Anda di halaman 1dari 21

2.1.

Kejang Demam
2.1.1 Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Mengenai
definisi kejang demam ini masing-masing peneliti membuat batasan sendiri-sendiri,
tetapi pada garis besarnya hampir sama. Menurut Consensus Stat-ment on Febrile
Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,biasanya terjadi
antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti
adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa
demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Derajat tingginya
demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 38°C atau lebih,
tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui.

Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal,
atau multipel (lebih dari pada 1 kali kejang perepisode demam). Kejang demam
sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks. Kejang demam berulang
adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Epilepsi ialah
kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu kali. Sebanyak 2-5% anak-anak yang
bemmur kurang dari 5 tahun pemah mengalami kejang disertai demam.

2.1.2 Klasifikasi

1. Kejang demam sederhana

Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.

2. Kejang demam kompleks

Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:

1. Kejang lama (>15 menit)

2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.

2.1.3 Manifestasi klinik

Umumnya kejang demam berlangsung singkat berupa serangan klonik atau tonik-
klonik bilateral Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kmbali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh
hemiparesis s-ementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang
menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang
demam yang pertama. Kejang bemlang dalam 24 jam ditemukan pada 16% pasien.
Untuk meramalkan prognosis, Livingston membagi kejang demam menjadi 2
golongan, yaitu kejang demam sederhama (simple fehk convulsion) dan epilepsi yang
diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered ofbyfmer). Prichard dan Mc Greal
membagi kejang demam menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam atipik.
Dahulu, di Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta,
digunakan modifikasi kriteria ~ivingston sebagai pedoman untuk membuat diagnosis
kejmg demam sederhana sebagai berikut:

1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan-4 tahun

2. Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit.

3. Kejang bersifat umum. - 4. Kejang tirnbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya
demam.

5. Peke&saan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.

6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak i

menunjukkan kelainan.

7. Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.


Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Dengan
menggunakan kriteria tersebut, ternyata sangat banyak pasien yang termasuk dalam
golongan epilepsi yang diprovokasi demam, dengan konsekuensi bahwa pasien-
pasien ini harus mendapat pengobatan rumat. Banyak pasien yang hanya
menunjukkan kelainan EEG sedangkan kriteria lain dapat dipenuhi. Juga sulit sekali
untuk melakukan anamnesis berapa lama demam sudah berlangsung sebelum pasien
mengalami kejang. Saat ini istilah epilepsi yang diprovokasi demam telah
ditinggalkan. Pasien kejang demam tidak lagi dibagi menjadi kejang demam
sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam, tetapi dibagi menjadi pasien yang
tidak perlu pengobatan mmat dan pasien yang memerlukan pengobatan.

2.1.4 Diagnosis

2.1.4.1 Anamnesis

- Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang

- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang,

penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski saluran napas
akut/

ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll)

- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga,

- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan

gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang


dapat

menyebabkan hipoglikemia)

2.1.4.2 Pemeriksaan fisik


- Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat
demam

- Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque

- Pemeriksaan nervus kranial

- Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil
edema

- Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll

- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.

2.1.4.3 Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab demam


atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit,
urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.

- Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi
lumbal dianjurkan pada :

- Bayi usia kurang dari 12 bulan : sangat dianjurkan

- Bayi usia 12-18 bulan : dianjurkan

- Bayi usia > 18 bulan tidak rutin dilakukan

- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan .EEG masih dapat


dilakukan pada kejang demam yang tidak khas, misalnya : kejang demam kompleks
pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

- Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya :
- Kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi
struktural di otak (mikrosefali, spastisitas)

- Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah


berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil).

2.1.5 Tata laksana

1.Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tatalaksana


kejang. Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermiten pada saat demam
berupa :

- Antipiretik

Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.

- Anti kejang

Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam rektal dosis 0,5
mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh > 38,50 C.Terdapat efek samping berupa
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.

- Pengobatan jangka panjang/rumatan

Pengobatan jangka panjang hanya diberikan jika kejang demam menunjukkan cirri
sebagai berikut (salah satu):

Kejang lama > 15 menit

- Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis, paresis Todd,


palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.

- Kejang fokal

Pengobatan jangka panjang dipertimbangkan jika :


- Kejang berulang 2 kali/lebih dalam 24 jam

- Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

- Kejang demam > 4 kali per tahun.

Obat untuk pengobatan jangka panjang : fenobarbital (dosis 3-4 mg/kgBB/hari dibagi
1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis) Pemberian
obat ini efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (Level I). Pengobatan
diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama
1-2 bulan.

2.1.6 Tata laksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang,
obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
2.2 CAMPAK

2.2.1 Definisi 4

Campak adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh infeksi
virus yang umumnya menyerang anak. Campak merniliki gejala klinis khas yaitu
terdiri dari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus: (1) stadium masa
tunas berlangsung kira- kira 10-12 hari, (2) stadium prodromal dengan gejala pilek
dan batuk yang meningkat dan ditemukan enantem pada mukosa pipi (bercak
Koplik), faring dan peradangan mukosa konjungbva, dan (3) stadium akhir dengan
keluamya ruam mulai dari belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan dan
kaki. Ruam timbul didahului dengan suhu badan yang meningkat, selanjutnya ruam
menjadi menghitam dan mengelupas.
Etiologi 3
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus
Morbillivirus, famili Paramyxoviridae.1,5,6 Virus ini dari famili yang sama dengan
virus gondongan (mumps), virus parain-uenza, virus human metapneumovirus, dan
RSV (Respiratory Syncytial Virus).
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA
tunggal yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6
struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan
virus ke sel penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke
sel. Protein M (Matrix) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting
dalam penyatuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP
(Nucleoprotein), dan P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam
aktivitas polymerase RNA virus, sedangkan protein NP berperan sebagai struktur
protein nucleocapsid. Karena virus campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka
mudah diinaktivasi oleh cairan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform.
Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi dengan suhu panas (>370C), suhu dingin
(<200C), sinar ultraviolet, serta kadar (pH) ekstrim (pH <5 dan >10).5,7 Virus ini
jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam.
2.2.2 Patofisiologi 3
Penyebaran infeksi terjadi jika terhirup droplet di udara yang berasal dari
penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel
epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran
ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul
multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe.
Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke-5
sampai ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan
saluran pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke- 14, virus ada di darah, saluran
pernapasan, dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian virus mulai berkurang.
Selama infeksi, virus berreplikasi di sel – sel endotelial, sel – sel epitel dan magrofag.

2.2.3 Diagnosis 2
Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai
timbul dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh. Pemeriksaan fisik berupa suhu
badan tinggi (>380C), mata merah, dan ruam makulopapular. Pemeriksaan
penunjang: pemeriksaan darah berupa leukopenia dan limfositopenia. Pemeriksaan
imunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan biasanya sudah
dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam.5-7 IgM campak
ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah infeksi.
Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisnya juga berupa
ruam makulopapular. Gejala klinis klasik campak adalah adanya stadium prodromal
demam disertai coryza, batuk, konjungtivitis, dan penyebaran ruam makulopapular.
Penyakit lain yang menimbulkan ruam yang sama antara lain :
 Rubella (Campak Jerman) dengan gejala lebih ringan dan tanpa disertai batuk.
Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam yang mereda ketika
ruam muncul.
 Parvovirus (fifth disease) dengan ruam makulopapular tanpa stadium prodromal.
 Demam scarlet ( scarlet fever) dengan gejala nyeri tenggorokan dan demam tanpa
konjungtivitis ataupun coryza.
 Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi, konjungtivitis, dan ruam, tetapi
tidak disertai batuk dan bercak Koplik. Biasanya timbul nyeri dan pembengkakan
sendi yang tidak ada pada campak.
2.2.4 Tatalaksana 2
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah
baring, antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/dosis dapat diberikan sampai setiap 4
jam), cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A.1,10,12 Vitamin A dapat
berfungsi sebagai imunomodulator yang meningkatkan respons antibodi terhadap
virus campak. Pemberian vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi
seperti diare dan pneumonia. Vitamin A diberikan satu kali per hari selama 2 hari
dengan dosis sebagai berikut:
 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
 100.000 IU pada anak umur 6 - 11 bulan
 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai
umur penderita diberikan antara minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejala
defisiensi vitamin A.
2.2.5 Indikasi Rawat Pada Anak Campak 2
Berikut merupakan indikasi dari penderita campak yang memerlukan perawatan
lebih lanjut yaitu rawat inap :
1. Hiperpireksia (Suhu tubuh lebih dari 390C)
2. Penderita mengalami dehidrasi
3. Penderita mengalami kejang
4. Asupan oral (makanan) sulit)
5. Terjadinya komplikasi
2.3 BRONKOPNEMONIA

2.3.1 Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar


disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan
oleh aspirasi dan radiasi. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia
bakterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan
laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman dapat
disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien
tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis1.

2.3.2 Epidemiologi 4

Imunisasi memiliki dampak yang besar pada kejadian pneumonia yang disebabkan
oleh pertusis, difteri, campak, mophilus influenza tipe b, dan S. pneumoniae. Di
mana digunakan, bacille Calmette-Guerin (BCG) untuk tuberkulosis juga memiliki
memiliki dampak. Diperkirakan 2 juta kematian di negara berkembang negara
adalah karena infeksi saluran pernapasan akut tahunan sekutu. Faktor risiko untuk
infeksi saluran pernapasan bawah meliputi: refluks gastroesofageal, gangguan
neurologis (aspirasi), keadaan immunocompromised, kelainan anatomi saluran
pernapasan4.

2.3.3 Klasifikasi Pneumonia1


Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut :
a. Bayi dan anak berusia 2 bulan-5 tahun
 Pneumonia berat
 Bila ada sesak napas
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
 Pneumonia
 Bila tidak ada sesak napas
 Ada napas cepat dengan laju napas:
 >50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
 >40 x/menit untuk anak >1-5 tahun
 Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral.
 Bukan pneumonia
 Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik,
hanya diberikan pengobatan simptomatis
seperti penurun panas.
b. Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia di bawah usia 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih
bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut:
a. Pneumonia
 Bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
 Harus dirawat dan diberikan antibiotik.
b. Bukan pneumonia
 Tidak ada napas cepat atau sesak napas
 Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.

2.3.4 Manifestasi Klinis 5


Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat- ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare;
kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.
2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan
tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang1


a. Darah Perifer Lengkap1
Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis
yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi
bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi.
b. Reactive Protein (CRP)1
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara
faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda.
c. Uji Serologis1
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis1
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Diagnosis dikatakan
definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.
e. Pemeriksaan Rontgen Toraks1
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau
untuk tindak lanjut.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di Instalasi Gawat Darurat. Foto rontgen toraks AP dan lateral hanya
dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan seperti
takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.

2.3.6 Diagnosis Pneumonia1


Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis
yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu
gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi,
ronki, dan suara napas melemah. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi napas
cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke pelayanan
kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas selama satu menit
penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya
tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan-5 tahun adalah tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi
berusia di bawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
mengi, dan demam/badan terasa dingin1.

2.3.7 Penatalaksanaan Pneumonia


a. Rawat jalan1
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini
pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia
ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas
yang mencapai 90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada
pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali sehari
mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25
mg/kgBB/kali sedangkan kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB/kali,
sulfametoksazol 20 mg/kgBB/kali)1.
Tabel 1. Obat Pneumonia Rawat Jalan1.
Nama Obat Dosis

Amoksisilin 25 mg/kgBB/kali
Kotrimoksazol 4 mg/kgBB/kali
Sulfametaksazol 20 mg/kgBB/kali

b. Rawat inap1,6
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan
beta- laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
beta- laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik lain seperti
gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologia yang
ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7- 10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama
terapi antibiotik yang optimal. Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik
yang direkomendasikan adalah antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa
klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta-laktam/klavulanat
dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi
ketiga1.

Tabel 2. Obat Pneumonia Rawat Inap


Nama Obat Dosis

Ampisilin oral : 50-100mg/kgBB/hari dalam 4


dosis terbagi.

Kloramfenikol Anak : 50mg/kgBB/hari dalam 4 dosis


terbagi.
ceftriaxone - anak usia >12 tahun dosis lazim
sehari 1x1-2 gram tiap 24 jam.
dosis maksimum : sehari 4 g dalam
2 dosis terbagi.
ambroxol dosis lazim untuk anak : 1,2 -1,5
mg/kgBB/hari

Pengobatan antibiotik harus sesuai dengan


etiologinya. Untuk pneumonia berat dapat diberikan
kombinasi obat ampisilin dan kloramfeniko. Pneumonia
ringan tidak memerlukan perawatan dan diberikan antibiotik
secara oral dengan golongan penisilin atau kotrimoksazol 6.
c. Komplikasi Pneumonia1
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema
torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi
ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema
torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia
bakteri. komplikasi miokarditis (tekanan sistolik
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat,
dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena
miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka
dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik
noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan
enzim1.
2.2.4 hipoglikemia

Hipoglikemia yang asimtomatik dan sementara dapat


dideteksi pada 11% bayi baru lahir dalam 1 jam
pascalahir dan sebelum bayi diberi minum. Hipoglikemia
ini jangan dihubungkan dengan kelainan neurologis di
kemudian hari. Hipoglikemia sirntomatik dapat tejadi
akibat sbes pada otak atau oleh gangguan metabolisme
inborn errors.

Timbulnya gejala tergantung dari kelainan yang


menyebabkannya. Gejala dini biasanya dihubungkan
dengan adanya asfiksia perinatal dan perdarahan
inbakranial, sedang gejala yang terjadi kemudian
disebabkan oleh gangguan/penyakit metabolik bawaan.
Manifestasi klinis meliputi apne, sianosis, takipnea,
jttteriness, tangis yang melengking, muntah, kesukaran
minum, apatis, hipotonia, kejang dan koma.
Hipoglikemia simtomatik sering dihubungkan dengan
kelainan neurologis di kemudian hari. Diagnosis
hipoglikemia pada bayi baru lahir adalah bila dalam 3
hari pertama sesudah lahir, kadar gula darah kurang dari
20 mg% pada bayi kurang bulan atau kurang dari 30 mg
% pada bayi cukup bulan pada pemeriksaan kadar gula
darah 2 kali berturut-turut, dan kurang dari 40 mg% pada
bayi berumur Iebih dari 3 hari. Hipoglikemia sering
tejadi pada bayi kecil terutama bayi kecil masa kehadan,
bayi dari ibu menderita diabetes atau bayi-bayi dengan
penyakit berat seperti asfiksia dan sepsis. Berapa
sebenamya kadar gula darah yang dapat menimbuIkan
manifestasi neurologis masih belum jelas, misalnya pada
kadar gula darah mencapai 0 mg% tidak memperlihatkan
manifestasi neurologis yang mencolok akan tetapi kadar
gula darah yang menunjukkan 10-15 mg% sudah
menimbulkan manifestasi neurologis. Faktor yang
menentukan dan lebih penting untuk timbulnya
manifestasi neurologis adalah lamanya hipoglikemia
sebelum diberi pengobatan. Yang disebut hipoglikemia
simtomatik adalah bila terdapat hipoglikemia dengan
manifestasi neurologis dan manifestasi menghilang
dengan pemberian - glukose. Hipoglikemia senbal adalah
bila terdapat bersamaan dengan keadaan berat seperti
asfiksia, trauma lahir, infeksi dan biasanya keadaan ini
bersifat sementara. Hipoglikemia sementara ini sering
disertai hipokalsemia yang dapat merupakan penyebab
dari kejangnya.

2.2.5 Hiponatremia
Definisi
Kadar natrium <135 mmol/L

Etiologi
- Hiponatremia hipovolemia: penggunaan diuretik, defisiensi
aldosteron, disfungsi
tubular ginjal, muntah.
- Hiponatremia hipervolemia: gagal jantung kongestif, sirosis, nefrosis.
- Hiponatremia euvolemia: SIADH, polidipsi psikogenik,
hipotiroidisme, pemberian cairan yang tidak sesuai.

Gejala klinis
Disorientasi, penurunan kesadaran, iritabel, kejang, letargi, mual,
muntah, kelumpuhan dan henti nafas.

Pemeriksaan penunjang
Elektrolit, glukosa, BUN/kreatinin, urinalisis.
Tata laksana
- Hiponatremia hipovolemia: penambahan volume intravaskular dengan
salin normal
(NaCl 0,9%).
- Hiponatremia hipervolemia: biasanya tidak berat dan membaik bila
penyakit utamanya diobati.
- Hiponatremia euvolemia: restriksi asupan free water, loop diuretic,
dan mengganti volume intravaskular dengan salin normal.
- Kejang atau koma: Salin hipertonik 3% dosis 1.5-2.5 mmol/kg.
- Peningkatan serum Na dibatasi 8-12 mmol/L dalam 24 jam pertama

Anda mungkin juga menyukai