Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA OTAK BERAT

1. Definisi Cedera Otak Berat


Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan
neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan proporsi epidemik
sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer & Bare 2002). Cidera otak berat atau
COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada otak secara
langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 1995). Cedera otak
beratmerupaka keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitan dengan
edema, hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS
< 8 dan tidak dapat membuka mata.
2. Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan Kusuma
(2018) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang
terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang intracranial
dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan yang terbentur dan
area yang pertama terbentur
e. Rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak
3. Tanda dan gejala
Menurut Mansjoer (2018) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
1. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
2. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia
pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan
kejang.
3. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari
24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
4. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Cedera otak
sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan
cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder
dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area
cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial
akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat
menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi
namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkanrobekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan
dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial
terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
darah.
5. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1. Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2. Berikan O2 dan monitor
3. Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang
dari 90 mmHg.
4. Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
5. Stop makanan dan minuman
6. Imobilisasi
7. Kirim kerumah sakit.
b. Perawatan di bagian Emergensi
1. Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2. Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan
sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan
sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila
diperlukan.
3. Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan
posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk
menambah drainase vena.
4. Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90
mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan
tekanan intra kranial.
5. Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila
sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
(ICP).
6. Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan
onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang
sebelumnya.
c. Terapi obat-obatan:
1. Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak.
Pemakaian tiophental tidak dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan
darah sistolik. Manitol dapat digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai
obat propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa
pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan
tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan norephinephrin
untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
2. Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv. Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan
tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi
darah otak dan kebutuhan oksigen. 
3. Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin :  Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan
dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif,
pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-
Stokes.Fungsi  : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
d. Terapi yang perlu diperhatikan
1. Airway dan Breathing
Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara
penyebab hipotensi dicari.
3. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang
menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi
dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku
atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan
pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan
keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang
sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen
dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara
satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan
dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang
diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik.
7. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala yaitu
:
a. Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat
b. Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang
terjadi.
c. Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan
yang berat.
d. GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia.
e. Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan
pada fungsi ginjal yang tidak baik.
f. Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan
prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg,
SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi
perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.
g. Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.
2) Pemeriksaan Radiologi
a. CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran,
mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran
cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.
c. EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang patologis.
d. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan otak,
misalnya daerah infark, hemoragik.
e. Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.
f. Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah pasien
trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.
Konsep Dasar ICH
1. Pengertian Perdarahan otak
Pendarahan otak (brain haemorrhage) merupakan perdarahan yang disebabkan oleh
pecahnya arteri di dalam otak sehingga mengakibatkan terjadinya pendarahan lokal pada
jaringan di sekelilingnya. Pendarahan inilah yang kemudian akan membunuh sel-sel di
dalam otak. Pendarahan yang dapat terjadi di dalam otak biasanya terjadi antara otak dan
selaput-selaput yang menutupinya, antara lapisan-lapisan dari penutup otak, maupun antara
tengkorak dan penutup dari otak
2. Jenis perdarahan otak
Jenis – jenis perdarahan otak diklasifikasikan menurut lokasi perdarahan:
a. Epidural hematoma
Terdapat pengumpulan darah diantara tulang tengkorak dan duramater akibat pecahnya
pembuluh darah / cabang – cabang arteri meningeal media yang terdapat diantara
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena sangat berbahaya.
Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1–2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di
lobus temporalis dan parietalis.
Gejala – gejalanya :
1). Penurunan tingkat kesadaran
2). Nyeri kepala
3). Muntah
4). Hemiparese
5). Dilatasi pupil ipsilateral
6). Pernapasan cepat dalam kemudian dangkal ( reguler )
7). Penurunan nadi
8). Peningkatan suhu
b. Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48
jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Bingung
3). Mengantuk
4). Menarik diri
5). Berfikir lambat
6). Kejang
7). Udem pupil.
c. Perdarahan intra serebral berupa perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh
darah arteri, kapiler dan vena .
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Komplikasi pernapasan
4). Hemiplegi kontra lateral
5). Dilatasi pupil
6). Perubahan tanda – tanda vital
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan
permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Gejala – gejalanya :
1). Nyeri kepala
2). Penurunan kesadaran
3). Hemiparese
4). Dilatasi pupil ipsilateral
5). Kaku kuduk
3. Konsep ICH
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan
adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT
Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single,
Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom
tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan
biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor
yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan
prognose perdarahan subdural. (Paula, 2019)
Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak. Hemorragi ini biasanya
terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi pada luka tembak
,cidera tumpul. (Suharyanto, 2019)
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini dapat
timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka .intraserebral
hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya pembuluh nadi.
(Corwin, 2019).
4. Etiologi
Menurut Salman dalam American Heart Association (2017); Zuccarello (2018) dan
Chakrabarty & Shivane (2018) :
a. Penyakit pembuluh darah kecil: aterosklerosis, amiloid angiopati, genetik
b. Malformasi pembuluh darah: malformasi arteriovenous, malfomasi cavernous
c. Aneurisma intracranial
d. Penakit vena : sinus serebral/ trombosis vena, dural arteriovenous fistula
e. Reversible cerebral
f. Sindrom vasokontriksi
g. Sindrom moyamoya
h. Inflamasi: vaskulitis, aneurisma mikotik
i. Penyakit maligna: tumor otak, metastasis serebral
j. Koagulopati: genetik, diturunkan/iatrogenik
k. Pengobatan vasoaktif
l. Serangan jantung karena perdarahan
m. Trauma kepala : fraktur tengkorak dan luka penetrasi (luka tembak) dapat merusak
arteri dan menyebabkan perdarahan.
n. Hipertensi : peningkatan tekanan darah menyebabkan penyempitan arteri yang
kemudian pecahnya arteri di otak
o. Terapi pengenceran darah : obat seperti coumadin, heparin, dan warafin yang
digunakan untuk pengobatan jantung dan kondisi stroke
p. Kehamilan: eklamsia, trombosis vena
q. Merokok
r. Tidak diketahui

5. Manifestasi Klinik
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang, hal itu
diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu, pada orang
tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada Dugaan gejala terbentuknya disfungsi
otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan. Beberapa gejala, seperti
lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu
bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan
kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi
lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan
kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit.
Menurut Corwin (2019) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya
hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan
intra cranium.
6. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri yang
dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah
didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh
darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar
perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi,
perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang
menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan
kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila
aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi
penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala
ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari
darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat
tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik
akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi
yang tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat
meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak
perdarahan, sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara
umum maupun lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat
berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2019).
7. Pemeriksaan khusus dan penunjang
1. CT-scan: memperhatikan adanya edema, hematoma.
2. Pungsi lumbal: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis,
emboli serebral, dan TIA (Transient Ischaemia Attack) atau serangan iskemia otak
sepintas. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya
hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat
pada kasus thrombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging): menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, dan malformasi arteriovena.
4. EEG (Electroencephalography): mengidentifikasi penyakit didasarkan pada gelombang
otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
5. Sinar X: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis serebral.
8. Pathway COB

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Primary survey
a. Airway
Kerusakan otak yang irreversible dapat terjadi 6-8 menitsetelah anoxia otak.oleh
karena itu , prioritas pertama dalam penanganan trauma yaitu pastikan kelancaran
jalan infus, ventilasi yang adekuat dan oksigenasi.
b. Breathing
Tindakan kedua setelah airway tertangani adalah ventilasi. Penurunan oksigen yang
tajam (10L/min) harus dilakukan suatu tindakan ventilasi. Analisa gas darah dan
puise oximeter dapat membantu untuk mengetahui kualitas ventilasi dari penderita.
c. Circulation
Pendarahan merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat
diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat durumah sakit suatu keadaan hipotensi
harus dianggap disebabkan oleh hipovo lemia. Sampai terbukti sebaliknya dengan
demikian maka perilaku yang cepat dari status hemodinamika penderita.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi
pupil. Suatu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah metode AVPU.
e. Exposure
Keadaan dengan laserasi,kontusio,abrasi,swelling, dan deformitas sering terjadi pada
pasien trauma cara yang paling aman dengan membuka pakaian penderita secara
keseluruhan. Inidilakukan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memeriksa dan
mengavaluasi keadaan penderita .

2. Scondray survey
a. Riwayat penyakit sekarang
Adanya penurunan kesadaran,alergi,mual dan muntah,sakit kepala,wajah tidak
simetris,lemas,paralysis, perdarahan, fraktur, hilang,keseimbangan, sulit
menggenggam amnesia seputarkejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar,
mngecapkan mencium bau, sulit mencerna /menelan makanan.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit system persyarafan,riwayat trauma masa lalu,
riwayat penyakit darah, riwayat penyakit system /pernafasan kardiovaskuler dan
metabolic.
c. Kebutuhan dasar
 Eliminasi : perubahan pada BAK/BAB, inkontinrnsia, obstipasi,hematuria
 Nutrisi : mual, muntah, gangguan mencerna /menelan makanan ,kaji biding usus
 Istirahat : kelemahan, mobilisasi, tidur kurang
d. Psiko social
Gangguan emosi/apatis, delirium, perubahan tingkah laku atau kepribadian
e. Pengkajian social
Hubungan dengan orang terdekat, kemampuan komonikasi, afasia motoric atau
sesoric, bicara tanpa arti, disartria, anomia.
f. Nyeri/kenyamanan
Skala kepala dengan intensitas dan lokasi berbeda, respon menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah
g. Pengkajian fisik
 Fungsi kognitif
 Pengkajian tingkat keterjagaan
 Pengkajian mata
 Pengkajian respon batang otak
 Pengkajian fungsi motoric
 Pengkajian fungsi pernafasan
 Pengkajian system tubuh lain

1. Diagnosa Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
b. Resiko perpusi serebral tidak efektif berhubungan dengan perdarahan pada
otak
c. Resiko aspirasi berhubungan dengan trauma kepala
d. Gangguan sirkulasi spontan berhubungan dengan gangguan suplai darah
menurun
e. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan gangguan suplai darah
menurun
f. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi pada klien
g. Nyeri akut berhubungan dengan trauma pada kepala
h. Difisit perawatan diri berhubungan dengan trauma pada kepala
i. Gangguan intregitas kulit atau jaringan berhubungan dengan imobilisasi pada
klien
j. Resiko luka tekan berhubungan dengan imobilisasi pada klien

Perencanaan Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan k. Identifikasi factor
berhubungan dengan 1x24 jam ditemukan kriteria penyebab
kerusakan neuromuskuler hasil : l. Pantau kecepatan, irama,
1. Menunjukkan pola kedalaman dan usaha
pernapasan efektif, respirasi
dibuktikan dengan m. Baringkan pasien dalam
status pernapasan posisi yang nyaman,
yang tidak dalam posisi duduk,
berbahaya dengan kepala tempat
2. Irama, frekuensi dan tidur ditinggikan 60-90
kedalaman n. Observasi tanda tanda
pernafasan dalam vital
batas normal o. Auskultasi bunyi nafas,
perhatikan area penurunan
/ tidak adanya ventilasi
dan adanya bunyi nafas
tambahan
p. Kolaborasi dengan tim
medis lain untuk
pemberian oksigen dan
obat-obatan serta foto
thoraks
Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Pantau atau catat
dengan trauma pada kepala 1x24 jam ditemukan kriteria karakteristik nyeri, catat
hasil : laporan verbal petunjuk
1. Klien melaporkan nonverbal, dan respon
nyeri berkurang atau hemodinamik
hilang b. Ambil gambaran lengkap
2. Klien dapat terhadap nyeri dari pasien
melakukan termasuk lokasi, intensitas
manajemen nyeri (0-10), lamanya, kualitas
(dangkal/menyebar), dan
penyebarannya
c. Berikan lingkungan yang
tenang, aktivitas perlahan,
dan tindakan nayman
d. Bantu melakukan teknik
relaksasi
e. Kolaborasi pemberian
okaigen tambahan dengan
nasal canul atau masker
sesuai indikasi
f. Berikan obat sesuai
indikasi

Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik
yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 2018, dalam Potter & Perry,
2018).Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan,
pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau
tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian
Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui sejauh mana
tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan
hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana
keperawatan.
S : Subjective (subjektif), yakni segala bentuk pernyataan atau keluhan dari pasien.
O : Objective (objektif), yakni data yang diobservasi dari hasil pemeriksaan oleh perawat atau
tenaga kesehatan lain.
A : Analysis (analisis), yakni kesimpulan dari objektif dan subjektif.
P : Planning (perencanaan), yakni rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan analisis.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., et al. 2018. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition.
Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif. 2018. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius
FK UI.
Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2018. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2018. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-Blackwell.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2018. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai