Anda di halaman 1dari 25

7

BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Cedera Kepala
2.1.1 Pengertian
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang
diserai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cidera kepala meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Secara anatomis otak dilindungi dari cidera oleh
rambut,

kulit

kepala,

serta

tukang

dan

tentorium

(helm)

yang

membungkusnya (Arif Muttaqin, 2011).


Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala yang
dirasakan juga oleh otak, sebagai akibat perputaran pada tindakan
pencegahan (Musliha, 2010)
Cidera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan
mengakibatkan kelainan neurologis yang serius serta telah mencapai
proporsi epidemic sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan. Kadar alcohol
yang melebihi kadar aman telah ditemukan pada lebih dari 50% pasien
cidera kepala yang ditangani bagian kegawatdaruratan. Sedikitnya, separuh

dari pasien dengan cidera kepala berat mengalami cidera yang signifikan
pada bagian tubuh lainnya (Brunner & Suddarth, 2001)
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kepala
Struktur tulang yang menutupi dan melindungi otak, terdiri dari
tulang cranium dan tulang muka. Tulang cranium terdiri dari tiga lapisan:
lapisan luar, dipole dan lapisan dalam. Lapisan luar dan dalam merupakan
struktur yang kuat, sedangkan diploe merupakan struktur yang menyerupai
busa. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa : fosa anterior (didalamnya
terdapat lobur frontalis), fosa tengah (berisi lobus temporalis, parietalis, dan
oksipitalis), fosa posterior (berisi otak tengah dan sereblum).
Meningen adalah selaput yang menutupi otak dan medulla spinalis
yang

berfungsi

sebagai

pelindung.

Pendukung

jaringan-jaringan

dibawahnya, meningen terdiri dari Duramater (lapisan luar) yaitu selaput


keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan luas.
Duramater ditempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan
darah vena ke otak. Arachnoid (lapisan tengah) yaitu selaput halus yang
memisahkan duramater dengan piamater membentuk sebuah kantong atau
balon berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral. Piamater
(lapisan dalam) yaitu selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan
otak, piamater berhubungan dengan arachnoid melalui struktur-struktur
jaringan ikat yang disebut trabekel (Ganong, 2002)

Otak terbagi menjdai tiga bagian utama yaitu yang pertama sereblum
merupakan bagian otak yang terbesar dan paling menonjol. Disini terletak
pusat-pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motoric, juga
mengatur proses penalaran, ingatan dan intelegensia. Sereblum terbagi
menjadi hemisfer kanan dan kiri oleh suatu lekuk atau celah dalam yang
disebut fisura longitudinalis mayor.
Bagian luar hemisferium serebri terdiri dari substansial grisea yang
disebut sebagai korteks serebri, terletak diatas substansial alba yang
merupakan bagian dalam (inti) hemisfer dan dinamakan pusat medulla.
Kedua hemisfer saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang
disebut korpus kalosum. Didalam substansial alba tertanam masa substansial
grisea yang disebut ganglia basalis. Pusat aktivitas sensorik dan motoric
pada masing-masing hemisfer dirangkap dua, dan biasanya berkaitan dengan
bagian tubuh yang berlawanan.
Hemisferium serebri kanan mengatur bagian tubuh sebelah kiri dan
sebaliknya. Konsep fungsional ini disebut pengendalian kontralateral. Setiap
hemisfer dibagi dalam lobus dan terdiri dari empat yaitu : Lobus frontalis,
Lobus temporal, Lobus oksipital, dan Lobus parietalis. Yang kedua sereblum
didalam fosa krani posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai
atap tenda, yaitu tentonium yang memisahan dari bagian posterior sereblum.
Sereblum terdiri dari bagian tengah dan dua hemisfer lateral.
Sereblum dihubungkan dengan batang otak oleh tiga berkas serabut yang
dinamakan pedunkulus. Pedunkulus serebri superior berhubungan dengan

10

kedua hemisfer otak, sedangkan hemisfer serebri inferior berisi serabutserabut traktus spinus serebralis dorsalis dan berhubungan dengan medulla
oblongata. Semua aktifitas serebrum dibawah kesadaran fungsi utamanya
adalah pusat reflek yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot,
serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh.
Diseluruh batang otak banyak ditemukan jaras-jaras yang berjalan
naik turun. Batang otak merupakan pusat penyampaian dan reflek yang
penting dari SSP. Selain nerfus alfaktorius dan optikus, nuclei nervus
kranialis atau lebih yang turut terlibat dalam lesi batang otak.
Letak dan penyebaran lesi ini dapat dideteksi menggunakan
pemeriksaan fungsi saraf kranialis. Nervus kranialis I (alfaktorius) dan II
(optikus) merupakan jaras SSP, nervus optikus dapat terkena pada penyakitpenyakit SSP misal sclerosis multiple dan tumor (Price & Willson, 2006).
2.1.3 Etiologi Cidera Kepala
Penyebab cidera kepala yaitu trauma tajam yang merupakan
kerusakan yang terjadi hanya terbatas pada daerah dimana ini merobek otak,
misalnya tertembak peluru. Trauma tumpul yang merupakan kerusakan
menyebar karena kekuatan benturan, biasanya bersifat lebih berat.
Cidera akselerasi yang merupakan peristiwa gonjatan yang hebat
pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun bukan dari pukulan.
Kontak benturan (gonjatan langsung) terjadi benturan atau tertabrak sesuatu

11

objek, kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan industry, serangan yang


disebabkan karena olahraga, perkelahian (Smeltzer & Bare, 2010).
2.1.4 Patofisiologi Cidera Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir
seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan
oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi (Musliha, 2010).
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20% suplai darah, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70% akan terjadi gajala-gejala permulaan disfungsi serebral (Musliha,
2010).
Saat terjadinya trauma pada kepala, akan memungkinkan terjadinya
peningkatan tekan intra kranial (TIK), edema otak barangkali merupakan
penyebab yang paling lazim dari peningkatan intrakranial dan memiliki daya
penyebab

antara

lain

peningkatan

cairan

intra

sel,

hipoksia,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemi serebral, meningitis dan


cedera. Tekanan intrakranial (TIK) pada umumnya meningkat secara
berangsur-angsur setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan
waktu 36 48 jam untuk mencapai maksimum (Musliha, 2010).
Peningkatan TIK sampai 33 mmHg (450 mmH2O) mengurangi
aliran darah otak (ADO) secara bermakna, iskemi yang timbul merangsang

12

vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat


inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi dan pernafasan menjadi lebih
lambat. Tekanan darah sistemik akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik dimana TIK
melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan akibat kematian
otak. Pada umumnya kejadian ini didahului oleh penurunan yang cepat dari
tekanan daraaaah arteri (Price & Willson, 2006).
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio akan
merusak sawar darah otak (SDO) disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan
sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada
jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan
menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis
(penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan SDO lebih lanjut
(Price & Willson, 2006).
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau
kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob (Musliha, 2010). Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50-60
ml/menit/100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15% dari kardiak output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial perubahan tekanan vaskuler dan oedeme paru (Musliha,
2010).

13

2.1.5 Klasifikasi Cidera Kepala


Menurut Arif Muttaqin, (2011). Cedera kepala dapat diklasifikasikan
berdasarkan penilaian dari skor GCS (Glasgow Coma Scale) dan dapat
dikelompokan menjadi tiga, yaitu :
a. Cedera kepala ringan (CKR)
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS: 13-15, yaitu pasien dengan
keadaan sadar, menuruti perintah tapi disorientasi, tidak ada kehilangan
kesadaran, tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang, pasien dapat
mengeluh nyeri kepala dan pusing, pasien dapat menderita laserasi,
hematoma kulit kepala, tidak adanya kriteria cedera kepala sedang- berat.

b. Cederda kepala sedang (CKS)


Cedera kepala sedang dengan nilai GCS: 9-12 yaitu pasien bisa atau
tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai
dengan pernyataan yang diberikan, seperti amnesia paska trauma, muntah,
tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, rinore dan otore cairan serebro spinal), kejang.
c. Cedera kepala berat (CKB)
Cedera kepala berat dengan nilai GCS kurang dari atau sama dengan
8, yaitu pasien dengan penurunan kesadaran secara progresif, tanda
neurologis focal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi
cranium. Pada klien dengan cedera kepala berat dan sudah terjadi disfungsi

14

pusat pernafasan, klien biasanya dipasang ETT dan ventilator dan biasanya
klien dirawat di ruang intensif sampai kondisi klien menjadi stabil.

2.1.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala kerusakan otak didasarkan pada luasnya kerusakan
otak. Menurut Brunner & Suddarth (2001), cidera kepala ringan (CKR)
ditandai dengan kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal
dan sebagian besar mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau
hari.
Cedera kepala sedang (CKS) ditandai dengan kelemahan pada salah
satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma, gangguan
kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologi, perubahan
tanda-tanda vital, gangguan pengelihatan dan pendengaran, disfungsi
sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
Sedangkan cedera kepala berat (CKB) merupakan peristiwa dimana
pasien mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat
sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan atau kecelakaan, pupil
tidak ekual, pemeriksaan motoric tidak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur
tengkorak dan penurunan neurologic.

2.1.7 Penatalaksanaan Medis


Semua terapi diarahkan untuk mempertahankan homeostasis otak
dan mencegah kerusakan otak sekunder. Kerusakan otak sekunder ini

15

menyebabkan odem otak, hipotensi, penurunan fungsi pernafasan yang


berakibat terjadinya hipoksemia dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Tindakan ini meliputi stabilisasi kardiovaskuler dan fungsi pernafasan untuk
mempertahankan

perfusi

serebral

adekuat.

Pengontrolan

terhadap

perdarahan dan hipovolemik, dan mempertahankan nilai-nilai gas darah


sesuai dengan nilai yang diinginkan (Smeltzer and Bare, 2010)
Menurut Mansjoer, A, dkk (2000), penatalaksanaan yang akan
dilakukan pada kasus cedera kepala berat adalah :
a. Pedoman resusitasi dan penilaian awal
Menilai jalan nafas, bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu (jika ada indikasi), pertahankan tulang servikal segaris
dengan badan dengan memasang servikal collar, pasang gudel bila dapat
ditolerir, jika cedera orofasial mengganggu jalan nafas maka pasien harus
di intubasi
b. Menilai pernafasan
Tentukan pasien bernafas atau tidak, jika tidak berikan oksigen
melalui masker, jika pasien bernafas spontan, sedikit dan atasi cedera dada
berat seperti pneumotoraks, pneuomotoraks tensif, hemopneumotoraks,
pasang oksimeter nadi jika tersedia dengan tujuan menjaga saturasi
oksigen minimum 95%, jika nafas pasien tidak terlindung bahkan
terancam atau mendapatkan oksigen yang adekuat (PaO2 > 95 mmHg dan
PaCO2 < 40 mmHg serta saturasi O2 > 95%) atau muntah maka pasien
harus di intubasi serta diventilasi oleh anastesi.
c. Menilai sirkulasi
Otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi, hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya, perhatikan secara khusus adanya
cedera intra abdomen atau dada, ukur dan catat frekuensi denyut jantung

16

dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia, pasang
jalur intravena yang besar, dan lakukan pemeriksaan analisa gas darah
(AGD), pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit dan glukosa
untuk mengetahui adanya penurunan aliran darah otak (ADO), iskemia,
hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan
SDO lebih lanjut terutama pada pasien dengan cedera kepala sedang dan
cedera kepala berat (Price & Willson, 2006).
Untuk penatalaksanaan kliniknya, menurut Smeltzer, dkk (2010)
perlu dilakukan dua hal, yaitu :
Tindakan terhadap peningkatan tekanan intrakranial
Ketika otak yang rusak mengalami pembengkakan atau tejadi

a.

penumpukan darah yang cepat, akan terjadi peningkatan tekanan


intrakranial (TIK) dan harus ditindak dengan segera. TIK dipantau secara
ketat dan bila terjadi peningkatan maka dapat diatasi dengan
mempertahankan oksigenasi yang adekuat.
Tindakan operasi diperlukan untuk evakuasi pembekuan darah,
debridemen dan pengangkatan tulang yang fraktur yang mendesak ke
dalam, dan menjahit kulit kepala yang mengalami laserasi. Untuk
memonitor TIK dengan mempertahankan oksigenasi yang adekuat,
mengatur
b.

posisi

kepala

lebih

tinggi

dari

tempat

tidur,

dan

mempertahankan volume darah dalam batas normal.


Tindakan pendukung lainnya
Tindakan lainnya pada pasien cedera kepala adalah dukungan
ventilasi, pencegahan kejang, pemeliharaan cairan dan elektrolit,
keseimbangan nutrisi, dan pengelolaan nyeri dan kecemasan. Pada
pasien koma perlu diintubasi dan dipasang ventilasi mekanis untuk

17

mengontrol dan melindungi jalan nafas biasanya terjadi pada pasien


dengan cidera kepala berat.
Serangan kejang dapat terjadi pada pasien yang mengalami cedera
kepala akibat hipoksia yang akan menyebabkan kerusakan otak
sekunder. Untuk mengatasinya dapat diberikan antikonvulsan. Bila
pasien sangat teragitasi, dapat diberikan benzodiazepine (klorpromazin)
untuk menenangkan pasien tanpa menurunkan tingkat kesadaran.
Selang nasogastrik dapat dipasang, bila motilitas lambung menurun
dan peristaltik usus terbalik dikarenakan cedera kepala, dengan membuat
regurgitasi dan aspirasi pada beberapa jam pertama.
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan cedera kepala menurut
Tarwoto, (2007) antara lain :
a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang
terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran
pernafasan, atelectasis, aspirasi, pneumotoraks atau gangguan gerak
pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan
pada akhirnya pasien dapat mengalami hipoksia.
b. Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan didalam
jaringan. Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya masa
jaringan otak didalam rongga tengkorak yang merupakan ruang
tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intra kranial yang selanjutnya juga akan mengakiatkan terjadinya
perfusi jaringan otak.
c. Peningkatan tekannan intra kranial

18

Tekanan intracranial dapat meningkat karena beberapa sebab,


yaitu perdarahan pada selaput otak, misalnya hematoma epidural dan
subdural. Pada perdarahan dalam jaringan otak, misalnya laserasi dan
hematoma serebri, dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim
otak yaitu berupa edema serebri.
d. Herniasi jaringan otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya
karena ada hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya
tekanan intracranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat
ditoleransi, namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat
ditoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupapergeseran dari struktur
otak tertentu kearah celah-celah yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan adanya robekan pada kulit
akan memiliki risiko tinggi terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan
dibagian tubuh lainnya. Infeksi yang terjadi akan mengakibatkan
terjadinya Meningitis, Ensefalitis, Empysema subdural, Osteomilietis
tulang tengkorak, bahkan abses otak.
f. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi dari cedera
kepala, khususnya dan paling sering terjadi pada pasien dengan cedera
kepala berat.
g. Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralisis saraf lokal
seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau abnormalitas
gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan
kejang postraumatik atau epilepsi. Pasein mengalami sisa penurunan

19

psikologis oarganik (melawan, emosi labil, atau tidak punya malu,


prilaku agresif) dan konsekuensi gangguan, kurangnya wawasan
terhadap emosi.

2.2 Konsep Analisa Gas Darah


2.2.1 Pengertian
Analisa Gas Darah (AGD) merupakan baku emas untuk menilai
adekuasi oksigenasi dan ventilasi, merupakan bagian penting dalam
diagnosis serta penatalaksanaan gangguan oksigenasi dan asam basa.
Analisis gas darah yang abnormal mungkin merupakan petunjuk pertama
problem asam basa atau oksigenasi dan akan membantu penentuan terapi
yang sesuai dan efektif (Price & Willson, 2006).

2.2.2 Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas Darah


Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :
a. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik
Penyakit paru obstruktif kronis yang ditandai dengan adanya
hambatan aliran udara pada saluran napas yang bersifat progresif
irreversible ataupun reversible parsial. Terdiri dari 2 macam jenis yaitu
bronchitis kronis dan emfisema, tetapi bisa juga gabungan antar
keduanya.

20

b. Pasien dengan edema pulmo


Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan
kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah
dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalanpersoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida),
berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang
buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru"
ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien.
Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor
yang

berbeda.

Dapat

dihubungkan

pada

gagal

jantung,

disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebabsebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
c. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran
alveolar kapiler yang mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang
interstisiel alveolar dan perubahan dalam jaring- jaring kapiler , terdapat
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat-akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paruparu. ARDS menyebabkan penurunan dalam pembentukan surfaktan ,
yang mengarah pada kolaps alveolar .

21

Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru- paru menjadi


kaku akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual
fungsional, hipoksia berat dan hipokapnia (Brunner & Suddart, 2001).
d. Infark miokard
Infark miokard adalah perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen (Fenton, 2009). Klinis sangat mencemaskan karena
sering berupa serangan mendadak umumya pada pria 35-55 tahun,
tanpa gejala pendahuluan (Santoso, 2005).
e. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem
dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang
bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi
radang dan dengan penimbunan cairan.
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi
infeksi karena bakteri,virus,jamur atau parasit. Pneumonia juga dapat
terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru-paru, atau
secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau
penggunaan alkohol.
f. Pasien Syok
Syok merupakan suatu sindrom klinik yang terjadi jika sirkulasi
darah areteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolism
jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada tiga factor

22

utama, yaitu: penurunan curah jantung, volume darah dan pembuluh


darah.
Jika salah satu dari ketiga factor penentu ini kacau dan factor lain
tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Pada syok
juga terjadi hipoperfusi jaringan yang menyebabkan gangguan nutrisi
dan metabolism sel sehingga sering kali menyebabkan kematian pada
pasien.
g. Post pembedahan coronary arteri baypass
Coronary Artery Bypass Graft adalah terjadinya suatu respon
inflamasi sistemik pada derajat tertentu dimana hal tersebut ditandai
dengan hipotensi yang menetap, demam yang bukan disebabkan karena
infeksi, DIC, oedema jaringan yang luas, dan kegagalan beberapa organ
tubuh. Penyebab inflamasi sistemik ini dapat disebabkan oleh suatu
respon

banyak

hal,

antara

lain

oleh

karena

penggunaan

Cardiopulmonary Bypass (Surahman, 2010).


h. Resusitasi cardiac arrest
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang
dicetuskan oleh beberapa faktor,diantaranya penyakit jantung koroner,
stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan
oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat),
kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup
atau otot jantung) dan obat-obatan.

23

Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan


tension pneumothorax. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran
darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darahmencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai
berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban
kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal.
i. Trauma kepala
Saat terjadinya trauma pada kepala, akan memungkinkan
terjadinya peningkatan tekan intra kranial (TIK) yang pada umumnya
meningkat secara berangsur-angsur setelah cedera kepala, timbulnya
edema memerlukan waktu 36 48 jam untuk mencapai maksimum
(Musliha, 2010). Peningkatan TIK sampai 33 mmHg (450 mmH2O)
mengurangi aliran darah otak (ADO) secara bermakna, iskemi yang
timbul merangsang vasomotor dan tekanan darah sistemik meningkat
dan rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardi
dan pernafasan menjadi lebih lambat (Price & Willson, 2006).
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio
akan merusak sawar darah otak (SDO) disertai vasodilatasi dan
eksudasi cairan sehingga timbul edema yang pada gilirannya akan
menurunkan aliran darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis
(penurunan pH dan peningkatan PCO2) dan kerusakan SDO lebih lanjut
(Price & Willson, 2006).

24

2.2.3 Kontra Indikasi Analisa Gas Darah


a. Denyut arteri tidak terasa, pada pasien yang mengalami koma (Irwin
& Hippe, 2010).
b. Modifikasi Allen tes negatif , apabila test Allen negative tetapi tetap
dipaksa untuk dilakukan pengambilan darah arteri lewat arteri
radialis, makaakan terjadi thrombosis dan berisiko mengganggu
viabilitas tangan.
c. Selulitis atau adanya infeksi terbuka atau penyakit pembuluh darah
perifer pada tempat yang akan diperiksa
d. Adanya koagulopati (gangguan pembekuan) atau pengobatan
denganantikoagulan

dosis

sedang

dan

tinggi

merupakan

kontraindikasi relatif.
2.2.4 Antikoagulan Yang Digunakan
Antikoagulan yang digunakan dalam pengambilan darah arteri
adalah heparin. Pemberian heparin yang berlebihanakan menurunkan
tekanan CO2.Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam
tabung. Sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO 2
terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.
2.2.5 Alat Perlindungan Diri (APD) Untuk Petugas
Alat Perlindungan Diri (APD) yang harus digunakan seorang petugas
(Plebotomis) yaitu (Rohani, 2008) :
a. Jas Laboratorium

25

Pemakaian utama dari jas laboratorium adalah untuk melindungi


pakaian petugas pelayanan kesehatan. Jas laboratorium diperlukan
sewaktu melakukan tindakan, bila baju tidak ingin kotor.
b. Sarung Tangan (Handscoon)
Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah
terjadi infeksi, tetapi harus diganti setiap kontak dengan satu pasien ke
pasien yang lainnya untuk mencegah kontaminasi silang. Sarung
tangan harus dipakai kalau menangani darah, sekresi dan eksresi
(kecuali keringat). Petugas kesehatan (Plebotomis) menggunakan
sarung tangan untuk tiga alasan, yaitu:
1) Mengurangi risiko petugas kesehatan terkena infeksi dari
pasien.
2) Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien.
3) Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan
mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke
pasien lain.
c. Masker
Masker digunakan untuk menahan cipratan yang keluar sewaktu
petugas kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk, bersin, dan
juga mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi
masuk ke dalam hidung atau mulut petugas kesehatan.

d. Sepatu Laboratorium
Alas kaki/sepatu laboratorium dipakai untuk melindungi kaki dari
perlukaan oleh benda tajam atau dari cairan yang jatuh atau menetes

26

kaki. Sepatu bot dari karet atau kulit lebih melindungi, tapi harus
bersih dan bebas dari kontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya.
e. Kap (penutup rambut)
Dipakai untuk menutup rambut dan kepala, tujuan utamanya
adalah melindungi pemakainya dari cipratan darah dan cairan tubuh
lainnya.
f. Pelindung Mata
Pelindung mata melindungi petugas kesehatan dari cipratan darah
atau cairan tubuh lainnya yang terkontaminasi dengan pelindung mata.

2.2.6 Lokasi Pengambilan Darah Arteri


a. Arteri Radialis dan Arteri Ulnaris (sebelumnya dilakukan allens test)
Test Allens merupakan uji penilaian terhadap sirkulasi darah di
tangan, hal ini dilakukan dengan cara yaitu: pasien diminta untuk
mengepalkan tangannya, kemudian berikan tekanan pada arteri radialis
dan arteri ulnaris selama beberapa menit, setelah itu minta pasien untuk
membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jarijari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15
detik, warnamerah menunjukkan test allens positif. Apabila tekanan
dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allens negatif. Jika
pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang
lain.
b. Arteri Dorsalis pedis

27

Merupakan arteri pilihan ketiga jika arteri radialis dan ulnaris tidak
bisa digunakan.
c. Arteri Brakialis
Merupakan arteri pilihan keempat karena lebih banyak resikonya
bila terjadi obstruksi pembuluh darah. Selain itu arteri femoralis terletak
sangat dalam dan merupakan salah satu pembuluh utama yang
memperdarahi ekstremitas bawah.
d. Arteri Femoralis
Merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri diatas
tidak dapat diambil.

Bila

terdapat

obstruksi

pembuluh

darah

akan menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan bila
yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan
kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar,
sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena dan arteri. Selain
itu arteri femoralis terletak sangat dalam dan merupakan salah satu
pembuluh utama yang memperdarahi ekstremitas bawah.
Arteri Femoralis atau Brakialis sebaiknya jangan digunakan jika
masih ada alternative lain karena tidak memiliki sirkulasi kolateral yang
cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau thrombosis. Sedangkan
arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya
resiko emboli ke otak.

2.2.7 Interpretasi Hasil AGD

28

Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:


a. pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau
alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
b. PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah
menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.
PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen
tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg
c. PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme
normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi
menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi
gangguan

metabolisme,

PCO2

dapat

menjadi

abnormal

sebagai

kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg


d. HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme,
seperti ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik
dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika
ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam
rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26
mmol/l
e. Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus
ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada
kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C 0. BE bernilai
positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE

29

bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE


adalah -2 sampai 2 mmol/l
f. Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen.
Nilai normalnya adalah 95-98 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi
empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah
yaitu:
a. Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi
dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap
kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat
terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat
pernafasan, atau intoksikasi obat.
Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah
keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi
kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.

b. Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2
sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan

30

hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui


ekspirasi.
Penting

bagi

dokter

untuk

menentukan

penyebab

hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paruparu, dengan memeriksa PaO2. Penyebab

hiperventilasi

lain

diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, daniatrogenik akibat ventilator.


Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat
dan K+ jika proses sudah kronik.
c. Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH
menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti
meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang
cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.
Terlihat sebagai pernafasan kusmaul.
Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan
justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap
kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik,
dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus

d. Alkalosis metabolik

31

Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang


meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya
kompensasi dari paru-paru.
Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat
pemberian
hipovolemia

diuretik

(terutama

kronik dimana

furosemid),
ginjal

hipokalemia,

mereabsorpsi

sodium

atau
dan

mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan


pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara
berlebihan.
Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan
gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi
kondisi alkalosis metabolik.

Anda mungkin juga menyukai