Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

UPDATE ON THE MANAGEMENT OF ACUTE PHARYNGITIS


IN CHILDREN

DISUSUN OLEH :
Chotijah Auliana Gusti
1820221188

PEMBIMBING :
dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, MSi.Med

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN THT


RSUD AMBARAWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah melimpahkan
rahmat, hidayah, nikmat, serta kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga journal reading
yang berjudul “UPDATE ON THE MANAGEMENT OF ACUTE PHARYNGITIS IN
CHILDREN” telah selesai tepat pada waktunya.
Jornal reading ini merupakan salah satu tugas di Departemen THT RSUD
Ambarawa, diharapkan agar bermanfaat bagi yang membacanya. Penyusun mengharapkan
saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.
Penulis ucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, MSi.Med selaku pembimbing.
2. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak
pernah henti diberikan kepada penulis.
3. Rekan-rekan co-assisten Departemen THT RSUD Ambarawa atas
motivasi dan dukungannya.
Semoga journal reading ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun
di luar lingkungan RSUD Ambarawa.

Ambarawa, Juni 2019

Penulis
PENGESAHAN

Journal reading diajukan oleh


Nama : Chotijah Auliana Gusti
NRP : 1820221188
Program studi : Kedokteran umum
Judul : Update on the management of acute pharyngitis in children
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat
yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Pembimbing

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, MSi.Med

Ditetapkan di: Ambarawa


Tanggal :
UPDATE TENTANG MANAJEMEN FARINGITIS AKUT PADA ANAK-ANAK
Marta Regoli, Elena Chiappini, Francesca Bonsignori, Luisa Galli, Maurizio de
Martino

Abstrak
Faringitis streptokokus adalah patologi yang sangat sering dijumpai pada usia anak di seluruh
dunia. Meskipun demikian belum ada kesepakatan bersama mengenai manajemen kondisi ini.
Beberapa penulis merekomendasikan untuk melakukan penelitian mikrobiologis pada kasus
suspek bakterial untuk mengobati kasus yang dikonfirmasi dengan antibiotik sehingga dapat
mencegah komplikasi supuratif dan demam rematik akut. Disamping itu, penulis lain
menganggap faringitis, bahkan tipe streptokokus, adalah penyakit jinak yang dapat sembuh
sendiri. Akibatnya mereka tidak akan secara rutin melakukan pemeriksaan mikrobiologis dan,
merujuk pada penggunaan antibiotik yang tepat, mereka akan mendapat terapi antimikroba
untuk kasus yang terpilih dengan baik. Telah dihitung bahwa jumlah pasien yang perlu
dirawat untuk mencegah satu komplikasi setelah infeksi saluran pernapasan atas (termasuk
sakit tenggorokan) lebih dari 4000.
Bahkan penggunaan skor Centor, untuk mengevaluasi risiko infeksi streptokokus, masih
dalam perdebatan dan interpretasi hasil pemeriksaan dapat sangat bervariasi. Penisilin
dianggap di seluruh dunia sebagai terapi lini pertama, tetapi amoksisilin oral juga diterima
dan, karena palatabilitasnya yang lebih baik, bisa menjadi pilihan yang cocok. Makrolida
baru diberikan untuk kasus alergi langka yang terbukti alergi terhadap β-laktam. Sefalosporin
dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap penisilin (dengan pengecualian
hipersensibilitas tipe I) dan juga telah diusulkan untuk mengobati kekambuhan.

Pendahuluan
Faringitis akut didefinisikan sebagai infeksi faring dan/atau tonsil. Ini adalah patologi yang
sangat sering dijumpai pada anak-anak dan remaja. Meskipun virus menyebabkan sebagian
besar episode faringitis akut, Streptococcus grup A (GABHS) menyebabkan 37% kasus
faringitis akut pada anak-anak berusia lebih dari 5 tahun [1]. Penyebab bakteri lain pada
faringitis adalah Streptococcus grup C (5% dari total kasus), C. pneumoniae (1%), M.
pneumoniae (1%) dan spesies anaerob (1%). Antara virus Rhinovirus, Coronavirus dan
Adenovirus menyumbang 30% dari total kasus, virus Epstein Barr 1%, virus Influenza dan
Parainfluenza sekitar 4% [2].
Faringitis streptokokus memiliki insiden puncak pada tahun-tahun awal sekolah dan
jarang terjadi sebelum usia 3 tahun. Penyakit ini paling sering terjadi di musim dingin dan
musim semi [3]. Infeksi ditularkan melalui sekresi pernapasan dan masa inkubasinya adalah
2-5 hari. Kemampuan menularkan infeksi paling tinggi selama fase akut dan pada orang yang
tidak diobati berkurang secara bertahap selama beberapa minggu; infeksi berhenti setelah 24
jam terapi antibiotik [4].
Manifestasi klinis seperti sakit tenggorokan dan demam dengan onset mendadak,
faring merah, pembesaran tonsil yang ditutupi dengan eksudat berwarna kuning darah.
Mungkin ada petekie pada palatum lunak dan faring posterior. Nodus servikal anterior
membesar dan membengkak. Gejala sakit kepala dan gastrointestinal (muntah dan sakit
perut) sering terjadi. Tabel 1 menunjukkan tanda dan gejala faringitis GABHS dan
sensitivitas dan spesifisitasnya untuk diagnosis [5].
Onset faringitis virus bersifat lebih bertahap dan gejalanya seringkali meliputi rinore,
batuk, diare, suara serak. Beberapa skor klinis telah diusulkan untuk membantu dokter dalam
menegakkan diagnosis; ini diilustrasikan dalam tabel 2.
Bagaimanapun, gambaran klinis faringitis GABHS dan viral menunjukkan tumpang
tindih yang cukup besar dan tidak ada elemen tunggal dari riwayat pasien atau pemeriksaan
fisik yang secara meyakinkan mengonfirmasi atau menyingkirkan faringitis GABHS [5].
Komplikasi infeksi dapat dibedakan menjadi supuratif dan nonsupuratif. Komplikasi
supuratif, karena penyebaran GABHS ke jaringan yang berdekatan, meliputi limfadenitis
servikal, abses peritonsilar, abses retrofaringeal, otitis media, mastoiditis dan sinusitis.
Penggunaan antibiotik dapat mengurangi timbulnya berbagai komplikasi ini, yang makin
menjadi bila penyakit primer tidak diketahui atau tidak diobati [3].
Sekuele nonsupuratif yang dimediasi oleh imun adalah demam rematik akut (ARF),
glomerulonefritis pasca-streptokokus akut, chorea Sydenham, artritis reaktif dan Gangguan
Neuropsikiatri Autoimun Pediatrik yang Terkait dengan Streptococcus pyogenes.
Menurut WHO, setidaknya 15,6 juta orang memiliki penyakit jantung rematik (RHD),
dan 233.000 kematian setiap tahun secara langsung disebabkan oleh ARF. Karena
keterbatasan laporan terkait dengan sumber daya yang terbatas di negara-negara berkembang,
ada kemungkinan bahwa prevalensi dan kejadian ARF sebagian besar tidak diketahui [6].
Prevalensi RHD pada anak-anak berusia 5-14 tahun lebih tinggi di Afrika sub-Sahara
(5,7 per 1000), pada populasi Pribumi Australia dan Selandia Baru (3,5 per 1000), dan Asia
Tenggara (2,2 per 1000), dan lebih rendah di negara maju (biasanya 0,5 per 1000) [7].
Tinjauan sistematis terhadap 10 penelitian berbasis populasi dari 10 negara di semua
benua, kecuali Afrika, yang dipublikasikan dari tahun 1967 hingga 1996, menggambarkan
kejadian ARF di seluruh dunia. Tingkat kejadian rata-rata keseluruhan serangan pertama
ARF adalah 5-51/100.000 populasi (rata-rata 19/100.000; 95% CI 9 hingga 30/100.000).
Tingkat kejadian rendah <10/100.000 per tahun ditemukan di Amerika dan Eropa Barat,
sementara insiden yang lebih tinggi (>10/100.000) didokumentasikan di Eropa Timur, Timur
Tengah (tertinggi), Asia dan Australasia. Penelitian dengan data longitudinal menampilkan
tingkat kejadian yang menurun dari waktu ke waktu [8].
Di Amerika Serikat, jumlah kasus ARF telah menurun secara dramatis selama
setengah abad terakhir. Sebuah penelitian nasional yang dilakukan pada tahun 2000 yang
merinci karakteristik pasien anak Amerika yang dirawat di rumah sakit dengan ARF
menemukan bahwa insidensi adalah 14,8 kasus per 100.000 anak yang dirawat di rumah sakit
(meskipun kejadian nasional sebenarnya untuk kasus ARF adalah 1 kasus per 100.000
populasi) [9].
Diagnosis faringitis GABHS dapat dilakukan dengan kultur tenggorokan atau
pemeriksaan diagnostik cepat untuk GABHS (RADT). Kultur adalah standar emas untuk
diagnosis tetapi membutuhkan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37°C, menyebabkan
keterlambatan dalam identifikasi GABHS. Keterlambatan dalam penegakan diagnosis ini
seringkali menyebabkan dokter memberikan terapi tanpa terlebih dahulu mengetahui agen
etiologis, menyebabkan penggunaan antibiotik yang berlebihan yang memicu peningkatan
difusi strain bakteri yang resistan terhadap obat. RADT memungkinkan identifikasi GABHS
dari apusan tenggorokan dalam hitungan menit. Strategi ini memiliki dampak yang signifikan
terhadap pengurangan resep antibiotik [10]. Pemeriksaan didasarkan pada ekstraksi asam
nitrat dari antigen karbohidrat kelompok A dari organisme yang diperoleh dengan apusan
tenggorokan. Spesifisitas RADT umumnya tinggi sedangkan sensitivitasnya bervariasi [4].
Pemeriksaan cepat menawarkan akurasi yang baik untuk digunakan sebagai metode
diagnostik, namun, dalam beberapa situasi, pemeriksaan ini harus dilengkapi dengan kultur
mikrobiologis, karena kemungkinan hasil negatif palsu [11]. Tanz et al dalam sebuah
penelitian meneliti 1848 anak-anak dari usia 3 hingga 18 tahun yang dievaluasi untuk
faringitis akut di 6 klinik pediatrik umum menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan
deteksi antigen cepat sebesar 70%. Sensitivitas kultur di klinik secara signifikan lebih besar,
81%. Spesifisitas pemeriksaan deteksi antigen cepat adalah 98%, dan spesifisitas kultur di
klinik adalah 97%, perbedaan yang tidak signifikan secara statistik [12].
Manajemen
Tidak ada kesepakatan bersama untuk manajemen klinis faringotonsilitis. Rekomendasi dan
pedoman para ahli sangat beragam mengenai cara penegakan diagnosis, cuaca dan kapan
harus dirawat. Banyak pendapat yang bisa dirangkum menjadi dua posisi. Satu posisi,
didukung oleh ahli Amerika [4,13-15], Perancis [16] dan Finlandia [17], menganggap
faringitis GABHS sebagai infeksi yang perlu dikenali dan diobati untuk menghindari
komplikasi, pertama-tama ARF. Ini menyiratkan rekomendasi untuk melakukan pemeriksaan
mikrobiologis untuk mendeteksi bentuk bakteri untuk mengobatinya. Menurut posisi ini, di
Italia pedoman regional telah dikembangkan di Emilia Romagna [18]. Posisi lain, diikuti oleh
penulis di Inggris [19], Skotlandia [20], Belanda [21] dan Belgia [22], menganggap faringitis,
bahkan jenis GABHS, penyakit jinak yang bisa sembuh sendiri, yang mengingat insiden
komplikasi supuratif dan ARF yang rendah di negara maju. Gagasan kedua ini mengarah
pada pemberian antibiotik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu, sehingga dapat
menggunakan antibiotik secara bijaksana untuk menghindari penyebaran strain resisten.
Menurut posisi ini, sebuah penelitian kohort retrospektif besar yang dilakukan oleh
Petersen et al. dalam praktik perawatan primer Inggris, dengan jumlah total 3,36 juta episode
infeksi saluran pernapasan, ditemukan bahwa jumlah pasien yang perlu diobati untuk
mencegah satu komplikasi setelah infeksi saluran pernapasan atas (seperti sakit tenggorokan
dan otitis media), lebih dari 4000. Penelitian ini menyimpulkan bahwa antibiotik tidak
dibenarkan untuk mengurangi risiko komplikasi serius untuk infeksi saluran pernapasan atas,
sakit tenggorokan, atau otitis media [23].
Kami akan memeriksa berbagai perspektif tentang manajemen faringitis untuk
menganalisis perbedaan yang cukup besar.

Diagnosis dan indikasi terapi


Terkait dengan diagnosis, masalah utama menyangkut penggunaan pemeriksaan
mikrobiologis (kultur tenggorokan atau RADT). Skor klinis yang diusulkan oleh Centor dan
kemudian dimodifikasi, mempertimbangkan kombinasi tanda dan gejala yang menunjukkan
faringitis GABHS dan dapat membantu dokter untuk mengatasi diagnosis [24]. Tabel 3
menunjukkan skor Centor.
Bagaimanapun, klinis faringitis GABHS dan virus bisa tumpang tindih dan tidak ada
elemen tunggal dari riwayat pasien atau pemeriksaan fisik yang secara pasti mengonfirmasi
atau menyingkirkan faringitis GABHS [5]. Indikasi untuk penegakan diagnosis menggunakan
skor Centor sendiri atau terkait dengan pemeriksaan mikrobiologis terbilang sangat bervariasi
di seluruh dunia.
Ahli dari Inggris dalam pedoman NICE menyatakan bahwa, tergantung pada
penilaian klinis pada tingkat keparahan, pasien yang mengalami faringitis akut dapat
dipertimbangkan untuk strategi peresepan antibiotik segera (di samping strategi tanpa
antibiotik atau penundaan pemberian resep antibiotik) jika ada tiga kriteria Centor atau lebih.
Kalau tidak, jika Centor <2, tidak ada investigasi lebih lanjut dan tidak diperlukan terapi [19].
Pedoman UK menunda pemberian resep antibiotik segera atau penyelidikan lebih lanjut
kecuali pada situasi di mana pasien secara sistemik sangat tidak sehat, memiliki gejala dan
tanda-tanda yang menunjukkan penyakit serius atau komplikasi supuratif, atau bila
komorbiditas yang sudah ada sebelumnya (penyakit jantung, paru, ginjal, hati, atau
neuromuskuler, imunosupresi, fibrosis kistik, dan anak-anak kecil yang lahir prematur) [19].
Gambar 1 menunjukkan alur pedoman UK (pedoman NICE) [19]. Sama halnya dengan
penulis Skotlandia yang menyatakan bahwa baik apusan tenggorokan maupun pemeriksaan
antigen cepat tidak boleh dilakukan secara rutin pada sakit tenggorokan bahkan jika
pemeriksaan klinis dianggap tidak dapat diandalkan untuk membedakan antara etiologi virus
dan bakteri. Para ahli Skotlandia menganggap bahwa pencegahan komplikasi supuratif dan
ARF bukanlah indikasi spesifik untuk terapi antibiotik pada faringitis [20].
Di sisi lain, sebagian besar penulis Amerika menyatakan perlunya konfirmasi
mikrobiologis untuk diagnosis GABHS; kriteria klinis dapat membantu dokter untuk memilih
pasien yang perlu diperiksa [4,13-15].
Bisno et al, dalam pedoman Infectious Diseases Society of America (IDSA),
menyatakan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin menderita faringitis GABHS bisa
dengan mempertimbangkan gambaran klinis dan epidemiologis. Jika fitur klinis dan
epidemiologis menunjukkan kemungkinan infeksi GABHS, pemeriksaan laboratorium (kultur
atau RADT) harus dilakukan dan, dalam hal positivitas, terapi antibakteri harus diresepkan
untuk pasien [14]. Gambar 2 menunjukkan alur yang direkomendasikan oleh Bisno et al.
dalam pedoman IDSA [14]. Snow et al, dalam pedoman American College of Physicians
(ACP), mengusulkan penggunaan skor Centor untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin
menderita faringitis GABHS. Jika skor Centor >2, maka pemeriksaan mikrobiologis harus
dilakukan. Pasien dewasa dengan skor Centor >4 harus diterapi tanpa memerlukan konfirmasi
mikrobiologis [15]. Alur yang diusulkan oleh Snow et al. dalam pedoman ACP diilustrasikan
pada Gambar 3 [15]. Namun, terjadi perdebatan bahwa pendekatan yang terakhir ini akan
mengakibatkan terapi yang berlebihan karena hanya 50% pasien dengan skor Centor 4 yang
menderita faringitis streptokokus [25].
Gerber et al dalam pernyataan ilmiah dari American Heart Association, menyarankan
untuk menskrining pasien dengan kriteria klinis dan epidemiologis dan untuk melakukan
RADT atau kultur tenggorokan pada semua pasien dengan risiko [13].
Berfokus pada kasus anak, American Academy of Pediatrics merekomendasikan
untuk dilakukannya konfirmasi laboratorium terkait adanya GABHS. Dalam keputusan untuk
mendapatkan spesimen apusan tenggorokan, dokter harus mempertimbangkan usia >3 tahun,
tanda-tanda klinis dan gejala faringitis, musim dan epidemiologi komunitas, termasuk kontak
dengan infeksi GABHS atau adanya riwayat seseorang di keluarga yang menderita ARF atau
glomerulonefritis pasca-streptokokus. Anak-anak dengan tanda atau gejala yang
menunjukkan infeksi virus (coryza, konjungtivitis, suara serak, batuk, stomatitis atau diare)
tidak boleh diperiksa [4].
Terkait kebutuhan untuk mengonfirmasi hasil negatif RADT, Snow dan Bisno
menyarankan untuk melakukan kultur tenggorokan pada anak-anak, sedangkan tidak ada
investigasi lain diindikasikan pada orang dewasa [14,15]. Berkebalikan dengan pernyataan
Gerber et al. ada pernyataan bahwa, jika RADT negatif, kultur tenggorokan harus dilakukan
pada orang dewasa dan anak-anak [13]. Kebutuhan untuk mengonfirmasi hasil RADT negatif
dengan kultur tenggorokan disarankan juga oleh American Academy of Pediatrics [4].
Sebaliknya, karena spesifisitas tinggi, tidak perlu mengonfirmasi pemeriksaan RADT positif
[3].
Telah dilaporkan bahwa RADT lebih jarang digunakan dibandingkan dengan indikasi
yang diberikan dalam pedoman Amerika. Sebuah penelitian retrospektif AS yang dilakukan
oleh Linder et al melibatkan jumlah total 4158 anak-anak dengan faringitis yang berusia 3-17
tahun menunjukkan bahwa dokter hanya melakukan pemeriksaan GABHS pada 63% anak-
anak dengan sakit tenggorokan dan meresepkan antibiotik untuk 53% anak-anak, melebihi
prevalensi maksimum yang diharapkan dari GABHS. Ada perbedaan yang signifikan dalam
peresepan antibiotik antara anak-anak yang menjalani pemeriksaan GABHS dan mereka yang
tidak: pemeriksaan GABHS terkait dengan tingkat pemberian resep antibiotik yang lebih
rendah [26].
Mempertimbangkan pedoman di Italia, pedoman regional Emilia Romagna
menyarankan untuk melakukan RADT bila Centor skor >2. Jika RADT positif maka terapi
antibiotik harus dimulai; jika RADT negatif dan kecurigaan klinis GABHS faringitis tinggi,
maka kultur tenggorokan harus dilakukan. Bila skor Centor adalah 5, dokter harus
memutuskan apakah memulai terapi secara langsung atau melakukan tes mikrobiologis [18].
Bagan alur ini diilustrasikan pada Gambar 4 [18].

Terapi
Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, terapi antibiotik tidak dianjurkan secara rutin, karena
etiologi virus yang lebih sering. Namun, bila terapi antimikroba diindikasikan, penting untuk
memilih opsi terapi yang baik.
Semua penulis dan pedoman nasional setuju dalam menyarankan penisilin sebagai
terapi pilihan pertama, karena GABHS secara universal tetap rentan terhadap penisilin [3].
Meskipun penisilin V adalah obat pilihan, ampisilin atau amoksisilin sama-sama efektif dan,
karena rasanya yang enak, merupakan pilihan yang cocok pada anak-anak [4]. Terlebih lagi
kita harus ingat bahwa suspensi penisilin tidak tersedia secara komersial di beberapa negara
termasuk Italia, sehingga amoksisilin biasanya diresepkan.
Gerber et al. menyatakan bahwa pemberian terapi penisillin yang cepat
memperpendek perjalanan klinis, mengurangi insidensi sekuele supuratif, risiko penularan
dan mencegah ARF bahkan ketika diberikan hingga 9 hari setelah onset penyakit [13].
Pilihan terapi dengan dosis dan durasi yang direkomendasikan oleh American
Academy of Pediatrics diilustrasikan dalam tabel 4 [3].
Penting untuk diingat bahwa makrolida tidak diindikasikan dalam terapi faringitis,
karena tingginya tingkat resistensi terhadap eritromisin pada GABHS di AS dan Eropa [27].
Indikasi untuk penggunaan makrolida pada faringitis ditujukan kepada pasien yang alergi
terhadap antibiotik β-laktam. Alergi harus dibuktikan dengan uji laboratorium. Jika
hipersensitivitas pasien terhadap penisilin bukan tipe I, sefalosporin harus dianggap sebagai
opsi terapi yang baik [13].
Indikasi untuk menggunakan amoksisilin sekali sehari, diusulkan oleh Gerber et al
dan banyak digunakan di AS, tidak diterima secara universal. Amoksisilin yang diberikan
satu kali sehari tidak disetujui dari Food and Drug Administration (FDA) dan European
Medicines Agency (EMEA) untuk profilaksis utama ARF.
Durasi standar terapi antibiotik adalah 10 hari. Telah diusulkan untuk mempersingkat
menjadi 3-6 hari, sehingga meningkatkan kepatuhan [28]. Sebuah ulasan Cochrane pada 20
penelitian yang melibatkan jumlah total 13.102 kasus GABHS akut telah dipublikasikan pada
tahun 2009. Para penulis membandingkan terapi durasi pendek (tiga hingga enam hari)
antibiotik oral (semua jenis termasuk) dengan terapi durasi standar. Mereka menemukan
bahwa terapi berdurasi pendek menunjukkan risiko kegagalan terapi klinis dini yang lebih
rendah dan tidak ada perbedaan signifikan dalam hal kegagalan terapi bakteriologis awal,
atau kekambuhan klinis lambat. Lagi pula, risiko keseluruhan dari kekambuhan bakteriologis
lambat lebih buruk pada terapi durasi pendek, meskipun tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan ketika penelitian yang menggunakan azithromycin dosis rendah (10 mg/kg)
disingkirkan. Penulis menyimpulkan bahwa pemberian antibiotik oral jangka pendek (2
sampai 6 hari) memiliki efikasi yang sebanding dengan terapi durasi standar dalam
mengobati anak-anak dengan faringitis GABHS akut [28]. Meskipun demikian, hasil dari
tinjauan ini sebagian besar dikritik. Shad D. [29] menggarisbawahi bahwa setidaknya satu
penelitian lagi yang memenuhi syarat [30] dan satu meta-analisis [31] tidak dimasukkan.
Selain itu, sebagian besar penelitian yang dimasukkan memiliki metodologis yang kurang
tepat (misalnya, randomisasi tidak dijelaskan atau mayoritas tidak tepat, hanya 3 dari 20
penelitian yang dibutakan). Selain itu ARF dianggap sebagai hasil utama hanya dalam 3 dari
20 penelitian yang diikutsertakan dengan total 3 peristiwa yang dicatat (kekuatan yang tidak
cukup untuk membuat kesimpulan) [29]. Fagalas et al dalam meta-analisis baru-baru ini dari
Pemeriksaan Randomisasi (8 RCT, 1607 pasien) menemukan bahwa terapi jangka pendek
untuk faringotonsilitis GABHS terkait dengan tingkat eradikasi bakteriologis yang lebih
rendah [31]. Setelah terapi yang adekuat, kultur follow-up tidak diperlukan kecuali gejalanya
berulang [3].
Faringitis berulang dapat menunjukkan kekambuhan atau akibat dari paparan baru [3].
Pada kasus relaps sefalosporin diusulkan lebih efektif daripada penisilin [32].
Beberapa penulis telah menyatakan bahwa sefalosporin dapat memiliki efikasi yang
lebih tinggi daripada penisilin pada faringitis GABHS [33-35]. Dalam meta-analisis 9 RCT,
yang melibatkan 2.133 pasien dewasa dengan faringitis GABHS, Casey dan Pichichero
menunjukkan bahwa kemungkinan kesembuhan bakteriologis dan klinis tonsilofaringitis
GABHS pada orang dewasa secara signifikan lebih tinggi setelah 10 hari terapi dengan
sefalosporin oral dibandingkan dengan penisilin oral. Mereka melaporkan bahwa perbedaan
absolut dalam hal tingkat kegagalan bakteriologis antara sefalosporin dan penisilin adalah
5,4% [33]. Mereka juga melakukan meta-analisis RCT terapi sefalosporin versus penisilin
untuk faringitis GABHS pada anak-anak. Ini menunjukkan bahwa kemungkinan kegagalan
bakteriologis dan klinis secara signifikan lebih kecil jika sefalosporin oral diresepkan,
dibandingkan dengan penisilin oral [34].
Bagaimanapun harus diingat bahwa tidak ada pedoman yang merekomendasikan
sefalosporin sebagai obat pilihan pertama dalam terapi faringitis GABHS karena biayanya
yang lebih tinggi dibandingkan dengan penisilin dan risiko seleksi jenis yang resisten.
Rekomendasi mereka dalam pedoman terbatas pada pasien dengan hipersensibilitas terhadap
β-laktam non tipe I [36].

Pendapat dan kesimpulan penulis


Diagnosis dan terapi faringitis GABHS yang benar adalah poin kunci untuk mencapai
penggunaan antibiotik yang bijaksana, dan untuk mencegah sekuele supuratif dan non
supuratif. Dengan demikian, secara prudensial, kami percaya bahwa dokter anak harus
melakukan setidaknya satu pemeriksaan mikrobiologis (RADT atau kultur tenggorokan)
untuk faringitis yang diduga etiologi GABHS, untuk membuat diagnosis yang benar.
Sebagian besar RADT dapat memberikan hasil dalam beberapa menit dan sensitivitasnya
umumnya tinggi [4]. Secara praktis, kami menyarankan bahwa RADT negatif harus
dikonfirmasi oleh kultur tenggorokan hanya jika kecurigaan klinis faringitis GABHS tinggi.
Faringitis etiologi bakteri terbukti harus menerima terapi antibiotik [4,13-15]. Penisilin V
adalah obat pilihan pertama, tetapi suspensi oral tidak tersedia di Italia. Amoksisilin sama
efektif dan menunjukkan palatabilitas yang lebih tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai
terapi lini pertama [4,15]. Makrolida tidak diindikasikan dalam terapi faringitis GABHS
kecuali untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin (konfirmasi laboratorium harus
dilakukan) [4,15]. Untuk kelompok pasien ini sefalosporin merupakan alternatif yang baik
(kasus hipersensitifitas tipe I terhadap penisilin) [4,15]. Penggunaan makrolida yang tidak
tepat untuk terapi faringitis GABHS menjadi penyebab utama difusi galur resisten di negara-
negara Barat [27]. Penting untuk digarisbawahi bahwa durasi terapi harus 10 hari [4,15].
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, dokter harus menjelaskan pentingnya terapi lengkap
(10 hari) untuk eradikasi bakteri bahkan jika perbaikan klinis terjadi pada 4-5 hari pertama
terapi.
Sampai saat ini tidak ada pedoman yang tersedia di Italia, tetapi kami percaya bahwa
merupakan hal yang mendasar untuk membangun pendekatan yang rasional dan seragam
untuk manajemen faringitis GABHS akut di semua negara.

Anda mungkin juga menyukai