Anda di halaman 1dari 24

SMF/LaboratoriumIlmu Kesehatan Anak Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA


STREPTOKOKUS (GNAPS)

Disusun Oleh:
Andri Bagaswara
1710029041

Pembimbing:
dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA


STREPTOKOKUS (GNAPS)

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Andri Bagaswara NIM. 1710029041

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul glomerulonefritis
akut pasca streptokokus (GNAPS). Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. William S. Tjeng, Sp.Aselaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
5. dr. Sherly Yuniachan, Sp.A sebagai pembimbing dalam penyusunan
tugas tutorial ini yang telah memberikan banyak waktu dan kesempatan
untuk memberikan bimbingan.
6. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, Mei 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ...................................................................................................... i


Lembar Pengesahan ................................................................................................ ii
Kata Pengantar ....................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................. iv
BAB I Pendahuluan .................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan .....................................................................................2
BAB II Tinjauan Putaka ...........................................................................................3
2.1. Definisi ....................................................................................................3
2.2. Epidemiologi ...........................................................................................3
2.3. Etiologi ....................................................................................................4
2.4. Patofisiologi .............................................................................................6
2.5. Manifestasi Klinis ....................................................................................8
2.6. Diagnosis ...............................................................................................12
2.7. Diagnosis Banding.................................................................................14
2.8. Penatalaksanaan .....................................................................................15
2.9. Komplikasi ............................................................................................17
2.10. Prognosis ...............................................................................................18
BAB III Penutup ....................................................................................................19
3.1. Kesimpulan ............................................................................................19
3.2. Saran ......................................................................................................19
Daftar Pustaka ........................................................................................................20

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan
proliferasi sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme
imunologis yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme
yang masih belum jelas. Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut
adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A.
Dari perkembangan teknik biopsi ginjal per-kutan, pemeriksaan dengan
mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan serologis,
glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu
contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik
sindroma nefritik akut dengan awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan
insufisiensi ginjal akut. Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan
kesembuhan yang sempurna, pada sebagian kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal
akut sehingga memerlukan pemantauan (Lumbanbatu, 2003).
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada
anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat
terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6-7 tahun. Penelitian
multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5-15 tahun dengan rerata
usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki-laki : perempuan = 1, 34:1. (Rauf, Albar,
& Aras, 2012).
WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara
global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan di Sri
Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode waktu
Januari 2012 - Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis GNAPS.
Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien berkisar
antara 2,6 - 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5 - 10 tahun. Di
Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anak di sebelas universitas di
Indonesia pada tahun 1997 - 2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA
mengalami efusi pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2% mengalami

1
ensefalopati hipertensif. Selama 5 tahum sejak 1998 – 2002, didapatkan 45 pasien
GNA (0,4%) yaitu diantara 10.709 pasien yang berobat di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Angka kejadian ini relatif rendah, tetapi menyebabkan
morbiditas yang bermakna. Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh
sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi
glomerulonefritis kronis (Hidayani, Umboh, & Gunawan, 2016).
GNAPS merupakan penyebab terbanyak nefritis akut pada anak di negara
berkembang, sedangkan di negara maju terjadi dalam prevalensi yang rendah.
GNAPS masih menjadi masalah bagi para dokter dan dokter spesialis anak
terutama dalam penegakan diagnosis dan tata laksana. Beberapa kasus didiagnosis
sebagai ensefalopati karena kesadaran menurun dan kejang-kejang, tetapi ternyata
GNAPS. Hal ini terjadi karena GNAPS dapat menyebabkan ensefalopati
hipertensi disertai manifestasi kejang dan atau kesadaran menurun. Oleh karena
itu, pada setiap kasus dengan gejala kejang dan atau kesadaran menurun, jangan
lupa memeriksa tekanan darah untuk melacak adanya GNAPS. (Rauf, Albar, &
Aras, 2012)

1.2 Tujuan Penulisan


Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan
Anakkhususnya untuk penyakit glomerulonefritis akut pasca streptokokus
(GNAPS).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

3.1.Definisi
Glomerulonefritis adalah istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan berbagai penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
peradangan di glomerulus karena proses imunologi. Glomerulonefritis akut
(GNA) adalah salah satu bentuk glomerulonefritis ditandai dengan penurunan
mendadak laju filtrasi glomerulus dengan manifestasi klinis seperti edema,
hematuria, hipertensi, oliguria dan insufisiensi ginjal. Oleh karena itu, GNA
kadang disebut sebagai sindrom nefritik akut (SNA) (Suhardi, Albar, Rauf, &
Daud, 2015)
Sindrom nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinik berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, redbloodcast, oliguria& hipertensi (PHAROH)
yang terjadi secara akut. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah yang lebih bersifat umum
dan lebih menggambarkan suatu proses histopatologi berupa proliferasi &
inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & Inflamasi glomeruli yang didahului oleh
infeksi group A β-hemolyticstreptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala
nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus grup A strain nefritogenik
hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS. (Putri & Susianti, 2017).

3.2. Epidemiologi
WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya secara
global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Dari seluruh kasus, 95%
diperkirakan akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase akut dari
penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis (Hidayani, Umboh, &
Gunawan, 2016).

3
Penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 2007 melaporkan adanya 170
pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak
dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%),
Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). (Albar & Rauf, 2009)
GNAPS dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia
6 – 7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 –
15 tahun dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio laki-laki : perempuan =
1, 34 : 1. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.3. Etiologi
Streptokokus dapat dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan
kemampuan menghancurkan sel darah merah, yaitu Streptococcus β haemolyticus
jika kuman dapat melakukan hemolisis lengkap, Streptococcus α - haemolyticus
jika melakukan hemolisis parsial, dan Streptococcus γ – haemolyticus jika tidak
menyebabkan hemolisis. Streptococcus β haemolyticus dapat dibagi menjadi 20
grup serologis yaitu grup A hingga T. Sistem penentuan serotipe grup A
streptokokus dibuat menurut abjad berdasarkan jenis polisakarida dinding sel
(Lancefield group) atas dasar reaksi presipitin protein M atau reaksi aglutinin
protein T dinding sel. Disebut sebagai streptokokus grup A karena dinding sel
terdiri dari polisakarida polimer l-ramnose dan N-asetil-D-glukosamin dengan
rasio 2:1. Polisakarida grup A ini mengadakan ikatan ke peptidoglikan yang
disusun dari N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-muraminic acid, dan tetrapeptida
asam d-glutamat, serta d- dan l-lisin pada dinding sel. Streptokokus grup A, B, C,
D, dan G merupakan grup yang paling sering ditemukan pada manusia.
Streptococcus β haemolyticus grup A merupakan bentuk yang paling virulen.
Streptokokus grup A disebut juga dengan Streptokokus piogenes, dan termasuk
kelompok Streptococcus β haemolyticus yang dapat menyebabkan GNAPS dan
demam reumatik. Pada kuman streptokokus grup A ini, telah diidentifikasi
sejumlah konsituen somatik dan produk ekstraselular, namun peranannya dalam
patogenesis GNAPS belum semuanya diketahui (Pardede, 2009).
Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat

4
dengan tipe nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling
seringdihubungkan dengan glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului
faringitis adalah tipe 12, tetapi kadang- kadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49
paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit /
pioderma, walaupun galur 53,55,56,57 dan 58 dapat berimplikasi. Protein
streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain
endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein
(NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein
(NPBP) (Lumbanbatu, 2003)

Gambar 1 Struktur Sel Streptokokus Grup A

Struktur sel streptokokus grup A terdiri dari kapsul asam hialuronidat,


dinding sel, fimbriae, dan membran sitoplasma yang menutupi sitoplasma. Kapsul
asam hialuronat bekerja sebagai strain mukoid, resisten terhadap pagositosis, dan
berperan dalam terjadinya infeksi. Dinding sel merupakan struktur yang
kompleks, terdiri dari protein spesifik, asam lipoteikoat, peptidoglikan, dan
karbohidrat polisakarida grup A, serta mengandung berbagai struktur antigenik,
dibentuk oleh polimer N-asetil-D-glukosamin dan N-asetil-D-muraminic acid
yang dihubungkan oleh asam amino. Asam lipoteikoat dapat mempercepat

5
kolonisasi kuman dan mengadakan ikatan dengan fibronektin pada permukaan sel
epitel. Lapisan mukopolipeptida (peptidoglikan) berperan dalam rigiditas dinding
sel. Selain mengandung komponen karbohidrat yang digunakan untuk
membedakan streptokokus β hemolitikus menjadi grup A, dinding sel kuman juga
mengandung protein spesifik yang terdiri dari protein kelas mayor yaitu protein M
dan protein T serta kelas minor yaitu protein F, protein R, dan M-like protein.
Streptokokus grup A mempunyai komponen dinding sel yang mempunyai peranan
penting dalam perlekatan sel dan resistensi terhadap mekanisme pertahanan
pejamu. Peranan berbagai protein permukaan sel yang terikat terhadap molekul
fraksi Fc imunoglobulin belum jelas.Fimbriae yang menonjol pada permukaan
dinding sel disusun dari protein M spesifik dan asam lipoteikoat (polifosfogliserol
dan asam lemak) yang memediasi adesi Streptokokus grup A ke fibronektin pada
sel epitel pejamu. Membran sitoplasma dibentuk dari lipoprotein dan protein
termasuk protein-terikat-penisilin (penicillin-binding protein) yang berperan
dalam sintesis dinding sel, dan endostreptosin yang penting dalam patogenesis
GNAPS. Di dalam sitoplasma terdapat DNA, RNA, serta berbagai bakteriofag
(Pardede, 2009).

3.4. Patogenesis
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit
kompleks imun. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS termasuk
penyakit imunologik adalah:
 Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
 Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
 Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
 Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
 Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.

Pada pemeriksaan hapusan tenggorok (throat swab) atau kulit (skin swab)
tidak selalu ditemukan GABHS. Hal ini mungkin karena penderita telah mendapat
antibiotik sebelum masuk rumah sakit. Juga lamanya periode laten menyebabkan
sukarnya ditemukan kuman streptokokus. Seperti telah disebutkan sebelumnya,

6
maka organisme tersering yang berhubungan dengan GNAPS ialah Group A β-
hemolytic streptococci. Penyebaran penyakit ini dapat melalui infeksi saluran
napas atas (tonsillitis/faringitis) atau kulit (piodermi), baik secara sporadik atau
epidemiologik. Meskipun demikian tidak semua GABHS menyebabkan penyakit
ini, hanya 15% mengakibatkan GNAPS. Hal tersebut karena hanya serotipe
tertentu dari GABHS yang bersifat nefritogenik, yaitu yang dindingnya
mengandung protein M atau T (terbanyak protein tipe M) (Rauf, Albar, & Aras,
2012)
Penelitian akhir-akhir ini memperlihatkan 2 bentuk antigen yang berperan
pada GNAPS yaitu :
1. Nephritis associated plasmin receptor (NAPℓr)
NAPℓr dapat diisolasi dari streptokokus grup A yang terikat dengan
plasmin. Antigen nefritogenik ini dapat ditemukan pada jaringan hasil biopsi
ginjal pada fase dini penderita GNAPS. Ikatan dengan plasmin ini dapat
meningkatkan proses inflamasi yang pada gilirannya dapat merusak membran
basalis glomerulus.
2. Streptococcal pyrogenic exotoxin B (SPEB)
SPEB merupakan antigen nefritogenik yang dijumpai bersama – sama
dengan IgG komplemen (C3) sebagai electron dense deposit subepithelial
yang dikenal sebagai HUMPS.

Proses Imunologik yang terjadi dapat melalui :


1. Soluble Antigen-Antibody Complex
Kompleks imun terjadi dalam sirkulasi NAPℓr sebagai antigen dan
antibodi anti NAPℓr larut dalam darah dan mengendap pada glomerulus.
2. Insitu Formation:
Kompleks imun terjadi di glomerulus (insitu formation), karena
antigen nefritogenik tersebut bersifat sebagai planted antigen. Teori insitu
formation lebih berarti secara klinik oleh karena makin banyak HUMPS yang
terjadi makin lebih sering terjadi proteinuria masif dengan prognosis buruk.
Imunitas selular juga turut berperan pada GNAPS, karena dijumpainya
infiltrasi sel-sel limfosit dan makrofog pada jaringan hasil biopsi ginjal. Infiltrasi

7
sel-sel imunokompeten difasilitasi oleh sel-sel molekul adhesi ICAM – I dan LFA
– I, yang pada gilirannya mengeluarkan sitotoksin dan akhirnya dapat merusak
membran basalis glomerulus (Rauf, Albar, & Aras, 2012).
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan
filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.
Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.
Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang yang
akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,
termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-
penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh
keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
radang di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan
air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang
terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena
hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin
angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema
yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat
(Rauf, Albar, & Aras, 2012).

3.5. Manifestasi Klinis


GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) atau infeksi kulit dengan periode laten 1-2 minggu pada ISPA atau 3
minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa
infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar
31,6%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai
gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik

8
baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Periode laten
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit atau pioderma. Periode
ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang
dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti
eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosussistemik, purpura
Henoch-Schöenlein atau Benignrecurrenthaematuria. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Edema
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema
laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi
diuresis dan penurunan berat badan. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Edema bersifat pittingsebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke
jaringan interstisial yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan
semula. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

9
Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Urin tampak coklat kemerahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau
berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu
pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai
beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun.
Keadaan terakhir ini merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat
kemungkinan adanya glomerulonefritis kronik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang
lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90
mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup
dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi
berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala
serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya,
oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan

10
dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi
anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang
terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa
pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik
lain. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi
dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama. (Rauf, Albar,
& Aras, 2012)

11
3.6. Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi pada
umumnya kriteria yang digunakan adalah gejala-gejala klinik sebagai berikut:
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full blown
case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria yang
merupakan gejala-gejala kardinal GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa
adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi atau riwayat
kontak dengan penderita GNAPS. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.6.1. Pemeriksaan Penunjang


Urin
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai +2, jarang terjadi
sampai dengan +3. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2
LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam.
Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala
klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila
lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang
menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan
biopsi ginjal untuk membuktikannya. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena
itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk
melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan
torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus

12
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada
kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab silinder ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit
ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Darah
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap
produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya
dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASTO), anti-hialuronidase (AH-ase) dan
anti-deoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASTO merupakan reaksi serologis
yang paling sering diperiksa. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.
Sedangkan kombinasi titer ASTO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi,
hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan
titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan
mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan
ke-2 hingga 6. Titer ASTO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran
pernapasan oleh streptokokus. Titer ASTO bisa normal atau tidak meningkat
akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer
ASTO. Sebaliknya titer ASTO jarang meningkat setelah piodermihanya sekitar
50% kasus. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui
kulit. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3
(B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3
menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam
minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8
minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik
yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membranoproliferatif atau nefritis
lupus. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

13
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.7. Diagnosis Banding


Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat
berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat
penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3
hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas
meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis.
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria


Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter
(sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladiede Berger) dan benign recurrent
haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi.
Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan
dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung
sangat singkat. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)


RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.
Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut
dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B pada RPGN
biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS jarang terjadi pada
RPGN. Prognosis pada RPGN biasanya buruk dan bila penderita tidak mendapat
pengobatan segera dapat meninggal dalam beberapa bulan. (Rauf, Albar, & Aras,
2012)

14
Penyakit-penyakit sistemik
Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah Henoch-
Schöenlein purpura, SLE dan endokarditis bakterial subakut (SBE). Ketiga
penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti
hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan
tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri
abdomen dan artralgia. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan positif pada
pemeriksaan darah,. Sedangkan pada SBE tidak terdapat edema, hipertensi atau
oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan GNAPS dengan ketiganya.
(Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Streptokokus β hemolitikus grup A. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala
GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus
ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit
dasarnya. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.8. Penatalaksanaan
Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Dahulu dianjurkan
prolonged bedrest dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum
hilang. Kini penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat
tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka
dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama
di tempat tidur dapat memberikan beban psikologik. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu

15
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss(20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada pasien
demam (10 ml/kgbb/hari). (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama
10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin
dosis 30 mg/kgbb/hari. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Simptomatik
Edema
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid (1
mg/kgbb/hari). Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal. (Rauf,
Albar, & Aras, 2012)

Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa
tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid
atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatasdapat juga diberi

16
nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat
diulangi setiap 30-60 menit hingga 3 kali. Pada hipertensi berat atau hipertensi
dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006
mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara
intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3
mg/kgbb). (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

Gangguan ginjal akut


Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium. (Rauf, Albar, & Aras, 2012)

3.9. Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai adalah (Rauf, Albar, & Aras, 2012):
1. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6
tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 – 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual
pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat
diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus
dilakukan secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%,
seterusnya ditambahkan kaptopril (0,3 – 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga
normal.
2. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
 Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
 Bila terjadi hipokalemia diberikan :
 Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari

17
 NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
 K+ Exchange resin 1 g/kgbb/hari
 Insulin 0,1 unit/kg &0,5 – 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
3. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga
sering disangka sebagai bronkopneumoni.
4. Posterior leukoencephalopathy syndrome
Merupakan komplikasi yang jarang dan sering dikacaukan dengan
ensefalopati hipertensi, karena menunjukkan gejala-gejala yang sama seperti
sakit kepala, kejang, halusinasi visual, tetapi tekanan darah masih normal.

3.10. Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS
antara lain umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu,
pola serangan sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan
gambaran histologis glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik
dibanding anak yang lebih besar atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada
dewasa sering disertai lesi nekrotik glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna
dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik. Insiden gangguan fungsi
ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi kronik 5-10 %; sekitar 0,5-
2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan progresif dan dalam
beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal. Angka kematian
pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %. Melihat GNAPS masih sering dijumpai
pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan
kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan
tempat tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit. Pencegahan GNAPS
berkontribusi menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian
hari (Lumbanbatu, 2003).

18
BAB III
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Batasan sindrom nefritik akut (SNA) adalah kumpulan gejala klinik berupa
Protenuria, Hematuria, Azotemia, Red blood cast (torak eritrosit), Oliguria dan
Hipertensi. Batasan glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) adalah
suatu bentuk glomerulonefritis akut yang menunjukkan proses inflamasi dan
proliferasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci
dan ditandai dengan gejala-gejala nefritis seperti hematuria, edema, hipertensi dan
oliguria yang terjadi secara akut. GNAPS paling lazim terjadi pada anak-anak 3
sampai 7 tahun, perbandingan penyakit ini pada pria dan wanita 1,34:1.
Secara klinik bila dijumpai ≥ 2 gejala diagnosis SNA dapat ditegakkan
sebagai diagnosis kerja. Bila pada pemantauan dijumpai gejala-gejala baik klinik
maupun laboratorik seperti edema, ASTO meningkat atau komplemen C3
menurun, maka diagnosis GNAPS dapat ditegakkan. Begitu pula bila dijumpai
apusan tenggorokan positif. Bila dijumpai semua gejala klinik yang khas seperti
edema, protenuria, hematuria, oliguria dan hipertensi (full blown case) maka
diagnosis GNAPS dapat ditegakkan.
GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease selama tidak
dijumpai komplikasi. Antibiotik untuk eradikasi kuman adalah golongan penisilin,
bila alergi penisilin diberikan eritromisin. Pengobatan lain bersifat simptomatik
seperti terhadap edema, hipertensi, maupun insufisiensi ginjal akut. Prognosis
penyakit pada anak-anak baik sedangkan prognosisnya pada orang dewasa tidak
begitu baik.

5.2. Saran
Pada GNAPS, meskipiun memiliki prognosis baik dan dapat sembuh sendiri
perlu diperhatikan komplikasi yang muncul seperti encephalopathy hipertensi,
gagal ginjal akut, maupun edem paru sehingga dapat menurunkan morbiditas dari
GNAPS itu sendiri.

19
DAFTAR PUSTAKA

Albar, H., & Rauf, S. (2009). The profile of acute glomerulonephritis among
Indonesian children. Pediatrica Indonesiana, 45(11), 264-9.

Hidayani, A. R., Umboh, A., & Gunawan, S. (2016). Profil Glomerulonefritis


Akut Pasca Streptokokus pada Anak yang Dirawat di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic,
4(2).

Lumbanbatu, S. M. (2003). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada


Anak. Sari Pediatri, 5(2), 58-63.

Pardede, S. O. (2009). Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut


Pascastreptokokus. Sari Pediatri, 11(1), 56-65.

Putri, I. N., & Susianti. (2017). Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus


dengan Krisis Hipertensi pada Anak. Jurnal Medula Unila, 7(2), 57-62.

Rauf, S., Albar, H., & Aras, J. (2012). Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus (GNAPS). Ikatan Dokter Indonesia.

Suhardi, Albar, H., Rauf, S., & Daud, D. (2015). The Identification of Acute Post
Streptococcus Glomerulonephritis Risk Factors in Children. International
Journal of Science and Research, 71-75.

20

Anda mungkin juga menyukai