Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke didefinisikan sebagai manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral,

baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung secara cepat,

berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya

penyebab selain daripada gangguan vaskular (WHO, 2003).

Menteri Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan, berdasarkan data dari

tahun 1991 hingga tahun 2007 (hasil Riset Kesehatan tahun 2007) menunjukkan

bahwa stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama hampir di

seluruh Rumah Sakit (RS) di Indonesia. Sementara data Perhimpunan Rumah

Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan bahwa penyebab kematian

utama di RS akibat stroke adalah sebesar 15%, artinya 1 dari 7 kematian

disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65% (DepKes, 2013).

Stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu non hemoragik dan stroke

hemoragik. Sekitar 80-85% merupakan stroke non hemoragik dan sisanya adalah

stroke hemoragik (Price & Wilson, 2006).

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan

tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg (Fagan

and Hess, 2014). Berdasarkan JNC VIII (The Eight Joint National Committee)

klasifikasi hipertensi didasarkan pada rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau

lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis untuk pasien dewasa (umur ≥ 18

tahun). Klasifikasi tekanan darah tersebut mencakup empat kategori dengan nilai

normal pada tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80
mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi

mengidentifikasikan pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke

klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang.

Sehubungan hal tersebut di atas sebagai calon apoteker saya mendapat

tugas untuk membuat Case Report Study (CRS) tentang penyakit stroke dan

penyakit hipertensi. Tugas ini diberikan dosen pada mata kuliah Pharmaceutical

Care sebagai pengganti ujian dan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa

profesi apoteker tentang terapi yang tepat pada penyakit stroke dan hipertensi.

Adapun yang harus dibahas pada Case Report Study ini adalah tentang hal-hal

terkait dengan penyakit hipertensi dan stroke seperti : definisi, etiologi, faktor

resiko, patofisiologi, farmakologi, dan penatalaksanaannya.

1.2 Tujuan Praktek KepanitraanK linik

Tujuan yang ingin dicapai setelah praktek kepaniteraan ini adalah :

1. Mahasiswa mendapatkan pengalaman klinis praktis melalui kontak langsung

dengan pasien dan sejawat petugas kesehatanlain di rumahsakit.

2. Mahasiswa mampu melakukan praktek pharmaceutical care ataua suhan

kefarmasian berbekal pengetahuan dan keterampilan yang didapat selama

magang.

3. Mahasiswa mampu membangun komunikasi yang efektif dengan pasien,

keluarga pasien dan profesional kesehatan yang lain.

4. Mahasiswa dapat menunjukkan eksistensi serta menjunjung tinggi etika dan

martabat profesi apoteker.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

2.1.1 Definisi Stroke

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi

cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam

atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh

gangguan peredaran darah otak (Markus, 2012).

2.1.2 Klasifikasi Stroke

Stroke dapat berupa strokeNon Hemoragik(87%) dan stroke perdarahan atau

hemoragik (13%) (Fagan and Hess , 2014).

Gambar 1. Perbedaan Stroke Hemoragic dan Stroke Iskemik

a. Stroke Perdarahan

Stroke perdarahan meliputi perdarahan subarachnoid, perdarahan

intrasebral, hematoma subdural. Perdarahan subarachnoid terjadi bila darah

memasuki area subarachnoid (tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma,

pecahnya aneurisma intrakranial, maupun pecahnya arterivenosa yang cacat.

2
Sebaliknya, strokeNon Hemoragikterjadi bila pembuluh darah pecah dalam

parenkim otak, menyebabkan pembentukan hematoma. Jenis perdarahan ini

sangat sering dikaitkan dengan tekanan darah yang tidak terkontrol dan jarang

antitrombotik. Hematoma subdural menjelaskan terkumpulnya darah dibawah

area dura (melapisi otak) dan sering disebabkan oleh trauma. Stroke perdarahan

lebih letal dua kali sampai enam kali daripada strokeNon Hemoragik(Fagan and

Hess , 2014).

b. Stroke Penyumbatan (Iskemik)

StrokeNon Hemoragikterjadi akibat penyumbatan (trombotik atau embolik)

pembuluh darah arteri otak. Penyumbatan pembuluh darah dapat mengganggu

aliran darah ke bagian tertentu di otak, sehingga terjadi defisit neurologis yang

disebabkan oleh hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh bagian otak tersebut

(Winkler, 2008).

2.2 Stroke Non Hemoragik

2.2.1 Patofisiologi Stroke Non Hemoragik

Stroke non hemoragik adalah tanda klinis gangguan fungsi atau kerusakan

jaringan otak sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak, sehingga

mengganggu pemenuhan kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.

3
Aliran darah dalam kondisi normal otak orang dewasa adalah 50 – 60

ml/100 gram otak/menit. Berat otak normal rata-rata orang dewasa adalah 1300 –

1400 gram (± 2 % dari berat badan orang dewasa adalah ± 800 ml/menit atau 20

% dari seluruh curah jantung harus beredar ke otak setiap menitnya. Pada keadaan

demikian kecepatan otak untuk memetabolisme oksigen ± 3,5 ml/100 gram

otak/menit. Bila aliran darah otak turun menjadi 20 -25 ml/100 gram otak/menit

akan terjadi kompensasi berupa peningkatan ekstraksi oksigen ke jaringan otak

sehingga fungsi-fungsi sel syaraf dapat dipertahankan.

Glukosa merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh otak, oksidanya

akan menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Secara fisiologis 90 %

glukosa mengalami metabolisme oksidatif secara lengkap. Hanya 10 % yang

diubah menjadi asam pirivat dan asam laktat melalui siklus Kreb adalah 38 mol

Adenoain trifosfat (ATP)/mol glukosa. Adapun energi yang dibutuhkan oleh

neuron-neuron otak ini digunakan untuk keperluan :

1. Menjalankan fungsi-fungsi otak dalam sintesis, penyimpanan, transport dan

pelepasan neurotransmiter, serta mempertahankan respon elektrik.

2. Mempertahankan integritas sel membran dan konsentrasi ion di dalam atau

di luar sel serta membuang produk toksis siklus biokimiawi molekuler.

Proses patofisiologi stroke non hemoragik selain komplek dan melibatkan

patofisiologi permeabilitas sawar darah otak (terutama di daerah yang mengalami

trauma, kegagalan energi, hilangnya homeostatis ion sel, asidosis, peningkatan

kalsium intraseluler, eksitotositas dan toksisitas radikal bebas), juga menyebabkan

kerusakan neumoral yang mengakibatkan akumulasi glutamat di ruang

ekstraseluler, sehingga kadar kalsium intraseluler akan meningkat melalui

4
transport glutamat, dan akan menyebabkan ketidakseimbangan ion natrium yang

menembus membran.

Glutamat merupakan eksitator utama asam amino di otak, bekerja melalui

aktivasi reseptor ionotropiknya. Reseptor-reseptor tersebut dapat dibedakan

melalui sifat farmakologi dan elektrofisiologinya : a-amino-3-hidroksi-5-metil-4-

isosaksol-propionic acid (AMPA), asam kainat, dan N-metil-D-aspartat

(NMDA). Aktivasi reseptor-reseptor tersebut akan menyebabkan terjadinya

eksitasi neumoral dan depolarisasi. Glutamat yang menstimulasi reseptor NMDA

akan mengaktifkan reseptor AMPA akan memproduksi superoksida.

Secara umum patofisiologi stroke non hemoragik meliputi dua proses yang

terkait, yaitu :

1. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak

2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik.

Gambar 3. Bagan Patofisiologi stroke Hemoragik.

5
2.2.2 Faktor Risiko Stroke Non Hemoragik

Faktor risiko yang dapat menimbulkan strokeNon Hemoragikdapat dibagi

menjadi dua yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang

tidak dapat dimodifikasi.

a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: merokok, hipertensi,

hiperlipidemia, fibrilasi atrium, penyakit jantung iskemik, penyakit katup

jantung, dan diabetes

 Merokok

Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat

pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk

faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan

bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir

dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al., 2011).

 Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe

stroke, baik strokeNon Hemoragikmaupun stroke perdarahan.

Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan

darah. Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara peningkatan

tekanan darah dengan risiko stroke, diperkirakan risiko stroke

meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah

sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan

pengendalian tekanan darah. Beberapa peneliti melaporkan bahwa

apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut

6
dapat mengakibatkan edema otak, namun berdasarkan penelitian dari

Chamorro menunjukkan bahwa perbaikan sempurna pada strokeNon

Hemoragikdipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang

cukup ketika edema otak berkembang sehingga menghasilkan tekanan

perfusi serebral yang adekuat (Goldstein et al., 2011).

 Penyakit Jantung

Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak

menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi

dinegara–negara barat dan merupakan salah satu faktor risiko

independen stroke. AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli

menjadi 5 kali lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang

didasari oleh AF sering diikuti dengan peningkatan morbiditas,

mortalitas, dan penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena

penyebab yang lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai

dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai usia >65 tahun,

hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke

sebelumnya (Goldstein et al., 2011).

 Diabetes Mellitus

Orang dengan diabetes mellitus lebih rentan terhadap aterosklerosis

dan peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan

lipid darah yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau

5,9% orang Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case

control pada pasien stroke dan studi epidemiologi prospektif telah

menginformasikan bahwa diabetes dapat meningkatkan risiko

7
strokeNon Hemoragikdengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat

menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease

Control and Prevention 1997-2003 menunjukkan bahwa prevalensi

stroke berdasarkan usia sekitar 9% stroke terjadi pada pasien dengan

penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein et al.,

2011).

b. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu: usia, jenis kelamin,

ras, dan riwayat keluarga (Fagan and Hess, 2014).

 Usia

Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi

rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian

membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia diatas 65

tahun. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif

akan terbebas dari serangan stroke (Wiwit, 2010).

 Jenis Kelamin

Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke

daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun

anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena

stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada

usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat

usianya sudah tinggi (tua) (Wiwit, 2010).

 Riwayat Keluarga

Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling

berkaitan. Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada

8
pembuluh darah menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu

suatu cacatpada pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor

genetik yang paling berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola

makan dalam keluarga yang sudah menjadi kebiasaan yang sulit

diubah juga meningkatkan resiko stroke (Wiwit, 2010).

2.2.3 Klasifikasi Stroke Non Hemoragik

a. Stroke Infark Trombotik

Stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi pembuluh darah

yang disebabkan adanya trombus. Oklusi dapat terjadi di satu atau lebih

pembuluh darah. Oklusi terjadi karena adanya aterosklerosis dan

pertumbuhan yang berlebihan pada jaringan fibrous di muscular, serta

adanya timbunan lemak yang membentuk plak di pembuluh darah yang

mengakibatkan menyempitnya atau bahkan tertutupnya pembuluh darah

(Caplan, 2005).

b. Stroke Infark Emboli

Iskemia otak yang disebabkan oleh emboli. Emboli dapat berasal dari

jantung ataupun selain jantung. Penyebab emboli:

- Berasal dari jantung: Aritmia dan gangguan irama jantung lainnya,

infark jantung disertai dengan mural thrombus, endokarditis bakterial

akut maupun sub akut, kelainan jantung lainnya, komplikasi

pembedahan jantung, katub jantung protese, vegetasi endokardial non

bakterial, prolaps katub mitral, myxoma dan emboli paradoksikal

- Berasal dari selain jantung: Atherosklerosis aorta atau arteri lainnya.

Diseksi karotis atau vertebra basiler, thrombus vena pulmonalis, lemak,

9
tumor, udara, komplikasi pembedahan rongga thoraks atau leher,

thrombosis vena pelvis atau ekstremitas inferior atau shunting jantung

kanan ke kiri (Margono, 2011).

2.2.4 Manifestasi Klinis Stroke Non Hemoragik

Manifestasi klinis yang terjadi antara lain mengalami kelemahan pada satu

sisi tubuh, ketidakmampuan untuk berbicara, kehilangan penglihatan, vertigo dan

sakit kepala mungkin terjadi (Wells, 2015). Gambaran klinis stroke non

hemoragik tergantung pada area otak yang mengalami penyumbatan (Sjahrir et

al., 2011).

2.1.5 Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik

Stroke Iskemia atau non hemoragik panduan dewan stroke dari asosiasi

Stroke Amerika untuk Pelaksanaan stroke iskemia akut membeerikan

rekomendasi hanya tingkat A (contoh:bukti yang didukung data daari uji acak

dengan positif palsu dan negative palsu error rendah) untuk penggunaan activator

jaringan plasminogen intravena (tPa,alteplese) dalam onset 3 jam dan aspirin

da;am onset 48 jam. Rekomendasi untuk faramakoterapi iskemia stroke.

Senyawa primer Kelas rekomendasi α


Penanganan akut Alteplase 0,9 mg/kg iv (maksimum 90 Kelas I, Level A
kg) sampai 1 jam pada pasien terpilih
dalam onset 3 jam.

Aspirin 160-325 mg setiap hari Kelas I, Level A


dimulai dalam 48 jam onset
Pencegahan seekunder Terapi Antiplatelet Kelas I, Level A
Nonkardioemboli
Aspirin 50-325 mg setiap hari Kelas IIA, Level A

Clopidogrel 75 mg setiap hari Kelas IIB, Level B

Aspirin 25 mg+pelepasan lebih luas Kelas IIA, Level A


dipridamol 200 mg dua kali sehari
Kardioemboli Warfarin (INR=2.5) Kelas I, Level A

10
Semua Pasien Perawatan Antihipertensive Kelas I, Level A

Sebelum Hipertensi ACE inhibitor+diuretik Kelas I, Level A

Sebelum nomotensive ACE inhibitor +diuretic Kelas IIA, Level B

Dyslipidemic Statin Kelas I, Level A

Normal lipid Statin Kelas IIA, Level B


ACE, Angiotensin-converting enzyme, INR, International normalized ratio
α, American Stroke Association Evidance Grading System

Rekomendasi kelas:

I = Kondisi yang ada bukti atau kesepakatan umum bahwa prosedur atau

pengobatanitu berguna dan efektif

II = Kondisi yang ada bukti yang bertentangan atau perbedaan pendapat

tentang kegunaannya

IIa = Bukti Belum akurat/ masih pendapat yang mendukung kegunaan dan

efek

IIb = kegunaan/ kemanjuran kurang ditentukan oleh bukti

III = kondisi yang ada bukti atau kesepakatan umum bahwa suatu prosedur

atau terapi tidak berguna

Tingkat bukti:

A = data derived from multiple randomized clinical trials

B = Data derived from a single randomized trial or nonrandomized studies

C = Expert consensus or case studie

Aspilet: Diawali dalam 3 jam munculnya gejala telah diperlihatkan

mengurangi cacat hebat disebabkan stroke iskemia.Ct scan harus dilakukan untuk

mencegah penderahan sebelum terapi dimulai. Terapi Antikoagulan dan

antiplatelet seharusnya dihindarkan selama 24 jam dan pendaharan pasien harus

dipantau lagi (Dipiro, 2008).

11
Aspirin 50-325 mg/hari dimulai antara 24-48 jam setelah aleplase

dilengkapi juga ditunjukkan mengurangi kematian dan cacat jangka pancang.

Panduan American college of chest physicians (ACCP) untuk penggunaan

terapi antitrombotik dalam pencegahan sekunder stroke iskemia menganjurkan

terapi antiplatelet sebagai dasar untuk pencegahan sekunder dalam stroke non

kardioemboli. Aspirin, klopidogrel dan pelepasan diperluas klopidogrel dengan

aspirin semuanya dipertimbangkan sebagai senyawa antiplatelet utama.

Warfarin adalah senyawa antitrombotik pilihan pertama untuk pencegahan

sekunder pada pasien dengan fibriliasi arterial dan perkiraan embolisme dari

kardiak.

Peningkatan tekanan darah umum terjadi setelah stroke iskemia, dan

pengobatannya berhubungan dengan resiko penurunan stroke berulang. Joint

National comitte (JNC7) menganjurkan inhibitor ACE dan diueretik untuk

mengurangi tekanan darah pada pasien stroke atau TIA setelah periode akut (7

hari pertama). Bloker reseptor Angiostensin II atau Angiotensin reseptor blocker

(ARB) telah memperlihatkan pengurangan risiko stroke dan seharusnya

dipertimbangkan pada pasien yang tidak menerima inhibitor ACE setelah stroke

iskemia akut.

National cholesterol Education Program (NCEP) mempertimbangkan

stroke iskemia atau TIA ekivalen dengan resiko koronerndan menganjurkan

penggunaan statin untuk mencapai konsentrasi low-density lipoprotein (LDL)

kurang ari 100 mg/dL

Kriteria Inklusi dan Eksklusi untuk penggunaan Alteplase dalam stroke

iskemia akut:

12
Kriteria Inklusi (semua kotak YA harus  Umur 18 tahun atau lebih
diperiksa sebelum pengobatan)  Diagnosis klinis stroke iskemia
YA disebabkan penurunan neurologis
 Waktu onset gejala muncul dengan
baik kurang dari 180 menit sebelum
pengobatan dimulai

Kriteria Eksklusi (semua kotak tidak  Bukti pendarahan intracranial pada


harus diperiksamsebelum pengobatan) CT kepada non-kontras
Tidak  Hanya minor atau perbaikan cepat
gejala stroke
 Kecurigaan klinis tinggal
pendarahan subarakakhnoid dengan
CT normal
 Pendarahan internal aktif
(contoh:Pendarahan Gi/Gu dalam 21
hari)
 Pendarahan rentan diketahui,
termasuk tetapi tidak terbatas
perhitungan platelet <100.000/mm3
 Pasien telah menerima heparin
dalam 48 jam dan terjadi
peningkatan APTT
 Baru saja menggunakan
antikoagulan (contoh: Warfarin) dan
peningkatan PT (>15 detik)INR
 Operasi intrakranial, trauma kepala
parah, atau telah stroke dalam 3
bulan
 Operasi intrakranial, trauma kepala
parah, atau telah stroke dalam 3
bulan
 Operasi besar atau trauma kepala
parah atau telah stroke dalam 3
bulan
 Operasi besar atau trauma parah
dalam 14 hari
 Kebocoran arteri baru terjadi pada
bagian yang tidak kecil
 Kebocoran lumber dalam 7 hari
 Riwayat pendarahan intracranial,
cacat arteiintravena, atau aneurisme
 Terlihat gejala pada onset stroke
Baru terjadi infark miokard akut

13
 Antikoagulan

Antikoagulan merupakan terapi untuk mencegah terjadinya trombus

pada arteri kolateral. Antikoagulan yang dapat digunakan adalah warfarin,

heparin atau golongan LMWH (Low Molecular Weight Heparin) (Sjahrir et

al., 2011). Selain itu juga dapat digunakan Direct Thrombin Inhibitor yaitu

dabigatran dan Direct Factor Xa Inhibitor yaitu rivaroxaban dan apixiban

(Jauch et al., 2013).

Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk

pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan

fibrilasi atrialdan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien

merupakan salah satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang

dilakukan Eropa Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669

pasien yang mengalami fibrilasi atrial non valvular dan sebelumnya pernah

mengalami stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami

stroke, infark miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun,

8% per tahun pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok

asetosal. Ini menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan

antikoagulan (Fagan and Hess, 2014).

Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah

stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan

(heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan

komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan

baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial

fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan

14
risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke

iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau

sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi.

 Antiplatelet

Antiplatelet merupakan untuk mencegah terjadinya trombus, The

American Heart Association / American Stroke Association (AHA/ASA)

merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan sebagai terapi

pencegahan stroke iskemik sekunder, biasanya digunakan asetosal,

clopidogrel, cilostastol dan dipiridamol (Sjahrir et al., 2011).

 Neuroprotektan

Neuroprotektan merupakan golongan obat yang dapat bersifat

neuroprotektif, yaitu bisa menghambat proses sitotoksik yang merusak sel

saraf dan sel glia pada area penumbra. Yang sering digunakan adalah

sitikolin. Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu

sebagian besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi

jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif.

Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan

tentu saja kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron

terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau

eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya

timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang

menjanjikan, serebrolisin memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron

dan juga memperlihatkan efek neuroprotektif (Sjahrir et al., 2011).

15
 Antihipertensi

Antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah pada penderita stroke

iskemik. Golongan obat oral yang digunakan untuk pengendalian tekanan

darah antara lain: diuretika, penghambat angiotensin converting enzyme

(ACE-Inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-receptor

blocker, ARB), dan penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker,

CCB) (Adams et al., 2007). Hipertensi pada stroke iskemik, terapi yang

diberikan secara parenteral biasanya adalah labetalol, nikardipin, diltiazem,

dan nitrogliserin (Sjahrir et al., 2011).

2.2.6 Terapi Non Farmakologi

 Operatif

 Phlebotomi

 Neurorestorasi (dalam fase akut) dan rehabilitasi medik

 Low level laser therpahy (ekstravena/intravena)

 Edukasi (aktifitas sehari-hari, latihan pasca stroke, diet).

BAGAN PENATALAKSANAAN STROKE NON HEMORAGIK


STROKE NON
Stroke non hemoragik
HEMORAGIK

Menghilangkan sumbatan Terapi


darah Pembedahan

Terapi trombolitik Carotid endarterectomy

Terapi antiplatelet ( baik untuk pasien dengan

Terapi antikoagulan Stenosis ≥ 70 % )

16
2.3 Hipertensi
2.3.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg (Fagan
and Hess, 2014).

2.3.2 Etiologi Hipertensi


Sekitar 90% etiologi hipertensi tidak diketahui atau biasa disebut dengan
hipertensi esensial atau primer, tetapi sebagian kecil menunjukkan adanya
hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang memiliki penyebab spesifik (Guyton,
2014).Apabila penyebab hipertensi tersebut dapat diketahui maka hipertensi dapat
dikendalikan bahkan dapat disembuhkan (Fagan and Hess, 2014).
Etiologi hipertensi esensial: Faktor genetik, Intake garam yang berlebihan,
alkoholik, obesitas, stres, perokok, kurangnya intake kalsium, potasium dan
magnesium.
Etiologi hipertensi sekunder: CKD, Penyakit renovaskular, Gangguan
hormon paratiroid, Cushing Syndrome, Gangguan hormon tiroid, Primary
aldosteronism, Induksi obat (amfetamin, dekongestan, siklosporin, takrolimus,
kortikosteroid, alkaloid ergot, kontrasepsi oral yang mengandung estrogen)
(Fagan and Hess, 2014).
 Faktor Genetik
Diperkirakan bahwa hingga 30% sampai 50% dari variabilitas tekanan darah
mungkin memiliki dasar genetik.Sebagian besar polimorfisme terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam reabsorbsi natrium ginjal (Straka et al.,
2008).
 Meningkatnya Curah Jantung
Curah jantung merupakan faktor penting dari tekanan darah. Peningkatan
curah jantung dan tekanan darah muncul dari faktor-faktor yang meningkatkan
preload (volume cairan) atau kontraktilitas jantung.
 Regulasi Natrium
Natrium berkontribusi terhadap perkembangan hipertensi primer.Hal ini
berkaitan dengan asupan natrium berlebih atau ekskresi natrium yang abnormal
oleh ginjal.Mekanisme asupan natrium tinggi dan tekanan darah diantaranya yaitu,

17
peningkatan kalsium intraselular, resistensi insulin, kenaikan paradoks di atrial
natriuretik peptida dan efek lainnya.Selain asupan natrium yang berlebih, retensi
natrium ginjal yang abnormal merupakan penyebab utama perkembangan
hipertensi. Mekanisme yang terjadi yaitu vasokontriksi arteriolar aferen,
ultrafiltrasi glomerulus menurun, atau peningkatan reabsorpsi natrium tubular
 Overaktivitas dari Sistem Saraf Simpatis
Overaktivitas dari sistem saraf simpatik juga mungkin berperan dalam
perkembangan dan pemeliharaan hipertensi primer pada beberapa individu. Efek
lain yaitu: aktivasi langsung dari sistem saraf simpatik dapat menyebabkan
peningkatan retensi natrium, resistensi insulin, dan disfungsi baroreseptor.
 Peningkatan Tahanan Perifer
Peningkatan resistensi arteri perifer merupakan ciri dari hipertensi
primer.Peningkatan resistensi perifer disebabkan oleh pengurangan ukuran lumen
arteri sebagai akibat dari remodeling vaskular.Remodeling atau perubahan tonus
vaskular ini dimodulasi oleh berbagai zat vasoaktif berasal dari endotelium, faktor
pertumbuhan dan sitokin.zat vasoaktif berasal dari endotelium, faktor
pertumbuhan dan sitokin.
 Kelebihan Mineralokortikoid
Hipertensi kelebihan mineralokortikoid (Sindrom Conn) adalah
hiperaldosteronisme primer disebabkan oleh tumor dari zona glomerulosa dari
korteks adrenal yang mengeluarkan jumlah besar aldosteron.Tingkat aldosteron
tinggi beredar menyebabkan retensi Na+dengan ekspansi volume cairan
ekstraseluler dan hipertensi yang biasanya ringan tetapi bisa parah (Mitrovic,
2010).
 Kelebihan Glukokortikoid
Kortisol serta mineralokortikoid dapat menyebabkan hipertensi.Hal ini
ditunjukkan pada sindroma Cushing, kejadian hipertensi lebih tinggi dari
normal.Glukokortikoid merangsang sekresi angiotensinogen oleh hati yang
mengakibatkan peningkatan angiotensin II, ACTH merangsang sekresi 11-
deoxycorticosterone, dan glukokortikoid menyebabkan kontraksi otot polos oleh
karena katekolamin.
 Kelebihan Sekresi Katekolamin

18
Peningkatan sekresi norepinefrin oleh medulla adrenal akan meningkatkan
tekanan sistolik dan diastolik. Peningkatan sekresi epinefrin mungkin memiliki
efek yang sama. Tumor medulla adrenal (pheochromocytomas) akan
menyebabkan hipertensi.
 Resistensi Insulin
Peningkatan sekresi insulin (hiperinsulinemia) akan merangsang sistem saraf
simpatik sehingga menyebabkan terjadinya hipertensi
 Chronic Kidney Disease(CKD)
Adanya kelainan atau kerusakan pada ginjal dapat menyebabkan gangguan
pengaturan tekanan darah melaui produksi renin oleh sel juxtaglomerular
ginjal.Renin merupakan enzim yang berperan dalam lintasan metabolisme sistem
RAAS (Renin Angiotensin Aldosteron System).Renin penting untuk
mengendalikan tekanan darah, mengatur volume ekstraselular plasma darah dan
vasokonstriksi arteri.Selain itu, ginjal juga mensekresi hormon antidiuretik (ADH,
antidiuretic hormone) dan aldosteron.ADH dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis
posterior di otak melalui stimuli terhadap sel-sel collecting ductdandistal
convulted tubuleginjal sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi air dan penurunan
volume urin.Sekresi hormone ini dikendalikan oleh peningkatan osmolaritas
plasma darah, berkurangnya volume darah dan penurunan tekanan
darah.Aldosteron merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal
dan bekerja pada collecting ductginjal dan menyebabkan peningkatan reabsorbsi
natrium. Sehingga dapat dikatakan aldosteron berperan mengontrol keseimbangan
natrium dalam tubuh (Muhadi. 2016)
 Obesitas
Kenaikan berat badan dan obesitas merupakan penyebab hipertensi hal ini
terjadi karena peningkatan curah jantung akibat aliran darah tambahan yang
diperlukan untuk jaringan adiposa ekstra dan meningkatnya laju metabolik seiring
dengan peningkatan berat badan (Guyton, 2014). Tiap kenaikan berat badan 0,5
kg dari berat badan normal yang direkomendasikan dapat mengakibatkan
kenaikan darahsistolik 4,5 mmHg (Muhadi. 2016)
 Stress

19
Hipertensi dapat juga disebabkan karena stress (fisik atau mental), dimana
pada kondisi ini kelenjar adrenal akan merilis hormon epinefrin atau adrenalin.
Pelepasan hormon epinefrin atau adrenalin mengaktivasi reseptor β-adrenergik
yang menyebabkan peningkatan influks kalsium ke dalam sel jantung sehingga
mengakibatkan denyut jantung meningkat dan berhubungan dengan adanya
peningkatan tekanan sistolik (Muhadi. 2016)

2.3.3 Patofisiologi Hipertensi


Tekanan darah ditentukan oleh curah jantung, resistensi vaskular sistemik
dan volume sirkulasi.Penurunan perfusi ginjal menstimulasi aparatus
juxtaglomerular untuk melepaskan renin yang bekerja memecah angiotensinogen
menjadi angiotensin I di ginjal dan plasma.Angiotensin I dikonversi menjadi
angiotensin II oleh enzim pengkonversi yang terdapat di plasma sel endotel
vaskuler, paru, dan ginjal. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor sehingga
dapat mengakibatkan hipertensi melalui vasokonstriktor sistemik dan
menstimulasi pelepasan aldosteron, yang memacu retensi natrium dan air
(Muhadi. 2016).

2.3.4 Faktor Risiko Hipertensi


Hipertensi dapat muncul akibat dari suatu keadaan yang berisiko
menyebabkannya. Faktor risiko hipertensi antara lain (Fagan and Hess,2014):
- Usia (≥55 tahun untuk pria dan ≥65 tahun untuk wanita)
- Diabetes Mellitus, Dislipidemia,
- Albuminuria
- Riwayat penyakit jantung keluarga
- Obesitas (BMI ≥30 kg/m2),
- Aktivitas fisik kurang
- Merokok

2.3.5 Klasifikasi Hipertensi


Berdasarkan JNC VIII (The Eight Joint National Committee)klasifikasi
hipertensi didasarkan pada rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada
dua atau lebih kunjungan klinis untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun).
Klasifikasi tekanan darah tersebut mencakup empat kategori dengan nilai normal

20
pada tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik <80 mmHg.
Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasikan
pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi
dimasa yang akan datang.
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VIII
Klasifikasi tekanan Tek darah sistolik, Tek darah diastolic,
Darah mm Hg mm Hg
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 90-99
Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100

Rekomendasi dari JNC VIII dalam penanganan hipertensi:


1. Pada pasien berusia ≥60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥150 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi
untuk sistolik <150 mmHg dan diastolik <90 mmHg (Rekomendasi Kuat-
grade A).
2. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah diatolik ≥90 mmHg dengan target <90 mmHg, (untuk usia 30-59 tahun,
Rekomendasi kuat – Grade A; untuk usia 18-29 tahun, Opini ahli – kelas E)
3. Pada pasien berusia <60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi <140 mmHg (Opini ahli –
kelas E)
4. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi sistolik <140 mmHg dan diastolik <
90 mmHg (Opini ahli- kelas E)
5. Pada pasien berusia ≥18 tahun dengan diabetes, mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik BP ≥ 90
mmHg dengan target terapi untuk sistolik BP <140 mmHg dan diastolik BP
<90 mmHg (Opini Ahli- kelas E)

21
6. Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan
diabetes, pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe
thiazide, CCB, ACE inhibitor atau ARB (Rekomendasi sedang- Grade B).
Rekomendasi ini berbeda dengan JNC VII yang mana panel
merekomendasikan diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian
besar pasien.
7. Pada populasi umum kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide atau
CCB (untuk penduduk kulit hitam umum: Rekomendasi sedang- Grade B,
untuk pasien hitam dengan diabetes: Rekomendasi lemah- Grade C).
8. Pada penduduk usia ≥18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, pengobatan
awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB
untuk meningkatkan outcome ginjal (Rekomendasi sedang- Grade B).
9. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan,
tingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu
kelas dalam Rekomendasi 6. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan dua obat, tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia.
Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien

22
Usia dewasa ≥ 18 tahun dengan Hipertensi

Implementasi intervensi gaya


hidup (lanjutkan di seluruh
aspek manajemen)

Tetapkan sasaran tekanan darah dan


mulailah menurunkan tekanan darah
dengan obat berdasarkan usia, diabetes,
dan penyakit ginjal kronik.

Usia ≥ 60 tahun Usia< 60 tahun Semua usia, ada Semua usia , CKD (+)
DM atau CKD dengan atau tanpa DM

Tekanan darah sasaran : Tekanan darah sasaran : Tekanan darah Tekanan darah sasaran :
Sistol < 150 mmHg Sistol < 140 mmHg sasaran :Sistol < 140 Sistol < 140 mmHg
Diastol < 90 mmHg Diastol < 90 mmHg mmHg Diastol < 90 Diastol < 90 mmHg
mmHg
Ras Kulit Putih Ras KulitHitam Semua Ras

Ajukan ACEI / ARB, tunggal


Ajukan diuretik tiazid / ACEI /
Ajukan diuretik maupun kombinasi dengan
ARB / CCB, tunggal ataupun
kombinasi tiazid / CCB, tunggal atau tanpa kelas obat
maupun kombinasi

Pilih salah satu strategi titrasi pengobatan :

A. Maksimalkan obat pertama sebelum menambahkan obat kedua


B. Tambahkan obat kedua sebelum obat pertama mencapai dosis maksimal
C. Mulai dengan 2 kelas obat secara terpisah atau sebagai kombinasi dosis tetap

Ya
Mencapai tekanan darah sasaran

Tidak

Tingkatkan pengobatan dan kepatuhan gaya hidup, untuk strategi A dan B, tambahkan dan titrasi diuretik tiazid /
ACEI /CCB (gunakan kelas obat yang sebelumnya tidak dipilih dan hindari kombinasi ACEI dan ARB). untuk strategi C,
titrasi dosis obat awal menjadi maksimum.

Ya
Mencapai tekanan darah sasaran
Tidak

Tingkatkan pengobatan dan kepatuhan gaya hidup . untuk strategi A dan B, tambahkan dan titrasi diuretik tiazid atau ARB atau CCB
(gunakan kelas obat yang sebelumnya tidak dipilih dan hindari kombinasi ACEI dan ARB)

Ya
Mencapai tekanan darah sasaran
Tidak

Tingkatkan pengobatan dan kepatuhan gaya hidup. Tambahkan kelas obat tambahan (ex: β- blocker,Antagonis
aldosteron,dll) dan atau menyerahkan ke dokter dengan keahlian dalam manajemen hipertensi
23
Lanjukan
terapi
Tidak Mencapai tekanan darah sasaran Ya sekarang &
monitoring
2.2.6 Obat-Obat Antihipertensi
2.2.6.1 Diuretika
Mekanisme kerja diuretik adalah ekskresi garam dan air oleh ginjal hingga
volume darah dan tekanan darah menurun selama penggunaan diuretik.Dengan
membatasi asupan garam diharapkan dapat meningkatkan efektivitas diuretik
dalam menurunkan tekanan darah (Fagan and Hess, 2014).
Diuretik dibagi menjadi beberapa golongan yaitu:
 Golongan tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ini yaitu:
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan indapamid.
 Golongan diuretik kuat (loop diuretics)
Beberapa obat yang termasuk dalam golongan ini adalah furosemid,
torasemid, bumetanid, dan asam etakrinat. Diuretik kuat mula
kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada
golongan tiazid (Muhadi. 2016)
 Diuretik hemat kalium
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain amilorid, tiamteren dan
spironolakton. Penggunaan diuretik hemat kalium terutama dalam
kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah hipokalemia
(Muhadi. 2016)Efek samping thiazide diureticsyaitu peningkatan
kadar glukosa darah, hiperurisemia, hiperkalsemia, dan hipokalemia
dimana efek sampingtersebut dapat tergantung pada dosis yang
diberikan. Nilai GFR yang semakin menurun dapat menurunkan
kemampuan thiazide diuretics dalam ekskresi natrium sehingga
tekanan darah tidak dapat diturunkan.Setelah efek diuresis tercapai
maksimal tanpa gejala hipotensi, kram, kelelahan atau penurunan
fungsi ginjal maka perlu dilakukannya penyesuaian dosis ke dosis
terendah (Dipiro. 2009).

2.2.6.2 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)


Mekanisme kerja ACEI yaitu menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II dan memblok agen vasodilator yaitu bradikinin.Sehingga, tekanan

24
kapiler glomerulus menurun dan mengurangi albuminuria.Angiotensi II dihasilkan
oleh dua jalur yaitu jalur enzimatik angiotensin – converting dan enzimatik
chymasestetapi, ACEI hanya menghambat angiotensin II pada jalur enzimatik
angiotensin – converting.ACEI dapat memperlambat penurunan laju filtrasi
glomerulus dan mencegah progresivitas albuminuria serta memiliki perlindungan
pada ginjal.
Obat-obat yang termasuk dalam golongan ACEI antara lain: benazepril,
captopril, enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, perindropil, quinapril,
ramipril, trandolapril. Beberapa macam golongan ACEI yang poten yaitu
captopril dan enalapril (Fagan and Hess, 2014).
Sebagian besar obat golongan ACEI diberikan melalui peroral. Pemberian
bersama makanan akan mengurangi absorbsi sekitar 30%, oleh karena itu obat ini
diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACEI (kecuali lisinopril dan
captropil) merupakan prodrug dan dimetabolisme cepat dengan hidrolisis ester
khususnya di hati menjadi bentuk diacid yang aktif misalnya enalapril yang
diubah menjadi enalaprilat.Bentuk obat aktif atau metabolit yang aktif sebagian
besar diekskresikan melalui saluran empedu. Beberapa perbedaan pada parameter
farmakokinetik obat ACEI, captropil cepat diabsorpsi tetapi mempunyai durasi
kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang pasien
akan berespon baik pada pemberian ACEI. Dosis pertama ACEI sebaiknya
diberikan malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak mungkin terjadi,
efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar natrium rendah (ISFI.
2008)
Efek samping penggunaan obat golongan ACEI yang perlu diperhatikan
antara lain hiperkalemia. Pemberian ACEI harus berhati-hati pada pasien dengan
deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau yang mendapat kombinasi beberapa
antihipertensi (Fagan and Hess, 2014).

2.2.6.3 Penghambat Reseptor Angiotensin (Angiotensin-Receptor Blocker,


ARB)
Mekanisme kerja obat ini yaitu dengan menghambat semua efek angiotensin
II seperti vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis, efek sentral

25
angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus), stimulusi jantung, efek renal
serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah dan
miokard. Karena obat ini tidak memblok angiotensin II pada reseptor AT-2 maka
stimulasi reseptor tersebut dapat menghasilkan efek yang menguntungkan yaitu
vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel sehingga
ketika obat ini digunakan, efek tersebut tetap ada (Fagan and Hess, 2014).
Obat- obat yang termasuk dalam golongan ARB antara lain : kandesartan,
eprosartan, irbesartan, olmesartan, telmisartan, valsartan dan losartan.
Sebagian besar ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk
pemberian satu kali perhari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan
mempunyai waktu paruh paling pendek yaitu ±1-2 jam dan diperlukan dosis dua
kali perhari karena ±15% losartan dalam tubuh diubah menjadi metabolit (5-
carboxylic acid) dengan potensi 10 sampai 40 kali losartan dan waktu paruh yang
jauh lebih panjang yaitu ±6-9 jam sehingga efektif dalam menurunkan tekanan
darah. Losartan diabsorbsi dengan baik melalui saluran cerna dengan
bioavailabilitas sekitar 33%.Absorbsinya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan
di lambung.Losartan dan metabolitnya tidak menembus sawar darah otak.
Sebagian besar obat diekskresi melalui feses sehingga tidak diperlukan
penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan
pada usia lanjut. Tetapi dosis harus disesuaikan pada gangguan fungsi hepar.
Efek samping ARB paling rendah jika dibandingkan dengan antihipertensi
lainnya.ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal dan hiperkalemi (Fagan and
Hess, 2014).

2.2.6.4 Penghambat Kanal Kalsium (Calcium Channel Blocker, CCB)


Mekanisme kerja obat golongan ini adalah menghambat influks kalsium
pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard.Pada pembuluh darah, kanal
kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol sedangkan vena kurang
dipengaruhi (Nafrialdi, 2009). Beberapa obat yang termasuk dalam golongan ini
antara lain : Diltiazem, verapamil, amlodipin, felodipin, isradipin, nicardipin,
nifedipin, nisoldipin. Golongan obat ini dibagi atas dua golongan yaitu

26
nondihidropiridin (kelas fenilalkilamin dan bezodiazepin) dan dihidropiridin (1,4-
dihidropiridin).
Golongan dihidropiridin terutama bekerja pada arteri sehingga dapat
berfungsi sebagai antihipertensi, sedangkan golongan nondihidropiridin
mempengaruhi sistem konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut
jantung.Efek antihipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan penurunan
resistensi perifer.Dihidropiridin mempunyai efek antiproteinuria pada pasien
dengan albuminuria <500 mg/24 jam tetapi tidak ada efek pada pasien dengan
albuminuria >500 mg/24 jam.Verapamil dan diltiazem lebih efektif daripada
dihidropiridin dalam menurunkan proteinuria dan tekanan darah.Semua obat
golongan ini dimetabolisme di liver.
Efek samping yang sering terjadi adalah kemerahan pada wajah, pusing,
pembengkakan di pergelangan kaki, gangguan gastro-intestinal termasuk
konstipasi (ISFI. 2008)

27
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. N.
No. Rekam Medik : 1078xx
Alamat : Kampung Buruah
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Umur : 50 tahun
Tanggal Masuk : 15 Maret 2018
Tanggal Keluar : 23 Maret 2018
Ruangan : Irna C lantai 1kamar 101

3.2 Keluhan Utama

Lemah anggota gerak kanan sejak ±22 yang lalu sebelum masuk rumah sakit

3.2 Riwayat penyakit sekarang

Seorang pasien Perempuan berumur 50 tahun dengan berat badan 50 kg

datang ke Rumah Sakit Stroke Nasional Bukitinggi melalui Instalasi Gawat

Darurat (IGD) pada tanggal 15 Maret 2018 malam pada pukul 13.00 WIB.

Pasien masuk dengan keluhan lemah anggota gerak kanan sejak ± 22 jam yang

lalu sebelum masuk rumah sakit, bicara pelo, lidah agak berat, mual ada tidak

disertai dengan muntah, BAB dan BAK normal.

Dari hasil wawancara pasien dan kelurga pasien awal mula pasien

mengalami lemah anggota gerak kanan pada saat pasien selesai mandi sore,

pasien tiba-tiba sakit kepala tidak lama kemudian anggota gerak kanan terasa

28
berat. Pasien bekerja sebagai seorang penjahit baju, pasien juga kurang

mengkonsumsi air putih, pasien juga jarang ber olahraga.

3.3 Riwayat penyakit dahulu

Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu pada tahun 2016.

3.4 Riwayat penyakit keluarga

Berdasarkan hasil wawancara, keluarga pasien mengatakan bahwa ada

riwayat hipertensi.

3.5 Pemeriksaan Fisik

3.6 Hasil pemeriksaan fisik di IGD

a. Pemeriksaan umum

Kesadaran Compos Mentis (CM)

Kondisi umum Sedang

Tekanan darah 240/150 mmHg

Frekuensi nadi 117 kali/ menit

Frekuensi nafas 20 kali/ menit

Suhu 37o C

BB 50 Kg

GCS E4 M6 V5

Kekuatan Otot Kanan kiri

1 5

1. 5

29
a. Pemeriksaan Khusus

No Pemeriksaan Pasien Normal

15 Maret 2018 16 Maret 2018

1 Gula darah

Random 101 mg/dL < 200 mg/dL

Nukhter - 106 mg/dL 70-110 mg/dL

2 jam PP - 115 mg/dL < 200 mg/dL

2 UREUM 33 mg/dL - 10-50 mg/dL

3 Kreatinin 1,3 mg/dL - 0,6-1,1 mg/dL

4 Natrium 138 mmol/L - 136-145 mmol/L

5 Kalium 3,5 mmol/L - 3,5-5,1 mmol/L

6 Klorida 98 mmol/L - 97-111 mmol/L

7 Asam Urat 6,9 g/dL 2,4-5,7 g/dL

8 Total Kolesterol 354 mg/dL < 220 mg/dL

9 HDL Kolesterol 60 mg/dL >65 mg/dL

10 LDL Kolesterol 274 mg/dL < 150 mg/dL

11 Trigliserida 214 mg/dL < 150 mg/dL

3.7 Diagnosa Kerja: Stroke Non Hemoragik + Hipertensi

3.8 Pemeriksaan Penunjang


 Laboraturium tanggal 15 Maret 2018

Data penunjang Pasien Normal

Hemoglobin 16,0 g/dl P 12-16 g/dL

30
WBC 13,98 103/ µL 4,8-10,8 103/ µL

RBC 5,81 106 / µL 4,2-5,4 X 106 / µL

HCT 46,2 % 37-47 %

MCV 79,5 Fl 79-99 fL

MCH 27,5 pg 37-47 pg

MCHC 34,6 g/dl 33-37 g/dL

PLT 437 103/ µL 200-400 103/ µL

3.9 Terapi/ tindakan


terapi yang diberikan (IGD)
 O2
 IVFD NaCl 0.9 % / 12 jam
 Injeksi Ranitidin 50mg/2ml 2x1 ampul
 Piracetam 1200 mg 2x1 tablet
 Diltiazem 2 x 60 mg

31
B. Terapi yang diberikan rawat inap

No Nama Obat Dosis Rute Waktu Pemberian

15/3/2018 16/3/2018 17/3/2018 18/3/2018 19/3/2018 20/3/2018 21/3/2018 22/3/2018 23/3/2018

08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18 08 12 18

1 Piracetam 1200mg 2x1


√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Tablet PerOral

2 Diltiazem 60 mg 2x1
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sirup

3 Simvastatin 20 mg 1x1
√ √ √ √ √ √ √ √
tablet PerOral

4 Gemfibrozil 300 mg 1x1

Kapsul PerOral 10 √ √ √ √

5 Neurodex Tablet 1x1


10 √ √ √ √
PerOral

6 Asam Folat 1 mg 1x1 10 √ √ √ √

32
Tablet PerOral

Clopidogrel 75 mg 1x1
10 √ √ √ √
Tablet Peroral

Bisoprolol 2,5 mg 1x1


√ √ √ √
Tablet PerOral

Amlodipin 10 mg 1x1
√ √ √
Tablet PerOal

Lansoprazole 30 mg 1x1
√ √ √
Kapsul Peroral

5 Ranitidin Inj 50mg/2 Intravena

ml √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

injeksi

6 IVFD NaCl 0,9 / 12 jam Intravena


√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
%

33
BAB IV

FOLLOW UP

Tabel I. Data Pemeriksaan fisik dan Tanda-Tanda Vital

Tanggal
Parameter
15/3 16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3 23/3
Kondisi
Sedang Sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang
umum
Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM CM CM

Nadi 117 x/i 90x/i 90x/i 80 x/i 90x/i 90 x/i 90x/i 80x/i 90x/i
Nafas 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i

Suhu 37°C, 36 °C, 36°C, 36,5°C, 37,5°C, 36,5°C, 36,5°C, 36,5°C, 36,5°C,

MATA
CONGJUNG
Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
TIVA
Abdomen
Nyeri Tekan
(NT) - - - - - - - - -
Epigastrium
Mual + - - - - - - - -
Kekuatan Otot

1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 2 5 2 5
KO
1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 2 5 2 5

TD (mmHg) (waktu pemeriksaan)


Tanggal
06.00 WIB 12.00 WIB 18.00 WIB

15/03/2018 - - 240/150 mmHg

16/03/2018 140/80 mmHg 160/90 mmHg 200/110 mmHg

17/03/2018 110/80 mmHg 180/100 mmHg 210/120 mmHg

18/03/2018 190/110 mmHg 150/100 mmHg 160/110 mmHg

19/03/2018 110/70 mmHg 150/90 mmHg 150/90 mmHg

20/03/2018 110/80 mmHg 150/90 mmHg 140/90 mmHg

21/03/2018 120/70 mmHg 120/90 mmHg 140/90 mmHg

22/03/2018 120/80 mmHg 120/80 mmHg 120/70 mmHg

23/03/2018 120/80 mmHg Pulang -

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada tanggal 15 Maret 2018 seorang pasien perempuan berusia 50 tahun

dibawa ke IGD RSSN dengan keluhan lemah anggota gerak sebelah kanan onset ±

22 jam yang lalu, lidah berat, reflek menelan, bicara pelo, anggota gerak sebelah

kanan berat usai mandi sore sekitar ± jam 16.30 WIB, sakit kepala, mual tidak

disertai dengan muntah, pasien memiliki riwayat hipertensi sjak 2 tahun tekahir,

35
tidak ada riwayat stroke, trauma tidak ada. Penelitian terakhir menyatakan bahwa

pentingnya pengetahuan tentang patofisiologi dari stroke dapat menurunkan angka

kematian akibat stroke (Dipiro, 2008).

Pemeriksaan fisik sewaktu diperiksa di IGD tekanan darah 240/150 mmHg,

nafas 20 x/ menit, nadi : 117 x / menit, GDR 110 mg/dL, ureum 33 mg/dL,

Natrium 138 mmol/L, Kalium 3,5 mmol/L, Klorida 98 mmol/L, Kreatinin 1,3

mg/dL, WBC 13,98 103/µL, Hemoglobin 16,0 g/dL, HCT 46,2 %, PLT 437 x

103/µL suhu tubuh 360C, BB 50 kg. Keadaan umum pasien sedang dengan tingkat

kesadaran Compos Mentis (kesadaran penuh) dengan GCS E 4M6V5. Di IGD,

pasien mendapatkan O2, IVFD NaCl 0,9%/ 12 jam, Inj. Ranitidin 50 mg/2 ml IV,

Piracetam 1200 mg 2 x 1 per oral, Diltiazem 2x60 mg.

Pasien menerima terapi IVFD NaCl 0,9% 12 jam/hari yang merupakan

terapi umum yang diberikan pada pasien stroke non hemoragik di IGD dengan

tujuan stabilisasi hemodinamik. Lebih kurang sepertiga penderita stroke

menderita dehidrasi, maka dianjurkan para penderita stroke diberikan cairan salin

10-15 ml/ kg secara infus intravena kecuali bila ada kontraindikasi misal udem,

payah jantung.

Tujuan terapi stroke akut adalah mengurangi luka sistem syaraf yang sedang

berlangsung dan menurunkan resiko kematian dan cacat jangka panjang,

mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi sistem syaraf, serta

mencegah berulangnya stroke. Panduan dewan stroke dari Asosiasi Stroke

Amerika untuk pengaturan stroke iskemia akut memberikan rekomendasi untuk

penggunaan aktivator jaringan plasminogen intravena ( tPA, alteplase) dalam

onset 3 jam dan aspirin dalam onset 48 jam. Maka pada kasus ini seharusnya

36
pasien diberikan aspirin untuk terapi fase akut dengan dosis awal 150 mg – 325mg

perhari. Kemudian clopidogrel digunakan untuk pencegahan sekunder dengan

dosis 75 mg / hari.(Dipiro, 2008)

Clopidogrel lebih dipilih sebagai terapi pencegahan sekunder dibandingkan

aspirin dikarenakan aspirin dapat menghambat efek obat antihipertensi. (Team

Medical Mini Notes, 2017). Selain itu efek sampimg pendarahan clopidogrel lebil

kecil dibandingkan aspirin. Beberapa efek samping dari clopidogrel yaitu

dispepsia, nyeri perut, diare, perdarahan , mual, muntah, platelet menurun.

Penurunan dan pemeliharaan tekanan darah pada kondisi normal sangat


mendukung terapi stroke. Namun pada kasus stroke iskemik obat antihipertensi
diberikan bila MABP (Mean Arteriola Blood Pressure) > 140 mmHg. Nilai
MABP dihitung dengan rumus (Uchino 2007)

2 diastole+1 sistole
MABP=
3
Maka dapat dihitung MABP pasien dengan rumus diatas:
( 2 x 240 ) +(1 x 150)
MABP
3
¿ 176,67 mmHg

Berdasarkan hal diatas, pasien perlu mendapatkan terapi antihipertensi,


tujuan terapi penurunan tekanan darah pada pasien adalah mncegah terjadinya
pendarahan diotak mencegah gangguan vaskuler lain dan mencegah terjadinya
stroke berulang.
Tekanan darah pasien saat masuk rumah sakit yaitu 240/150 mmHg yang

tergolong ke dalam hipertensi stage 2 (≥160/≥100 mmHg) berdasarkan JNC 7th.

Penatalaksanaan hipertensi pada pasien stroke dengan tekanan darah diastol > 140

( TD pasien : 240/150 mmHg) maka terapi dengan nitroprusid injeksi dengan

dosis awal 0,5 mcg/ kgBB/ menit secara IV drip dan diilakukan pemantauan lanjut

37
terhadap tekanan darah pasien (Dipiro,2008). Namun pada kasus ini pasien

diberikan diltiazem 2 x 60 mg sehari sehingga hal ini kurang tepat. Diltiazem

memiliki efek samping yaitu bradikardi, jantung berdebar, pusing, hipotensi,

malaise , sakit kepala, muka merah dan panas. Untuk efek bradikardi memang

dinginkan untuk kondisi pasien yang takikardi (nadi:117 x/ menit).

Untuk pemeliharaan tekanan darah pasien diberikan amlodipin tablet

dengan dosis 10 mg 1 x sehari dan bisoprolol tablet 2,5 mg 1 x sehai peroral.

Menurut JNC 8th penatalaksanaan untuk kondisi pasien ini dengan usia < 60

tahun maka diberikan obat antihipertensi golongan diuretik tiazid/ ACEI/ CCB,

tunggal maupun kombinasi. Tidak disebutkan golongan beta bloker (bisoprolol).

Maka kombinasi amlodipin dan bisoprolol tidak diperlukan cukup digunakan

amlodipin tunggal mengingat tekanan darah pasien juga sudah tidak terlalu tinggi.

Pemberian amlodipin juga tepat diberikan pada pasien ini dengan kondisi

takikardi (nadi pasien: 117 x/menit) karena amlodipin memberikan efek

bradikardi.

Pasien diberikan pengobatan piracetam 1200 mg 2 x sehari yaitu pagi hari


dan malam hari. Piracetam diberikan untuk mengobati gangguan serebrovaskular
dan insufisiensi sirkulasi serebral. Pada kasus pasien dengan afasia, maka
diberikan terapi ini untuk melancarkan aliran darah menuju bagian yang
mengalami gangguan serebrovaskular (Dipiro et al, 2008). Piracetam dikontar
indikasikan pada pasien dengan gagal ginjal berat (klirens < 20 ml/menit) maka
pada kasus ini pemberian piracetam masih diperbolehkan dimana klirens kreatinin
pasien adalah 40,86 ml/menit yang berarti pasien mengalami gagal ginjal sehingga
dosis piracetam tetap perlu diturunkan. Efek samping dari piracetam yaitu rasa
gugup, rasa lelah, gangguan tidur, gangguan saluran cerna, dimana pada kasus ini
pasien mengalami sulit tidur di malam hari.

38
Penatalaksanaan hiperlipidemia pada pasien diberikan simvastatin dengan

dosis 1 x 20 mg dan gemfibrozil dengan dosis 1 x 300 mg. Tujuan yang ingin

dicapai pada pengobatan hiperlipidemia adalah penurunan kolesterol total dan

LDL untuk mengurangi resiko pertama atau berulang dari infark miokardiak,

angina, gagal jantung, stroke iskemik, atau kejadian lain pada penyakit arterial

perifer.

Gemfibrozil bekerja dengan cara meningkatkan klirens VLDL namun

akibatnya terjadi peningkatan LDL sehingga dikombinasikan dengan simvastatin

yang bekerja dengan cara menghambat menghambat 3-hidroksi-3-metilglutaril

koenzim A (HMG-CoA) reduktase , mengganggu konversi HMG CoA reduktase

mevalonate, tahap yang menentukan dalam biosintesis kolesterol, sehingga

menurunkan sintesis LDL dan meningkatkan katabolisme LDL.(Dipiro,2008)

Penggunaan gemfibrozil tidak bisa bersamaan dengan simvastatin karena

gemfibrozil dikontraindikasikan penggunaannya bersamaan HMG-CoA reduktase

inhibitor (simvastatin, serivastatin) dan repaglinid. Penggunaan simvastatin dan

gemfibrozil secara bersamaan dapat meningkatkan insiden miopati(Team Medical

Mini Notes, 2017). Oleh karena itu pemberian gemfibrozil dan simvastatin

diberikan di waktu yang berbeda, gemfibrozil diberikan pada pagi hari dan

simvastatin diberikan malam hari. Efek samping lain yaitu termasuk peningkatan

kadar aminotransferase dalam serum, peningkatan kadar kreatinin kinase, miopati,

dan jarang terjadi rabdomiolisis.

Penggunaan obat saluran cerna hampir ditemukan pada semua pasien di

Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Obat yang paling banyak digunakan

adalah ranitidin. Ranitidin merupakan suatu antagonis H2 yang berkompetisi

39
secara reversibel dengan histamin pada reseptor H2. Mekanisme kerja obat ini

dapat menghambat sekresi asam lambung yang dirangsang oleh histamin, gastrin

dan obat-obat kolinomimetik. Penggunaan obat ini bertujuan untuk mencegah dan

mengatasi stress ulcer yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami penyakit

yang parah dimana keadaan tersebut dapat memicu keluarnya asam lambung.

Kemudian pemberian ranitidin dihentikan pada hari ke-6 dilanjutkan dengan

pemberian lansoprazol 1x 30mg / hari dimana ini juga diindikasikan untuk

pencegahan terhadap efek samping dari clopidogrel yaitu dispepsia.

Neurodex diberikan sebagai vitamin neurotropik untuk membantu


memperbaiki kerusakan sel saraf. Neurodex diberikan secara peroral dengan dosis
1 tablet sehari, efek samping neurodex dapat menyebabkan sindrom neuropati.

40
BAB V

EDUKASI

1. Pasien dianjurkan untuk menjaga pola makan, seperti mengurangi asupan

makanan berlemak, mengurangi asupan garam, tidak mengkonsumsi junk

food, dll.

2. Pasien dianjurkan untuk melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki

secara rutin.

3. Pasien dianjurkan untuk selalu mengecek tekanan darah dan kadar

kolesterol.

4. Pasien dianjurkan untuk patuh meminum obat.

41
Lampiran 2. Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Stroke Iskemik

Tabel 2. Tabel Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Stroke Iskemik

DRUG RELATED PROBLEM


N Drug Therapy Problem Chek Rekomendasi (literatur)
O list
1 Terapi obat yang tidak diperlukan Pasien strokeNon Hemoragiknorcardioembolik sudah
Terdapat terapi tanpa indikasi medis - mendapat terapi yang sesuai dengan standar : Aspirin 50 –
Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan - 325 mg/hari dan clopidogrel 75 mg/hari (Dipiro, et al,
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi - 2008)
Terdapat duplikasi terapi -
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang -
seharusnya dapat dicegah
2 Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Tidak ada kesalahan obat, bentuk sediaan obat sudah tepat
Terdapat kontraindikasi -
Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien -
Terdapat obat lain yang lebih efektif -
3 Dosis tidak tepat - Penggunaan piracetam bersamaan dengan Clopidogrel
Dosis terlalu rendah - bersifat sinergis, tetapi beriko besar terjadi perdarahan.
Dosis terlalu tinggi - Pasien ini mengalami perdarahan pada lambung, jadi
Frekuensi penggunaan tidak tepat - penggunaan aspilet dan clopidogrel dihentikan untuk
Durasi penggunaan tidak tepat - sementara waktu
Penyimpanan tidak tepat -
Administrasi obat tidak tepat -
Terapi interaksi obat √

42
4 Reaksi yang tidak diinginkan Tidak ada reaksi alergi pada pasien tetapi terjadi
Obat tidak aman untuk pasien - pendarahan pada pasien akibat penggunaan kombinasi obat
Terjadi reaksi alergi - aspilet dan clopidogrel
Terjadi interaksi obat -
Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat -
Muncul efek yang tidak diinginkan -
Administrasi obat yang tidak tepat -
5 Ketidaksesuaian kepatuhan pasien Obat yang dibutuhkan pasien tersedia, dan pasien bisa
Obat tidak tersedia - menelan dan menggunakan obat dengan baik. Obat yang
Pasien tidak mampu menyediakan obat - diberikan kepasien dalam bentuk serbuk, jd tabletnya
Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat - digerus terlebih dahulu sebelum diminum
Pasien tidak mengerti instruksi penggunaan obat -
Pasien tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat -
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan Pasien tidak membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi -
Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis -
Pasien membutuhkan terapi profilaksis -

43
Lampiran 3. Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Hipertensi

Tabel 3. Tabel Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Hipertensi

DRUG RELATED PROBLEM


N Drug Therapy Problem Chek Rekomendasi (literatur)
O list
1 Terapi obat yang tidak diperlukan Pasien ini menglami strokeNon Hemoragikdengan
Terdapat terapi tanpa indikasi medis - hipertensi, pengobatan hipertensinya sesuai dengan indikasi
Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan - medis (standar) yaitu : Amlodipin 10 mg dan pada hari
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi - ketiga dikombinasi dengan candesartan 8 mg
Terdapat duplikasi terapi - Pemilihan kombinasi obat candesartan ini dikarenakan
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang - pasien memiliki riwayat perokok aktif.
seharusnya dapat dicegah
2 Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Tidak ada kesalahan obat, bentuk sediaan obat sudah tepat.
Terdapat kontraindikasi -
Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien -
Terdapat obat lain yang lebih efektif -

44
3 Dosis tidak tepat - Dosis, durasi dan frekuensi obat sudah tepat, untuk
Dosis terlalu rendah √ Candesartan 8 mg setelah dievaluasi dari hasil tekanan
Dosis terlalu tinggi - darah pasien ternyata belum memberikan efek yang optimal
Frekuensi penggunaan tidak tepat - maka dosis ditingkatkan menjadi candesartan 16 mg
Durasi penggunaan tidak tepat -
Penyimpanan tidak tepat -
Administrasi obat tidak tepat -
Terapi interaksi obat -
4 Reaksi yang tidak diinginkan Tidak ada reaksi yang tidak diinginkan, tidak ada reaksi
Obat tidak aman untuk pasien - alergi pada pasien dan tidak muncul efek yang tidak di
Terjadi reaksi alergi - inginkan
Terjadi interaksi obat -
Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat -
Muncul efek yang tidak diinginkan -
Administrasi obat yang tidak tepat -
5 Ketidaksesuaian kepatuhan pasien
Obat tidak tersedia - Obat yang dibutuhkan pasien tersedia, dan pasien bisa
Pasien tidak mampu menyediakan obat - menelan dan menggunakan obat dengan baik
Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat -
Pasien tidak mengerti instruksi penggunaan obat -
Pasien tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat -
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan Pasien tidak membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi -
Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis -
[
Pasien membutuhkan terapi profilaksis -

45
Lampiran 4. Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Hiperlipidemia

Tabel 4. Tabel Drugs Related Problem Untuk Obat-Obatan Hiperlipidemia


DRUG RELATED PROBLEM
N Drug Therapy Problem Chek Rekomendasi (literatur)
O list
1 Terapi obat yang tidak diperlukan Pasien menderita hiperlipidemia dan diberikan obat sesuai
Terdapat terapi tanpa indikasi medis - dengan indikasi medis (standar) yaiut obat simvastatin dan
Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan - Gemfibrozil
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi -
Terdapat duplikasi terapi -
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang -
seharusnya dapat dicegah
2 Kesalahan Obat
Bentuk sediaan tidak tepat - Terdapat kontraindikasi pada pasien, bentuk sediaan sudah
Terdapat kontraindikasi √ tepat, kondisi pasien sudah membaik oleh obat.
Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien -
Terdapat obat lain yang lebih efektif -
3 Dosis tidak tepat - Dosis tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, durasi
Dosis terlalu rendah - dan frekuensi sudah tepat
Dosis terlalu tinggi -

46
Frekuensi penggunaan tidak tepat -
Durasi penggunaan tidak tepat -
Penyimpanan tidak tepat -
Administrasi obat tidak tepat -
Terapi interaksi obat -
4 Reaksi yang tidak diinginkan Tidak ada reaksi yang tidak diinginkan, tidak ada reaksi
Obat tidak aman untuk pasien - alergi pada pasien dan tidak muncul efek yang tidak di
Terjadi reaksi alergi - inginkan
Terjadi interaksi obat -
Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat -
Muncul efek yang tidak diinginkan -
Administrasi obat yang tidak tepat -
5 Ketidaksesuaian kepatuhan pasien Obat yang dibutuhkan pasien tersedia, dan pasien bisa
Obat tidak tersedia - menelan dan menggunakan obat dengan baik
Pasien tidak mampu menyediakan obat -
Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat -
Pasien tidak mengerti instruksi penggunaan obat -
Pasien tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat -
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan Pasien tidak membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi -
Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis -
Pasien membutuhkan terapi profilaksis -

47

Anda mungkin juga menyukai