PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi syarat dalam Kepaniteraan Klinik di bagian THT-KL
2. Untuk menambah wawasan ilmiah dan pengetahuan dokter muda tentang terapi
antihistamin pada rhinitis alergi
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
sinus paranasal adalah frontal, sphenoid, ethmoid, dan maxillae. Selain
memproduksi mukus, sinus paranasal berfungsi sebagai ruang beresonansi untuk
suara saat kita berbicara atau bernyanyi. Dinding lateral hidung bagian dalam
dibentuk oleh tulang ethmoid, maxillae, lacrimal, palatine, dan inferior nasal
conchae; tulang ethmoid juga membentuk atap. Tulang palatin dan prosessus
palatina dari rahang atas, yang bersama-sama membentuk palatum durum,
membentuk dasar hidung bagian dalam[ CITATION Tor13 \l 1033 ].
Kerangka tulang dan tulang rawan hidung membantu menjaga ruang
depan dan rongga hidung tetap terbuka atau tidak terhalang. Rongga hidung
dibagi menjadi wilayah pernapasan yang lebih besar dan lebih rendah serta daerah
penciuman yang lebih kecil dan superior. Daerah pernapasan dilapisi dengan
epitel kolumnar bersilia pseudostratified dengan banyak sel goblet, yang sering
disebut epitel pernapasan. Bagian anterior rongga hidung tepat di dalam lubang
hidung, disebut ruang depan hidung, dikelilingi oleh tulang rawan; bagian
superior dari rongga hidung dikelilingi oleh tulang. Sebuah partisi vertikal,
septum hidung, membagi rongga hidung ke sisi kanan dan kiri. Bagian anterior
septum hidung terutama terdiri dari kartilago hialin; sisanya dibentuk oleh vomer,
plat tegak lurus dari tulang ethmoid, maxillae, dan palatine[ CITATION Tor13 \l
1033 ].
4
Ketika udara masuk ke lubang hidung, pertama melalui vestibulum, yang
dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut kasar yang menyaring partikel debu
besar. Tiga tonjolan yang dibentuk oleh proyeksi dari superior, medial, dan
inferior nasal conchae meluas keluar dari setiap dinding lateral dari rongga
hidung. Conchae, hampir mencapai septum nasal, membagi lagi setiap sisi rongga
hidung ke dalam serangkaian lorong-lorong (meatus superior, menengah, dan
inferior). Membran mukosa melapisi rongga hidung dan conchae[ CITATION
Tor13 \l 1033 ].
5
berdekatan. Sel-sel ini membentuk epitel penciuman. Ini mengandung silia tetapi
tidak ada sel goblet[ CITATION Tor13 \l 1033 ].
2.3 Etiologi
Rhinitis alergi muncul setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas[ CITATION Ira08 \l 1033 ]:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. ferinae, D. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel dari bulu binatang (kucing, anjing), rerumputan serta jamur
(Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
2.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi
sekitar 10 hingga 25% populasi. Pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih
6
tinggi seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di
Amerika berkisar 33,6%. Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti,
namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki
frekuensi berkisar 10-26%. Rhinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal
tetapi gejalanya dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan
kualitas hidup penderita. Penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu
efektif kerja, dan prestasi sekolah.Dampak secara ekonomi di Amerika mencapai
3 juta dolar dan tambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis
dan asma[ CITATION Wid09 \l 1033 ].
7
banyak akan beredar bebas di sirkulasi darah kemudian IgE akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mast atau basofil (sel
mediator) termasuk di mukosa hidung, sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Artinya, individu tersebut sudah menjadi hipersensitif terhadap alergen
tertentu[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
dua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
8
Gambar 2.4 Pajanan Ulang
10
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag
masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi [ CITATION Ira08 \l 1033 ]
11
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali tidak bisa dihadapi
pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas merupakan tersingkapnya serangan bersin berulang. Lain
yang berasal dari berbagai jenis (rinore) yang disebut dan banyak, yang disebut
hidung dan mata, yang kadang-kadang sampah dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang jawaban bergerak adalah salah satu gejala utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda-tanda obyektif yaitu allergic shiners adalah warna kehitaman
pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan. Perubahan ini mungkin
adanya statis dari vena yang disebabkan edema dari mukosa hidung dan sinus.
Sekret hidung serus atau mukoserus, konka pucat atau keunguan (livide) dan
edema, faring berlendir. Tanda lain yang sering timbul adalah munculnya garis
tranversal pada punggung hidung (allergic crease) dan karena gatal penderita
rinitis alergi sering menggosok-gosokkan hidung, dikenal istilah allergic salute
biasanya timbul setelah gejala diderita lebih dari 2 tahun [ CITATION Wid09 \l
1033 ].
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
12
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
2.8 Tatalaksana
1. Penghindaran
European Academy of Allergy dan Clinical Immunology (EAACI)
menyatakan bahwa pengobatan rhinitis alergi yang paling aman dan paling efektif
adalah penghindaran yang ketat dari alergen penyebab. Menghindari alergen
dalam ruangan termasuk tungau debu rumah kadang-kadang sulit[ CITATION
Min10 \l 1033 ].
2. Medikamentosa
Prinsip pengobatan farmakologi adalah pendekatan bertahap sesuai dengan
tingkat keparahan dan durasi. Pedoman ARIA 2008 berbeda dari pedoman ARIA
2001 sebagai berikut: (1) antagonis reseptor leukotrien dapat digunakan di semua
rhinitis alergi, (2) antihistamin generasi kedua lebih disukai daripada antihistamin
generasi pertama dan (3) steroid topikal dianggap sebagai yang paling obat yang
efektif untuk pasien rhinitis alergi dewasa dan anak-anak [ CITATION Min10 \l
1033 ].
a. Antihistamin oral
Antihistamin generasi pertama, yang telah digunakan sejak awal 1940-an,
memiliki beberapa efek samping seperti sedasi, gangguan memori dan disfungsi
psikomotor, yang menyebabkan banyak masalah dalam praktik klinis. Sebaliknya,
antihistamin generasi kedua menembus sawar darah otak jauh lebih sedikit
13
daripada antihistamin generasi pertama, dan dengan demikian mereka memiliki
sedikit efek samping pada sistem saraf pusat [ CITATION Min10 \l 1033 ].
b. Antihistamin intranasal
Antihistamin topikal telah dilaporkan untuk mengurangi gatal, bersin dan
rhiorrhea. Namun, mereka kurang efektif daripada kortikosteroid intranasal.
Mereka memiliki beberapa efek samping seperti sedasi ringan[ CITATION Min10
\l 1033 ].
c. Kortikostreoid intranasal
Karena kortikosteroid intranasal tidak diserap secara sistemik, mereka
menginduksi beberapa efek samping sistemik. Partikel steroid menembus
membran sel dan berikatan dengan reseptor steroid sitoplasma. Kompleks steroid-
reseptor ditransfer ke nukleus dan berikatan dengan situs DNA spesifik. Efek anti-
inflamasi diinduksi oleh perubahan dalam sintesis protein setelah pengikatan
kompleks reseptor-steroid ke DNA atau dengan mempengaruhi faktor transkripsi
lainnya. Kortikosteroid intranasal menghambat reaksi awal dan akhir serta
mengurangi produksi IgE dan eosinofilia dengan menghambat sekresi sitokin
termasuk IL-4, 1L-5 dan IL-13. Ketika kortikosteroid intranasal diberikan,
eosinofil dan basofil berkurang dalam 1 minggu. Kortikosteroid intranasal efektif
dalam semua gejala rhinitis alergi, terutama sumbatan hidung dan gejala mata.
Efek terapeutik kortikosteroid intranasal ditemukan 7 jam setelah pemberian dan
mencapai tingkat maksimal setelah 2 minggu[ CITATION Min10 \l 1033 ].
d. Anti-IgE Antibody
Antibodi monoklonal anti-IgE rekombinan, mengganggu interaksi antara
sel mast / eosinofil dan IgE dengan mengikat IgE bebas dan dengan demikian
menurunkan IgE bebas serum. Ini juga menekan reaksi inflamasi dalam darah atau
mukosa hidung dan ekspresi FceRI yang terletak di permukaan sel mast atau
eosinophil[ CITATION Min10 \l 1033 ].
3. Imunoterapi
Imunoterapi adalah satu-satunya pilihan terapeutik yang mengubah
mekanisme alergi dasar dengan menginduksi desensitisasi dan menghasilkan
keadaan anergi untuk alergen yang menyinggung. Immunotherapy awalnya
diperkenalkan untuk rhinitis alergi musiman karena serbuk sari. Saat ini, indikasi
14
yang telah diperpanjang untuk penyakit alergi lainnya karena hymenoptera,
tungau debu rumah, bulu binatang atau jamur. Ekstrak alergen yang menyinggung
disuntikkan secara subkutan dengan dosis yang meningkat sampai dosis
pemeliharaan tercapai. Dosis pemeliharaan diberikan selama ≥3 tahun. Meskipun
imunoterapi subkutan adalah pilihan pengobatan yang mapan, risiko anafilaksis
telah menyebabkan pengembangan rute alternatif lainnya seperti rute oral,
sublingual atau nasal [ CITATION Min10 \l 1033 ].
15
16
Gambar 2.7Algoritma tatalaksana rhinitis alergi ARIA 2008
Histamin
17
Hampir semua jaringan memiliki histamine dalam keadaan terikat dan
inaktif, terutama terdapat dalam ‘mast cells” (Inggris. mast = menimbun) yang
penuh dengan histamine dan zat-zat mediator lain. Mast-cells banyak ditemukan
di bagian tubuh yang bersentuhan dengan dunia luar, yaitu di kulit, mukosa mata,
hidung, saluran nafas (bronkhia, paru-paru), usus. Dalam keadaan bebas aktif juga
terdapat dalam darah dan otak. Di luar tubuh manusia histamine terdapat dalam
bakteri, tanaman (bayam, tomat), dan makanan (keju tua) [ CITATION Ind16 \l
1033 ].
Antihistamin
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamine terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamine
(penghambatan saingan). Terdapat 2 reseptor histamine, yaitu reseptor-H1 dan
18
reseptor-H2. Perangsangan pada reseptor histamine akan berefek[ CITATION
Ind16 \l 1033 ]:
Reseptor H1:
a. kontraksi otot polos bronchi, usus dan rahim.
19
Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai
efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat
dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang
tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga
mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, harus berhati-hati waktu mengendarai
kendaraan, mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin
berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini
memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat
menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang
menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa
mengantuk. Selain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat
antidepresan misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus
berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping
antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut,
retensi urin, konstipasi dan impotensia[ CITATION Gun00 \l 1033 ].
20
antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang
digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol,
loratadin dan cetirizin[ CITATION Gun00 \l 1033 ].
21
BAB III
PENUTUP
Rinitis alergi sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi
peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah
terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Rinitis
alergi seperti penyakit alergi yang lain terjadi akibat dominasi Th-2 dibandingkan
Th-1 sehingga produksi IgE meningkat. IgE berperan penting dalam proses
inflamasi yang diinduksi alergen.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Pols DHJ, Wartna JB, Moed H, van Alphen EI, Bohnen AM, Bindels PJE.
Atopic Dermatitis, Asthma And Allergic Rhinitis In General Practice
And The Open Population: A Systematic Review. Scandinavian Journal
Of Primary Health Care. 2016; 34(2): p. 143–150.
2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008. Allergy.
2008;: p. 8-160.
3. Widuri A. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara Medika. 2009;
9(1): p. 63-68.
4. Gunawijaya FA. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga. 2000;: p.
23-129.
5. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.; 2013.
6. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.
7. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis.
Allergy Asthma Immunol Research. 2010; 2(2): p. 65-76.
8. Indijah SW, Fajri P. Farmakologi Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan; 2016.
x
23