Anda di halaman 1dari 38

TINJAUAN PUSTAKA

PREEKLAMPSIA/EKLAMPSIA

Pembimbing:

dr. Yuri Iranda, Sp.OG

Disusun Oleh :

dr. Olyvia Dear Prestisea

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RSU SUNGAI GELAM

KABUPATEN MUARO JAMBI

2018
BERITA ACARA DISKUSI/PRESENTASI TINJAUAN PUSTAKA

Pada hari ini, tanggal November 2018, telah di presentasikan sebuah tinjauan pustaka oleh :

Nama : dr. Olyvia Dear Prestisea

Judul : Preeklampsia/Eklampsia

Nama Wahana : RSU Sungai Gelam

No Nama Peserta Diskusi Presentasi Tanda Tangan


1. dr. Aldika Alviani
2. dr. Dewi Puspita Sari
3. dr. Faris Faruqi
4. dr. Hans Everald
5. dr. Indo Asse
6. dr. Juni Putri Wati
7. dr. Maya Indri Laras Wati

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya :

Pembimbing :

dr. Yuri Iranda, Sp.OG


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya,
akhirnya tinjauan pustaka dengan judul “Preeklampsia/Eklampsia” ini dapat penulis
selesaikan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menjalani program Internship di
RSU Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi.

Pada penulisan tinjauan pustaka ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yuri Iranda, Sp.OG selaku pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan dan juga ucapan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah terlibat.

Sepenuhnya penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini sangat jauh dari sempurna
dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
mendukung sangat penulis harapkan untuk memperbaiki tinjauan pustaka ini dan
kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.

Terlepas dari segala kekurangan yang ada semoga tinjauan pustaka ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Jambi, November 2018

Penulis
DAFTAR ISI

COVER ..............................................................................................................i

BERITA ACARA DISKUSI..............................................................................ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................iii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

Latar Belakang........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................3

Definisi Preeklampsia.............................................................................3

Terminologi dan Klasifikasi ..................................................................3

Insiden dan Epidemiologi.......................................................................4

Faktor Risiko...........................................................................................5

Etiologi....................................................................................................6

Patofisiologi............................................................................................6

Manifestasi Klinis...................................................................................7

Diagnosis.................................................................................................8

Prediksi dan Pencegahan.........................................................................11

Penatalaksanaan......................................................................................15

Komplikasi..............................................................................................25

Konseling dan Edukasi...........................................................................25

Eklampsia................................................................................................26
Sindrom HELLP.....................................................................................27

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………… ……...31


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi Preeklampsia………………………………..………..7

Gambar 2. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Tanpa Gejala Berat………..17

Gambar 3. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat..……………………...19

Gambar 4. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat…………..21


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sekitar delapan juta perempuan/tahun mengalami komplikasi kehamilan dan lebih


dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di Negara berkembang.
Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di Negara maju yaitu 1 dari
5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara berkembang,
yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.1,2

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di


Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan dan
nifas.1,2 AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia
Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI
di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Tren AKI di Indonesia menurun sejak
tahun 1991 hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika
dibandingkan kawasan ASEAN, AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi, AKI di Singapura
hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000 kelahiran hidup, Filipina 112 per
100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000
kelahiran hidup. Meskipun, Millenium Development Goal (MDG) menargetkan penurunan
AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, namun pada tahun 2012
SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari 228 menjadi 359 kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup.1,3,4 Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko
turut mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus
Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun 2015
dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari seluruh kehamilan.1,3

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%).4 WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali
lebih tinggi di Negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di
Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.
Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7.5
Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang
nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.

Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat


kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca
persalinan akibat disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik
dan komplikasi lainnya.6,7 Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan
prematur atau mengalami pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan
besarnya angka morbiditas dan mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan
merupakan penyebab tersering kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat
badan lahir rendah atau mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko
penyakit metabolik pada saat dewasa.8,9

Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di antara


praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada teori yang
mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga akibat kurangnya
kesiapan sarana dan prasarana di daerah. Selain masalah kedokteran, preeklampsia juga
menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan setelah kehamilan 20


minggu yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90 mmHg) dan proteinuria
(0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya normal pada usia kehamilan sebelum 20
minggu. Preeklampsia juga didefinisikan sebagai suatu sindrom yang berhubungan dengan
vasospasme, peningkatan resistensi pembuluh darah perifer, dan penurunan perfusi organ
yang ditandai adanya hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan.10,11

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan
aktivasi endotel dan koagulasi.1

Terminologi dan Klasifikasi

Istilah Hipertensi Gestasional menunjukkan setiap hipertensi sederhana awitan-baru


yang timbul selama kehamilan tanpa bukti nyata sindrom preeklampsia. Kemudian muncul
kebingungan pada sebagian kalangan yang menggunakan istilah ini untuk merujuk pada
hipertensi gestasional ataupun preeklampsia. Oleh karena itu diadopsi skema milik Kelompok
Kerja NHBPEP (National High Blood Pressure Education Program) tahun 2000, yang
membagi penyakit hipertensi yang mempersulit kehamilan menjadi 4 jenis : 12
1. Hipertensi Gestasional (dahulu disebut hipertensi terinduksi kehamilan)
a. TD Sistolik ≥ 140 atau TD Diastolik ≥ 90 mmHg ditemukan pertama kali sewaktu
hamil.
b. Tidak ada proteinuria.
c. TD kembali ke normal sebelum 12 minggu pasca partum.
d. Mungkin memiliki gejala atau tanda lain preeklampsia, misalnya dispepsia atau
trombositopenia.
2. Sindrom Preeklampsia dan Eklampsia.
a. Preeklampsia
Kriteria Minimum :
 TD ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu.
 Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ pada pemeriksaan carik celup (dipstick).
Kemungkinan Preeklampsia meningkat :
 TD ≥ 160/110 mmHg.
 Proteinuria 2,0 g/24 jam atau ≥ 2+ pada pemeriksaan carik celup (dipstick).
 Kreatinin serum > 1,2 mg/dl, kecuali memang sebelumnya diketahui meningkat.
 Trombosit < 100.000/ul.
 Hemolisis mikroangiopatik  peningkatan LDH.
 Peningkatan kadar transaminase serum  ALT atau AST.
 Nyeri kepala yang persisten atau gangguan serebral atau visual lainnya.
 Nyeri epigastrik persisten.
b. Eklampsia
 Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan
preeklampsia.

3. Sindrom Preeklampsia yang Bertumpang Tindih pada Hipertensi Kronis.


a. Proteinuria awitan-baru ≥ 300 mg/24 jam pada perempuan hipertensif, tetapi tidak
ditemukan proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu.
b. Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit
<100.000/ul pada perempuan yang mengalami hipertensi dan proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.

4. Hipertensi Kronis.
a. TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosa sebelum kehamilan 20
minggu, tidak disebabkan penyakit trofoblastik gestasional .
atau
b. Hipertensi pertama kali di diagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap
setelah 12 minggu pasca partum.

Insiden dan Epidemiologi

Preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan kematian


maternal serta perinatal, 2-3% dari seluruh kehamilan. Insidens preeklampsia di dunia sekitar
2-8% dari seluruh kehamilan.11 Preeklampsia sering mengenai perempuan muda dan nulipara,
sedangkan perempuan yang lebih tua lebih berisiko mengalami hipertensi kronis yang
bertumpang tindih dengan preeklampsia. Selain itu insiden sangat dipengaruhi oleh ras dan
etnik serta predisposisi genetik. Faktor lain meliputi pengaruh lingkungan, sosioekonomi, dan
bahkan musim. 12

Mempertimbangkan variasi ini, pada sejumlah penelitian dari seluruh dunia yang
ditulis oleh Sibai dan Cunningham (2009), insiden preeklampsia pada populasi nulipara
berkisar antara 3 dan 10%. Insiden preeklampsia pada multipara juga bervariasi, tetapi tidak
seberagam pada nulipara. Akan tetapi, Ananth dan Basso (2009) melaporkan bahwa risiko
lahir mati lebih tinggi pada perempuan multipara yang mengidap hipertensi dibandingkan
dengan nulipara yang mengidap penyakit serupa. Pada perempuan yang normotensif selama
kehamilan pertamanya, insiden preeklampsia pada kehamilan selanjutnya lebih rendah.
Insiden preeklampsia pada perempuan kulit putih adalah 1,8% dibandingkan dengan 3% pada
perempuan Afrika-Amerika.12

Di Amerika Serikat, prevalensi preeklampsia naik dari 3,4% pada tahun 1980 menjadi
3,8% pada tahun 2010, insidens eklampsia diperkirakan 1 per 3250 kelahiran pada tahun
1998. Di Indonesia, pendataan preeklampsia-eklampsia, terutama di tingkat nasional masih
terbatas. Insidens preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10%, dengan 39,5%
menyebabkan kematian di tahun 2001 dan 55,56% di tahun 2002.11

Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko preeklampsia berdasarkan tingkat risiko : 1,10,12,13,14


1. Risiko Tinggi
a. Riwayat kehamilan dengan preeklampsia sebelumnya terutama yang disertai dengan
komplikasi.
b. Kehamilan multipel.
c. Hipertensi kronik.
d. Diabetes Melitus Tipe 1 atau 2.
e. Penyakit ginjal.
f. Kelainan autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, sindroma antifosfolipid.
2. Risiko Sedang
a. Nulipara.
b. Obesitas (IMT > 30 kg/m2).
c. Riwayat preeklampsia dalam keluarga (ibu atau saudara perempuan)
d. Usia ≥ 35 tahun.
e. Faktor riwayat pribadi (melahirkan bayi dengan BBL rendah, atau kecil masa
kehamilan, interval kehamilan > 10 tahun, riwayat kelainan saat kehamilan).
3. Risiko Rendah
a. Riwayat melahirkan tanpa komplikasi.

Etiologi

Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Sejumlah besar mekanisme telah
diajukan untuk menjelaskan penyebabnya. Preeklampsia tidaklah sesederhana “satu
penyakit”, melainkan merupakan hasil akhir berbagai faktor yang kemungkinan meliputi
sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin. Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting
mencakup : 12
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan maternal, paternal
(plasental) dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi
pada kehamilan normal.
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh
epigenetik.

Patofisiologi

Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan perfusi plasenta
dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu pertama kehamilan. Pada
fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas
dimulai pada saat perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai
sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap
kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan
elemen pokok respons inflamasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.10

Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta dangkal, aliran
darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal trimester kedua. Hal ini
mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang menyebabkan terjadinya kelainan
multisistem pada ibu. Pada wanita dengan penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia;
mungkin preeklampsia ini didahului gangguan perfusi plasenta. Tekanan darah pada
preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan darah disebabkan adanya peningkatan
resistensi vaskuler. 10

Gambar 1. Patofisiologi Preeklampsia 10

Selain itu, didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah sering
kali lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas vasokonstriktor simpatis,
yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini mendukung penggunaan metildopa
sebagai antihipertensi. Tirah baring sering dapat memperbaiki hipertensi pada kehamilan,
mungkin karena perbaikan perfusi uteroplasenta. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko
penting terjadinya preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan
risiko preeklampsia dua kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel. Pada
preeklampsia, fraksi filtrasi renal menurun sekitar 25%, padahal selama kehamilan normal,
fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam urat serum menurun, biasanya
sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5 mg/dL akibat penurunan klirens renal dan fi
ltrasi glomerulus merupakan penanda penting preeklampsia. 10

Manifestasi Klinis

Terdapat sejumlah manifestasi meurologis sindrom preeklampsia dimana masing-


masing manifestasi menunjukkan keterlibatan berat suatu organ dan memerlukan perhatian
segera. 12
1. Nyeri kepala dan skotomata, diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang
memiliki predileksi pada lobus oksipitalis. Nyeri kepala dapat ringan hingga berat dan
dapat intermitten atau konstan.
2. Kejang bersifat diagnostik untuk eklampsia.
3. Kebutaan jarang terjadi pada preeklampsia, tetapi sering menjadi komplikasi pada kejang
eklamptik (sekitar 15% perempuan) yang dilaporkan timbul hingga seminggu atau lebih
setelah kelahiran.
4. Edema otak menyeluruh dan biasanya bermanifestasi sebagai perubahan status mental
yang bervariasi dari kebingungan hingga koma. Kondisi ini berbahaya karena dapat
menyebabkan herniasi supratentorial yang membahayakan jiwa.

Diagnosis

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang


disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan
diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi
dan proteinuria yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria).
Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya
kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria.
Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal. 1,10,11

A. Penegakkan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90


mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160

mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Mat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter
air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter
otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah
menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah.

Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang


dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran
dilakukan pada posisi duduk posisi manset setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik
diukur dengan mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai
dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang
tepat. Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada
kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi.

B. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan sebagai


hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai
adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat
disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat
preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:

 Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter.

 Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
 Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen.
 Edema Paru.

 Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.

 Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :


Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya Absent or
Reversed end Diastolic Velocity (ARDV).

C. Penentuan Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam
atau tes urin dipstick > positif 1. Pemeriksaan urin dipstick bukan merupakan pemeriksaan
yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin
sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin, dilaporkan bahwa
pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstick positif 1 berkisar 0-2400 mg/24

jam, dan positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstick memiliki angka
positif palsu yang tinggi, dengan tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan
kontaminasi duh vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa.

Metode dipstick tidak lagi disarankan untuk diagnostik kecuali pendekatan lain tidak
tersedia. Protein 1+ dianggap sebagai cut off untuk diagnosis proteinuria. Saat ini, diagnosis
preeklampsia berat tidak lagi tergantung pada adanya proteinuria. Manajemen preeklampsia
tanpa proteinuria tidak boleh ditunda. Task Force on Hypertension in Pregnancy juga
menyarankan untuk mengeliminasi kriteria proteinuria masif, yang didefinisikan sebagai
proteinuria >5 g, karena kurangnya bukti bahwa kuantitas protein berhubungan dengan
luaran kehamilan dengan preeklampsia.

Konsensus Australian Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP)


dan panduan yang dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstick hanya dapat digunakan sebagai tes
skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio protein banding kreatinin.Pada telaah
sistematik yang dilakukan Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding
kreatinin dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik.
D. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat

Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia,


dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan
preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang
menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau preeklampsia berat adalah salah satu
dibawah ini :

 Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama.
 Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter.
 Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
 Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen.
 Edema Paru.
 Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
 Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan Absent or
Reversed end Diastolic Velocity (ARDV).

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas


protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif ( lebih dari 5
g) telah dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria
terbaru tidak lagi mengkategorikan preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia
merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan
mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.

Prediksi dan Pencegahan

Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: primer, sekunder, tersier.
Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks
preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum
timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti
pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga
merupakan tata laksana. 1,12

Pencegahan Primer

Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan tanda,
namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan primer merupakan yang
terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun
hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui.

Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk
meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat
meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya, sehingga
memungkinkan dilakukan pencegahan primer.

Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama :

 Anamnesis
- Umur > 40 tahun.
- Nulipara.
- Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya.
- Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru.
- Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih.
- Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan.
- Kehamilan multipel.
- IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus).
- Hipertensi kronik.
- Penyakit ginjal.
- Sindrom antifosfolipid (APS).
- Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio.
- Obesitas sebelum hamil.
 Pemeriksaan Fisik
- Indeks massa tubuh > 35.
- Tekanan darah diastolik > 80 mmHg.
- Proteinuria (dipstick >+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam).

Rekomendasi Pencegahan Primer

 Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil
sejak awal kehamilannya.
Level evidence IIb, Rekomendasi C
 Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan riwayat medis pasien seperti
penggunaan biomarker dan USG Doppler Velocimetry masih belum dapat di
rekomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan
luaran kehamilan.
Level evidence IIb, Rekomendasi C

Pencegahan Sekunder

Istirahat

Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna
menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat dirumah
15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia. Dari 3
studi yang dilakukan telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia,
kematian perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang melakukan tirah baring di rumah
dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia.

Rekomendasi

 Istirahat di rumah tidak di rekomendasikan untuk pencegahan primer preeklampsia.


 Tirah baring tidak di rekomendasikan untuk memperbaiki luaran pada wanita hamil
dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria).
Level evidence III, Rekomendasi C
Restriksi Garam

Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita pada 2 RCT menunjukkan
restriksi garam (20 – 50 mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada perbedaan dalam
mencegah preeklampsia, kematian perinatal, perawatan unit intensif dan skor apgar < 7 pada
menit kelima.

Rekomendasi

Pembatasan garam untuk mencegah dan komplikasinya selama kehamilan tidak di


rekomendasikan.

Level evidence II, Rekomendasi C

Aspirin Dosis Rendah

Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin dosis rendah
(60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa studi menunjukkan hasil
penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat aspirin.

Rekomendasi

 Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) di rekomendasikan untuk prevensi


preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi.
Level evidence II, Rekomendasi A
 Aspirin dosis rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan
sebelum usia kehamilan 20 minggu.
Level evidence III, Rekomendasi C

Suplementasi Kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan preeklampsia,
terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang
memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat. Tidak ada efek samping
yang tercatat dari suplementasi ini.
Rekomendasi
 Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari di rekomendasikan terutama pada wanita
dengan asupan kalsium yang rendah.
 Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1 g/hari) di
rekomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi
terjadinya preeklampsia.
Level evidence I, Rekomendasi A

Suplementasi Antioksidan
Pada metaanalisis 10 uji klinis yang melibatkan 6533 wanita. Sebagian besar uji klinis
menggunakan antioksidan kombinasi vitamin C (1000 mg) dan E (400 IU). Kesimpulan yang
didapatkan adalah pemberian antioksidan tersebut tidak memberikan perbedaan bermakna
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol pada kejadian preeklampsia.

Rekomendasi
Pemberian vitamin C dan E tidak di rekomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan
preeklampsia.
Level evidence Ia, Rekomendasi A

Penatalaksanaan

Manajemen Ekspektatif atau Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Odendaal, dkk melakukan uji kontrol acak (Randomized Controlled
Trial/RCT) pada pasien dengan preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji
tersebut didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi pada ibu, sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan (rata-rata 7,1 hari), mengurangi kebutuhan ventilator pada
neonatus (11% vs 35%), dan mengurangi komplikasi total pada neonatal (33% vs 75%).1,11
Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai, dkk pada pasien preeklampsia berat pada usia
kehamilan 28 – 32 minggu juga mendapatkan hasil yang kurang lebih sama. Pada uji tersebut
tidak didapatkan peningkatan komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan (rata-rata 15,4 vs 2,6 hari), berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan
intensif (20,2 vs 36,6 hari) dan mengurangi insiden sindrom gawat napas (respiratory distress
syndrome/RDS) (22,4% vs 50,5%) pada kelompok yang mendapat terapi ekspektatif. Berat
lahir rata – rata pada kelompok ini lebih besar dan bermakna secara statisik (1622g vs
1233g), akan tetapi insiden bayi kecil masa kehamilan juga lebih tinggi bermakna (30% vs
11%). Data mengenai luaran maternal dan perinatal pada pasien preeklampsia berat < 25 minggu
1,11
masih terbatas, Dari 115 pasien, dilaporkan kematian perinatal berkisar antara 71 – 100%.

Rekomendasi Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Tanpa Gejala Berat

 Manajemen ekspektatif di rekomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala


berat dengan usia kehamilan ≤ 37 minggu dengan evaluasi maternal dan janin yang
lebih ketat.
Level evidence II, Rekomendasi C
 Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa
gejala berat.
Level evidence IIb, Rekomendasi B
 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :
- Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien.
- Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis.
- Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu

Level evidence II, Rekomendasi C

- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam
seminggu).
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
Doppler Velocimetry terhadap arteri umbilikal di rekomendasikan.

Level evidence II, Rekomendasi A


Gambar 2. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Tanpa Gejala Berat 1
Rekomendasi Perawatan Ekspektatif pada Preeklampsia Berat

 Manajemen ekspektatif di rekomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan


usia kehamilan ≤ 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
 Manajemen eskpektatif pada preeklampsia berat juga di rekomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan
intensif bagi maternal dan neonatal.
Level evidence II, Rekomendasi A
 Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif preeklampsia berat, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin.

Level evidence I, Rekomendasi A

 Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap


selama melakukan perawatan ekspektatif.

Level evidence IIb, Rekomendasi B


Gambar 3. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat 1
Terminasi Kehamilan

Untuk pasien preeklampsia, keputusan terminasi kehamilan tidak harus didasarkan


pada jumlah proteinuria atau perubahan jumlah proteinuria dan jika janin belum viable,
terminasi kehamilan dianjurkan setelah stabilisasi ibu. Manajemen konservatif kehamilan
tidak dianjurkan.

Kortikosteroid disarankan diberikan dan terminasi kehamilan ditangguhkan selama 48


jam jika kondisi ibu dan janin tetap stabil pada pasien preeklamsia berat dan janin viable di
usia kehamilan kurang dari 34 minggu lengkap dengan salah satu dari berikut : ketuban pecah
dini preterm, in partu, jumlah trombosit rendah (<100.000), kadar enzim hati abnormal terus-
menerus (dua kali atau lebih dari nilai normal), pertumbuhan janin terganggu (kurang dari
persentil lima), oligohidramnion berat (AFI <5 cm), Reverse end diastolic pada studi Doppler
arteri umbilikalis dan onset baru disfungsi ginjal.

Kortikosteroid disarankan diberikan jika janin viable dan pada usia kehamilan kurang
dari 34 minggu lengkap, tetapi terminasi kehamilan tidak dapat ditunda setelah kondisi ibu
stabil tanpa memandang usia kehamilan atau untuk pasien preeklampsia berat yang disertai:
hipertensi berat tak terkendali, eklampsia, edema paru, solusio plasenta, Disseminated
Intravascular Coagulation, dan kematian janin intrapartum.

Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak perlu sesar. Cara
terminasi kehamilan harus ditentukan oleh usia kehamilan, presentasi janin, status serviks,
dan kondisi janin dan ibu. Pada pasien preeklampsia yang menjalani sesar, dianjurkan
administrasi intraoperatif magnesium sulfat secara parenteral untuk mencegah eklampsia.

Untuk pasien preeklampsia berat, dianjurkan administrasi magnesium sulfat intra dan
post-partum untuk mencegah eklampsia. Sementara itu untuk pasien hipertensi gestasional,
preeklampsia, atau preeklampsia superimposed, tekanan darah disarankan dipantau di rumah
sakit atau pengawasan rawat jalan dilakukan minimal 72 jam post-partum, hingga 10 hari
pada pasien yang bergejala.
Gambar 4. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat 1

Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di Eropa
dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah
untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas
dan mortalitas maternal serta perinatal.

Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga
berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.

 Efek Magnesium Sulfat pada Morbiditas dan Mortalitas Maternal

- Dari telaah sistematik dari 6 penelitian yang dilakukan oleh Duley, dkk, 2
diantaranya melaporkan tentang morbiditas dan mortalitas maternal. Tidak
terdapat perbedaan bermakna pada morbiditas maternal, seperti gagal ginjal,
gagal hepar dan koagulopati, serta lama perawatan di rumah sakit.
- Sebanyak 3 kasus (0,05%) kejadian serebrovaskular ditemukan diantara 6343
wanita yang mendapat magnesium sulfat, sedangkan dari 6330 orang di
kelompok plasebo ditemukan 6 kasus (0,09%).
- Pemberian magnesium sulfat tidak terbukti memiliki efek pada risiko induksi
persalinan, perdarahan post partum dan plasenta manual. Risiko kematian
berkurang sebesar 46% pada wanita yang mendapatkan magnesium sulfat
meskipun tidak bermakna secara statistik.
- Pada studi Magpie, didapatkan 11 kematian maternal pada kelompok magnesium
sulfat dan 20 kematian pada kelompok plasebo, namun tidak terdapat perbedaan
yang bermakna. Tiga kematian pada kelompok plasebo disebabkan karena gagal
ginjal, emboli paru dan infeksi.

 Efek Magnesium Sulfat pada Morbiditas dan Mortalitas Perinatal


- Penggunaan magnesium sulfat pada preeklampsia berat tidak berpengaruh pada
kejadian kematian perinatal. Penggunaan magnesium sulfat juga tidak
berpengaruh pada skor apgar < 7 pada menit 5, distress pernapasan, kebutuhan
intubasi, hipotoni dan lama perawatan khusus untuk neonatus. Tidak terdapat
perbedaan bermakna mengenai morbiditas Neonatal.

 Efek Samping dan Toksisitas Magnesium Sulfat


- Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor yang
lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot,
mengantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi.
- Dari uji acak dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 – 67% kasus.
Efek samping ini merupakan penyebab utama wanita menghentikan
pengobatan.
- Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat magnesium sulfat
dibandingkan 0,5% pada plasebo, namun tidak ada bukti nyata perbedaan risiko
hilangnya atau berkurangnya refleks tendon. Meskipun depresi napas dan
masalah pernapasan jarang ditemukan, risiko relatif meningkat pada kelompok
yang diberikan magnesium sulfat. Seperempat dari wanita yang mendapat
magnesium sulfat memiliki efek samping dimana yang terbanyak adalah
flushing.
- Jika mengatasi terjadinya toksisitas, kalsium glukonas 1 g (10 ml) dapat
diberikan perlahan selama 10 Menit.

 Waktu, Durasi, Dosis dan Rute Administrasi

- Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai waktu
yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan
pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.
-
- Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 –
10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post
partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
- Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen
penting dilakukan saat memberikan magnesium sulfat.
- Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.

- Pada penelitian Magpie, membandingkan pemberian magnesium sulfat regimen


intravena, dosis loading 4-6 g, dan pemeliharaan 1-2 g/jam, dengan dosis loading
intravena dan pemeliharaan intramuskular. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil
yang lebih tinggi bermakna kejadian efek samping pada pemberian intramuskular
(28% vs 5%) sehingga kebanyakan wanita menghentikan obat lebih awal. Dari studi
tersebut juga didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna dari kedua kelompok
.
dalam mencegah kejang

Rekomendasi Magnesium Sulfat

 Magnesium sulfat di rekomendasikan sebagai terapi lini pertama eklampsia.


 Magnesium sulfat di rekomendasikan sebagai profilaksis terhadap eklampsia pada
pasien preeklampsia berat.
Level evidence I, Rekomendasi A
 Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat
dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia
atau kejang berulang.

Level evidence Ia, Rekomendasi A

 Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler magnesium sulfat di


rekomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklampsia.
Level evidence II, Rekomendasi A
 Evaluasi kadar magnesium sulfat secara rutin tidak di rekomendasikan.
Level evidence I, Rekomendasi C
 Pemberian magnesium sulfat tidak di rekomendasikan untuk diberikan secara rutin ke
seluruh pasien eklampsia, jika tidak didapatkan gejala pemberatan (preeklampsia
tanpa gejala berat).
Level evidence III, Rekomendasi C

Anti Hipertensi

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang (tekanan
darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of Cardiology
(ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau
tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan
gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain,

pemberian antihipertensi di rekomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg .

Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi dapat
mengurangi insiden pertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta, superimposed
preeklampsia atau memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis menunjukkan
pemberian anti hipertensi meningkatkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin
terhambat sebanding dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan
pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah memberikan efek negatif pada
perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada
kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular.
Meskipun demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah
uteroplasenter.

Rekomendasi Anti Hipertensi


 Anti hipertensi di rekomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat atau
tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg.
Level evidence II, Rekomendasi A
 Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110
mmHg .
 Pemberian anti hipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,
hidralazine dan labetalol parenteral.
Level evidence I, Rekomendasi A
 Alternatif pemberian anti hipertensi yang lain adalah nitrogliserin, metildopa,
labetalol.

Level evidence I, Rekomendasi B

Komplikasi

Hipertensi gestasional dan preklampsia/eklampsia berhubungan dengan risiko


hipertensi dan penyakit kardiovaskular, juga bisa terjadi kelainan pada mata, perdarahan otak
(penyebab utama kematian pada maternal), gangguan pada janin (prematuritas, dismaturitas,
pertumbuhan janin terhambat dan kematian janin intrauterin), stroke, tombosis vena dalam
(DVT), penyakit ginjal, eklampsia, sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme and
Low Platelet) dan kematian.1,15

Konseling dan Edukasi

Pada kasus preeklampsia sebaiknya disarankan untuk memberikan beberapa konseling


dan edukasi kepada ibu hamil, suami dan keluarga : 14
1. Memberikan informasi mengenai keadaan kesehatan ibu hamil dengan tekanan darah
yang tinggi.
2. Melakukan edukasi terhadap pasien, suami dan keluarga jika menemukan gejala atau
keluhan dari ibu hamil segera memberitahu petugas kesehatan atau langsung ke
pelayanan kesehatan.
3. Sebelum pemberian MgSO4, pasien terlebih dahulu diberitahu akan mengalami rasa
panas dengan pemberian obat tersebut.
4. Suami dan keluarga pasien tetap diberi motivasi untuk melakukan pendampingan
terhadap ibu hamil selama proses rujukan.

Kriteria Rujukan :
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder.
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di lakukan menjadi utama sebelum dan selama
proses rujukan hingga ke pelayanan kesehatan sekunder.

Eklampsia

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma, dimana timbulnya kejang tidak disebabkan oleh penyebab
lain. Kejang yang timbul merupakan kejang umum tonik-klonik dan kejang eklamptik hampir
selalu didahului oleh preeklampsia. Eklampsia terbagi menjadi 3 yaitu antepartum (sebelum
persalinan), intrapartum (saat persalinan) dan pasca partum (setelah persalinan). Eklampsia
paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi semakin sering terjadi saat kehamilan
mendekati aterm. 12,14

Kejang biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal eklampsia, diantaranya :


nyeri kepala hebat, gangguan penglihatan, muntah-muntah, nyeri ulu hati atau abdomen
bagian atas dan kenaikan progresif tekanan darah. Dari pemeriksaan fisik didapatkan : 14
1. Pemeriksaan keadaan umum : sadar atau penurunan kesadaran.
2. Pada tingkat awal atau aura yang berlangsung 30-35 detik, tangan dan kelopak mata
bergetar, mata terbuka dengan pandangan kosong.
3. Tahap selanjutnya timbul kejang.
4. Pemeriksaan tanda vital (peningkatan tekanan darah diastol >110 mmHg).
5. Sianosis.
6. Skotoma penglihatan.
7. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda edema paru dan atau gagal jantung.
Dari pemeriksaan penunjang (pemeriksaan urinalisa) didapatkan proteinuria ≥ 2+.
Kejang eklamptik dapat berupa kejang hebat, selama kejang terjadi penderita harus
dilindungi khususnya jalan nafas karena akan menimbulkan beberapa komplikasi.
Komplikasi terbagi 2 : 14
1. Komplikasi pada ibu  sianosis, aspirasi, pendarahan otak dan kegagalan jantung
mendadak, lidah tergigit, jatuh dari tempat tidur yang menyebabkan fraktur dan luka,
gangguan fungsi ginjal, perdarahan atau ablasio retina serta gangguan fungsi hati dan
ikterus.
2. Komplikasi pada janin  asfiksia mendadak disebabkan oleh spasme pembuluh darah,
solusio plasenta dan persalinan prematuritas.

Pada kasus-kasus berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang berikutnya dan
dapat menyebabkan kematian. Pada kondisi yang jarang suatu kejang tunggal dapat diikuti
koma dan penderita mungkin tidak pernah sadar lagi. Namun pada prinsipnya, kematian tidak
terjadi hingga timbul kejang yang sering. 12

Sindrom HELLP

Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelet) adalah
hemolisis (penghancuran sel darah merah), peningkatan enzim hati (menunjukkan kerusakan
hati) dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Ini merupakan komplikasi dari
preeklampsia/eklampsia. 12,16,17,18

Sindrom HELLP terjadi pada 0,1%-0,6% dari semua kehamilan dan 4%-12% pada
pasien dengan preeklampsia. Sindrom HELLP biasanya terjadi pada trimester ketiga pada
11% pasien, muncul pada umur kehamilan ≤ 27 minggu pada 69% pasien di masa antepartum
dan 31% pasien pada masa postpartum (saat terjadinya khas yaitu dalam waktu 48 jam
pertama postpartum). Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang
lebih tua dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya pada preeklampsia paling sering terjadi
pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata 19 tahun). Faktor risiko sindrom HELLP juga
terjadi pada multiparitas dan riwayat kehamilan yang buruk. 12,16,17,18

Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi,
dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsia
/eklampsia yang tidak menderita sindrom HELLP. Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%),
yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat
malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Pasien sindrom HELLP biasanya
menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang
penting adalah bahwa hipertensi berat tidak selalu ditemukan. 12,16,17,18

Kriteria Diagnosis Sindrom HELLP

Klasifikasi Mississippi Klasifikasi Tennesse

- Kelas 1 Trombosit ≤ 50.000/mL Sindrom Komplit:


- Kelas 2 Trombosit > 50.000/mL - Hemolisis (gambaran sel abnormal)
tapi ≤ 100.000/mL - SGOT ≥ 70 IU/L
- Kelas 3 Trombosit > 100.000/ml - Trombosit < 100.000/mL
tapi ≤ 150.000/mL - LDH ≥ 600 IU/L
- Disfungsi Hepar  SGOT dan atau Sindroma Inkomplit/Parsial:
SGPT ≥ 40 IU/L
Terdapat satu atau dua tanda diatas
- Hemolisis (gambaran sel abnormal)
(pada sindrom komplit)
- LDH ≥ 600 IU/L

Penatalaksanaan Sindrom HELLP :

a. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip dengan

sindrom HELLP.

b. Pengobatan sindrom HELLP juga harus memperhatikan cara-cara perawatan dan

pengobatan pada preeklampsia dan eklampsia.

c. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi vasospasme

dan kerusakan sel endotel.

d. Jika dilakukan section caesarea dan trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberikan

transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan section caesarea

maka perlu diberi transfusi darah segar.


e. Dapat pula diberikan “plasma exchange” dengan “fresh frozen plasma” dengan tujuan

menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.

f. Pemberian double strength dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam segera

setelah diagnosis sindrom HELLP ditegakkan. Kegunaan pemberiannya yaitu untuk

meningkatkan pematangan paru pada kehamilan preterm dan dapat mempercepat

perbaikan gejala klinis dan laboratoris.

g. Pada sindrom HELLP post partum diberikan dexamethasone 10 mg IV setiap 12 jam

disusul pemberian 5 mg dexamethasone 2 kali dalam selang waktu 12 jam.

h. Perbaikan gejala klinik setelah pemberian dexamethasone dapat diketahui dengan :

meningkatnya produksi urin, meningkatnya trombosit, menurunnya tekanan darah dan

menurunnya kadar LDH dan SGOT.

i. Bila terjadi ruptur hepar, sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.

j. Sikap terhadap kehamilan pada sindrom HELLP, lahirkan bayi tanpa melihat usia

kehamilan.

Pasien dengan sindrom HELLP harus diberitahu tentang risiko morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin pada kehamilan berikutnya.
BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan masalah kedokteran yang serius dan memiliki tingkat


kompleksitas yang tinggi. Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia
berdampak pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca
persalinan seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi lainnya. Sementara
eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia yang disertai dengan kejang
menyeluruh dan atau koma, dimana timbulnya kejang tidak disebabkan oleh penyebab lain.

Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau mengalami
pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan
mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering
kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat
dewasa.

Preeklampsia juga menyebabkan komplikasi yaitu Sindrom HELLP dimana terjadi


hemolisis (penghancuran sel darah merah), peningkatan enzim hati (menunjukkan kerusakan
hati) dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Sindrom HELLP terjadi pada 0,1%-
0,6% dari semua kehamilan dan 4%-12% pada pasien dengan preeklampsia. Sindrom HELLP
biasanya terjadi antara minggu ke 27 kehamilan atau segera pasca persalinan dalam 15%-
30% kasus.

Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia masih beragam di antara


praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan hanya karena belum ada teori yang
mampu menjelaskan patogenesis penyakit ini secara jelas, namun juga akibat kurangnya
kesiapan sarana dan prasarana di daerah. Selain masalah kedokteran, preeklampsia juga
menimbulkan masalah ekonomi, karena biaya yang dikeluarkan untuk kasus ini cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.


Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklampsia.
2016.

2. World Health Organization (WHO). Dibalik Angka Pengkajian Kematian Maternal dan
Komplikasi Untuk Mendapatkan Kehamilan yang Lebih Aman. Indonesia: WHO; 2007.

3. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Report on the Achievement of


Millennium Development Goals Indonesia. Jakarta: Bappenas; 2010:67.

4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI: 2015.

5. Statistics by Country for Preeklampsia dari :


http://www.wrongdiagnosis.com/p/preeklampsia/stats-country.htm. (Diakses pada 13
November 2018).

6. Wilson BJ, Watson MS, Prescott GJ. Hypertensive Diseases of Pregnancy and Risk of
Hypertension and Stroke in Later Life: Result from Cohort Study. BMJ. 2003;326:1-7.

7. Ramsay JE, Stewart F, Green IA, Sattar N. Microvascular Dysfunction: A Link Between
Preeklampsia and Maternal Coronary Heart Disease. BJOG. 2003;110:1029-31.

8. Ngoc NT. Causes of Stillbirths and Early Neonatal Deaths: Data from 7993 Pregnancies
in Six Developing Countries. Bull World Health Organ. 2006;84:699-705.

9. Barker DJ. The Developmental Origins of Well Being. Philos Trans R Soc B Biol Sci.
2004;359:1359-66.

10. Myrtha, Risalina. CDK-227 Volume 42 No.4 Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada
Preeklampsia. 2015.
11. Sumulyo, Ganot, Wulan Ardhana Iswari, dkk. CDK-225 Volume 44 No.8. Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia Berat Tidak Tergantung Proteinuria. 2017.

12. Cunningham, F.Gary, et al. Obstetri Williams Edisi 23 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.

13. Iskandar, Ferdy, Suryadi Limardi, dkk. CDK-252 Volume 44 No.5. Aspirin Dosis
Rendah Untuk Pencegahan Preeklampsia dan Komplikasinya. 2017.

14. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi
Revisi. Kesehatan Wanita. 2014.

15. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Jakarta : YBP-SP; 2006.

16. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI; 2009.

17. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins Manual

of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007.

18. Leksana, Ery. CDK-206 Volume 40 No.7. Manajemen Anestetik Sindrom Antifosfolipid

dengan Komplikasi Sindrom HELLP. 2013.

Anda mungkin juga menyukai