Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera otak traumatik sering mengakibatkan kematian, kecacatan, dan


juga cacat mental terutama terjadi pada usia muda, yaitu para pengendara motor
yang tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman. Angka kejadian cedera otak
traumatik di Amerika tercatat lebih dari 1.500 kasus per tahun, sebanyak 10%
menyebabkan kematian sedangkan 20% menyebabkan kecacatan. Data di
Indonesia belum diketahui pasti, akan tetapi cedera otak traumatik merupakan
salah satu penyebab utama kematian karena kecelakaan [ CITATION Bat161 \l
1033 ].
Cedera otak traumatik akut menyebabkan pengaruh langsung (cedera
primer) dan tidak langsung (cedera sekunder) pada sistem saraf pusat. Efek
langsung adalah kontusio serebral, perdarahan intraserebral, dan cedera akson
yang dapat menimbulkan kematian jaringan atau sel neuron. Efek tidak langsung
adalah efek yang menimbulkan kematian sel melalui proses biokimia yang
dimulai dengan trauma atau iskemia. Cedera otak primer mengawali proses
inflamatori dan pembentukan edema yang meninggikan tekanan intrakranial
(TIK) yang lebih lanjut akan menurunkan tekanan perfusi otak (TPO). Kejadian
cedera otak sekunder merupakan kelanjutan efek fisiologis yang berkembang
setelah cedera otak primer yang akan memperberat prognosis pasien[ CITATION
Bat161 \l 1033 ].
Cedera otak traumatik sering kali disertai edema otak yang berkaitan
dengan kerusakan struktur atau gangguan keseimbangan air dan elektrolit yang
diinduksi oleh cedera primer maupun sekunder. Edema otak mengakibatkan
peningkatan TIK yang kemudian memperberat keadaan pasien[ CITATION
Bat161 \l 1033 ].
Pemberian cairan hiperosmoler bertujuan mengurangi tekanan intrakranial
dengan cara mengurangi edema otak. Cairan osmotik ini akan memengaruhi
osmolaritas tubuh. Cairan yang sering digunakan adalah manitol (1.100 mOsm),

1
hipertonik salin sediaan 3% hingga 29,2% (1.026 sampai 10.000 mOsm) dan yang
terbaru adalah natrium laktat (1.020 mOsm) [ CITATION Bat161 \l 1033 ].
Manitol saat ini merupakan diuretika osmotika yang banyak digunakan
sebagai obat pilihan untuk mengatasi tekanan tinggi intrakranial. Manitol
merupakan diuretika osmotika utama yang digunakan untuk mengurangi edema
serebri. Manitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara memindahkan
cairan dari intraselular ke ruang intravaskular. Pemindahan cairan tersebut karena
menaikkan gradient osmotik antara otak dan darah. Efek cepat manitol didapat
dari perubahan keenceran darah yang akan menaikkan aliran darah otak serta
oksigenasi otak yang menyebabkan vasokontriksi yang berujung pada penurunan
tekanan intrakranial [ CITATION Ari12 \l 1033 ].
Efek samping manitol dapat menyebabkan diuresis cairan dan elektrolit
sehingga terjadi hipotensi intravaskular yang dapat meningkatkan mortalitas
penderita cedera kepala.12 Pemberian manitol jangka panjang dapat menyebabkan
dehidrasi intravaskular, hipotensi, serta azotemia prerenal yang dapat berkembang
menjadi gagal ginjal [ CITATION Ari12 \l 1033 ].

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Bedah khususnya
penggunaan maitol pada kasus tekanan tinggi intrakranial.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada


kelompok usia muda. Angka terbesar kejadian cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala atau cedera otak merupakan trauma yang
paling serius dan mengancam jiwa. Oleh karena itu, diperlukan terapi yang cepat
dan tepat untuk mendapatkan outcome yang baik. Kerusakan otak pascatrauma
ditentukan oleh kombinasi cedera primer dan cedera sekunder[ CITATION
Bis13 \l 1033 ].
Cedera primer adalah cedera yang terjadi ketika terjadinya trauma. Cedera
primer merupakan kerusakan yang diakibatkan oleh trauma mekanik langsung dan
aselerasi-deselerasi pada tulang kepala yang dapat menimbulkan fraktur tulang
kepala, robekan difus, robeknya pembuluh darah atau kerusakan neuron, akson,
dendrit dan lesi intrakranial pada jaringan otak. Cedera primer akibat kekuatan
mekanik pada tulang kepala dan otak pada saat trauma, menyebabkan terjadinya
cedera otak fokal atau difus. Cedera otak difus dibagi atas dua kategori yaitu brain
concussion dan diffuse axonal injury (DAI). Brain concussion adalah hilangnya
kesadaran yang berakhir < 6 jam, sedangkan DAI adalah koma traumatika yang
berakhir > 6 jam. Cedera otak fokal ada beberapa tipe yaitu brain contusion,
Epidural hematoma, Subdural hematoma, intraserebral hematoma. Cedera primer
sudah terjadi ketika pasien dilihat oleh tenaga medis/paramedis, karena itu cedera
primer tidak dapat dikurangi[ CITATION Bis13 \l 1033 ].
Sebaliknya dari cedera otak primer, cedera otak sekunder berkembang
sepanjang waktu dalam menit, jam, atau hari dari cedera primer yang mungkin
terjadi pada periode perioperatif, sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan
saraf. Penyebab cedera sekunder dapat sistemik atau intrakranial. Pencetus umum
dari cedera sekunder adalah hipoksia serebral dan iskemia. Penyebab sistemik
adalah hipoksemia, hiperkapnia, arterial hipotensi, anemia, hipoglikemia,
hiponatremia, dan imbalans osmotik, hipertemia, sepsis, koagulopati, hipertensi.
Cedera sekunder khas dengan adanya kaskade kompleks dari perubahan

3
molekuler dan biokimia yang membawa ke arah neuroinflamasi, edema otak, dan
kematian sel otak yang lambat. Hipoksia dan hipotensi merangsang dan
mengekalkan iskemia serebral serta cedera reperfusi, merupakan prediktor
independen terjadinya efek buruk setelah cedera kepala. Cedera sekunder
disebabkan oleh hal-hal berikut [ CITATION Bis13 \l 1033 ]:
1. Disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia)
2. Ketidakstabilan kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung yang rendah)
3. Peningkatan tekanan intrakranial
4. Kekacauan biokimia.

2.2 Patofiologi Tekanan Tinggi Intrakranial


Kompartemen intrakranial setelah cedera terdiri dari otak, cairan
serebrospinal, darah dan dalam kasus tertentu, lesi massa patologik. Volume
dalam tulang tengkorak yang kaku ini menghasilkan suatu tekanan, yaitu tekanan
intrakranial. Pentingnya pengukuran TIK pada pasien cedera kepala berat sangat
ditekankan. Pertama, merupakan alat pantau untuk identifikasi dini penambahan
lesi massa pada pasien yang paralisis dan disedasi, dimana pemeriksaan
neurologik dibatasi pada ukuran dan respons pupil. Kedua, dapat mengukur
tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) dari rumus CPP=MAP–
TIK. Walaupun banyak protokol klinis ditujukan pada target CPP, tapi ada bukti
yang menunjukkan bahwa TIK merupakan faktor independen untuk outcome.
Sejumlah penelitian retrospektif telah mengidentifkasi TIK 20–25 mmHg sebagai
suatu faktor pemisahan antara pasien dengan kemungkinan outcome baik atau
buruk. Nilai ini secara empirik sebagai satu ambang patologik dan usaha tindakan
harus dilakukan untuk menurunkan TIK dibawah limit ini [ CITATION Bis13 \l
1033 ].
Iskemia serebral adalah faktor cedera sekunder yang paling penting yang
mempengaruhi outcome setelah cedera kepala dan untuk mencegah hal tersebut,
pemeliharaan CPP menjadi pengelolaan sentral pasien cedera kepala. Bukti
pertama bahwa mempertahankan CPP diatas target adalah menguntungkan berasal
dari penelitian Rosner dkk, yang menunjukkan perbaikan bila CPP dipertahankan
>70 mmHg. Walaupun penelitian ini bukan randomized clinical trial (RCT), tapi

4
menimbulkan perubahan paradigma dalam pengelolaan cedera kepala dan 70
mmHg telah diadopsi sebagai target CPP pada Brain Trauma Foundation (BTF)
guidelines yang pertama yang dipublikasikan tahun 1996.Walaupun peningkatan
CPP merupakan jalan yang berguna untuk meningkatkan pasokan oksigen ke
otak, tetapi tetap sesuatu yang harus diperhitungkan [ CITATION Bis13 \l 1033 ].
Hilangnya autoregulasi vaskuler pada otak yang cedera adalah keadaan
yang umum terjadi pada cedera kepala dan menyebabkan disosiasi antara aliran
darah otak (cerebral blood flow/CBF) dan keperluan metabolik. Dalam keadaan
ini, peningkatan CPP dapat menimbulkan penambahan diameter pembuluh darah,
meningkatkan volume darah otak (cerebral blood volume/CBV) dan TIK.
Peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler serebral dapat menimbulkan edema
vasogenik, yang juga akan meningkatkan TIK. Suatu pendekatan alternatif adalah
Protokol Lund, yang menyarankan mengurangi target CPP ke level 50 mmHg
untuk menghindari iskemia tapi juga tidak menimbulkan cedera lebih lanjut.
Lebih jauh lagi, menaikkan MAP dengan cairan dan inotrop untuk
mempertahankan CPP dihubungkan dengan komplikasi kardiorespirasi. Target
CPP 70 mmHg dibandingkan dengan 50 mmHg menunjukkan meningkatnya
asupan cairan, inotropik, dan penggunaan monitoring invasif dan 5 kali terjadinya
komplikasi ARDS. Jelas ada keseimbangan antara perbaikan pasokan oksigen ke
otak dan menghindari komplikasi dari kenaikan MAP. Situasi menjadi sulit
dengan adanya kenyataan bahwa setelah cedera kepala ada heterogenitas
metabolik dalam otak yang telah cedera, dimana beberapa daerah mungkin
iskemia pada nilai CPP dimana secara umum mencukupi. Baru-baru ini, pada
BTF guideline 2007 target CPP adalah 60 mmHg, jangan kurang dari 50 mmHg
karena ada resiko iskemia otak, tapi jangan lebih dari 70 mmHg karena ada resiko
terjadinya ARDS [ CITATION Bis13 \l 1033 ].
Tekanan intrakranial dan CPP harus dikendalikan melalui sejumlah cara,
termasuk mengurangi keperluan metabolik dengan menggunakan sedasi,
hiperventilasi, terapi hiperosmoler, hipotermia, dan pembedahan [ CITATION
Bis13 \l 1033 ].

2.3 Farmakologi Manitol

5
Manitol, secara kimia 1,2,3,4,5,6-hexanehexol (C6H8(OH)6), adalah
poliol (gula alkohol) yang banyak digunakan dalam industri makanan dan farmasi
karena sifat fungsionalnya yang unik. Manitol adalah zat alami yang ditemukan
dalam ganggang laut, jamur segar, dan eksudat dari pohon. Manitol adalah isomer
sorbitol, yang biasanya disintesis oleh hidrogenasi sirup glukosa khusus. Manitol
tersedia secara komersial dalam berbagai bubuk kristal putih dan bentuk granular,
yang semuanya larut dalam air. Selain penggunaannya dalam industri makanan
dan farmasi, manitol juga banyak digunakan dalam praktik medis untuk berbagai
indikasi, terutama karena sifat osmotiknya. Untuk penggunaan klinis, diberikan
sebagai larutan steril 10% dan 20% dalam kantong 500 ml air yang mengandung
50 dan 100 gram manitol. Larutan Manitol bersifat asam (pH 6,3) tetapi sediaan
tertentu terdapat natrium bikarbonat yang ditambahkan untuk penyesuaian pH.
Manitol dapat mengkristal jika disimpan pada suhu kamar tetapi dapat dibuat larut
lagi dengan memanaskan larutan. Karena berat molekulnya yang rendah (182),
manitol secara bebas disaring melalui tubulus ginjal. Namun, karena tidak diserap
kembali, ia terus aktif secara osmosis dalam tubulus dan ini menjelaskan
mekanismenya sebagai diuretik osmotik. Manitol juga menyebabkan pelepasan
prostaglandin ginjal yang menyebabkan vasodilatasi ginjal dan peningkatan aliran
urin tubular yang diyakini dapat melindungi terhadap cedera ginjal dengan
mengurangi obstruksi tubular. Manitol juga bertindak sebagai pengikat radikal
bebas dan mengurangi efek berbahaya dari radikal bebas selama ischaemia –
reperfusion injury. Manitol memiliki banyak efek samping termasuk ekspansi
volume awal (meningkatkan risiko gagal jantung), diikuti hipovolemia dan
hipotensi, asidosis metabolik, dan ketidakseimbangan elektrolit, termasuk
hipernatremia dan hipokalemia. Dalam dosis besar, manitol juga dapat
menyebabkan gagal ginjal karena vasokonstriksi intra-ginjal dan penurunan
volume intravaskular. Pemberian berulang dapat menyebabkan osmolaritas serum
yang tidak dapat diterima (>320 mOsm/liter) dan komplikasi neurologis lainnya
[ CITATION Sha12 \l 1033 ].

2.4 Mekanisme Kerja Manitol

6
Manitol adalah cairan hipertonik dengan osmolaritas 1098 mOsm/L.
Diuretik merupakan cara kedua terapi kenaikan tekanan intrakranial dengan
memberikan manitol dan atau furosemid. Efek utama manitol mungkin dengan
membuat suatu perbedaan tekanan osmotik sehingga air keluar dari intraseluler
dan interstitiil dan masuk ke intravaskuler. Manitol lebih lambat menurunkan
tekanan intrakranial jika dibandingkan dengan hiperventilasi. Manitol dapat
menurunkan tekanan intrakranial sebanyak 26% atau lebih dalam waktu 5 menit
dan permulaan penurunan tekanan intrakranial tidak bergantung pada adanya
diuresis. Selama infus manitol terjadi penurunan serum natrium, kalium, klorida,
bikarbonat, haemoglobin, hematokrit dan terjadi peningkatan osmolaritas serum.
Perubahan-perubahan ini terjadi lebih banyak sesuai dengan besarnya dosis
manitol. Pada pemakaian singkat misalnya di kamar operasi, perubahan perubahan
ini sudah kembali normal begitu pasien tiba di ruang pemulihan. Pada penggunaan
yang lama, semua jenis osmotik diuretik dapat menyebabkan ketidakseimbangan
elektrolit [ CITATION Bis13 \l 1033 ].
Manitol bekerja dalam mengendalikan hipertensi intrakranial yaitu dengan
cara meningkatkan CPP sebesar 18% dan penurunkan hipertensi intrakranial
sebesar 22% tanpa ada gangguan hemodinamik. Manitol menimbulkan perubahan
reologi darah dan peningkatan curah jantung, yang berguna untuk memperbaiki
oksigenasi otak dan menimbulkan vasokontriksi arteri serebral dan sebagai
konsekuensinya akan menyebabkan penurunan volume darah otak dan tekanan
intrakranial. Selain itu, manitol juga dapat menimbulkan dehidrasi sedang setelah
terapi hiperosmoler dengan tujuan memperbaiki edema otak, pada dehidrasi yang
berat dapat menimbulkan keadaan hiperosmolar dan gangguan pada ginjal.
Manitol mampu menurunkan produksi cairan serebrospinal hingga 50% melalui
Monro-Kellie serta dapat menurunkan tekanan intrakranial dalam jangka waktu
yang lama[ CITATION Bis13 \l 1033 ].
Khasiat manitol yang lain yaitu mengurangi viskositas darah, yang akan
menimbulkan refleks vasokonstriksi dan menurunkan tekanan intrakranial.
Autoregulasi viskositas ini bergantung pada autoregulasi. Juga, dengan
mengurangi viskositas darah, darah menjadi lebih encer dan pengeluaran CO2 dari
jaringan otak akan lebih baik. Demikian pula, osmotik diuretik akan mengurangi

7
volume cairan serebrospinal. Manitol juga bekerja sebagai pembersih radikal
bebas[ CITATION Bis13 \l 1033 ].

2.5 Indikasi Manitol


Selain penggunaannya dalam industri makanan dan farmasi, manitol juga
banyak digunakan dalam praktek medis untuk berbagai indikasi [ CITATION
Sha12 \l 1033 ].
1. Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
2. Menjaga fungsi ginjal pada rhabdomyolysis akibat trauma dan compartment
syndrome
3. Diuresis dan mengurangi resiko gagal ginjal akut setelah transplantasi ginjal
4. Meningkatkan ekskresi zat toksik pada urin
5. Menjaga fungsi ginjal perioperasi pada pasien rencana operasi jantung dan
pasien jaundice
6. Persiapan kolon sebelum operasi kolorektal, kolonoskopi,dan enema barium

2.6 Penggunaan Manitol


Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit, setiap 4 –
8 jam. Sebelum memberikan manitol harus dilakukan pemeriksaan darah rutin,
fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit darah. Persyaratan penggunaan manitol
[ CITATION Wah14 \l 1033 ]:
1. Euvolemia harus dipertahankan dengan terapi cairan
2. Pemasangan kateter urethra diwajibkan untuk mencegah ruptur buli
3. Osmolalitas serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L

2.7 Masalah Penggunaan Manitol


Masalah penggunaan manitol adalah [ CITATION Bis13 \l 1033 ]:
1. Efeknya berkurang pada pengulangan dosis: Manitol menembus sawar darah
otak yang intact secara lambat, dan pada sawar darah otak yang rusak akan
lebih mudah menembus. Oleh karena itu, perbedaan osmotik akan berkurang.
Selanjutnya, osmolaritas intraseluler akan meningkat sebagai jawaban

8
terhadap meningkatnya osmolaritas ekstraseluler dan plasma. Dengan
demikian, dibutuhkan kenaikan plasma osmolaritas untuk mempertahankan
perbedaan tersebut.
2. Terjadi asidosis sistemik dan gagal ginjal disebabkan peningkatan osmolaritas
plasma. Osmolaritas plasma harus diperiksa secara reguler dan osmolaritas
serum dipertahankan di bawah 320 mOsm/L untuk menghindari komplikasi
ini. Umumnya, komplikasi gagal ginjal terjadi bila osmolaritas 350–360
mOsm/L.
3. Rebound tekanan intrakranial bila manitol dihentikan
Fenomena ini sering didiskusikan, tetapi jarang menimbulkan masalah
klinik. Secara teori, bila pengobatan mannitol dihentikan, pengurangan tibatiba
osmolaritas plasma dan adanya peningkatan osmolaritas pada cairan di dalam
jaringan otak akan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial. Untuk
menghindari hal ini, mannitol diberikan dalam dosis 0,25 gr/kg secara perlahan-
lahan[ CITATION Bis13 \l 1033 ].

9
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Cedera kepala masih merupakan permasalahan kesehatan global sebagai
penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Cedera kepala menjadi
penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda. Penderita cedera kepala
sering kali mengalami edema serebri atau perdarahan intrakranial yang akan
meningkatkan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP). Saat ini fokus
perawatan penderita cedera kepala pada usaha mengatasi tekanan tinggi
intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial telah dikenal sebagai faktor yang
sangat menentukan mortalitas dan morbiditas penderita cedera kepala. Tekanan
intrakranial yang terkontrol mencegah perburukan cedera kepala sekunder
sehingga penderita cedera kepala memiliki prognosis yang lebih baik. Terjadinya
cedera kepala dapat menyebabkan gangguan autoregulasi tekanan perfusi otak dan
menyebabkan otak tidak terlindungi dari perubahan hemodinamika tubuh.
Terganggunya autoregulasi berpotensi meninggikan tekanan intrakranial.

Tekanan intrakranial dan CPP harus dikendalikan melalui sejumlah cara,


termasuk mengurangi keperluan metabolik dengan menggunakan sedasi,
hiperventilasi, terapi hiperosmoler, hipotermia, dan pembedahan. Cairan
hiperosmoler seperti manitol dan salin hipertonik meningkatkan osmolaritas
serum tapi dikeluarkan dari otak karena adanya sawar darah otak, menimbulkan
perbedaan osmotik, dan air didorong keluar dan mengurangi volume otak

Manitol diberikan dalam konsentrasi 20%, secara bolus intravena dengan


dosis 0,25–1 gr/kg BB. Bekerja dalam waktu 10–15 menit dan efektif kira-kira
selama 2 jam. Efek samping manitol dapat menyebabkan diuresis cairan dan
elektrolit sehingga terjadi hipotensi intravaskular yang dapat meningkatkan
mortalitas penderita cedera kepala. Pemberian manitol jangka panjang dapat
menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, serta azotemia prerenal yang
dapat berkembang menjadi gagal ginjal.

10
3.2. Saran
Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk
menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum < 320
mmol/l. Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang
isotonis dan harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS < 90 mmHg). Fenomena
rebound dapat dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol
dilakukan secara bertahap.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. Z., & Risdianto, A. (2012). Perbandingan Efektivitas Natrium Laktat


dengan Manitol untuk Menurunkan Tekanan Intrakranial. Majalah
Kedokteran Bandung, 44(1), 26-31.

Batubara, B. H., Umar, N., & Mursin, C. M. (2016). Perbandingan Osmolaritas


Plasma Setelah Pemberian Manitol 20% 3 mL/kgBB dengan Natrium
Laktat Hipertonik 3 mL/kgBB pada Pasien Cedera Otak Traumatik
Ringan-Sedang. Jurnal Anestesi Perioperatif, 4(3), 154-161.

Bisri, D. Y. (2013). Mannitol untuk Hipertensi Intrakranial pada Cedera Otak


Traumatik: apakah masih diperlukan? Jurnal Neuroanestesia Indonesia,
2(3), 177-187.

Shawkat, H., Westwood, M.-M., & Mortimer, A. (2012). Mannitol: A Review of


Its Clinical Uses. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care &
Pain, 12(2), 82-85.

Wahyuhadi, J., Suryaningtyas, W., Susilo, R. I., Faris, M., & Apriawan, T. (2014).
Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya: Universitas Airlangga.

12

Anda mungkin juga menyukai