PREEKLAMPSIA/EKLAMPSIA
Pembimbing:
Disusun Oleh :
2018
BERITA ACARA DISKUSI/PRESENTASI TINJAUAN PUSTAKA
Pada hari ini, tanggal November 2018, telah di presentasikan sebuah tinjauan pustaka oleh :
Judul : Preeklampsia/Eklampsia
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya :
Pembimbing :
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya,
akhirnya tinjauan pustaka dengan judul “Preeklampsia/Eklampsia” ini dapat penulis
selesaikan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menjalani program Internship di
RSU Sungai Gelam Kabupaten Muaro Jambi.
Pada penulisan tinjauan pustaka ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Yuri Iranda, Sp.OG selaku pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan dan juga ucapan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah terlibat.
Sepenuhnya penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini sangat jauh dari sempurna
dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
mendukung sangat penulis harapkan untuk memperbaiki tinjauan pustaka ini dan
kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada semoga tinjauan pustaka ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
COVER ..............................................................................................................i
Latar Belakang........................................................................................1
Definisi Preeklampsia.............................................................................3
Faktor Risiko...........................................................................................5
Etiologi....................................................................................................6
Patofisiologi............................................................................................6
Manifestasi Klinis...................................................................................7
Diagnosis.................................................................................................8
Penatalaksanaan......................................................................................15
Komplikasi..............................................................................................25
Eklampsia................................................................................................26
Sindrom HELLP.....................................................................................27
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi dalam
kehamilan (25%), dan infeksi (12%).4 WHO memperkirakan kasus preeklampsia tujuh kali
lebih tinggi di Negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi preeklampsia di
Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara berkembang adalah 1,8% - 18%.
Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.7.5
Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang
nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.
Definisi
4. Hipertensi Kronis.
a. TD ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosa sebelum kehamilan 20
minggu, tidak disebabkan penyakit trofoblastik gestasional .
atau
b. Hipertensi pertama kali di diagnosis setelah kehamilan 20 minggu dan menetap
setelah 12 minggu pasca partum.
Mempertimbangkan variasi ini, pada sejumlah penelitian dari seluruh dunia yang
ditulis oleh Sibai dan Cunningham (2009), insiden preeklampsia pada populasi nulipara
berkisar antara 3 dan 10%. Insiden preeklampsia pada multipara juga bervariasi, tetapi tidak
seberagam pada nulipara. Akan tetapi, Ananth dan Basso (2009) melaporkan bahwa risiko
lahir mati lebih tinggi pada perempuan multipara yang mengidap hipertensi dibandingkan
dengan nulipara yang mengidap penyakit serupa. Pada perempuan yang normotensif selama
kehamilan pertamanya, insiden preeklampsia pada kehamilan selanjutnya lebih rendah.
Insiden preeklampsia pada perempuan kulit putih adalah 1,8% dibandingkan dengan 3% pada
perempuan Afrika-Amerika.12
Di Amerika Serikat, prevalensi preeklampsia naik dari 3,4% pada tahun 1980 menjadi
3,8% pada tahun 2010, insidens eklampsia diperkirakan 1 per 3250 kelahiran pada tahun
1998. Di Indonesia, pendataan preeklampsia-eklampsia, terutama di tingkat nasional masih
terbatas. Insidens preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10%, dengan 39,5%
menyebabkan kematian di tahun 2001 dan 55,56% di tahun 2002.11
Faktor Risiko
Etiologi
Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Sejumlah besar mekanisme telah
diajukan untuk menjelaskan penyebabnya. Preeklampsia tidaklah sesederhana “satu
penyakit”, melainkan merupakan hasil akhir berbagai faktor yang kemungkinan meliputi
sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin. Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting
mencakup : 12
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan maternal, paternal
(plasental) dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi
pada kehamilan normal.
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh
epigenetik.
Patofisiologi
Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan perfusi plasenta
dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu pertama kehamilan. Pada
fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas
dimulai pada saat perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai
sirkulasi maternal menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap
kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan
elemen pokok respons inflamasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.10
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta dangkal, aliran
darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal trimester kedua. Hal ini
mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang menyebabkan terjadinya kelainan
multisistem pada ibu. Pada wanita dengan penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia;
mungkin preeklampsia ini didahului gangguan perfusi plasenta. Tekanan darah pada
preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan darah disebabkan adanya peningkatan
resistensi vaskuler. 10
Selain itu, didapatkan perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah sering
kali lebih tinggi pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas vasokonstriktor simpatis,
yang akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini mendukung penggunaan metildopa
sebagai antihipertensi. Tirah baring sering dapat memperbaiki hipertensi pada kehamilan,
mungkin karena perbaikan perfusi uteroplasenta. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko
penting terjadinya preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan
risiko preeklampsia dua kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel. Pada
preeklampsia, fraksi filtrasi renal menurun sekitar 25%, padahal selama kehamilan normal,
fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam urat serum menurun, biasanya
sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5 mg/dL akibat penurunan klirens renal dan fi
ltrasi glomerulus merupakan penanda penting preeklampsia. 10
Manifestasi Klinis
Diagnosis
mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Mat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter
air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter
otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah
menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah.
Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen.
Edema Paru.
C. Penentuan Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam
atau tes urin dipstick > positif 1. Pemeriksaan urin dipstick bukan merupakan pemeriksaan
yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin
sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin, dilaporkan bahwa
pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstick positif 1 berkisar 0-2400 mg/24
jam, dan positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstick memiliki angka
positif palsu yang tinggi, dengan tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan
kontaminasi duh vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa.
Metode dipstick tidak lagi disarankan untuk diagnostik kecuali pendekatan lain tidak
tersedia. Protein 1+ dianggap sebagai cut off untuk diagnosis proteinuria. Saat ini, diagnosis
preeklampsia berat tidak lagi tergantung pada adanya proteinuria. Manajemen preeklampsia
tanpa proteinuria tidak boleh ditunda. Task Force on Hypertension in Pregnancy juga
menyarankan untuk mengeliminasi kriteria proteinuria masif, yang didefinisikan sebagai
proteinuria >5 g, karena kurangnya bukti bahwa kuantitas protein berhubungan dengan
luaran kehamilan dengan preeklampsia.
Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama.
Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter.
Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya.
Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya
nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen.
Edema Paru.
Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus.
Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan Absent or
Reversed end Diastolic Velocity (ARDV).
Terminologi umum ‘pencegahan’ dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: primer, sekunder, tersier.
Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks
preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum
timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti
pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga
merupakan tata laksana. 1,12
Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan tanda,
namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan primer merupakan yang
terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun
hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui.
Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan untuk
meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada satu tes pun yang memiliki sensitivitas
dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian pemeriksaan yang kompleks agar dapat
meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan
dapat mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan mengkontrolnya, sehingga
memungkinkan dilakukan pencegahan primer.
Anamnesis
- Umur > 40 tahun.
- Nulipara.
- Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya.
- Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru.
- Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih.
- Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan.
- Kehamilan multipel.
- IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus).
- Hipertensi kronik.
- Penyakit ginjal.
- Sindrom antifosfolipid (APS).
- Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio.
- Obesitas sebelum hamil.
Pemeriksaan Fisik
- Indeks massa tubuh > 35.
- Tekanan darah diastolik > 80 mmHg.
- Proteinuria (dipstick >+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara
kuantitatif 300 mg/24 jam).
Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil
sejak awal kehamilannya.
Level evidence IIb, Rekomendasi C
Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan riwayat medis pasien seperti
penggunaan biomarker dan USG Doppler Velocimetry masih belum dapat di
rekomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan
luaran kehamilan.
Level evidence IIb, Rekomendasi C
Pencegahan Sekunder
Istirahat
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna
menurunkan risiko preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas. Istirahat dirumah
15 menit 2x/hari ditambah suplementasi nutrisi juga menurunkan risiko preeklampsia. Dari 3
studi yang dilakukan telaah, didapatkan hasil tidak ada perbedaan kejadian eklampsia,
kematian perinatal, perawatan intensif pada kelompok yang melakukan tirah baring di rumah
dibandingkan istirahat di rumah sakit pada pasien preeklampsia.
Rekomendasi
Dari telaah sistematik 2 penelitian yang melibatkan 603 wanita pada 2 RCT menunjukkan
restriksi garam (20 – 50 mmol/hari) dibandingkan diet normal tidak ada perbedaan dalam
mencegah preeklampsia, kematian perinatal, perawatan unit intensif dan skor apgar < 7 pada
menit kelima.
Rekomendasi
Berbagai Randomized Controlled Trial (RCT) menyelidiki efek penggunaan aspirin dosis rendah
(60-80 mg) dalam mencegah terjadinya preeklampsia. Beberapa studi menunjukkan hasil
penurunan kejadian preeklampsia pada kelompok yang mendapat aspirin.
Rekomendasi
Suplementasi Kalsium
Suplementasi kalsium berhubungan dengan penurunan kejadian hipertensi dan preeklampsia,
terutama pada populasi dengan risiko tinggi untuk mengalami preeklampsia dan yang
memiliki diet asupan rendah kalsium. Suplementasi ini tidak memberikan perbedaan yang
signifikan pada populasi yang memiliki diet kalsium yang adekuat. Tidak ada efek samping
yang tercatat dari suplementasi ini.
Rekomendasi
Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari di rekomendasikan terutama pada wanita
dengan asupan kalsium yang rendah.
Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1 g/hari) di
rekomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi
terjadinya preeklampsia.
Level evidence I, Rekomendasi A
Suplementasi Antioksidan
Pada metaanalisis 10 uji klinis yang melibatkan 6533 wanita. Sebagian besar uji klinis
menggunakan antioksidan kombinasi vitamin C (1000 mg) dan E (400 IU). Kesimpulan yang
didapatkan adalah pemberian antioksidan tersebut tidak memberikan perbedaan bermakna
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol pada kejadian preeklampsia.
Rekomendasi
Pemberian vitamin C dan E tidak di rekomendasikan untuk diberikan dalam pencegahan
preeklampsia.
Level evidence Ia, Rekomendasi A
Penatalaksanaan
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Odendaal, dkk melakukan uji kontrol acak (Randomized Controlled
Trial/RCT) pada pasien dengan preeklampsia berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji
tersebut didapatkan hasil tidak terdapat peningkatan komplikasi pada ibu, sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan (rata-rata 7,1 hari), mengurangi kebutuhan ventilator pada
neonatus (11% vs 35%), dan mengurangi komplikasi total pada neonatal (33% vs 75%).1,11
Uji kontrol acak yang dilakukan Sibai, dkk pada pasien preeklampsia berat pada usia
kehamilan 28 – 32 minggu juga mendapatkan hasil yang kurang lebih sama. Pada uji tersebut
tidak didapatkan peningkatan komplikasi maternal, sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan (rata-rata 15,4 vs 2,6 hari), berkurangnya lama perawatan neonatus di perawatan
intensif (20,2 vs 36,6 hari) dan mengurangi insiden sindrom gawat napas (respiratory distress
syndrome/RDS) (22,4% vs 50,5%) pada kelompok yang mendapat terapi ekspektatif. Berat
lahir rata – rata pada kelompok ini lebih besar dan bermakna secara statisik (1622g vs
1233g), akan tetapi insiden bayi kecil masa kehamilan juga lebih tinggi bermakna (30% vs
11%). Data mengenai luaran maternal dan perinatal pada pasien preeklampsia berat < 25 minggu
1,11
masih terbatas, Dari 115 pasien, dilaporkan kematian perinatal berkisar antara 71 – 100%.
- Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam
seminggu).
- Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
Doppler Velocimetry terhadap arteri umbilikal di rekomendasikan.
Kortikosteroid disarankan diberikan jika janin viable dan pada usia kehamilan kurang
dari 34 minggu lengkap, tetapi terminasi kehamilan tidak dapat ditunda setelah kondisi ibu
stabil tanpa memandang usia kehamilan atau untuk pasien preeklampsia berat yang disertai:
hipertensi berat tak terkendali, eklampsia, edema paru, solusio plasenta, Disseminated
Intravascular Coagulation, dan kematian janin intrapartum.
Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak perlu sesar. Cara
terminasi kehamilan harus ditentukan oleh usia kehamilan, presentasi janin, status serviks,
dan kondisi janin dan ibu. Pada pasien preeklampsia yang menjalani sesar, dianjurkan
administrasi intraoperatif magnesium sulfat secara parenteral untuk mencegah eklampsia.
Untuk pasien preeklampsia berat, dianjurkan administrasi magnesium sulfat intra dan
post-partum untuk mencegah eklampsia. Sementara itu untuk pasien hipertensi gestasional,
preeklampsia, atau preeklampsia superimposed, tekanan darah disarankan dipantau di rumah
sakit atau pengawasan rawat jalan dilakukan minimal 72 jam post-partum, hingga 10 hari
pada pasien yang bergejala.
Gambar 4. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat 1
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di Eropa
dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah
untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas
dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu
mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,
magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga
berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang
mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
- Dari telaah sistematik dari 6 penelitian yang dilakukan oleh Duley, dkk, 2
diantaranya melaporkan tentang morbiditas dan mortalitas maternal. Tidak
terdapat perbedaan bermakna pada morbiditas maternal, seperti gagal ginjal,
gagal hepar dan koagulopati, serta lama perawatan di rumah sakit.
- Sebanyak 3 kasus (0,05%) kejadian serebrovaskular ditemukan diantara 6343
wanita yang mendapat magnesium sulfat, sedangkan dari 6330 orang di
kelompok plasebo ditemukan 6 kasus (0,09%).
- Pemberian magnesium sulfat tidak terbukti memiliki efek pada risiko induksi
persalinan, perdarahan post partum dan plasenta manual. Risiko kematian
berkurang sebesar 46% pada wanita yang mendapatkan magnesium sulfat
meskipun tidak bermakna secara statistik.
- Pada studi Magpie, didapatkan 11 kematian maternal pada kelompok magnesium
sulfat dan 20 kematian pada kelompok plasebo, namun tidak terdapat perbedaan
yang bermakna. Tiga kematian pada kelompok plasebo disebabkan karena gagal
ginjal, emboli paru dan infeksi.
- Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai waktu
yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan
pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.
-
- Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama 5 –
10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam post
partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat.
- Pemantauan produksi urin, refleks patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen
penting dilakukan saat memberikan magnesium sulfat.
- Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi kejang berulang.
Anti Hipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang (tekanan
darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European Society of Cardiology
(ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau
tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan
gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain,
Dari penelitian yang ada, tidak terbukti bahwa pengobatan antihipertensi dapat
mengurangi insiden pertumbuhan janin terhambat, solusio plasenta, superimposed
preeklampsia atau memperbaiki luaran perinatal. Dari hasil metaanalisis menunjukkan
pemberian anti hipertensi meningkatkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan janin
terhambat sebanding dengan penurunan tekanan arteri rata-rata. Hal ini menunjukkan
pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah memberikan efek negatif pada
perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada
kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular.
Meskipun demikian, penurunan tekanan darah dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25%
penurunan dalam waktu 1 jam. Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah
uteroplasenter.
Komplikasi
Kriteria Rujukan :
1. Rujuk bila ada satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat ke fasilitas
pelayanan kesehatan sekunder.
2. Penanganan kegawatdaruratan harus di lakukan menjadi utama sebelum dan selama
proses rujukan hingga ke pelayanan kesehatan sekunder.
Eklampsia
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia yang disertai dengan
kejang menyeluruh dan atau koma, dimana timbulnya kejang tidak disebabkan oleh penyebab
lain. Kejang yang timbul merupakan kejang umum tonik-klonik dan kejang eklamptik hampir
selalu didahului oleh preeklampsia. Eklampsia terbagi menjadi 3 yaitu antepartum (sebelum
persalinan), intrapartum (saat persalinan) dan pasca partum (setelah persalinan). Eklampsia
paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi semakin sering terjadi saat kehamilan
mendekati aterm. 12,14
Pada kasus-kasus berat, koma menetap dari satu kejang ke kejang berikutnya dan
dapat menyebabkan kematian. Pada kondisi yang jarang suatu kejang tunggal dapat diikuti
koma dan penderita mungkin tidak pernah sadar lagi. Namun pada prinsipnya, kematian tidak
terjadi hingga timbul kejang yang sering. 12
Sindrom HELLP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes and Low Platelet) adalah
hemolisis (penghancuran sel darah merah), peningkatan enzim hati (menunjukkan kerusakan
hati) dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit). Ini merupakan komplikasi dari
preeklampsia/eklampsia. 12,16,17,18
Sindrom HELLP terjadi pada 0,1%-0,6% dari semua kehamilan dan 4%-12% pada
pasien dengan preeklampsia. Sindrom HELLP biasanya terjadi pada trimester ketiga pada
11% pasien, muncul pada umur kehamilan ≤ 27 minggu pada 69% pasien di masa antepartum
dan 31% pasien pada masa postpartum (saat terjadinya khas yaitu dalam waktu 48 jam
pertama postpartum). Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia ibu yang
lebih tua dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya pada preeklampsia paling sering terjadi
pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata 19 tahun). Faktor risiko sindrom HELLP juga
terjadi pada multiparitas dan riwayat kehamilan yang buruk. 12,16,17,18
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi,
dari yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsia
/eklampsia yang tidak menderita sindrom HELLP. Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%),
yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat
malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain. Pasien sindrom HELLP biasanya
menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang
penting adalah bahwa hipertensi berat tidak selalu ditemukan. 12,16,17,18
a. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip dengan
sindrom HELLP.
c. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi vasospasme
d. Jika dilakukan section caesarea dan trombosit < 50.000/ml, maka perlu diberikan
transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/ml, dan akan dilakukan section caesarea
j. Sikap terhadap kehamilan pada sindrom HELLP, lahirkan bayi tanpa melihat usia
kehamilan.
Pasien dengan sindrom HELLP harus diberitahu tentang risiko morbiditas dan
mortalitas ibu dan janin pada kehamilan berikutnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dampak jangka panjang juga dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan
preeklampsia, seperti berat badan lahir rendah akibat persalinan prematur atau mengalami
pertumbuhan janin terhambat, serta turut menyumbangkan besarnya angka morbiditas dan
mortalitas perinatal. Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab tersering
kedua morbiditas dan mortalitas perinatal. Bayi dengan berat badan lahir rendah atau
mengalami pertumbuhan janin terhambat juga memiliki risiko penyakit metabolik pada saat
dewasa.
2. World Health Organization (WHO). Dibalik Angka Pengkajian Kematian Maternal dan
Komplikasi Untuk Mendapatkan Kehamilan yang Lebih Aman. Indonesia: WHO; 2007.
6. Wilson BJ, Watson MS, Prescott GJ. Hypertensive Diseases of Pregnancy and Risk of
Hypertension and Stroke in Later Life: Result from Cohort Study. BMJ. 2003;326:1-7.
7. Ramsay JE, Stewart F, Green IA, Sattar N. Microvascular Dysfunction: A Link Between
Preeklampsia and Maternal Coronary Heart Disease. BJOG. 2003;110:1029-31.
8. Ngoc NT. Causes of Stillbirths and Early Neonatal Deaths: Data from 7993 Pregnancies
in Six Developing Countries. Bull World Health Organ. 2006;84:699-705.
9. Barker DJ. The Developmental Origins of Well Being. Philos Trans R Soc B Biol Sci.
2004;359:1359-66.
10. Myrtha, Risalina. CDK-227 Volume 42 No.4 Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada
Preeklampsia. 2015.
11. Sumulyo, Ganot, Wulan Ardhana Iswari, dkk. CDK-225 Volume 44 No.8. Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia Berat Tidak Tergantung Proteinuria. 2017.
12. Cunningham, F.Gary, et al. Obstetri Williams Edisi 23 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.
13. Iskandar, Ferdy, Suryadi Limardi, dkk. CDK-252 Volume 44 No.5. Aspirin Dosis
Rendah Untuk Pencegahan Preeklampsia dan Komplikasinya. 2017.
14. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi
Revisi. Kesehatan Wanita. 2014.
15. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga. Jakarta : YBP-SP; 2006.
17. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins Manual
18. Leksana, Ery. CDK-206 Volume 40 No.7. Manajemen Anestetik Sindrom Antifosfolipid