 10%
 Gunting plester
 Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
 Bantal kecil setinggi 12 cm
 Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan,
analgesi danemergency).

 Pelaksanaan
 Mesin siap pakai
 Cuci tangan
 Memakai sarung tangan steril
 Periksa balon pipa/ cuff ETT
 Pasang macintosh blade yang sesuai
 Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan
dimulai
 Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
 Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
 Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
 Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan
kanan
 Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglottis
 Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
 Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
 Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume
8-10 ml/kgBB
 Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran
tidak terdengar
 Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
 Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
 Lakukan fiksasi ETT dengan plester
 Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lender
 Bereskan dan rapikan kembali peralatan
 Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

3. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan
nafas, salah letak dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang
biasa terjadi adalah:
 Saat Intubasi
 Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi
balon di laring.
 Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan
lidah, dislokasi mandibula, luka daerah retrofaring.
 Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan
intra okuler, laringospasme.
 Kebocoran balon.
 Saat ETT di tempatkan
a) Malposisi (kesalahan letak)
b) Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet
mukosa hidung.
c) Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.
 Setelah ekstubasi
a) Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan
trakhea), sesak, aspirasi, nyeri tenggorokan.
b) Laringospasme.
C. WOC
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
 Identitas
 Manifestasi klinis Ht: tanda dan gejala Ht ringan atau berat
 Faktor predisposisi Ht
 Pemeriksaan diagnostik utk mendeteksi Ht
 Indikasi penyakit untuk pembedahan

Pengkajian Data Fokus Anestesi


Pengkajian AMPLE:
1) Allergy: riwayat alergi obat, makanan
2) Medical drug: riwayat penggunaan obat-obatan.
3) Past illnes: riwayat penyakit, operasi dan anestesi.
4) Last meals: riwayat asupan makan dan minum terakhir.
5) Environment: riwayat kebiasaan buruk, lingkungan yang
berhubungan dengan penyakit dan tindakan anestesi pasien.

Pengkajian Data Fokus Anestesi


 TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.
 TDD, merupakan tolak ukur dlm manajemen anestesi, krn akibat dari
perubahan patologi
 Monitoring yang intensif  mendeteksi gangguan hemodinamik
 TDS ≥ 180 mmHg dan/atau TDD ≥ 110 mmHg sebaiknya dikontrol seblm
dilakukan operasi, kecuali urgensi.
 Situasi urgensi, TD dikontrol beberapa menit - beberapa jam dgn pemberian
obat antihipertensi bersifat rapid acting
 Respon TD cenderung meningkat yang berlebihan pada periode intra anestesi
dan postoperasi. Mis: yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi
dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia
 Jika terjadi penurunan MAP  tidak boleh sampai 25% dari MAP
sebelumnya. ( Penurunan MAP 55%  hipoperfusi otak)
b. Data Objektif
 Primary Survey (ABCDE)
 Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a) Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi
atau kesadarannya menurun.
- Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan k
esadaran memberi kesan adanya hiperkarbia.
- Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut.
- Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan
adanya gangguan airway.
- Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas
dengan memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal
kollar untuk immobilisasiservikal sampai terbukti tidak
ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala
sumbatan, benda asing, darah dari fraktur maksilofasial,
gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi
(orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale)
< 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi
oksigen tidak mencapai 90%.

b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan


yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan
yang tersumbat
c) Feel (raba)

 Breathing
Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan
pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris
menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan
tiap pernapasan
yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya
harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi
penderita dan harus segera dievaluasi. Evaluasi tersebut
meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada,
palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya
darah atau udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi
dada. Penurunanatau tidak terdengarnya suara napas pada
satu atau
hemitoraks merupakantanda akan adanya cedera dada. Hati-
hati terhadap adanya laju pernapasanyang cepat-takipneu
mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan
informasi tentangsaturasi oksigen dan perfusi perifer
penderita, tetapi tidak memastikan adanyaventilasi yang
adekuat

 Circulation dengan kontrol perdarahan

a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah


takikardi untukmempertahankan cardiac output walaupun
stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi
(tekanan sistolik-tekanan diastolik)
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan
lagi, maka timbullah hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan
dengan balut tekanpada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan
sumpal MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas
atau kain kasa, biarkan cairan atau darah mengalir keluar,
karena hal ini membantu mengurangi TTIK (TekananTinggi
Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan
harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya koagulopati
dan gangguan irama jantung.
 Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) asserffNilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau
tidak

 Expossure dengan menghindari hipotermia.


Semua pakaian yang menutupi tubuh penderita harus
dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling
dengan harusmenghindari terjadinya hipotermi (America College
of Surgeons ; ATLS)

 Secondary Survey
 Kepala dan leher

Kepala.
Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan
distribusirambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut,
tengkorak, kulit kepala,massa, pembengkakan, nyeri tekan,
fontanela (pada bayi)).

Leher
Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan
parut,massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid,
trakea), mobilitas leher.
 Dada dan paru

Inspeksi.
Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk
dankesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada
dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukanpengamatan pergerakan pernapasan.
Pengamatan dada saat bergerakdilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/iramapernapasan.

Palpasi
Tujuan untuk mengkaji keadaan kulit padadinding dada, nyeri
tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan tactil
vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui
sistembronkopulmonal selama seseorang berbicara)

Perkusi.
Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan
udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada
rongga pleura.

Auskultasi.
Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran
udara.
Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paruparu dan ron
gga pleura.

 Kardiovaskuler

Inspeksi dan

palpasi.
Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultanuntuk
mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan
(heaves).

Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi


jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis,
area apikal dan area epigastrik

Perkusi.
Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan
tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area
jantung jarangdilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat
pada hasil foto torak anteroposterior

 Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada
ekstremitas bersangkutan, antara lain :

a) Cedera pembuluh darah.


b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
2. Masalah Kesehatan Anestesi
 Pre Anestesi
 Kecemasan
 Intra Anestesi
 Risiko cedera Trauma Pembedahan
 RK Disfungsi Respirasi ( obstruksi jln napas, tidak efektif pola napas,
aspirasi, napas, henti napas )
 RK Disfungsi Kardiovaskuler ( Penurunan CO, hipotensi, hipertensi,
disritmia/aritmia, cardiac arest )
 Syok

 Pasca Anestesi
 RK Disfungsi Respirasi ( obstruksi jln napas, tidak efektif pola napas,
aspirasi, , henti napas )
 Nyeri

3. Rencana Intervensi
 Pre-Anestesi

Ansietas (Pra Anestesi)


a. Observasi TTV
a. Ajarkan teknik relaksasi
c. Informed Concent pasien terkait jenis tindakan dan anestesi
d. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian premedikasi midazolam
2,5 mg.

 Intra-Anestesi
RESIKO CEDERA TRAUMA PEMBEDAHAN
a) Siapkan peralatan dan obat-obatan sesuai dengan perencanaan teknik anestesi
b) Atur posisi pasien
c) Bantu pemasangan alat monitoring non invasif
d) Monitor vital sign
e) Bantu pelaksanaan Intubasi ETT
f) Lakukan monitoring
g) Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi berlangsung perianestesi
h) Atasi penyulit yang timbul
i) Lakukan pemeliharaan jalan napas
j) Lakukan pemasangan alat ventilasi mekanik
k) Lakukan pengakhiran tindakan anestesi

RESIKO KOMPLIKASI DISFUNGSI RESPIRASI


a. Monitoring Vital sign
b. Monitoring saturasi oksigen pasien
c. Atur posisi pasien
d. Lakukan pemasangan ETT Non King No. 6,5 dengan cuff 10cc
e. Lakukan pemasangan mayo, fiksasi dan pemasangan connector
f. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi mekanik
1) VT: 360
2) RR : 14x/mnt
3) O2:N20 (50%:50%)
4) Sevoflurane 1,2%

RESIKO KOMPLIKASI DISFUNGSI KARDIOVASKULAR


a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan perioperatif maintenanceVolatil
Agent (Sevoflurane) 0,8-1,2%

PERDARAHAN
a) Observasi TTV
b) Monitoring Jumlah perdarahan
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Kolaborasi pemberian produk darah PRC & Trombosit concentrate

 Pasca-Anestesi
RESIKO KOMPLIKASI DISFUNGSI RESPIRASI
a. Monitoring Vital sign
b. Monitoring saturasi oksigen pasien
c. Atur posisi pasien
d. Lakukan suctioning
e. Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemberian oksigenasi
NYERI
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic

4. Implementasi
Lakukan tindakan yang sudah direncanakan pada Intervensi dan selalu lakukan evaluasi
formatif dari setiap implementasi yang dikerjakan.

5. Evaluasi
Lakukan evaluasi sumatif berdasarkan kriteria waktu yang ditetapkan pada tujuan (SMART)
Evaluasi menggunakan metode SOAP
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marylinn E. Moorhouse. Geissler. 2012. Rencana Asuahan
Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta : EGC

Hidayat, A. Azis Alimul., dan Musrifatul Uliyah. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia.
Edisi Revisi. Jakarta : EGC

NANDA Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta : EGC

NANDA NIC-NOC. 2015. Pandauan Penyusunan Asuhan Keperawatan


Profesiona. Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta : Mediaction

Nursalam. 2008. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Edisi
2. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC

Tarwoto. Wartonah. Siti Suryati, Eros. 2007. Keperawatan Medikal Bedah


Gangguan Sitem Persarafan. Jakarta : CV Sagung Seto

Weathherspoon, Deborah. 2015 . Intracerebral Hematoma. Diambil tanggal 28 Juni


2016 http://www.healthline.com/health/lobar-intracerebral-hemorrhage

Widagdo,Wahyu. Suharyanto, Toto. Aryani, Ratna. 2008. Asuhan Keperawatan


Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : TIM

Wilkinson Judith M dan Nancy R. Ahern. 2012. Buku Saku Diagnosa


Keperawatan.
Edisi 9. Jakarta : EGC
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai