Anda di halaman 1dari 10

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA FARINGITIS STREPTOCOCCUS

GROUP A
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah DRP
Dengan Dosen Pengampu :
apt. Widyastuti Handayani, M.Farm

Disusun Oleh :
Ayu Apriliani (202102060019)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN PEKALONGAN


TAHUN 2023

1
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................................3
1.1.Latar Belakang................................................................................................................................3
1.2.Rumusan Masalah...........................................................................................................................4
1.3.Tujuan..............................................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5
2.1.Definisi Faringitis............................................................................................................................5
2.2. Diagnosis Faringitis........................................................................................................................5
2.3.Tatalaksana Faringitis.....................................................................................................................6
2.4.Upaya Penanganan Faringitis.........................................................................................................7
BAB III.......................................................................................................................................................9
PENUTUP..................................................................................................................................................9
Kesimpulan............................................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................10

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Indonesia sebagai negara beriklim tropis yang terletak disekitar garis katulistiwa dan
memiliki dua musim yaitu kemarau dan penghujan. Pada saat memasuki musim kemarau kerap
bermunculan ancaman mulai dari kekeringan hingga timbulnya penyakit musiman. Penyakit
musiman ini, yaitu infeksi saluran pernafasan akut yang biasanya terjadi dari musim kemarau ke
musim hujan dan bisa juga dari musim hujan hingga musim kemarau. Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) telah menjadi penyakit umum bagi masyarakat, yang salah satunya penyakit
menular, biasanya ditandai dengan adanya gejala batuk, pilek, demam, sakit tenggoroka atau
peradangan yang penyebab utamanya morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut terbagi menjadi ISPA atas dan ISPA bawah. ISPA atas yaitu infeksi
pernafasan diatas laring, yang terdiri dari rinitis, rinosinusitis, faringitis, tonsilitis, dan otitis
media. Sedangkan ISPA bawah yaitu infeksi yang terjadi di paru-paru atau dari bawah pangkal
tenggorokan (laring), ISPA bawah biasanya terjadi karena ISPA atas yang mengakibatkan virus
menyebar ke saluran pernafasan bawah.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain). Hasil penelitian dari Universitas
Toronto, Kanada menunjukkan prevalensi faringitis streptokokus sebesar 13,8% dengan angka
tertinggi pada kelompok umur 3-14 tahun (36,2%) dan 10,7% pada kelompok umur 15-44 tahun,
serta hanya 1,3% pada kelompok umur >45 tahun. Data kunjungan penderita di poliklinik THT-
KL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 2011 menunjukkan sebanyak 726
kunjungan penderita faringitis akut dari total 7256 kunjungan (±10%).
Faringitis akut dapat terjadi pada semua umur, sering terjadi pada anak usia 5-15 tahun
dan jarang pada anak usia di bawah 3 tahun, insiden meningkat seiring bertambahnya usia,
mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun dan berlanjut sepanjang akhir masa anak hingga
dewasa. Diperkirakan sebanyak 15 juta kasus faringitis didiagnosis setiap tahunnya di Amerika
Serikat dengan 15-30% pada anak usia sekolah dan 10% diderita oleh dewasa serta 20-30%
kasus disebabkan oleh SBHGA (Streptococcus Beta Hemolytic Group A). Faringitis tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin. Masa infeksi SBHGA terjadi di musim dingin dan awal
musimsemi di daerah beriklim sedang, di daerah beriklim tropis seperti Indonesia insiden
tertinggi terjadi pada musim hujan. Penyakit ini telah menjadi problem medis dan kesehatan
masyarakat karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia produktif.
Infeksi Streptococcus jika tidak segera diobati dapat menyebabkan peritonsillar abses,
demam reumatik akut, toxic shock syndrome, peritons illar sellulitis, abses retrofaringeal dan
obstruksi saluran pernapasan akibat dari pembengkakan laring. Demam reumatik akan
dilaporkan terjadi pada satu dari 400 infeksi SBHGA yang tidak diobati dengan baik.
Faringitis adalah salah satu penyakit yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA). Diawali dengan demam, batuk, hidung tersumbat, dan sakit tenggorokan, gejala

3
tersebut biasa dialami oleh penderita ISPA. Infeksi ini tersebar di seluruh Provinsi Jawa Tengah
dengan rentang prevalensi yang sangat bervariasi (10,7-43,1%). Angka prevalensi terakhir di
Provinsi Jawa Tengah adalah 29,1%.
Pada umumnya masyarakat menganggap ringan faringitis karena tidak memahami
berbagai penyebab dan dampak yang akan terjadi. Mereka menganggapnya sebagai penyakit
tenggorokan yang biasa. Ketika telah mengalami hal tersebut barulah disadari kurangnya
pengetahuan dalam keluarga dalam mengenal dan menangani masalah yang ada.
Hal itu dikarenakan pasien maupun keluarga belum mengubah pola pikir dan gaya hidup
yang sesuai. Dalam mengatasi masalah tersebut sangat penting melakukan pencegahan sedini
mungkin dalam masalah yang terjadi di masyarakat, yaitu pasien dan keluarga memerlukan
penjelasan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta cara mengatasi penyakit yang
benar. Dukungan dari keluarga dan lingkungan untuk pasien serta adanya kerjasama dengan
petugas kesehatan juga merupakan salah satu faktor untuk mencegah terjadinya komplikasi pada
pasien. Masalah keperawatan pada faringitis yaitu nyeri, hipertermia, dan gngguan menelan.
Keterlibatan perawat sangat diperlukan dalam pengelolaan penderita Faringitis dalam
memberikan pelayanan kesehatan di rumah dengan berbagai cara meliputi aspek promotif,
preventif, dan rehabilitatif sebagai langkah untuk mengubah perilaku serta pola hidup pasien dan
keluarga ke arah yang lebih baik.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, terdapat sebuah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa Definisi dari Faringitis?
2. Bagaimana Diagnosis Faringitis Streptococcus Group A?
3. Bagaimana Tatalaksana Faringitis Streptococcus Group A?
4. Bagaimana Upaya Penanganan Penyakit Faringitis Streptococcus Group A?
1.3.Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu untuk mengkaji Diagnosis, Tatalaksana dan Upaya
Penanganan Penyakit Faringitis Streptococcus Group A

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Definisi Faringitis
Faringitis adalah suatu kondisi peradangan atau inflamasi yang terjadi pada faring, yaitu
tenggorokan bagian belakang yang menghubungkan rongga mulut dan saluran pernapasan.
Faringitis dapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, dan gejalanya meliputi nyeri
tenggorokan, kesulitan menelan, dan perasaan gatal atau teriritasi pada tenggorokan.
Faringitis dapat bersifat akut atau kronis, tergantung pada lamanya gejala dan
penyebabnya. Beberapa penyebab umum faringitis meliputi infeksi virus seperti rhinovirus,
adenovirus, atau virus herpes, serta infeksi bakteri, terutama oleh Streptococcus pyogenes yang
dapat menyebabkan faringitis streptokokus. Faringitis juga dapat terjadi sebagai akibat dari iritasi
atau alergi tertentu.
Faringitis biasanya diidentifikasi melalui gejala klinis dan pemeriksaan fisik oleh tenaga
medis. Pengobatan faringitis tergantung pada penyebabnya. Pada faringitis virus, perawatan
umumnya bersifat suportif, sedangkan pada faringitis bakteri, dokter mungkin meresepkan
antibiotik. Penting untuk mengikuti petunjuk dokter dan menghindari penularan penyakit jika
faringitis disebabkan oleh bakteri yang menular.
2.2. Diagnosis Faringitis
Diagnosis penyakit selalu dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Walaupun demikian, dalam mendiagnosis faringitis yang disebabkan oleh bakteri
streptococcus group A terdapat beberapa rekomendasi yang dianjurkan. Idealnya dilakukan rapid
antigen detection test (RADT) dan/atau throat culture (swab tenggorokan). Salah satu dari kedua
tes tersebut perlu dilakukan karena gejala klinis saja tidak bisa membedakan faringitis akut yang
disebabkan oleh bakteri dan virus kecuali terdapat gejala khas akibat virus seperti rhinorrhea,
batuk, ulkus pada mulut, dan/atau suara serak.
Kultur hasil swab tenggorokan merupakan standar untuk memastikan adanya infeksi
bakteri Streptococcus Group A pada saluran pernapasan atas dan mengkonfirmasi diagnosis
klinis faringitis akut Streptococcus Group A. Bila dilakukan dengan benar, sensitivitasnya dalam
mendeteksi faringitis akibat Streptococcus Group A adalah 90% sampai 95% dan spesifisitas
mencapai 97% sampai 100%. Kekurangan utama dari tes ini adalah membutuhkan waktu yang
cukup lama untuk mendapatkan hasilnya.
Rapid antigen detection testing (RADT) juga memelukan waktu 1 malam atau lebih
untuk memperoleh hasilnya. Tes ini dikembangkan untuk mendeteksi antigen bakteri dan virus
dari swab tenggorokan yang diambil dari sekret tonsil (tonsillar exudates) atau orofaring bagian
posterior dengan dipstick. RADT memiliki spesifisitas hingga 95%, dengan sensitifitas sebesar
70%–90%. Pada anak-anak dan remaja, hasil RADT negatif harus didukung dengan swab

5
tenggorokan, namun tidak diperlukan pada orang dewasa. Hasil RADT positif tidak memerlukan
tambahan swab tenggorokan karena hasil yang didapat sangat spesifik.

Centor Score merupakan metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab
faringitis. Metode ini merupakan kriteria penilaian awal yang dibuat dengan tujuan membantu
dokter dalam mengidentifikasi bakteri Streptococcus Group A sebagai penyebab faringitis
berdasarkan gejala klinis yang terjadi pada pasien. Centor Score umumnya diperuntukkan untuk
penilaian pada pasien dewasa. Sedangkan, pada anak-anak dapt digunakan McIsaac Score.
McIsaac Score merupakan modifikasi penilaian centor score. Pada system skoring ini terdapat
pembagian umur. Hal ini dikarenakan infeksi faring oleh Streptococcus group A paling sering
terjadi pada anak-anak. McIsaac Score dapat digunakan untuk menentukan penyebab dan terapi
faringitis . Apabila dari skor ini diperoleh nilai 0 sampai 1 pasien tidak perlu mendapat terapi
antibiotika dan tidak perlu dilakukan kultur tenggorokan. Bila diperoleh nilai 2 sampai 3 perlu
dilakukan kultur dan mendapat terapi antibiotika bila hasil kultur positif. Bila diperoleh nilai 4-5
perlu mendapatkan antibiotika dan tidak perlu dikultur.
Meskipun gejala faringitis akut akibat Streptococcus group A dapat sembuh tanpa
pengobatan, namun terdapat argumen yang menganjurkan pengobatan antibiotik untuk
mengurangi gejala akut dan sebagai pencegahan komplikasi supuratif dan nonsupuratif.
2.3.Tatalaksana Faringitis
Pada pasien faringitis, antibiotik harus diberikan bila pasien sudah dipastikan terinfeksi oleh
bakteri. Pasien dengan infeksi Streptococcus Group A harus mendapat terapi antibiotik yang tepat untuk
mengeradikasi organisme penyebabnya. Terdapat beberapa regimen terapi pada pasien faringitis akibat
Regimen terapi pada infeksi bakteri Streptococcus Group A. Antibiotik umumnya diberikan selama 10
hari. Penicillin atau amoxicillin direkomendasikan sebagai drugs of choice untuk pasien yang tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat ini. Pemilihan ini didasari oleh harga, spektrum yang sempit, dan
efektivitasnya. Pada pasien yang memiliki riwayat alergi penicillin, dapat diberikan generasi pertama
cephalosporin (erythromycin) selama 10 hari, clindamycin atau clarithromycin selama 10 hari, atau
azithromycin selama 5 hari. Perlu dipahami bahwa infeksi kronis juga dapat terjadi, walaupun pasien
sudah mendapatkan terapi yang adekuat.

6
2.4.Upaya Penanganan Faringitis
Sakit tenggorakan atau faingitis adalah penyaki yang biasa disebabkan oleh virus dan
bakteri. Biasanya penyakit ini di derita oleh semua kalangan umur mulai dari anak-anak hingga
orang dewasa, namun penyakit faringitis ini lebih sering mejangkit ke anak-anak karena pola
makan anak-anak yag masih sembarangan untuk memilih makanan dan tidak memandang
kebersihan makanan yang dikonsumsi sehingga bakteri dan virus dengan
mudahmenyerangnya.Adapun tanda dan gejala faringitis ini yaitu tenggorokan terasa sakit,
terdapat bercak merah pada tenggorokan dan biasanya anak mengeluhkan sakit saat menelan.
Menurut Sari dkk (2014). Faringitis akut adalah manifestasi klinis terbanyak infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) dimana istilah faringitis dipakai untuk menunjukkan adanya peradangan
pada mukosa dan submukosa faring dan struktur lain di sekitarnya yaitu orofaring, nasofaring,
hipofaring, tonsil dan adenoid.
Jika nyeri tenggorokan atau faringitis ini tidak segera diobati dapat menimbulkan banyak
komplikasi seperti peritonsil abses, ruang faringitis abses, limfadenitis, sinusitis, dan otitis.
Komplikasi-komplikasi tersebut dapat memperparah keadaan pasien dan menyababkan gangguan
rasa nyaman pada pasien semakin parah sehingga aktifitas sehari-hari pun dapat tergangngu jika
komplikasi tersebut tidak segeradi cegah. Abses peritonsil memiliki angka kejadian yang cukup
tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi yang fatal, seperti dapat meluas daerah parafaring,
daerah intrakranial dan bila abses tersebut pecah spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya
mediastinitis yang dapat menimbulkan kematian. Komplikasi yang biasa muncul pada faringitis
yaitu peritonsilitis abses, (quinsy), ruang faring abses, limfadenitis, sinusitis, otitis media
mastoiditis dan infeksi invasif misalnya, nekrotizing faskiitis dan toxik shock syndrome dengan
GAS. Pada orang dewasa yang lebih tua tanda-tanda dan gejala dari ruang abses peritonsillar
atau parapharingeal mungkin jarang terjadi, dan penyakit tampaknya lebih umum pada mereka
dengan kondisiimmunocompromising. Demam akut rematik dan glomerulonefritis akut
berpotensi untuk terjadi komplikasi non supuratif faringitis yang disebabkan oleh penyakit GAS.
Jika nyeri faringitis tidak segera ditangani maka akan menimbulkan gangguan menelan,
karena ketika menelan pasien merasakan nyeri. Gangguan menelan ini juga sering disebut
disfagia. Menurut Pandaleke dkk, 2014 disfagia berasal dari kata Yunani yaitu dys yang berarti
sulit dan phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki beberapa difinisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut kelambung Ketika hal ini
dibiarkan terus-menerus akan mengakibatkan makanan tidak bisa masuk kedalam sistem
pencernaan dan nutrisi yang dibutuhkan bagi tubuh tidak bisa tercukupi. Keadan ini sudah terjadi
pada pasien yang mengalami malas untuk makan dan berkurangnya porsi makannya. Biasanya
pasien menghabiskan porsi makannya namun ketika sakit pasien tidak menghabiskan porsi
makannya dan hanya makan 3 - 4 sendok. Pasien memiliki berat badan 24 kg namun Dengan
rumus IMT 2n+8 berat ideal pasien seharusnya (2x9) + 8 = 26kg. ketidak idealnya berat badan
pasien dikarenakan asupan makanan yang kurang.
Kompres hangat mempunyai efek meredakan nyeri namun nyeri yang dapat diredakan
oleh kompres hangat adalah nyeri yang terjadi pada jaringan iskemi karena jaringan kekurangan

7
oksigen. Efek fisiologis kompres hangat adalah bersifat vasodilatasi, meredakan nyeri dengan
merelaksasi otot, meningkatkan aliran darah, memiliki efek sedatif dan meredakan nyeri dengan
menyingkirkan produk-produk yang menimbulkan nyeri. Panas akan merangsang serat saraf
yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri ke medula spinalis dan ke otak dihambat.
Diharapkan setelah dilakukan kompres dingin dapat mengurangi nyeri pada tenggokan.
Karena kompres dingin dapat membuat mati rasa pada ujung-ujung saraf penyebab nyeri.
Menurut Felina (2015) Efek fisiologis kompres dingin adalah bersifat vasokontriksi, membuat
area menjadi mati rasa, memperlambat kecepatan hantaran syaraf sehingga memperlambat aliran
impuls nyeri, meningkatkan ambang nyeri dan memiliki efek anastesi lokal. Mekanisme lain
yang mungkin bekerja adalah bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri.
Selain dengan menggunakan kompes dingin juga dapat dilakukan dengan mengonsumsi
perasan jeruk nipis dicampur oleh madu, hal ini dilakukan untuk mengurangi batuk yang dialami
pasien sehingga ketika batuk berkurang nyeri pun juga akan berkurang. Kandungan yang ada
dalam perasan air jeruk nipis yaitu mnyak atsiri dan didalam minya atsiri terdapat fenol yang
mampu mematikan bakteri penyeban batuk. Menurut Razak dkk(2013)Penelitian uji daya
hambat air perasan buah jeruk nipis terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
menunjukan bahwa air perasan buah jeruk nipis dengan konsenrasi 25%, 50%, 75%, dan 100%
dapat menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Hal ini menunjukkan adanya senyawa aktif
antibakteri dalam air perasan buah jeruk nipis yang diduga diperoleh dari kandungan kimia yang
terdapat di dalamnya, seperti minyak atsiri, diantaranya fenol yang bersifat sebagai bakterisidal,
yang mungkin mampu menghambat pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus aureus.
Selain jeruk nipis, madu juga diyakini menjadisalah satu obat pembunuh bakteri dan
madu juga mengandung senyawa flafonoid yang menjadi antibodi agar tubuh menjadi fit dan
diharapkan batuk seger sembuh dan juga akan mengurangi dari gangguan rasa nyaman nyeri
yang diderita oleh pasien. Erywiyanto dkk (2012) mengatakan Kandungan Zat aktif sebagai anti
bakteri yang terdapat dalam madu adalah flafonoid. Senyawa flavonoid yang merupakan
senyawa golongan fenol yang berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses absropsi yang
melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan
yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan
menyebabkan kogulasi protein dan sel membran sitoplasma mengalami rilis.

8
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Diagnosis pasti infeksi streptococcus group A dapat dilakukan melalui rapid antigen
detection test dan/atau throat culture. Terdapat alternatif sistem skoring yang dapat digunakan
dalam praktek klinis yaitu Centor Score, McIsaac Score, dan FeverPAIN. Terapi antibiotik
diberikan bila terbukti akibat infeksi bakteri. Penicillin atau amoxicillin direkomendasikan
sebagai drugs of choice untuk pasien yang tidak memiliki riwayat alergi.
Penanganan kasus pada pasien faringitis dengan gangguan utama yaitu gangguan nyeri
akut akibat terjadinya kerusakan jaringan pada tenggorokan memerlukan penanganan segera agar
gangguan nyeri akut dapat berkurang ataupun hilang agar aktivitas tidak terganggu oleh
gangguan nyeri akut. Salah satu tindkan yang dilakukan adalah melakukan kompres dingin,
selain melakukan kompres dingin juga diberikan edukasi tentang penyakit faringitis dan
pemberian perasan air jeruk dan madu agar keluarga paham dan dapat menerapkan secara
mandiri.

9
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, E., Iriani, Y., & Yuwono, Y. (2016). Ketepatan Skoring McIsaac untuk
Mengidentifikasi Faringitis Group A Streptococcus pada Anak. Sari Pediatri, 15(5).
https://doi.org/10.14238/sp15.5.2014.301-6
Lestari, D. L. P. A., Jayanti, N. P. S. D., Putra, T. W., Fridayanthi, P. U., Tjahyadi, I. G. K. D. P.
P., Maharani, L. G. S., & Cahyawati, P. N. (2022). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
FARINGITIS STREPTOCOCCUS GROUP A. WICAKSANA: Jurnal Lingkungan Dan
Pembangunan, 6(2). https://doi.org/10.22225/wicaksana.6.2.2022.88-95
Manik Partha Sutema, I. A., Sukmantari, P. N. N., & Windidaca Brata Putri, D. (2022). Evaluasi
Rasionalitas Terapi Antibiotik Pada Faringitis Akut di Puskesmas Kota Denpasar.
JFIOnline | Print ISSN 1412-1107 | e-ISSN 2355-696X, 14(1).
https://doi.org/10.35617/jfionline.v14i1.84
Setiawan, ahmad tri. (2020). Upaya Penanganan Gangguan Nyeri Akut Dengan Faringitis.
Jurnal Kesehatan Ilmiah Indonesia, 1, 1–15.
Triadi, D. A., & Sudipta, I. M. (2020). Karakteristik kasus faringitis akut di Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya Denpasar periode Januari – Desember 2015. Intisari Sains Medis, 11(1).
https://doi.org/10.15562/ism.v11i1.349.

10

Anda mungkin juga menyukai