Anda di halaman 1dari 21

JOURNAL READING

“The Management of Community-Acquired Pneumonia in Elderly”


Paola F, Stefano A, Giuseppe B, Sara L, Alberto P, Marcos LR
European Journal of Internal Medicine (2013)

OLEH
Qisthinadia Hazhiyah Setiadi
H1A 013 053

PEMBIMBING
dr. Salim Said Thalib Sp.P (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN


ILMU PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT PROVINSI NTB
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-

Nya, saya dapat menyelesaikan jurnal reading yang berjudul “The Management of

Community-Acquired Pneumonia in Elderly”. Journal reading ini saya susun dalam rangka

memenuhi tugas dalam proses mengikuti kepaniteraan klinik di bagian SMF Ilmu Penyakit Paru

Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.

Saya berharap penyusunan jurnal reading ini dapat berguna dalam meningkatkan pemahaman

kita semua mengenai pneumonia pada usia lanjut.

Saya menyadari bahwa jurnal reading ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, saya

sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan laporan ini. Semoga

Allah selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua di dalam melaksanakan tugas dan

menerima segala amal ibadah kita.

Mataram, 25 November 2017

Penyusun

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 2

2017
Tatalaksana Pneumonia Komuniti pada Usia Lanjut

Abstrak:
Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut.
Populasi masyarakat lanjut usia (lansia) meningkat pada beberapa dekade terakhir ini, dan
diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, mengenali kebutuhan khusus masyarakat
lansia sangatlah penting. Dalam tinjauan ini, kami membahas perbedaan utama antara
pneumonia pada lansia dengan pneumonia pada usia dewasa. Kami memfokuskan pada beberapa
aspek, termasuk manifestasi klinisi atipikal pneumonia pada lansia, metode untuk menentukan
tingkat keparahan penyakit, tatalaksana yang tepat, dan tatalaksana penyakit penyerta. Kami juga
mendiskusikan pendekatan terkait komplikasi yang sering terjadi pada pneumonia berat,
termasuk gagal napas akut dan sepsis berat. Selain itu, kami juga mendiskusikan apakah pasien
lansia memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi karena patogen yang resisten terhadap banyak
jenis obat dan faktor risiko apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotik.
Kami menitik beratkan pada perbedaan definisi stabilitas klinis dan gagal pengobatan pada lansia
dan usia dewasa. Sehingga kami menyimpulkan, hasil akhir, tindakan preventif, dan suportif
untuk dipertimbangkan pada pasien pneumonia lansia.
Kata kunci: pneumonia komuniti, usia lanjut, tingkat keparahan, gagal napas akut, terapi
antibiotik, status fungsional

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 3

2017
I. Pendahuluan

Seorang pria berusia 79 tahun yang memiliki riwayat hipertensi, angina stabil kronis,
diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronis GOLD kelas C, dan kanker prostat datang ke
Instalasi Gawat Darurat dengan gejala respiratorik akut. Pria tersebut mengeluhkan penurunan
napsu makan dan dispneu sejak 3 hari sebelumnya. Pasien tersebut dapat berjalan dengan alat
bantu selama beberapa bulan terakhir dan memiliki gangguan kognitif sedang (MMSE:18/30).
Istrinya mengeluhkan bahwa pasien tersebut lebih bingung dan mengantuk dibandingkan
biasanya, serta gangguan berjalan dan keseimbangan selama 4-5 hari terakhir. Riwayat rawat
inap dan perubahan produksi sputum disangkal oleh pasien, namun pasien mengaku mengalami
2 kali ekaserbasi PPOK satu tahun terakhir ini, serta riwayat kontak positif dengan
keponakannya yang menunjukkan gejala flu. Pasien tersebut telah melakukan vaksinasi flu,
namun belum pernah mendapatkan vaksinasi terhadap Streptococcus pneumonia. Tanda-tanda
vital ketika sampai di IGD adalah sebagai berikut: TD 100/65mmHg, detak jantung 110x/m, laju
pernapasan 26x/m, saturasi oksigen 89% pada udara ruangan, dan suhu 36,8C. Pasien
menunjukkan gejala dehidrasi dan delirium. Auskultasi pada thoraks menunjukkan ronkhi halus
pada basal paru kanan dan wheezing difus ringan. Rontgen thoraks pada saat datang
menunjukkan konsolidasi pada lobus inferior paru kanan. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan jumlah sel darah putih normal, glukosa darah 250mg/dL, C-reactive protein 14
mg/dL (nilai normal: 0,5mg/dL), procalcitonin (PCT) 2,5 mg/dL (nilai normal: 0,5mg/dL), serum
laktat 3 mmol/L, serum kreatinin 1,5 mg/dL, dan BUN 40 mg/dL. Analisa gas darah
menunjukkan gagal napas yang menyebabkan hipoksemia ringan (pH 7,38, PaCO2 43 mmHg,
PaO2 257 mmHg pada udara ruangan). Pasien kemudian dirawat inap dan diberikan terapi
ceftriaxone dan azitromisin dengan diagnosis dugaan pneumonia komuniti. Tatalaksana suportif
yang diberikan adalah oksigen, cairan intravena, profilaksis heparin, dan diet yang sesuai. Pada
hari keempat rawat inap, C reactive protein dan procalcitonin mulai mengalami penurunan dan
status mental pasien kembali normal. Namun, pasien masih mengeluhkan dispneu dan mulai
mengeluhkan palpitasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi, dan didapatkan
hasil gambaran atrial fibrilasi baru. Irama sinus terlihat kembali beberapa jam setelah diberikan
terapi. Akhirnya pada hari ketujuh rawat inap, procalcitonin sudah negatif dan pasien mencapai
kestabilan klinis, oleh karena itu terapi antibiotik dihentikan dan pasien dipulangkan ke rumah.
Foto toraks satu bulan kemudian menunjukkan konsolidasi sudah mengalami resolusi sempurna,

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 4

2017
namun pasien meninggal dunia 2 bulan paska dipulangkan dari rumah sakit karena penyakit
jantung.

Laporan kasus ini menunjukkan beberapa gambaran klinis umum yang terjadi pada
pneumonia komuniti lansia. Prevalensi pneumonia komuniti pada lansia diperkirakan mencapai
25-44 kasus per 1000 orang, namun dapat mencapai 52 kasus per 1000 orang pada usia 85 tahun
atau lebih.

Dalam tinjauan ini, kami membahas perbedaan utama yang perlu dipertimbankan dalam
pendekatan pneumonia pada lansia dibandingkan pada dewasa.

II. Apakah Pasien Lansia merupakan Pasien yang Rentan?

Pasien kami tidak hanya memiliki penyakit penyerta multipel, tetapi juga mengalami
delirirum hipokinetik superimposed demensia dan perubahan status fungsional secara tiba-tiba
(gangguan keseimbangan dan berjalan). Selain itu, ia mengalami serangkaian perburukan klinis
selama dan setelah rawat inap. Ini menunjukkan cirri pasien yang rentan, yang memenuhi kriteria
untuk mendapatkan penilaian khusus dan identifikasi yang akurat untuk memenuhi kebutuhan
perawatan kesehatan mereka yang kompleks. Namun, identifikasi pasien yang rentan (contohnya
pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi) seringkali suboptimal, karena dokter yang
seringkali salah menggunakan terminologi penyakit penyerta multipel, disabilitas, dan
kerentanan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa penyakit penyerta, disabilitas, dan kerentanan,
walaupun saling berkaitan merupakan hal yang berbeda, yang mungkin memerlukan penanganan
yang berbeda dan menunjukkan hasil akhir yang berbeda pula. Beberapa metode telah dilakukan
untuk mendiagnosis pasien rentan, namun karena masih sulit dalam penerapannya, kerentanan
sering kali tidak terdeteksi dalam praktik klinis. Namun, kecepatan berjalan dan kemampuan
berjalan dapat digunakan sebagai indikator klinis kerentanan pada pasien lansia. Gangguan
mobilitas akut dan delirium merupakan dua gejala tipikal dari sindrom geriatri. Kedua kondisi
tersebut memiliki keterkaitan dengan hasil klinis yang buruk dan dapat dicetuskan oleh penyakit
akut, salah satunya pneumonia. Status fungsional adalah kemampuan untuk mengelola rutinitas
sehari-hari, kemundurannya dapat menjadi penanda kelemahan dan faktor risiko penyakit
infeksi. Status fungsional juga dapat memprediksi prognosis serta berkontribusi menentukan

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 5

2017
prognosis itu sendiri. Bo dkk melakukan studi terhadap 659 pasien lansia yang di rawat di ruang
ICU akibat berbagai macam penyebab akut, termasuk pneumonia. Mereka menemukan bahwa
angka mortalitas rumah sakit tidak hanya bergantung pada tingkat keparahan penyakit akut dan
usia, tetapi juga kondisi yang sudah ada sebelumnya, seperti hilangnya kemandirian fungsional,
gangguan kognitif sedang atau berat, indeks massa tubuh yang rendah. Oleh karena itu, kami
menyarankan untuk dilakukannya skrining pada seluruh pasien lansia untuk mengetahui ada
tidaknya delirium dan gangguan mobilitas akut saat masuk rumah sakit serta selama rawat inap.

III. Apakah Manifestasi Klinis Pneumonia pada Lansia berbeda dengan Usia
Dewasa?
Pasien kami datang ke IGD dengan gejala tipikal (napas pendek) dan gejala atipikal
(penurunan kesadaran) pneumonia. Pasien tersebut tidak demam dan jumlah sel darah putihnya
normal, namun terdapat peningkatan C reactive protein dan procalcitonin. Diagnosis pneumonia
pada lansia sulit karena manifestasi klinisnya dapat berbeda dibandingkan usia yang lebih muda.
Klapdor dkk menyatakan bahwa pneumonia komuniti pada lansia dapat menunjukan manifestasi
klinis yang berbeda karena adanya gejala atipikal, gejala yang lebih berat, dan mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan usia yang lebih muda. Beberapa studi menyebutkan beberapa gejala
atipikal pneumonia pada lansia (Tabel 1). Oleh karena itu, kami menyarankan dokter untuk
mencurigai pneumonia pada lansia jika terdapat gejala atipikal (contohnya gambaran radiologis
dan hasil laboratorium yang normal), untuk menghindari komplikasi akibat keterlambatan terapi.
Tabel 1. Tanda dan Gejala terkait Pneumonia pada Lansia

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 6

2017
IV. Bagaimana Mengevaluasi Tingkat Keparahan Penyakit pada Lansia dan
Bagaimana Memilih Terapi yang Tepat?
Pasien kami menunjukkan beberapa masalah klinis yang harus dipertimbangkan
untuk menentukan terapi yang tepat, yaitu: delirium, kegagalan pernapasan hipoksik, dan sepsis
berat. Alat penilaian tingkat keparahan penyakit dapat membantu menentukan perawatan optimal
seperti apa yang harus diberikan. Skor Pneumonia Severity Illness (PSI) dan CURB-65
(Confusion, Blood Urea Nitrogen, Respiratory Rate, Blood Pressure, dan usia 65 tahun) adalah
alat penilaian yang paling banyak digunakan dalam menilai pasien dengan pneumonia komuniti.
Namun scoring tersebut dapat menunjukkan bias pada lansia, terutama dalam menilai pasien
yang sangat tua. Studi di beberapa negara berbeda menunjukkan bahwa skoring tersebut jarang
digunakan oleh dokter dalam praktik klinis, terutama karena banyaknya variabel yang harus
dihitung untuk menghitung skor.
Sehingga, evaluasi yang akurat untuk pemilihan terapi yang tepat pada pasien lansia
tidak hanya bergantung pada skor penilaian tingkat keparahan penyakit saja, tetapi juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor lain. Pedoman The Infectious Disease Society of America
(IDSA) / American Thoracic Society (ATS) 2007 merekomendasikan untuk mengevaluasi faktor
subyektif untuk menentukan tingkat keparahan penyakit, seperti: kemampuan pasien untuk
mengonsumsi obat oral, ketersediaan sumber dukungan rawat jalan dan perawat, dan kebutuhan
medis atau psikososial lainnya (seperti ketersediaan tempat tinggal dan kemampuan fungsional
sehari-hari), serta rendahnya respon terhadap terapi antibiotic empiris sebelumnya. Namun,
pengalaman dokter dalam menilai tingkat keparahan penyakit masih menjadi landasan dalam
penentuan terapi yang akan diberikan. Tiga keadaan yang mungkin perl dipertimbangkan dalam
menentukan tingkat keparahan penyakit pasien dengan pneumonia adalaah onset sepsis berat,
onset gagal napas akut, dan dan adanya penyakit penyerta dekompensasi.

V. Bagaimana Mengatasi Sepsis Berat dan Gagal Napas Akut pada Pasien Lansia?
Diagnosis dini sepsis pada pasien lansia dapat menjadi sebuah tantangan. Kriteria
klasik untuk mendiagnosis systemic inflammatory response syndrome (SIRS: demam atau
hipotermia, takikardi, takipneu, atau jumlah sel darah putih abnormal) dapat tidak ditemui pada
pasien anergik. Sehingga diagnosis klinis sepsis sering kali tidak ditegakkan, sampai pada
akhirnya timbul gagal organ multipel dan syok septic. Pada keadaan seperti ini, deteksi dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 7

2017
biomarker dapat sangat membantu diagnosis dini. Serum laktat merupakan biomarker yang
paling sering digunakan untuk mengidentifikasi sepsis. Namun, peningkatan laktat juga bisa
diakibatkan oleh tidak adekuatnya transport oksigen, komorbid lain seperti anemia dan dehidrasi
berat. Sehingga, evaluasi kadar serum laktat dapat dipertimbangkan pada pasien lansia dengan
manifestasi klinis pneumonia dan pada kasus-kasus lain dimana stabilitas klinis lama tercapai.
Gagal napas akut dapat ditatalaksanai dengan berbagai tingkatan terapi, umumnya
bergantung pada etiologi, tipe, dan tingkat keparahan gagal napas, seperti ventilasi non invasive
dan ventilasi mekanikal. Namun, meskipun bukti bahwa metode suportif ini kurang efektif pada
lansia masih kurang, pasien lansia sering kali mendapatkan terapi yang tidak adekuat pada pratik
klinis. Brandberg dkk melaporkan bahwa pasien berusia ≥80 tahun yang dirawat di ICU
menerima ventilasi mekanikal yang lebih singkat dan lebih sedikit serta mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan pasien dengan usia yang lebih muda (33,7% berbanding 22,8%). Pasien
lansia memiliki lebih banyak litimasi dalam perawatan bahkan setelah disesuaikan dengan skor
keparahan dan penyakit komorbid. Ely dkk mengevaluasi apakah usia merupakan faktor
independen yang mempengaruhi hasil akhir pasien yang dirawat di ICU yang membutuhkan
bantuan ventilasi mekanik. Pasien lansia (usia 75 tahun) memiliki durasi penggunaan ventilasi
mekanik, lama rawat inap, dan mortalitas yang hampir sama dibandingkan pasien dengan usia
lebih muda (38% berbanding 31%). Oleh karena itu, tampaknya tidak tepat untuk membatasi
perawatan intensif dan dukungan ventilasi hanya berdasarkan usia kronologis.
Ventilasi non invasif digunakan untuk tatalaksana gagal napas akut akibat
pneumonia. Nava dkk melakukan uji randomized control trial (RCT) untuk menilai efektivitas
ventilasi invasive dibandingkan dengan terapi medis standar pada pasien lansia (usia lebih dari
75 tahun) dengan gagal napas akut hiperkapnia. Hasilnya menunjukkan bahwa ventilasi non
invasive menurunkan kebutuhan intubasi dan tingkat mortalitas, serta memperbaiki gas darah
arteri serta dispneu secara signifikan dibandingkan terapi medis standar saja. Penulis
menyimpulkan bahwa ventilasi non invasive, dapat menjadi terapi alternative pada pasien lansia
yang memiliki prognosis buruk jika di intubasi atau pasien yang menolak intubasi. Pada pasien
lansia yang mengalami penyakit kronis dan sudah berada dalam tahap akhir, pneumonia sering
kali menjadi penyebab kematian yang tersembunyi. Pada keadaan ini, terapi paliatif merupakan
pilihan terapi dan salah satu masalah yang harus dihadapi adalah perburukan dispneu pada
pasien. Studi yang dilakukan Nava dkk membuktikan bahwa ventilasi nonivasif mungkin lebih

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 8

2017
efektif dibandingkan terapi oksigen untuk mengatasi dispneu pada pasien dengan kondisi
tersebut. Sehingga, ventilasi non invasive dapat bermanfaat sebagai terapi pada gagal napas akut
sedang-berat akibat pneumonia, dan sebagai terapi paliatif atau pada pasien yang menolak
diintubasi.

VI. Terapi Antibiotik Apa yang Harus Diberikan pada Pasien Lansia yang
Mengalami Pneumonia Komuniti?
Beberapa karakteristik pola kuman pneumonia pada lansia berbeda dengan usia yang
lebih muda, termasuk prevalensi pneumonia pneumococcal dan pneumonia virus influenza yang
lebih tinggi serta prevalensi patogen atipikal pada lansia. Pertimbangan pola kuman sangatlah
penting terutama untuk menentukan antibiotik empiris mengikuti rekomendasi dari pedoman
praktis klinis terbaru, yang berfokus pada faktor risiko multidrug resistant, tingkat keparahan
penyakit, serta pola resistensi kuman (Gambar 1). Untuk pasien rawat jalan dan pasien rawat
inap non-ICU florokuinolon saja (levofloxacin atau moxifloxacin) atau beta lactam ditambah
macrolide adalah pilihan yang tepat. Pada pasien ICU pemberian beta lactam ditambah dengan
florokuinolon atau macrolide harus dipertimbangkan

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 9

2017
Gambar 1. Pilihan Terapi Antimikrobial untuk Pasien Pneumonia Komuniti
Berdasarkan Faktor Risiko

Apakah pasien lansia berisiko tinggi terinfeksi patogen multidrug resisten?

Pasien lansia dapat memili faktor risiko multipel untuk terinfeksi patogen MDR. Kontak
berulang dengan fasilitas kesehata merupakan salah satu faktor risiko yang penting dann
termasuk riwayat rawat inap, hemodialisa, dan terapi antibiotic dalam 3 bulan terakhir. Demi
optimalnya terapi pada pasien dengan faktor risiko tersebu, dibuatlah terminology healthcare-
associated pneumonia (HCAP) dan nursing home-acquired pneumonia (NHAP). Agen penyebab
HCAP dan NHAP mungkin mirip dengan patogen penyebab pneumonia nosokomial
dibandingkan pneumonia komuniti. Namun, pemberian antibiotik spektrum luas pada pasien
rawat inap dengan HCAP dan NHAP masih menjadi kontroversi. Selain itu, pertimbangan semua
pasien HCAP rentan terhadap infeksi patogen MDR dapat merupakan kekhawatiran yang

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 10

2017
berlebihan. Oleh karena itu, para peneliti menciptakan sistem scoring untuk memprediksi infeksi
patogen MDR dengan lebih baik (Tabel 2). Sistem scoring tersebut dapat membantu untuk
mengindentifikasi pasien yang dapat benar-benar menunjukkan manfaat jika diberikan antibiotik
spektrum luas, walaupun valiadasi dengan uji kohort masih diperlukan.

Tabel 2. Sistem Skoring untuk Menilai Patogen MDR pada Pasien Pneumonia

Aspirasi

Pasien lansia memunjukkan lebih banyak faktor risiko untuk terjadinya pneumonia
aspirasi dibandingkan pasien dengan usia lebih muda (Gambar 2). Penuaan sendiri dapat
menyebabkan gangguan menelan, namun penyakit penerta, gangguan kognitif, dan kecacatan
merupakan alasan utama mengapa pneumonia aspirasi lebih sering terjadi pada pasien lansia.
Ditambah lagi, aspirasi merupakan salah satu faktor risiko pneumonia berat dan meningkatkan
tingat mortalitas. Berdasarkan studi meta analisis terbaru, ada beberapa kondisi yang
memungkinkan peningkatan risiko aspirasi pada lansia, seperti: usia, jenis kelamin, penyakit
paru, disfagia, diabetes melitus, demensia berat, kesehatan mulut yang buruk, malnutrisi,
penyakit Parkinson, penggunaan obat antipsikotik, proton pump inhibitor, dan ACE inhibitor.
Kondisi ini perlu benar-benar dipertimbangkan dan diperhatikan secara hati-hati pada pasien
lansia yang berisiko.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 11

2017
Gambar 2. Etiopatologi Pneumonia Aspirasi

Menurut metaanalisis baru-baru ini, terdapat beberapa kondisi yang terkait dengan
peningkatan risiko aspirasi pada lansia, yaitu usia, jenis kelamin laki-laki, penyakit paru,
disfagia, diabetes melitus, demensia berat, angiotensin I converting enzyme deletion genotype,
kesehatan mulut yang buruk, malnutrisi, penyakit Parkinson, penggunaan obat antipsikotik,
proton pump inhibitor, dan pemnghambat angiotensin converting enzim. Kondisi-kondisi
tersebut perlu dievaluasi secara seksama pada lansia yang berisiko.

Penegakkan diagnosis aspirasi dapat menjadi sebuah tantangan, terutama apabila


manifestasi klinis tidak begitu jelas. Pneumonia aspirasi dapat dicurigai jika terdapat faktor
risiko atau adanya bukti infiltrat pada segmen paru yang dipengaruhi gravitasi. Alat diagnostik
yang baik digunakan adalah fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing (FEES), yang dapat
mendeteksi aspirasi sekret dan dapat dilakukan di ruang perawatan.

Patogen yang paling banyak ditemukan adalah flora orofaringeal, termasuk anaerob
(coccus gram postif dan basil gram negatif). Sehingga antibiotik sengan aktivitas anaerob sangat
direkomendasikan pada pasien dengan penyakit periodontal, yang memproduksi sputum berbau
atau pasien dengan pneumonia necrotizing atau abses paru berdasarkan pemeriksaan radiologis

Imunosupresi

Studi epidemiologi menunjukkan kecenderungan predisposisi terinfeksi pada lansia. Hal


ini menimbulkan pertanyaan apakah pasien lansia memiliki tingkat imunosupresi yang lebih

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 12

2017
tinggi dibandingkan pasien yang lebih muda akibat proses penuaan sistem imun, komorbid, dan
medikasi.

Berdasarkan literature baru-baru ini, terjadi remodeling sistem imun selama proses
penuaan: berkurangnya produksi sel T dan sel B di sumsum tulang dan timus, serta penurunan
fungsi limfosit matur. Meyer dkk mengemukakan beberapa komorbid yang mengubah sistem
imun dan meningkatkan risiko lansia untuk mengalami pneumonia, yaitu: diabetes melitus, gagal
ginjal kronis, gagal hati kronis, gagal jantung kongesti, malignansia, asplenia, terapi
imunosupresif (seperti kortikosteroid), alkoholisme, dan malnutrisi. Selain itu, komorbid seperti
PPOK dan bronkiektasis dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh pada paru, yaitu
menurunkan gerakan mukosilier. Pada penelitian baru-baru ini, Sousa dkk membandingkan agen
penyebab pneumonia pada 115 pasien lansia imunokompromised dan nonimunokompromised. S
pneumonia merupakan agen penyebab terbanyak pada dua kelompok tersebut, namun basil gram
negatif terutama P aeruginosa dan Nocardia spp lebih banyak menjadi agen penyebab pada
kelompok pasien imunokompromised.

Apabila terdapat faktor risiko imunokompromised, sangatlah penting untuk mewaspadai


adanya infeksi P aurugenosa dan patogen oportunistik lainnya.

Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit paru obstruktif kronis tahap lanjut sering terjadi pada pasien lansia. Pasien
PPOK berat yang sering mengalami eksaserbasi memiliki risiko tinggi pneumonia dan kolonisasi
P aeruginosa. Pada pasien seperti itu, P aerugenosa dapat menjadi patogen penyebab pneumonia
dan terapi kombinasi harus diberikan untuk memaksimalkan spektrum cakupan terhadap bakteri
dan menekan kemungkinan resistensi. (Gambar 1). Selain itu, beberapa observasi terbaru
mengemukakan adanya hubungan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan peningkatan risiko
pneumonia pada pasien PPOK. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait hal
tersebut.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 13

2017
VII. Bagaimana Mengevaluasi Stabilitas Klinis pada Lansia?
Stabilitas klinis perlu dievaluasi sebagai hasil awal pada pasien dengan pneumonia.
Kriteria yang paling umum untuk menentukan stabilitas klinis direkomendasikan oleh pedoman
praktis klinis yang diterbitkan oleh ATS 2001 dan ATS/IDSA 2007 (Tabel 3). ATS 1 didasarkan
atas gejala pasien dan data klinis/laboratoris, sedangkan ATS/IDSA 2007 didasarkan atas
pengukuran klinis objektif. Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Aliberti dkk pada 500
orang dewasa yang dirawat dengan pneumonia komuniti menunjukkan bahwa kriteria
berdasarkan ATS 2001 secara signifikan dapat mengidentifikasi stabilitas klinis lebih awal
dibandingkan ATS/IDSA 2007. Namun, dua kriteria tersebut secara klinis setara untuk
menentukan kegagalan klinis atau kematian dalam 30 hari setelah manifestasi klinis pertama kali
muncul. Penggunaan biomarker inflamasi juga dapat membantu klinisi dalam mengevaluasi
respon terhadap antibiotik pada pasien lansia. Menendez dkk menemukan bahwa selain kriteria
klinis, kadar C reaktif protein dan procalcitonin yang rendah dapat meningkatkan prediksi tidak
adanya komplikasi berat pada pasien yang dirawat inap dengan pneumonia komuniti. Namun,
efek defisit imunitas terhadap procalcitonin masih menjadi kontroversi. Sehingga, interpretasi
kadar procalcitonin pada lansia membutuhkan perhatian khusus karena tingginya insidensi
imunosupresi pada lansia
Tabel 3. Kriteria untuk Stabilitas Klinis

Kseulitan pada lansia adalah manifestasi klinis yang atipikal tidak adanya demam dan
leukositosis, sehinggan kriteria ATS/IDSA 2007 menjadi pilihan yang lebih tepat untuk menilai
stabilitas klinis pada pasien dewasa yang lebih tua. Metode lain untuk menilai stabilitas klinis
adalah berdasarkan parameter gejala, hasil laboratoris, atau tanda vital yang mengalami
perubahan, serta perubahan akut status fungsional dan kognitif, terutama pada pasien yang
lemah. Bellelli dkk menunjukkan bahwa pada lansia yang menunjukkan gejala delirium,
resolusinya mungkin ditandai dengan perbaikan penanda klinis. Selain itu, waktu untuk
mencapai stabilitas klinis mungkin berbeda pada dewasa muda dan lansia. Biasanya dibutuhkan

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 14

2017
3 sampai 7 hari pada pasien dewasa muda tanpa komorbid, namun mungkin memerlukan waktu
yang lebih lama pada pasien lansia yang lemah.

VIII. Bagaimana Mengatasi Kegagalan Terapi dan Komplikasi Apa yang Mungkin
Terjadi pada Pasien Lansia dengan Pneumonia?
Kegagalan terapi merupakan salah satu penyebab utama tidak tercapainya stabilitas
klinis dan angka insidensinya bervariasi diantara 6-15%. Pasien kami mengalami fibrilasi atrium
pada hari keempat, yang mungkin menjadi penyebab keterlambatan tercapainya stabilitas klinis.
Pilihan tatalaksana untuk menghadapi kegagalan terapi dirangkum pada Tabel 4.
Tabel 4. Tatalaksana Kegagalan Terapi pada Pasien Lansia dengan Pneumonia
Komuniti

Aliberti dkk melakukan studi terhadap 500 pasien yang dirawat dengan pneumonia
komuniti, 67 pasien (13%) mengalami kegagalan terapi. Penyebab tersering kegagalan terapi
adalah sepsis berat, infark miokard, pneumonia progresif, dan pneumonia nosokomial. Beberapa
penulis baru-baru ini melaporkan peningkatan kejadian kardiovaskular pada pasien yang dirawat
inap dengan pneumonia komuniti. Studi metaanalisis oleh Corrales dkk kejadian kardiovaskular
pada pasien pneumonia sebesar 18% pada 17 penelitian yang dievaluasi. Studi lain yang
dilakukan oleh Corrales dkk terhadap 2287 pasien dewasa dengan pneumonia komuniti
menunjukkan bahwa usia yang lebih tua, perawatan dirumah, penyakit kardiovaskular yang
sudah ada sebelumnya, dan tingkat keparahan pneumonia memiliki keterkaitan dengan angka
kejadian komplikasi kardiovaskular. Komplikasi yang paling banyak terjadi adalah perburukan
gagal jantung kongestif (67%), aritmia baru atau memburuk (22%), dan infark miokard (4%).
Timbulnya komplikasi kardiovaskular berkaitan dengan peningkatan risiko kematian dalam 30

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 15

2017
hari sebesar 60%. Sebuah penelitian baru-baru ini mencoba mengeksplorasi hubungan kausal
antara pneumonia dan kejadian kardiovaskular untuk meningkatkan intervensi pencegahan.

IX. Apakah Pasien Lansia Memiliki Risiko Tinggi Rawat Inap Kembali atau
Meningkatkan Mortalitas Jangka Panjang?
Pasien kami meninggal 2 bulan setelah keluar dari rumah sakit, akibat kejadian
kardiovaskular, walaupun telah sembuh dari pneumonia. Kami dulu berpikir bahwa pneumonia
merupakan suatu proses akut. Namun, pneumonia mungkin merupakan sebuah proses kronis
dengan gejala sisa jangka panjang, terutama pada lansia. Lebih dari 60% pasien lansia yang
dirawat inap karena penyakit akut berisiko kehilangan fungsi fisikal independennya.
Mekanismenya masih belum jelas, tetapi inflamasi mungkin menjadi penyebab yang mendasari
pada pasien dengan pneumonia. Cohen dkk menjelaskan hubungan antara peningkatan sitokin
proinflamasi dan disabilitas fungsional. Selain itu, pada lansia yang lemah, penyakit akut dapat
menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga memperpanjang waktu penyembuhan.
Beberapa studi mengemukakan bahwa usia lanjut memiliki keterkaitan dengan
peningkatan mortalitas jangka panjang pada pasien dengan pneumonia komuniti. Kaplan
menyebutkan pneumonia sebagai “teman lansia”, setelah menemukan bahwa hampir setengah
dari lansia yang dirawat karena pneumonia komuniti meninggal pada tahun berikutnya. Angka
mortalitas jauh lebih tinggi dibandingkan populasi umum atau pasien yang dirawat karena
penyebab selain pneumonia komuniti. Brunsan dkk menyebutkan bahwa kematian setelah
pneumonia komuniti umumnya memiliki disebabkan oleh komorbid (malignansi 27%, PPOK
19%, penyakit vaskular 16%) dan bukan disebabkan pneumonia rekuren.
Dua studi meninjau topik rawat inap kembali setelah 30 hari pada pasien lansia
dengan pneumonia. Lindenauer dkk mengevaluasi 226.545 pasien yang dirawat inap karena
pneumonia, didapatkan 17,4% kembali masuk rumah sakit setelah 30 hari. Sedangkan penelitian
yang dilakukan oleh Sharmarajan dkk menunjukkan 18,3% subyek kembali masuk rumah sakit
setelah 30 hari, diman 22,4% diantaranya masuk rumah sakit kembali akibat pneumonia. Review
Calvillo-King dkk terhadap 20 studi terkait rawat inap kembali dan mortalitas setelah
pneumonia, menunjukkan bahwa usia yang lebih tua memiliki keterkaitan dengan hasil akhir
yang lebih buruk. Namun, studi-studi tersebut tidak mempertimbangkan variabel seperti

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 16

2017
kelemahan, status kognitif, dan status fungsional. Sehingga, usia terlihat sebagai indikator
disabilitas bukan sebagai faktor risiko disabilitas.

X. Apakah Ada Hasil Akhir Lain yang Perlu Dipertimbangkan pada Lansia
dengan Pneumonia?
Pasien kami memiliki beberapa kondisi, termasuk gangguan fisik, kognitif, dan gizi,
yang mungkin dipengaruhi oleh penyakit akut seperti pneumonia. Sebuah makalah baru-baru ini
yang ditulis oleh Davydow dkk menunjukksn bagimana rawat inap akibat pneumonia pada
masyarakat berusia diatas 50 tahun memiliki keterkaitan dengan penurunan fungsional,
gangguan kognitif, fan gejala depresif. Selain itu, derajat penurunan fungsional setelah infeksi
akut tampaknya dipengaruhi oleh kadar infeksi, semakin besar infeksi yang terjadi, semakin
tinggi risiko penurunan fungsional yang akan terjadi. Efek serupa terjadi pada pasien yang
mendapatkan perawatan dirumah, dimana jumlah episode infeksi memiliki keterkaitan dengan
penurunan fungsional.
Atrofi otot terkait usia akibat imobilisasi jangka panjang, pneumonia terkait hipoksia,
dan inflamasi sistemik merupakan mekanisme patogenik utama. Studi yang dilakukan oleh
Mundy dkk menunjukkan bahwa mobilisasi dini pasien yang dirawat inap karena pneumonia
memiliki keterkaitan dengan penurunan lama rawat inap tanpa meningjatkan risiko peruburukan
hasil akhir.
Rehabilitasi fisik biasanya diberikan pada pasien paska rawat inap akibat penyakit
kardiovaskular, serebrovaskularm atau penyakit kronis seperti PPOK. Peningkatan kebutuhan
rehabilitasi fisik paska pneumonia komuniti pada beberapa kelompok lansia dapat mencegah
atau memperbaiki disfungsi fisik yang terjadi kemudian.
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi mortalitas adalah status nutrisi pasien.
Rendahnya kadar albumin dan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko yang memiliki
keterkaitan dengan mortalitas jangka panjang pada pasien dengan pneumonia komuniti. Selain
itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh King dkk terhadap 18.746 veteran yang di rawat inap
akibat pneumonia komuniti menunjukkan bahwa pasien underweight memiliki angka mortalitas
dalam 90 hari yang lebih tinggi, sedangkan obesitas menunjukkan efek protektif. Status nutrisi
yang buruk dapat merupakan tanda awal dari penyakit lain, seperti disfagia, demensia, dan
malignansi.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 17

2017
Studi oleh Lindhard dkk mengemukakan bahwa status nutrisi dan mobilisasi sangat
jarang dievaluasi pada pasien yang dirawat inap akibat pneumonia komuniti.

XI. Apa Langkah Preventif yang Paling Relevan pada Lansia dengan Pneumonia?
Pasien kami telah melakukan vaksinasi flu, namun belum pernah mendapatkan
vaksinasi terhadap S pneumonia. S pneumonia merupakan patogen tersering yang menjadi
etiologi pneumonia baik pada lansia maupun dewasa. Saat ini, tersedia dua vaksin pnuemokokal
untuk dewasa, yaitu 23 valent pneumococcal polysaccharide vaccines (PPSV) dan 13 protein
polysaccharide conjugate vassine (PCV13). Menurut pedoman CDC, PSSV direkomendasikan
penggunaannya untuk usia diatas 65 tahun yang memiliki risiko tinggi terjangkit penyakit
pneumococcal. PCV13 direkomendasikan untuk usia anak-anak dan baru-baru ini diperbolehkan
digunakan untuk masyarakat berusia diatas 50 tahun. Kerugian utama dari PPSV adalah kurang
efektif dibandingkan PCV13, karena imunogenesitas yang lebih buruk. Namun, PPSV memiliki
beberapa kelebihan seperti memberikan perlindungan terhadap 10 serotipe tambahan. Pasien
yang telah menerima PPSV namun mengalami pneumonia, memliki risiko yang lebih rendah
untuk terjadinaya bakteremia, lama rawat inap yang lebih singkat, dan angka mortalitas yang
lebih rendah. PPSV efektif untuk mencegah penyakit pneumokokkal invasif (terutama
pneumonia pneumococcal), tapi kurang efektif untuk mencegah penyakit pneumococcal
noninvasif. Penelitian yang membandingkn imunogenesitas kedua vaksin diatas menyimpulkan
bahwa PCV13 sama efektifnya dengan PPSV terhadap strain yang sama. Studi evaluasi
efektifitas PCV13 pada lansia masih dalam tahap pelaksanaan.
Penelitian kohort menunjukkan bahwa vaksin influenza secara signifikan menurunkan
risiko infeksi influenza dan mortalitas pada lansia, walaupun efikasinya bervariasi bergantung
penyakit komorbid dan faktor demografi. Namun, terlepas dari kekhawatiran mengenai
efektifitas vaksin yang diberikan pada pasien imunokompromised, terdapat consensus yang
menyatakan kedua vaksin tersebut perlu diberikan.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 18

2017
Kesimpulan

 Pada lansia yang mengalami penyakit akut, seperti pneumonia komuniti,


direkomendasikan untuk membuat rencana intensitas terapi. Rencana ini harus
mempertimbangkan berbagai kondisi bukan hanya usia, tetapi juga aspek lain seperti
keinginan pasien, status fungsional dan kognitif, serta tingkat keparahan komorbid.
 Pasien lansia memiliki sejumlah besar faktor risiko yang terkait dengan infeksi patogen
MDR yang lebih tinggi.
 Evaluasi sistematis terhadap kognitif, nutrisi, dan status fungsional harus menjadi bagian
yang terintegrasi dengan pemeriksaan klinis pada lansia dengan pneumonia komuniti agar
dapat segera megetahui jika terdapat perburukan dini dan dapat menetapkan tindakan
suportif yang akan diberikan.
 Tingkat mortalitas jangka panjang paska pneumonia komuniti sangatlah tinggi, terutama
pada lansia. Tindakan preventif yang efektif dan kepatuhan imunisasi harus ditingkatkan.
Evaluasi lanjutan berkala oleh tenaga medis juga direkomendasikan. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi jika terdapat infeksi baru atau perburukan penakit
komorbid kronis menjadi dekompensasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 19

2017
Kelebihan jurnal:
 Jurnal ini berisi tentang pembahasan pneumonia berdasarkan berbagai studi terdahulu,
yang dilengkapi dengan contoh kasus pneumonia.
 Menjelaskan berbagai aspek terkait pneumonia pada lansia.

Kekurangan jurnal:
 Jurnal ini tidak menyebutkan batas usia yang digolongkan sebagai lansia
 Jurnal ini merupakan jenis jurnal review, dimana tidak mengevaluasi secara statistik
terkait pneumonia pada lansia.
 Pada jurnal ini juga dibahas terkait kasus pasiennya yang mengalami pneumonia.
Namun, pembahasan terkait kasus tersebut kurang lengkap dan mendalam.

Kesimpulan :
Jurnal ini baik untuk dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan terkait pneumonia pada
lansia dan dapat menjadi pertimbangan terkkait berbagai aspek pneumonia pada lansia.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 20

2017
Sumber Jurnal:

Faverio P, Aliberti S, Bellelli G, Suigo G, Lonni S, Pesci A, Restrepo M. The Management of


Community-Acquired Pneumonia in the Eldery. European Journal of Internal Medicine.
2013.

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram 21

2017

Anda mungkin juga menyukai