Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom atopik merupakan predisposisi terhadap reaksi hipersensitivitas
yang diperantarai oleh IgE dalam reaksi terhadap alergen. Seorang pasien dengan
atopi biasanya hadir dengan satu atau lebih dari gangguan berikut: dermatitis
atopic, asma atau rinitis alergi. Rhinitis didefinisikan sebagai radang mukosa
hidung dan ditandai dengan gejala hidung termasuk rhinorrhoea anterior atau
posterior, bersin, sumbatan hidung dan/atau gatal pada hidung. Gejala-gejala ini
terjadi selama dua hari atau lebih berturut-turut selama lebih dari 1 jam pada
sebagian besar hari. Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gejala
gangguan pada hidung yang diinduksi setelah paparan alergen oleh peradangan
yang dimediasi oleh IgE. Prevalensi rhinitis alergi meningkat di seluruh dunia. Di
Amerika Serikat, rhinitis alergi diperkirakan mempengaruhi sekitar 60 juta orang,
dan prevalensinya sekitar 10-30% pada orang dewasa dan hampir 40% pada anak-
anak. Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun data dari
berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki frekuensi
berkisar 10-26%. Meskipun bermacam-macam obat dapat digunakan untuk
mengobati rinitis alergi, antihistamin yang merupakan pilihan obat
pertama[ CITATION Pol16 \l 1033 ][ CITATION Bou08 \l 1033 ][ CITATION
Wid09 \l 1033 ].
Antihistamin yang pertama kali digunakan pada awal tahun 1940, secara
klinik berguna sebagai anti-alergi. Antihistamin generasi pertama merupakan obat
yang paling banyak digunakan di dunia dan bermanfaat untuk meringankan
gejala-gejala alergi dan influensa pada banyak penderita, dapat diperoleh di toko
obat dalam bentuk kombinasi. Kegunaannya terbatas sebab menimbulkan rasa
kantuk karena antihistamin berikatan dengan reseptor histamin di otak. Tiga puluh
tahun kemudian efek kerja histamin dibagi dalam 2 kelompok yaitu reseptor AH1
dan reseptor AH2. Sejak tahun 1981 ditemukan antihistamin generasi ke-2
(terfenadin, astemizol, loratadin dan cetirizin), bekerja menghambat reseptor H1
di perifer tanpa menembus sawar darah otak [ CITATION Gun00 \l 1033 ].

1
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi syarat dalam Kepaniteraan Klinik di bagian THT-KL
2. Untuk menambah wawasan ilmiah dan pengetahuan dokter muda tentang terapi
antihistamin pada rhinitis alergi

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung


Hidung adalah organ khusus di pintu masuk sistem pernapasan yang
dibagi menjadi bagian eksternal dan bagian dalam yang disebut rongga hidung.
Hidung eksternal adalah bagian hidung yang terlihat di wajah dan terdiri dari
kerangka tulang tulang penyangga dan tulang rawan hialin yang ditutupi oleh otot
dan kulit dan dilapisi oleh selaput lendir. Tulang frontal, tulang hidung, dan
maxillae membentuk kerangka tulang hidung eksternal. Kerangka tulang rawan
dari hidung eksternal terdiri dari tulang rawan hidung septum, yang membentuk
bagian anterior septum hidung; kartilago hidung lateral lebih rendah dari tulang
hidung; dan kartilago alar, yang membentuk sebagian dari dinding lubang hidung.
Karena terdiri dari tulang rawan hialin yang lentur, kerangka tulang rawan pada
hidung luar agak fleksibel. Pada permukaan bawah hidung eksternal adalah dua
bukaan yang disebut nares eksternal atau lubang hidung[ CITATION Tor13 \l
1033 ].
Struktur interior hidung eksternal memiliki tiga fungsi: (1) pemanasan,
pembasahan, dan penyaringan udara yang masuk; (2) mendeteksi rangsangan
olfaktori; dan (3) memodifikasi getaran bicara saat mereka melewati ruang
resonansi berongga besar. Resonansi mengacu pada memperpanjang,
memperkuat, atau memodifikasi suara dengan getaran[ CITATION Tor13 \l
1033 ].
Rongga hidung adalah ruang besar di sisi anterior tengkorak yang terletak
inferior dengan tulang hidung dan superior ke rongga mulut, rongga hidung
dilapisi dengan otot dan membran mukosa. Pada bagian anterior, rongga hidung
menyatu dengan hidung eksternal, dan pada posterior berhubungan dengan faring
melalui dua bukaan yang disebut nares internal atau choanae. Saluran dari sinus
paranasal (yang mengeluarkan lendir) dan duktus nasolakrimal (yang
mengeluarkan air mata) juga menuju ke rongga hidung. Sinus paranasal adalah
rongga di tulang tengkorak dan wajah tertentu dilapisi dengan membran mukosa
yang sama dengan lapisan rongga hidung. Tulang tengkorak yang mengandung

3
sinus paranasal adalah frontal, sphenoid, ethmoid, dan maxillae. Selain
memproduksi mukus, sinus paranasal berfungsi sebagai ruang beresonansi untuk
suara saat kita berbicara atau bernyanyi. Dinding lateral hidung bagian dalam
dibentuk oleh tulang ethmoid, maxillae, lacrimal, palatine, dan inferior nasal
conchae; tulang ethmoid juga membentuk atap. Tulang palatin dan prosessus
palatina dari rahang atas, yang bersama-sama membentuk palatum durum,
membentuk dasar hidung bagian dalam[ CITATION Tor13 \l 1033 ].
Kerangka tulang dan tulang rawan hidung membantu menjaga ruang
depan dan rongga hidung tetap terbuka atau tidak terhalang. Rongga hidung
dibagi menjadi wilayah pernapasan yang lebih besar dan lebih rendah serta daerah
penciuman yang lebih kecil dan superior. Daerah pernapasan dilapisi dengan
epitel kolumnar bersilia pseudostratified dengan banyak sel goblet, yang sering
disebut epitel pernapasan. Bagian anterior rongga hidung tepat di dalam lubang
hidung, disebut ruang depan hidung, dikelilingi oleh tulang rawan; bagian
superior dari rongga hidung dikelilingi oleh tulang. Sebuah partisi vertikal,
septum hidung, membagi rongga hidung ke sisi kanan dan kiri. Bagian anterior
septum hidung terutama terdiri dari kartilago hialin; sisanya dibentuk oleh vomer,
plat tegak lurus dari tulang ethmoid, maxillae, dan palatine[ CITATION Tor13 \l
1033 ].

Gambar 2.1 Tulang dan Tulang Rawan Hidung

4
Ketika udara masuk ke lubang hidung, pertama melalui vestibulum, yang
dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut kasar yang menyaring partikel debu
besar. Tiga tonjolan yang dibentuk oleh proyeksi dari superior, medial, dan
inferior nasal conchae meluas keluar dari setiap dinding lateral dari rongga
hidung. Conchae, hampir mencapai septum nasal, membagi lagi setiap sisi rongga
hidung ke dalam serangkaian lorong-lorong (meatus superior, menengah, dan
inferior). Membran mukosa melapisi rongga hidung dan conchae[ CITATION
Tor13 \l 1033 ].

Gambar 2.2 Potongan Coronal Hidung

Saat udara yang dihirup berputar di sekitar conchae dan meatuses, ia


dihangatkan oleh darah di kapiler. Lendir yang disekresikan oleh sel goblet
melembapkan udara dan menjebak partikel debu. Drainase dari duktus
nasolakrimalis juga membantu melembabkan udara, dan kadang dibantu oleh
sekresi dari sinus paranasal. Silia memindahkan lendir dan partikel debu yang
terperangkap ke arah faring, pada titik mana mereka dapat tertelan atau
diludahkan, sehingga mengeluarkan partikel dari saluran pernapasan[ CITATION
Tor13 \l 1033 ].
Reseptor penciuman, sel pendukung, dan sel basal terletak di daerah
pernapasan, yang terletak di dekat konka hidung superior dan septum yang

5
berdekatan. Sel-sel ini membentuk epitel penciuman. Ini mengandung silia tetapi
tidak ada sel goblet[ CITATION Tor13 \l 1033 ].

2.2 Definisi Rhinitis Alergi


Rhinitis didefinisikan sebagai radang mukosa hidung dan ditandai dengan
gejala hidung termasuk rhinorrhoea anterior atau posterior, bersin, sumbatan
hidung dan/atau gatal pada hidung. Menurut Von Pirquet tahun 1986, rhinitis
alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut. World Health Organization Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
(WHO ARIA) pada tahun 2001 mendefinifikan rhinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE[ CITATION Bou08 \l
1033 ][ CITATION Ind16 \l 1033 ].

2.3 Etiologi
Rhinitis alergi muncul setelah terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas[ CITATION Ira08 \l 1033 ]:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. ferinae, D. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel dari bulu binatang (kucing, anjing), rerumputan serta jamur
(Aspergillus, Alternaria).
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

2.4 Epidemiologi
Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global, yang mempengaruhi
sekitar 10 hingga 25% populasi. Pada negara maju prevalensi rinitis alergi lebih

6
tinggi seperti di Inggris mencapai 29%, di Denmark sebesar 31,5%, dan di
Amerika berkisar 33,6%. Prevalensi di Indonesia belum diketahui secara pasti,
namun data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa rinitis alergi memiliki
frekuensi berkisar 10-26%. Rhinitis alergi umumnya bukan penyakit yang fatal
tetapi gejalanya dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang dan menurunkan
kualitas hidup penderita. Penyakit ini juga menurunkan produktifitas kerja, waktu
efektif kerja, dan prestasi sekolah.Dampak secara ekonomi di Amerika mencapai
3 juta dolar dan tambahan 4 juta dolar akibat komplikasi yang terjadi seperti otitis
dan asma[ CITATION Wid09 \l 1033 ].

2.5 Patofisiologi Rhinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses di dalam endosom, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada
sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4
dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) serta
menghambat produksi sitokin dari sel Th1. Paparan alergen dosis rendah yang
terus – menerus dan presentasi alergen oleh sel penyaji kepada sel limfosit B akan
memicu bertambahnya produksi IgE oleh sel limfosit B. IgE yang bertambah

7
banyak akan beredar bebas di sirkulasi darah kemudian IgE akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mast atau basofil (sel
mediator) termasuk di mukosa hidung, sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Artinya, individu tersebut sudah menjadi hipersensitif terhadap alergen
tertentu[ CITATION Ira08 \l 1033 ].

Gambar 2.3 Sensitisasi

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
dua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)[ CITATION Ira08 \l 1033 ].

8
Gambar 2.4 Pajanan Ulang

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinorrhea. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung
saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga
terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1)[ CITATION
Ira08 \l 1033 ].
Pada Reaksi alergi fase cepat, sel mast juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan
target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut
dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Respon ini disebut reaksi alergi
fase lambat. Pada Reaksi alergi fase lambat ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di
mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Hal ini mengakibatkan gejala utama berupa hidung tersumbat pada reaksi
alergi fase lambat. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
9
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi[ CITATION Ira08 \l 1033 ].

Gambar 2.5 Mekanisme gejala nasal

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga
tampak mukosa hidung menebal[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari :
1. Respon primer

10
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag
masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi [ CITATION Ira08 \l 1033 ]

2.6 Klasifikasi Rhinitis Alergi


Berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and
its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi [ CITATION Ira08 \l 1033 ]:
1. Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi[ CITATION Ira08 \l 1033 ]:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
2.7 Diagnosis

11
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali tidak bisa dihadapi
pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala
rinitis alergi yang khas merupakan tersingkapnya serangan bersin berulang. Lain
yang berasal dari berbagai jenis (rinore) yang disebut dan banyak, yang disebut
hidung dan mata, yang kadang-kadang sampah dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Kadang-kadang jawaban bergerak adalah salah satu gejala utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda-tanda obyektif yaitu allergic shiners adalah warna kehitaman
pada daerah infraorbita disertai dengan pembengkakan. Perubahan ini mungkin
adanya statis dari vena yang disebabkan edema dari mukosa hidung dan sinus.
Sekret hidung serus atau mukoserus, konka pucat atau keunguan (livide) dan
edema, faring berlendir. Tanda lain yang sering timbul adalah munculnya garis
tranversal pada punggung hidung (allergic crease) dan karena gatal penderita
rinitis alergi sering menggosok-gosokkan hidung, dikenal istilah allergic salute
biasanya timbul setelah gejala diderita lebih dari 2 tahun [ CITATION Wid09 \l
1033 ].
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

12
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri[ CITATION Ira08 \l 1033 ].
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui[ CITATION Ira08 \l 1033 ].

2.8 Tatalaksana
1. Penghindaran
European Academy of Allergy dan Clinical Immunology (EAACI)
menyatakan bahwa pengobatan rhinitis alergi yang paling aman dan paling efektif
adalah penghindaran yang ketat dari alergen penyebab. Menghindari alergen
dalam ruangan termasuk tungau debu rumah kadang-kadang sulit[ CITATION
Min10 \l 1033 ].
2. Medikamentosa
Prinsip pengobatan farmakologi adalah pendekatan bertahap sesuai dengan
tingkat keparahan dan durasi. Pedoman ARIA 2008 berbeda dari pedoman ARIA
2001 sebagai berikut: (1) antagonis reseptor leukotrien dapat digunakan di semua
rhinitis alergi, (2) antihistamin generasi kedua lebih disukai daripada antihistamin
generasi pertama dan (3) steroid topikal dianggap sebagai yang paling obat yang
efektif untuk pasien rhinitis alergi dewasa dan anak-anak [ CITATION Min10 \l
1033 ].
a. Antihistamin oral
Antihistamin generasi pertama, yang telah digunakan sejak awal 1940-an,
memiliki beberapa efek samping seperti sedasi, gangguan memori dan disfungsi
psikomotor, yang menyebabkan banyak masalah dalam praktik klinis. Sebaliknya,
antihistamin generasi kedua menembus sawar darah otak jauh lebih sedikit

13
daripada antihistamin generasi pertama, dan dengan demikian mereka memiliki
sedikit efek samping pada sistem saraf pusat [ CITATION Min10 \l 1033 ].
b. Antihistamin intranasal
Antihistamin topikal telah dilaporkan untuk mengurangi gatal, bersin dan
rhiorrhea. Namun, mereka kurang efektif daripada kortikosteroid intranasal.
Mereka memiliki beberapa efek samping seperti sedasi ringan[ CITATION Min10
\l 1033 ].
c. Kortikostreoid intranasal
Karena kortikosteroid intranasal tidak diserap secara sistemik, mereka
menginduksi beberapa efek samping sistemik. Partikel steroid menembus
membran sel dan berikatan dengan reseptor steroid sitoplasma. Kompleks steroid-
reseptor ditransfer ke nukleus dan berikatan dengan situs DNA spesifik. Efek anti-
inflamasi diinduksi oleh perubahan dalam sintesis protein setelah pengikatan
kompleks reseptor-steroid ke DNA atau dengan mempengaruhi faktor transkripsi
lainnya. Kortikosteroid intranasal menghambat reaksi awal dan akhir serta
mengurangi produksi IgE dan eosinofilia dengan menghambat sekresi sitokin
termasuk IL-4, 1L-5 dan IL-13. Ketika kortikosteroid intranasal diberikan,
eosinofil dan basofil berkurang dalam 1 minggu. Kortikosteroid intranasal efektif
dalam semua gejala rhinitis alergi, terutama sumbatan hidung dan gejala mata.
Efek terapeutik kortikosteroid intranasal ditemukan 7 jam setelah pemberian dan
mencapai tingkat maksimal setelah 2 minggu[ CITATION Min10 \l 1033 ].
d. Anti-IgE Antibody
Antibodi monoklonal anti-IgE rekombinan, mengganggu interaksi antara
sel mast / eosinofil dan IgE dengan mengikat IgE bebas dan dengan demikian
menurunkan IgE bebas serum. Ini juga menekan reaksi inflamasi dalam darah atau
mukosa hidung dan ekspresi FceRI yang terletak di permukaan sel mast atau
eosinophil[ CITATION Min10 \l 1033 ].
3. Imunoterapi
Imunoterapi adalah satu-satunya pilihan terapeutik yang mengubah
mekanisme alergi dasar dengan menginduksi desensitisasi dan menghasilkan
keadaan anergi untuk alergen yang menyinggung. Immunotherapy awalnya
diperkenalkan untuk rhinitis alergi musiman karena serbuk sari. Saat ini, indikasi

14
yang telah diperpanjang untuk penyakit alergi lainnya karena hymenoptera,
tungau debu rumah, bulu binatang atau jamur. Ekstrak alergen yang menyinggung
disuntikkan secara subkutan dengan dosis yang meningkat sampai dosis
pemeliharaan tercapai. Dosis pemeliharaan diberikan selama ≥3 tahun. Meskipun
imunoterapi subkutan adalah pilihan pengobatan yang mapan, risiko anafilaksis
telah menyebabkan pengembangan rute alternatif lainnya seperti rute oral,
sublingual atau nasal [ CITATION Min10 \l 1033 ].

Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana rhinitis alergi ARIA 2001

15
16
Gambar 2.7Algoritma tatalaksana rhinitis alergi ARIA 2008

2.10 Histamin dan Antihistamin

Histamin

17
Hampir semua jaringan memiliki histamine dalam keadaan terikat dan
inaktif, terutama terdapat dalam ‘mast cells” (Inggris. mast = menimbun) yang
penuh dengan histamine dan zat-zat mediator lain. Mast-cells banyak ditemukan
di bagian tubuh yang bersentuhan dengan dunia luar, yaitu di kulit, mukosa mata,
hidung, saluran nafas (bronkhia, paru-paru), usus. Dalam keadaan bebas aktif juga
terdapat dalam darah dan otak. Di luar tubuh manusia histamine terdapat dalam
bakteri, tanaman (bayam, tomat), dan makanan (keju tua) [ CITATION Ind16 \l
1033 ].

Histamin dapat dibebaskan dari mast-cells oleh bermacam-macam faktor,


misalnya oleh suatu reaksi alergi (penggabungan antigen-antibody) dari zat-zat
kimia dengan daya membebaskan histamine (histamine liberators). Bila suatu
protein asing (antigen) masuk ke dalam darah seseorang yang berbakat
hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodies dari tipe IgE
(disamping IgG dan IgM). IgE ini juga disebut regain, mengikat diri pada
membrane mast-cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila antigen (elergen) yang
sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan
mengenalinya dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat
pecahnya membran mast-cell (degranulasi). Sejumlah sel perantara (mediator)
dilepaskan, yaitu histamine beserta serotonin, bradikinin dan asam arakhidonat
(yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotriene). Zat-zat itu
menarik macrofag dan netrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu.
Di samping itu, juga mengakibatkan gejala vasodilatasi pembuluh darah dan
peningkatan permeabilitas membrane (pembengkakan), berakibat lekosit mudah
bergerak. Salah satu ciri peradangan adalah demam (latyn, calor), yang
mengakibatkan perbanyakan organisme menurun serta aktivitas sel tangkis
meningkat. Mediator tersebut secara langsung atau melalui saraf otonom
menimbulkan bermacam-macam penyakit alergi penting seperti asma, rhinitis
alergica (hay-fever), dan eksim[ CITATION Ind16 \l 1033 ].

Antihistamin
Antihistamin adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamine terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamine
(penghambatan saingan). Terdapat 2 reseptor histamine, yaitu reseptor-H1 dan
18
reseptor-H2. Perangsangan pada reseptor histamine akan berefek[ CITATION
Ind16 \l 1033 ]:
Reseptor H1:
a. kontraksi otot polos bronchi, usus dan rahim.

b. vasodilatasi vaskular menyebabkan penurunan TD dan peningkatan denyut


jantung.

c. Peningkatan permeabilitas kapiler cairan dan protein berakibat udema.

d. hipersekresi ingus dan airmata, ludah, dan dahak.

e. stimulasi ujung saraf menyebabkan eritema dan gatal.

Reseptor H2: hipersekresi asam lambung

Berdasarkan itu maka antihistamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


antagonis reseptor-H1 (H1-blockers atau antihistamin) dan antagonis reseptor-H2
(H2-blockers atau zat penghambat asam)[ CITATION Ind16 \l 1033 ].

1. Antihistamin generasi pertama


Sejak tahun 1937-1972, ditemukan beratusratus antihistamin dan
digunakan dalam terapi, namun khasiatnya tidak banyak berbeda. AH1 ini dalam
dosis terapi efektif untuk menghilangkan bersin, rinore, gatal pada mata, hidung
dan tenggorokan pada seasonal hay fever, tetapi tidak dapat melawan efek
hipersekresi asam lambung akibat histamin. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria
akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Mekanisme kerja
antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui
kompetisi dalam berikatan dengan reseptor H1 di organ sasaran. Histamin yang
kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1. Antihistamin
tersebut digolongkan dalam antihistamin generasi pertama. Antihistamin generasi
pertama ini mudah didapat, baik sebagai obat tunggal atau dalam bentuk
kombinasi dengan obat dekongestan, misalnya untuk pengobatan influensa. Kelas
ini mencakup klorfeniramine, difenhidramine, prometazin, hidroksisin dan lain-
lain[ CITATION Gun00 \l 1033 ].

19
Pada umumnya obat antihistamin generasi pertama ini mempunyai
efektifitas yang serupa bila digunakan menurut dosis yang dianjurkan dan dapat
dibedakan satu sama lain menurut gambaran efek sampingnya. Namun, efek yang
tidak diinginkan obat ini adalah menimbulkan rasa mengantuk sehingga
mengganggu aktifitas dalam pekerjaan, harus berhati-hati waktu mengendarai
kendaraan, mengemudikan pesawat terbang dan mengoperasikan mesin-mesin
berat. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena antihistamin generasi pertama ini
memiliki sifat lipofilik yang dapat menembus sawar darah otak sehingga dapat
menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya histamin yang
menempel pada reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun dan timbul rasa
mengantuk. Selain itu, efek sedatif diperberat pada pemakaian alkohol dan obat
antidepresan misalnya minor tranquillisers. Karena itu, pengguna obat ini harus
berhati-hati. Di samping itu, beberapa antihistamin mempunyai efek samping
antikolinergik seperti mulut menjadi kering, dilatasi pupil, penglihatan berkabut,
retensi urin, konstipasi dan impotensia[ CITATION Gun00 \l 1033 ].

2. Antihistamin generasi kedua


Setelah tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yang dapat
menghambat sekresi asam lambung akibat histamin yaitu burinamid, metilamid
dan simetidin. Ternyata antihistamin generasi kedua ini memberi harapan untuk
pengobatan ulkus peptikum, gastritis atau duodenitis. Antihistamin generasi kedua
mempunyai efektifitas antialergi seperti generasi pertama, memiliki sifat lipofilik
yang lebih rendah sulit menembus sawar darah otak. Reseptor H1 sel otak tetap
diisi histamin, sehingga efek samping yang ditimbulkan agak kurang tanpa efek
mengantuk. Obat ini ditoleransi sangat baik, dapat diberikan dengan dosis yang
tinggi untuk meringankan gejala alergi sepanjang hari, terutama untuk penderita
alergi yang tergantung pada musim. Obat ini juga dapat dipakai untuk pengobatan
jangka panjang pada penyakit kronis seperti urtikaria dan asma bronkial. Peranan
histamin pada asma masih belum sepenuhnya diketahui. Pada dosis yang dapat
mencegah bronkokonstriksi karena histamin, antihistamin dapat meredakan gejala
ringan asma kronik dan gejala-gejala akibat menghirup alergen pada penderita
dengan hiperreaktif bronkus. Namun, pada umumnya mempunyai efek terbatas
dan terutama untuk reaksi cepat dibanding dengan reaksi lambat, sehingga

20
antihistamin generasi kedua diragukan untuk terapi asma kronik. Yang
digolongkan dalam antihistamin generasi kedua yaitu terfenadin, astemizol,
loratadin dan cetirizin[ CITATION Gun00 \l 1033 ].

Efek samping obat antihistamin

Antihistamin yang dibagi dalam antihistamin generasi pertama dan


antihistamin generasi kedua, pada dasarnya mempunyai daya penyembuh yang
sama terhadap gejala-gejala alergi. Yang berbeda adalah antihistamin klasik
mempunyai efek samping sedatif. Efek sedatif ini diakibatkan oleh karena
antihistamin klasik dapat menembus sawar darah otak (blood brain barrier)
sehingga dapat menempel pada reseptor H1 di sel-sel otak. Dengan tiadanya
histamin yang menempel di reseptor H1 sel otak, kewaspadaan menurun sehingga
timbul rasa mengantuk. Sebaliknya, antihistamin generasi kedua sulit menembus
sawar darah otak sehingga reseptor H1 sel otak tetap diisi histamin, sehingga efek
sedatif tidak terjadi. Oleh karena itulah antihistamin generasi kedua disebut juga
antihistamin non-sedatif. Badan yang mengawasi peredaran obat di Amerika
(FDA) pada tahun 1997 mencabut peredaran terfenadine karena timbulnya
aritmia, takikardia ventrikular, pemanjangan interval QT. Aritmia ini dapat
menimbulkan pingsan dan kematian mendadak karena gangguan jantung.
Pemilihan obat antihistamin yang ideal harus memenuhi kriteria sebagai berikut
yaitu keamanan, kualitas hidup, pemberian mudah dengan absorpsi cepat, kerja
cepat tanpa efek samping dan mempunyai aktifitas antialergi [ CITATION
Gun00 \l 1033 ].

21
BAB III
PENUTUP

Rinitis alergi sebagai suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi
peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah
terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Rinitis
alergi seperti penyakit alergi yang lain terjadi akibat dominasi Th-2 dibandingkan
Th-1 sehingga produksi IgE meningkat. IgE berperan penting dalam proses
inflamasi yang diinduksi alergen.

Histamin sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya


peradangan dan gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam
menghilangkan gejala-gejala alergi berlangsung melalui kompetisi dengan
menghambat histamin berikatan dengan reseptor H1 atau H2 di organ sasaran.
Histamin yang kadarnya tinggi akan memunculkan lebih banyak reseptor H1 .
Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh antihistamin.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Pols DHJ, Wartna JB, Moed H, van Alphen EI, Bohnen AM, Bindels PJE.
Atopic Dermatitis, Asthma And Allergic Rhinitis In General Practice
And The Open Population: A Systematic Review. Scandinavian Journal
Of Primary Health Care. 2016; 34(2): p. 143–150.
2. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008. Allergy.
2008;: p. 8-160.
3. Widuri A. Terapi Antibodi IgE pada Rinitis Alergi. Mutiara Medika. 2009;
9(1): p. 63-68.
4. Gunawijaya FA. Manfaat penggunaan antihistamin generasi ketiga. 2000;: p.
23-129.
5. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of Anatomy and Physiology New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.; 2013.
6. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.
7. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic Rhinitis.
Allergy Asthma Immunol Research. 2010; 2(2): p. 65-76.
8. Indijah SW, Fajri P. Farmakologi Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan; 2016.
x

23

Anda mungkin juga menyukai