Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

2.1.2 Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
anggota spesies Mycobacterium tuberculosis kompleks, yang meliputi:
Mycobacterium tuberculosis, yang menyebabkan TB pada manusia; M.
africanum, yang menyebabkan TB pada manusia hanya di daerah tertentu
di Afrika; M. bovis, M. caprae dan M. pinnipedii, menyebabkan TB pada
mamalia peliharaan dan liar; M. microti, yang menyebabkan TB hanya
pada tikus (Delogu, Sali, & Fadda, 2013). Mycobacterium tuberkulosis
adalah kuman yang berbentuk batang dengan ukuran sekitar 0,4x3 μm.
Bakteri ini besifat tahan asam karena tahan terhadap etil alkohol 95% yang
mengandung asam hidroklorida (asam alkohol) yang dapat menghilangkan
warna dari bakteri. Pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk
mengidentifikasi bakteri tahan asam ini (Brooks, Carrol, Butel, Morse, &
Mietzner, 2012).

2.1.3 Patogenesis
2.1.3.1 Tuberkulosis primer
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Kuman TB terdapat dalam droplet nuclei yang ukurannya
sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya
oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi
respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan.
Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon (Kementerian Kesehatan RI, Petunjuk Teknis
Manajemen TB Anak, 2013).
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui
saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya limfangitis dan limfadenitis. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer
(primary complex).
Masa inkubasi TB adalah waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer
dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer,
imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar
individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh
imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan
paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman
TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat
fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya
berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena
reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas
selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran
hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah
dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult
hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,
limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-
lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi
tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks
paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah
penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized
hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal
ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi
TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread
2.1.3.2 Tuberkulosis post primer
TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus
lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman
TB dari luar (eksogen) (Kementerian Kesehatan RI, Petunjuk
Teknis Manajemen TB Anak, 2013).
2.1.4 Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala
respirasi diantaranya adalah batuk  2 minggu, batuk darah, sesak napas
dan nyeri dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada
gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk
yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala sistemik yang
ditimbulkan akibat infeksi TB adalah demam, malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun (Wijaya, 2012).

2.1.5 Diagnosis
Tuberkulosis harus dicurigai pada orang yang memiliki gejala
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, kehilangan selera
makan, keringat malam, demam, kelelahan. Jika penyakit TB di paru-paru,
gejala yang mungkin diantaranya batuk lebih dari atau sama dengan 3
minggu, hemoptisis (batuk darah), dan sakit dada. Jika penyakit TB di
bagian lain di luar paru, gejala akan tergantung pada daerah yang terkena
(Centers of Disease Control and Prevention, 2011).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakan melalui
pemeriksaan bakteriologis yang dapat berupa pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat. Apabila dari pemeriksaan bakteriologis
menunjukan hasil negatif, maka penegakan diagnosis TB dilakukan melalui
pemeriksaan klinis dan penunjang (foto thoraks). Penegakan diagnosis
secara klinis dilakukan setelah pemberian antibiotik spektrum luas yang
tidak memberikan perbaikan klinis (Kementerian Kesehatan RI, Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014).
Penegakan diagnosis pada pasien terduga TB melalui pemeriksaan
secara mikroskopis langsung mengguanakan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-
Sewaktu). Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal terdapat satu
hasil positif pada pemeriksaan dahak SPS (Kementerian Kesehatan RI,
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014). Pemeriksaan ulang
dahak, terutama bulan kedua setelah menjalani fase intensif akan
menentukan dosis obat pada pengobadat selanjutnya. Pemeriksaan ulang
dahak ini berguna dalam mengevaluasi keberhasilan pengobatan.
Keberhasilan angka konversi tergantung pada keteraturan minum obat,
pada fase awal dan pengawasan pengobatan, serta dosis obat yang
diminum. Angka konversi yang tinggi berbanding lurus dengan angka
kesembuhan yang tinggi (Kurniati, 2010).

2.1.6 Klasifikasi Pasien TB


Pasien TB diklasifikasikan berdasarkan : (Kementerian Kesehatan RI,
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2014)
2.1.6.1 Lokasi Anatomi dari Penyakit
a. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis yang terjadi pada parenkim paru.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru.
2.1.6.2 Riwayat Pengobatan
a. Pasien Baru TB
Pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB atau
sudah pernah mendapatkan pengobatan TB kurang dari satu
bulan.
b. Pasien yang Pernah Diobati TB
Pasien yang pernah menjalani pengobatan TB selama satu
bulan atau lebih. Berdasarkan hasil pengobatan terakhirnya,
dapat diklasifikasikan lagi menjadi :
 Pasien kambuh : pasien yang sebelumnya telah
dinyatakan sembuh atau telah lengkap pengobatannya
berdasarkan pemeriksaan bakteriologis dan klinis.
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal pengobatan.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat.
 Pasien yang pernah diobati, namun hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui.
c. Pasien yang Riwayat Pengobatannya Tidak Diketahui
2.1.6.3 Hasil Uji Kepekaan Obat
a. Mono Resistan (TB RR)
Resistan pada salah satu OAT lini pertama.
b. Poli Resistan (TB PR)
Resistan pada lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistan (TB MDR)
Resistan pada Rifampisin (R) dan Isoniazid (H) secara
bersamaan.
d. Extensive Drug Resistan (TB XDR)
TB MDR yang juga resistan terhadap OAT golongan
kuinolon dan OAT lini kedua jenis suntikan.
e. Resistan Rifampisin (TB RR)
2.1.6.4 Status HIV
a. Pasien TB dengan HIV Positif
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau saat didiagnosis atau
sedang mandapatkan Anti Retroviral Therapy (ART).
b. Pasien TB dengan HIV Negatif
Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau saat didiagnosis.
c. Pasien TB dengan Status HIV Tidak Diketahui
Pasien TB tanpa adanya bukti pendukung hasil tes HIV saat
didiagnosis.
2.1.7 Terapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan pada tahap intensif
adalah kategori l yang terdiri dari Isonisiamid (H), Rifampisin (R),
Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E). Isonisiamid (H) bersifat bakterisid
yang dapat membunuh populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan,
obat ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang.
Rifampisin (R) dapat membunuh kuman semi dorman (persisten).
Pirasinamid (Z) bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam
sel dengan suasana asam. Etambutol (E) bersifat bakteriostatik yaitu
menghambat perkembangbiakan kuman (Zalaikhah & Turijan, 2010).
Sesuai rekomendasi WHO, paduan OAT yang digunakan di
Indonesia meliputi kategori 1 [2(HRZE)/4(HR)3] yang diperuntukan bagi
pasien baru TB paru yang teronfirmasi secara bakteriologis maupun klinis
serta pasien baru TB ekstra paru, OAT kategori 2
[2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 untuk pasien yang menjalani pengobatan
ulang seperti pasien kambuh, pasien gagal pada pengobatan OAT kategori
1 dan pasien yang kembali setelah putus berobat. Paduan OAT kategori 1
dan kategori 2 disediakan dalam bentuk oaket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT) yang dosisnya disesuaikan denga berat badan pasien
(Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).

Tabel 1. Dosis OAT-KDT Ketegori 1


2.2 Tuberkulosis dan Berat Badan
Infeksi TB mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi nutrien serta
perubahan metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan
lemak sebagai manifestasi malnutrisi energi protein (Pratomo, Burhan, &
Tambunan, 2012).
Penelitian oleh Krapp, Veliz, Cornejo, Gotuzzo, & Seas (2008) di Peru
menyatakan bahwa peningkatan berat badan kurang dari atau sama dengan 5%
selama terapi berhubungan dengan kegagalan terapi. Hal ini didukung oleh
penelitian Hoa, Lauritsen, & Rieder (2012) di Vietnam yang menyatakan pasien
dengan berat kurang dari 40 kg di pengobatan awal yang mengalami kenaikan
lebih dari 5% dari berat badan mereka setelah 2 bulan pengobatan memiliki
risiko yang lebih kecil secara signifikan terhadap hasil pengobatan yang tidak
berhasil. Pasien yang tidak mengalami peningkatan berat badan atau kehilangan
berat badan, terutama selama 2 bulan pertama pengobatan, memerlukan perhatian
khusus, karena mereka menampakan adanya peningkatan risiko dari kegagalan
pengobatan.

2.3 Tuberkulosis dan Usia


75% dari penderita TB yang produktif secara ekonomi (15-50 tahun),
dimana pasien TB dewasa diperkirakan akan kehilangan waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan atau kehilangan pendapatan rumah tangga sekitar 20-30%.
Apabila ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatan sekitar 15
tahun (Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014). Seseorang yang berusia produktif lebih mudah dan lebih
banyak menderita TB paru karena lingkungan kerja yang padat serta
berhubungan dengan banyak orang juga dapat meningkatkan risiko terjadinya TB
paru (Datulong, Sapulete, & Kandou, 2015). Pasien TB yang berada pada
kelompok umur 0-14 tahun memiliki tingkat kesembuhan lebih tinggi dan
sebaliknya pada pasien kelompok usia di atas 45 tahun memiliki tingkat
kesembuhan yang cenderung lebih rendah (Kumar, Ahirwar, Dave, Srivastava,
Goutam, & Shrivastava, 2017).

2.4 Tuberkulosis dan Jenis Kelamin


Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian
Kesehatan (2013) penderita TB cenderung lebih banyak laki-laki (0,4%)
dibandingkan perempuan (0,3%). Laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk
terkena penyakit TB paru di bandingkan dengan perempuan. Dimana laki-laki
lebih banyak yang merokok dan minum alkohol dibandingkan dengan
perempuan, merokok dan alkohol dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga
lebih mudah terkena TB paru (Datulong, Sapulete, & Kandou, 2015).

Anda mungkin juga menyukai