Anda di halaman 1dari 38

Diskusi Kasus

KEJANG DEMAM SEDERHANA

Oleh:
Parada Jiwanggana

G99161072

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Kejang didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat
ditunjukkan dengan adanya kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal,
gangguan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi termasuk gejala dari suatu atau beberapa
penyakit, yang merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang
berlebihan di sel-sel neuron otak oleh karena terganggu fungsinya.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam sederhana adalah kejang yang berhubungan dengan demam tanpa
adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak
berusia diatas 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Kejang demam disebut kejang demam kompleks apabila kejang lamanya >15
menit dan berulang.
Dari penelitian didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum mereka mencapai usia 5 tahun. Kejadian kejang demam di
berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa barat mencapai 2-4%
kasus. Sedangkan, kejadian kejang demam di Asia lebih tinggi, kira-kira 20%
kasus.
Kepentingan kasus kejang demam sederhana dibuat sebagai kasus karena
ada banyak alasan, diantaranya adalah :
1. Untuk mengetahui definisi kejang demam sederhana
2. Untuk mempelajari etiologi kejang demam sederhana
3. Untuk mempelajari patofisiologi dan manifestasi klinis kejang demam
sederhana
4. Untuk mempelajari cara mendiagnosis kejang demam sederhana
5. Untuk mempelajari penatalaksanaan dari kejang demam sederhana
6. Untuk mengetahui prognosis kejang demam sederhana

Karena pentingnya hal tersebut, dokter harus bisa menegakkan diagnosis


dari kejang demam sederhana. Sehingga penulis tertarik untuk membahas
penatalaksanaan kejang demam sederhana, terutama dari segi farmakoterapi.
Diharapkan dengan tata laksana yang baik, angka morbiditas dan mortalitas
kejang demam sederhana menurun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A

KEJANG DEMAM
1.

Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Menurut ILAE,
Commission on Epidemiology and Prognosis Epilepsi, anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam tidak
termasuk dalam kejang demam dan kejang disertai demam yang terjadi pada bayi
berumur kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. Bagian
saraf anak sepakat bahwa anak yang berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5
tahun mengalami kejang yang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.1
2.

Manifestasi Klinis
Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan

dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila
suhu tubuh mencapai 39C atau lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat (ISPA, OMA, dll). Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama
sewaktu demam. Kejang dapat bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau
akinetik. Berlangsung singkat beberapa detik sampai 10 menit, diikuti periode
mengantuk singkat pasca kejang. Kejang demam yang menetap lebih dari 15
menit menunjukkan adanya penyebab organik seperti infeksi atau toksik dan
memerlukan pengamatan menyeluruh.2,3
3.

Patofisiologi
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam

(lipid) dan permukaan luar (ion). Dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dengan mudah dilalui oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi
ion K dalam sel neuron tinggi dan ion Na rendah. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan luar sel maka terdapat potensial membran sel

neuron. Selisih potensial membrane ini memiliki harga normal sebesar 30-100
mV. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:
-

Perubahan konsentrasi ion di ekstraseluler.

Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari


sekitarnya.

Perubahan patofisiologi dari membran sendiri dari penyakit atau


keturunan.

Gambar 1. Patofisiologi Kejang


Pada beberapa teori lain dikatakan kejang disebabkan oleh beberapa
kondisi, seperti :

Gangguan pembentukan ATP yang mempengaruhi kerja dari pompa Na-K


(pompa ini bekerja sebagai transport aktif untuk mengeluarkan ion Natrium dan
memasukkan ion Kalium ke dalam sel). Kondisi ini terjadi pada keadaan

hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemi.


Perubahan permaebilitas membrane sel saraf sehingga mudah dilalui oleh ion
Natrium. Terjadi pada kondisi hipokalsemia.

Perubahan

relative

neurotransmitter

yang

bersifat

eksitasi

dibanding

neurotransmitter inhibisi sehingga terjadi depolarisasi.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan menaikan metabolisme


basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak
berusia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron,dan dalam waktu yang
singkat terjadi difusi ion K maupun Na melalui membran. Perpindahan ini
mengakibatkan lepas muatan listrik yang besar, sehingga meluas ke membran sel
lain melalui neurotransmitter, dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C. Pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C.
Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu
berapa penderita kejang.2

Gambar 2. Patofisiologi Kejang Demam


4.

Klasifikasi Kejang Demam


Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang

demam pada anak menjadi1,2:


a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam.
Kejang demam berlangsung singkat
Durasi kurang dari 15 menit
Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik
Umumnya akan berhenti sendiri.
Tanpa gerakan fokal.
Tidak berulang dalam 24 jam
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.

Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.


Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.
5.

Langkah Diagnostik
Penanganan awal dengan cepat dan tepat menjadi prioritas. Setalah kondisi

pasien membaik atau ada kondisi yang menyebabkan perburukan sehingga


dilanjut penanganan di ICU, baru dilakukan anamnesis. Dari anamnesis yang
harus ditanyakan adalah adanya kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/
saat kejang, frekuensi, interval, keadaan pasca kejang, penyebab demam di luar
susunan saraf pusat. Riwayat perkembangan anak, riwayat kejang demam dalam
keluarga, epilepsi dalam keluarga. Pertanyaan juga harus menyingkirkan
penyebab kejang lainnya, misalnya tetanus.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah kesadaran, suhu tubuh,
tanda rangsang meningeal, refleks patologis, tanda peningkatan tekanan
intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
kejang demam, di antaranya:1,2,3
a) Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b)

Pungsi lumbal sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12 bulan


(dimana gejala klinis susah dievaluasi), dianjurkan pada anak usia 12-18
bulan karena infeksi meningitis dapat muncul pada kelompok anak dengan
kelompok umur tersebut, dan dipertimbangkan pada anak di atas 18 bulan
yang dicurigai menderita meningitis (disesuiakan dengan gejala klinis tanda
kernig, Brudzinski dan kaku kuduk). Pemeriksaan ini pada KDS masih
kontroversial karena masih belum ditemukan keefektifannya.

c) Foto X-ray dan pencitraan seperti CT -Scan atau MRI tidak diindikasikan
pada anak-anak dengan onset kejang demam simpleks namun dapat
diindikasikan pada keadaan riwayat atau tanda klinis trauma, kemungkinan
lesi struktural otak (mikrocephal, spastik), adanya tanda peningkatan tekanan

intrakranial, adanya kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis),


paresis N.VI, dan papiledema..
d) EEG tidak dianjurkan untuk pada awitan awal kejang demam simplek, EEG
dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal
dan dengan kecurigaan tinggi suspek kasus epilepsi. Hasil abnormal EEG
juga tidak dapat digunakan sebagai patokan untuk mengetahui dan
memprediksi rekurensi kejang demam maupun epilepsi. Penggunaan EEG
sebaiknya dilakukan 2 minggu setelah awitan kejang demam hal ini untuk
mencegah hasil EEG yang non spesifik.5
6.

Terapi
Algoritma Penghentian Kejang Demam1
Anak kejang

Diazepam rektal 0,5 -0,7mg/kgBB atau 5 mg jika BB<10kg, 10 mg jika BB10kg; boleh diulang setelah 5

Kejang (bawa ke RS)


Diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgBB

Kejang
Fenitoin IV 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 1mg/kg/menit

Kejang berhenti
Kejang tidak berhenti
Lanjutkan dengan dosis 4-8 mg/kg/hari dimulai 12 jam setelah dosis awal Rawat ICU

Gambar 3. Tatalaksana kejang demam


Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua dirumah adalah
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan berat badan

lebih dari 10 kg, atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Bila pada pemberian
diazepam rektal kejang belum berhenti, diazepam dapat diberikan lagi dengan
interval 5 menit. Bila masih gagal dianjurkan ke RS dan diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Jika pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, berikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg.
Bila masih belum berhenti berikan fenitoin secara IV dengan dosis awal
10-20 mg/kg/ kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/ hari dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.
Bila kejang berhenti, tentukan apakah anak termasuk dalam kejang demam
yang memerlukan pengobatan rumatan atau hanya memerlukan pengobatan
intermiten bila demam. Pengobatan rumatan adalah pengobatan yang diberikan
terus menerus

untuk waktu yang cukup lama, yaitu 1 tahun bebas kejang,

kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan rumatan


diberikan bila kejang demam menunjukkan salah satu atau lebih gejala berikut :

kejang lama >15 menit

anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum dan sesudah kejang
misalnya hemiparesis, Cerebral Palsy, retardasi mental.

Kejang fokal

Bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi

Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:


-

Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam

Kejang demam yang terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan

Kejang demam 4 kali pertahun.

Pengobatan rumatan yang diberikan bisa menggunakan asam valproate 15-40


mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis atau fenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis.

Pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada saat anak


mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari
pemberian antipiretik (parasetamol 10-15 mg/kgBB/ kali diberikan 4 kali sehari
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali) dan antikonvulsan
(diazepam oral 0,3mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam atau diazepam rektal
0,5-0,75 mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu >38,5 C).
7.

Komplikasi
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya

dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lebih
lama (>15 menit) biasanya disertai apnoe, hipoksemia, hiperkapnea, asidosis
laktat, hipotensi artrial, suhu tubuh makin meningkat, metabolisme otak
meningkat.
8.

Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah

dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada


pasien yang awalnya normal. Kejang demam dapat berulang di kemudian hari
atau dapat berkembang menjadi epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko
berulangnya kejang pada kejang demam adalah:
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
b. Usia di bawah 12 bulan.
c. Suhu tubuh saat kejang yang rendah.
d. cepatnya kejang setelah demam
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah:
a. kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.

9.

Edukasi pada Orang Tua


Sebagai seorang dokter sebaiknya kita mengurangi kecemasan orang tua

dengan cara :
-

Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya memiliki prognosis


yang baik

Memberitahukan cara penanganan kejang

Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus


diingat adanya efek samping obat.

10.

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

1. Tenang dan tidak panik.


2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Lalu,
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan
lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi, dan catat lama serta bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau Rumah Sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama

: An. GT

Umur

: 3 tahun

Jenis Kelamin

: Laki - laki

Agama

: Islam

Berat Badan

: 13 kg

Tinggi Badan

: 90 cm

Alamat

: Ngemplak, Boyolali

Tanggal masuk

: 3 November 2015

Tanggal Pemeriksaan

: 4 November 2015

No. CM

: 01-29-45-XX

II. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara aloanamnesis terhadap ibu penderita
A Keluhan Utama
Kejang
A.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSDM dengan keluhan mengalami kejang

kurang lebih setengah jam sebelum datang ke rumah sakit. Kejang terjadi
satu kali, kurang lebih 2 menit. Pada saat kejang pasien tidak sadar,
gerakan kaku dan kemudian kelojotan pada seluruh lengan, tangan,
tungkai, dan kaki dengan gerakan yang bersamaan. Mata pasien melirik ke
atas. Tanpa diberi obat kejang, berhenti sendiri. Kejang yang terjadi
disertai dengan demam tinggi, namun saat demam suhu tidak diperiksa
oleh ibu menggunakan termometer. Setelah kejang pasien menangis
sebentar kemudian tidur dan segera dibawa ke RSUD Dr. Moewardi.
Kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sering
rewel karena mengalami demam, tetapi tidak batuk maupun pilek. Demam
awalnya ringan kemudian menjadi tinggi. Pasien tidak minum obat

penurun panas maupun obat batuk pilek. Setengah jam sebelum masuk
rumah sakit, demam semakin tinggi kemudian pasien mendadak kejang.
Selama perjalanan ke IGD RSUD Dr. Moewardi, kejang tidak
muncul lagi. Saat di IGD dilaporkan kejang (-), pasien rewel, masih
demam (+), batuk pilek (-), dan buang air kecil satu kali warna kuning
jernih.
Kejang yang terjadi ini merupakan kejang yang pertama kali
dialami pasien. Selama sakit tidak ada keluhan diare, tidak muntah, tidak
keluar cairan dari telinga, dan tidak nyeri saat buang air kecil.
B.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat kejang demam sebelumnya

: (-)

Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya

: (-)

Riwayat dirawat di RS

: (-)

Riwayat alergi obat/makanan

: (-)

Riwayat penis menggelembung saat BAK

: (-)

C.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat kejang demam

: (-)

Riwayat alergi obat/makanan : (-)


Riwayat epilepsi
D.

: (-)

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Penderita adalah anak kedua dari dua bersaudara. Anggota

keluarganya terdiri dari ayah, ibu, kakak, dan penderita sendiri. Ayah
penderita bekerja sebagai buruh dengan penghasilan tidak menetap. Pasien
berobat dan mondok menggunakan jaminan kesehatan BPJS. Lingkungan
rumah pasien memiliki higienitas yang cukup baik ditandai dengan
penerangan rumah cukup, ventilasi cukup, bak mandi selalu dikuras dua
minggu sekali, serta memiliki jamban.

E.

Riwayat Makan Minum Anak

Usia 0-6 bulan

: Pemberian ASI ekslusif

Usia 6 bulan-2 tahun

: Makanan tambahan (bubur susu, nasi tim)

Usia 2 tahun sekarang : Nasi dengan ditambah lauk pauk, telur , ikan,
daging dan sayuran. Diselingi dengan pemberian susu formula. Makan
dan minum selalu habis.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup.

F.

Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal


Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat.

Frekuensi pemeriksaan pada trimester I dan II dilakukan 1 kali tiap bulan,


dan trimester III dilakukan 2 kali tiap bulan. Riwayat keluhan penyakit
kehamilan (-).
Riwayat minum jamu selama hamil (-), obat-obatan yang diminum
adalah vitamin dan tablet penambah darah sesuai yang diberikan oleh
puskesmas.
Kesan : riwayat pemeriksaan kehamilan dan prenatal dalam batas
normal.

G.

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara normal dari seorang ibu G2P1A0 di bidan.

Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir 55cm, langsung
menangis, menangis kuat, usia kehamilan 38 minggu, biru (-).
Kesan : riwayat kelahiran dalam batas normal.
H.

Riwayat Pemeriksaan Post Natal


Pemeriksaan bayi setelah lahir rutin dilakukan di puskesmas untuk

menimbang badan dan mendapat imunisasi.


Kesan : riwayat pemeriksaan post natal dalam batas normal.

I.

Riwayat Imunisasi

BCG

: 1x, 1 bulan setelah lahir di puskesmas.

Hepatitis B

: 4x, saat lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

DPT

: 3x, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

Polio

: 4x , 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan.

Campak

: 1x, 9 bulan.

Kesan: imunisasi lengkap sesuai jadwal Kemenkes RI.


J.

Riwayat Perkembangan
Motorik Kasar

Mengangkat kepala

: 3 bulan

Tengkurap kepala tegak : 4 bulan


Duduk sendiri

: 6 bulan

Berdiri sendiri

: 11 bulan

Berjalan

: 12 bulan

Bahasa
Bersuara aah/ooh

: 2,5 bulan

Berkata (tidak spesifik) : 8,5 bulan


Berkata 2-3 kata spesifik : 1 tahun 3 bulan

Motorik halus
Memegang benda

: 3,5 bulan

Menunjukkan benda

:1,2 tahun

Personal sosial
Tersenyum

: 2 bulan

Mulai makan

: 6 bulan

Tepuk tangan

: 9 bulan

Kesan: perkembangan sesuai usia.


K.

Keluarga Berencana

Keluarga mengikuti program KB dengan Ibu suntik KB setiap 3 bulan.

L.

Pohon Keluarga
I

II

Ny. Y, 31 tahun

Tn. P, 33 tahun

III
An. M,

tahun

An. GT, 3 tahun

III. PEMERIKSAAN FISIK


1.

Keadaan Umum
Keadaan Umum

: sakit sedang

Derajat Kesadaran

: compos mentis (E4V5M6)

Status gizi

: kesan gizi baik

2. Vital Sign
T

: 39,1 oC per aksiler

HR

: 110 x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan cukup.

RR

: 30 x/menit, tipe thorakoabdominal, reguler, kedalaman cukup

Tensi : 90/60 mmHg


BB

: 13 kg

PB

: 90 cm

Status gizi :
BB/U

: 85,71 %

(-2 SD<Z-Score<0 SD)

TB/U

: 95%

(- 2SD<Z-Score<0 SD)

BB/TB : 104 %

(0 SD<Z-Score<1 SD)

Kesimpulan: Status gizi secara antropometri baik (gizi baik, normoweight,


normoheight) menurut WHO 2004.
3. Kulit
Warna kulit sawo matang, kelembaban baik, turgor baik, tekstur halus,
ikterik (-), dan pucat (-).

4. Kepala
Bentuk mesocephal, lingkar kepala 47 cm (0 SD < UK < +2SD) menurut
Nell Hauss, ukuran normocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah rontok dan sukar dicabut.
5. Muka
Sembab (-), old man face (-).
6. Mata
Cekung (-/-), air mata berkurang (-/-), conjunctiva anemis(-/-), sklera
ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 cm/3 cm).
7. Hidung
Bentuk normal, napas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-).
8. Mulut
Mukosa bibir dan mulut kering (-), sianosis (-), gusi berdarah (-).
9. Tenggorokan
Uvula di tengah, tonsil sulit dievaluasi, faring hiperemis (-).
10. Telinga
Bentuk normal, kelainan MAE (-), membrana timpani utuh, prosesus
mastoideus tidak nyeri tekan, tragus pain (-), sekret (-).
11. Leher
Bentuk normal, trachea ditengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
12. Limfonodi
Kelenjar limfe auricular, submandibular, servicalis, supraclavicularis,
axillaris, dan inguinalis tidak membesar.
13. Thorax
Bentuk normochest, retraksi (-), iga gambang (-), gerakan simetris kanan
dan kiri
Cor

: Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak kuat angkat

Perkusi

: Batas jantung sulit dievaluasi kesan tidak


melebar

Auskultasi
Pulmo

: Inspeksi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)


: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba sulit dievaluasi

Perkusi

: sulit dievaluasi, kesan sonor / sonor di


semua lapang paru

Auskultasi

: SD vesikuler (+/+), RBK (-/-), RBH (/-)

14. Abdomen
Inspeksi

: dinding dada setinggi dinding perut

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: tympani

Palpasi

: nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak


teraba, turgor kembali dengan cepat (+) .

15. Urogenital
Phimosis (-).
16. Anorektal
Dalam batas normal
17. Ekstremitas
akral dingin
-

sianosis
-

oedem
-

wasting

CRT <2, Arteri dorsalis pedis kuat, Baggy pants (-/-)


18. Kuku

Sianosis (-)
19. Neurologi

Motorik koordinasi baik, kekuatan


Sensorium

5555 5555
5555 5555

+ +
+ +

Reflek fisiologis : Reflek biceps

: (+2/+2)

Reflek triceps

: (+2/+2)

Reflek patella

: (+2/+2)

Reflek achilles

:(+2/+2)

Reflek patologis: Reflek babinski

: (-)

ikterik
-

Reflek chaddock

: (-)

Reflek oppenheim : (-)

IV.

Reflek gordon

: (-)

Reflek schaffer

: (-)

Meningeal signs: Kaku kuduk

: (-)

Brudzinski I

: (-)

Brudzinski II

: (-)

Brudzinski III

: (-)

Brudzinski IV

: (-)

Kernig

: (-)

KESIMPULAN KASUS
Kurang lebih setengah jam sebelum masuk rumah sakit pasien
kejang. Kejang terjadi satu kali, kurang lebih 2 menit. Pada saat kejang
pasien tidak sadar, gerakan kelojotan dan kaku pada seluruh lengan,
tangan, tungkai dan kaki dengan gerakan yang bersamaan, mata pasien
melirik keatas, dan tanpa diberi obat kejang berhenti sendiri. Kejang yang
terjadi disertai dengan demam tinggi, namun suhu tidak diperiksa oleh ibu
menggunakan termometer. Setelah kejang, pasien menangis sebentar
kemudian tidur dan segera dibawa ke rumah sakit.
Kurang lebih satu hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sering
rewel karena mengalami demam, tetapi tidak ada batuk maupun pilek.
Demam awalnya ringan kemudian menjadi tinggi. Pasien tidak minum
obat penurun panas maupun obat batuk pilek. Demam tidak turun, sampai
setengah jam sebelum masuk rumah sakit demam semakin tinggi
kemudian pasien mendadak kejang.
Selama perjalanan ke IGD RSDM kejang tidak muncul lagi. Saat
di IGD kejang (-), pasien rewel, masih demam, tidak batuk pilek, dan
buang air kecil satu kali warna kuning jernih.
Kejang yang terjadi ini merupakan kejang yang pertama kali
dialami pasien. Selama sakit tidak ada keluhan diare, tidak muntah, tidak
keluar cairan dari telinga, dan tidak nyeri saat buang air kecil.

Riwayat

imunisasi

lengkap.

Riwayat

perkembangan

dan

pertumbuhan baik. Riwayat pemeliharaan prenatal baik. Pasien lahir


secara normal di bidan. Berat badan lahir 2800 gram, panjang badan lahir
55 cm, langsung menangis, menangis kuat, usia kehamilan 38 minggu,
pemeliharaan postnatal baik, status gizi baik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis,
kesan sakit sedang dan kesan gizi baik, tanda vital didapatkan suhu 39,1o C
per aksiler, 110 x/menit, teraba kuat, intensitas reguler, frekuensi nafas 30
x/menit, reguler, kedalaman cukup, mesocephal, pupil isokor. Refleks
fisiologis dalam batas normal, reflek patologis tidak didapatkan dan tandatanda meningeal tidak ada.
V. DAFTAR MASALAH
-

Kejang 1x, tidak berulang dalam 24 jam, lama kejang kurang lebih 2
menit, didahului dengan demam tinggi, saat kejang pasien tidak sadar,
gerakan kelojotan dan kaku pada seluruh lengan, tangan, tungkai dan kaki
dengan gerakan yang bersamaan, mata pasien melirik keatas, tanpa diberi
obat kejang berhenti sendiri, setelah kejang pasien menangis sebentar
kemudian tidur.

Demam 39,1o C

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Kejang demam sederhana
2. Observasi febris 1 hari ec. DF, ISK, rhinopharyngitis
VII. DIAGNOSA KERJA
1. Kejang demam sederhana

VIII.

TUJUAN MEDIKAMENTOSA

1. Menurunkan suhu tubuh


2. Menurunkan resiko berulangnya kejang
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi

Mondok bangsal neurologi anak

Diet nasi lauk 1300 kkal/hari

Infus Ringer Lactate 48 cc/jam (maintenance)

Injeksi Diazepam iv 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan


1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20
mg ~ 4 mg iv pelan jika kejang

Paracetamol 10-15 mg/kgBB/8jam atau 60-120 mg/kali (dosis anak 1-6

tahun), diberikan maksimum 6 kali ~ 3x120 mg


Diazepam oral dengan 0,3 mg/KgBB setiap 8 jam pada saat demam ~

3x4 mg per oral jika suhu >38,5o C


Resep Rawat Inap
R/ Ringer Lactate infuse

No. I

cum infuse set micro

No. I

IV catheter no. 22

No. I

Three way

No. I

IV 3000

No. I

i.m.m 20 tpm
Cito
R/ Diazepam inj. 5mg/mL vial No.I
cum disposable syringe cc 1 No.I
p.r.n i.m.m IV mg 5 (bila kejang)
R/ Paracetamol mg 135
Diazepam mg 4
m.f.l.a pulv dtd No.X
3 dd pulv I aggr Febr
Pro: An.T (3 th, 13 kg)

Resep Rawat Jalan


R/ Paracetamol mg 135
Diazepam mg 4
m.f.l.a pulv dtd No.X
3 dd pulv I aggr Febr
R/ Stesolid rectal tube 10mg/2,5mL No. IV
p.r.n 1-2 dd clysma per rectal
Pro: An.GT (3th, 13kg)
Monitoring
KU dan VS per 8 jam

BCD per 8 jam

Awasi tanda kejang

Planning

Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, dan glukosa darah

Pemeriksaan urinalisis

Edukasi
Kompres hangat jika demam

Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Tata laksana jika terjadi kejang kembali

X. PROGNOSIS
Ad vitam

: bonam

Ad sanam

: bonam

Ad fungsionam

: bonam

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Kejang demam merupakan suatu bangkitan kejang yang disebabkan


kenaikan suhu tubuh karena suatu proses infeksi pada ekstrakranium. Pada kasus
ini kejang demam ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis pasien :
Saat kejang pasien tidak sadar, munculnya tiba tiba tanpa adanya
pemicu pasti selain demam, gerakan kaku pada lengan, tangan, tungkai
dan kaki mengarahkan bila yang dialami pasien benar-benar kejang.
Kejang yang dialami pasien berlangsung kurang lebih 2 menit, berhenti
tanpa obat, tipe kejang umum, dan tidak berulang dalam 24 jam
menunjukkan bila kejang pada pasien ini mengarah pada diagnosis kejang
demam sederhana.
2. Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum dan tanda vital didapakan pasien nampak sakit
sedang, sadar penuh, demam dengan suhu 39,1o C yang diukur secara
aksiler. Hal ini menunjukkan adanya suatu proses infeksi.
Pada hidung tidak didapatkan sekret dan batuk. Hal ini untuk
sementara tidak mengarahkan kecurigaan pada rhinopharingitis, walaupun
pemeriksaan inspeksi pharynx belum dapat dilakukan karena pasien tidak
kooperatif.
Pada pemeriksaan genital tidak didapatkan phimosis, sehingga untuk
sementara tidak mengarah pada kecurigaan infeksi pada saluran kemih,
tetapi perlu dilakukan

pemeriksaan urin rutin untuk menyingkirkan

kemungkinan infeksi dari saluran kemih.


Pemeriksaan neurologis pasien dalam batas normal. Termasuk tanda
meningeal sehingga hal ini dapat menyingkirkan kemungkinan suatu
infeksi pada intrakranial.
3. Penatalaksanaan :
Pengobatan kasus ini terutama adalah pengobatan kuratif, yang
bertujuan dalam eradikasi kuman penyebab infeksi. Serta pemberian

edukasi kepada keluarga dalam pencegahan kejang berulang. Fokal infeksi


dapat berasal dari saluran napas, saluran kencing, saluran pencernaan,
maupun sistem lainnya.
Penatalasanaan awal pasien ini adalah mondok di bangsal neurologi
karena kejang pada pasien merupakan kejang yang pertama. Selanjutnya di
bangsal pasien diberikan tatalaksana dengan :
Penatalasanaan pasien ini adalah mondok di bangsal neurologi,
dengan :
1

Diet

nasi

lauk

1300

kkal/hari

sesuai

dengan

perhitungan

recommended dietary allowences


2

Infus Ringer Lactate 48 cc/jam untuk menjaga keseimbangan cairan


dan elektrolit agar tidak terjadi kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit. Antisipasi ini karena pada demam potensi kehilangan cairan
meningkat sejalan dengan meningkatnya metabolisme basal pada
pasien.

Paracetamol tab 3x120 mg untuk menangani demam. Karena kejang


yang terjadi pada pasien disebabkan oleh demam, mengatasi demam
merupakan salah satu tatalaksana agar kejang tidak berulang.
Dosis anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali, diberikan maksimum 6 kali

Injeksi Diazepam 0,3 mg/kgBB ~ 4 mg iv pelan (dalam waktu 3-5


menit) jika kejang. Penggunaan diazepam merupakan lini pertama
dalam menangani kejang. Pemilihan terapi melalui intra vena karena
pada saat di bangsal pasien direncanakan pemasangan infus, sehingga
pemberian obat anti kejang (diazepam) akan lebih cepat dan mudah
melaui Intravena, dengan bolus pelan kecepatan maksimal 2mg/menit.
Dosis diazepam intravena: 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan
kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 20 mg.

Diazepam 4 mg per oral jika suhu >38,5 o C untuk memutus rantai


kejang agar tidak terjadi kejang berulang. Pemberian per oral karena
terapi diazepam ini untuk pencegahan kejang pada saat pasien demam
tinggi, diberikan per oral karena pada saat tidak kejang pemberian

diazepam per oral masih dapat dilakukan dan pencegahan timbulnya


efek samping depresi pernapasan juga lebih dapat dihindari.
Dosis diazepam oral: 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam.
6

Monitoring keadaan umum dan tanda vital setiap 8 jam untuk


memantau kadaan pasien yang berpotensi menimbulakan kejang,
terutama pemantauan suhu tubuh pasien.

Penilaian balans cairan dan diuresis setiap 8 jam untuk menilai


keseimbangan cairan tubuh pasien tidak kurang maupun tidah
berlebihan.

Edukasi kompres hangat untuk membantu mengatasi demam pada


pasien.

Edukasi kepada orang tua pasien sebagai pengasu sehari-hari tentang:


Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya memiliki prognosis
yang baik

Memberitahukan cara penangan kejang di rumah, yaitu: (1) tetap


tenang dan tidak panik; (2) kendorkan pakaian yang ketat terutama
disekitar leher; (3) bila tidak sadar, posisikan anak terlentang
dengan kepala miring, bersihkan muntahan atau lendir di mulut
atau hidung, walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut; (4) ukur suhu, observasi dan
catat lama dan bentuk kejang; (5) tetap bersama pasien selama
kejang; (6) berikan diazepam rektal (10mg/2,5mL), boleh diulang
setelah 5 menit, tetapi jangan diberikan bila kejang telah berhenti;
serta (7) bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung
5 menit atau lebih.

Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali

Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi


harus diingat adanya efek samping obat

10

BAB V
PEMBAHASAN OBAT
A. Antipiretik: Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen adalah obat yang penting dengan efek
analgesik antipiretik dan telah digunakan sejak tahun 1893. Di Indonesia, obat ini
tersedia sebagai obat bebas sehingga tidak memerlukan resep dokter untuk
memperolehnya14. Kemampuan obat parasetamol yang efektif dalam mengurangi
rasa sakit (analgesik) dan menurunkan demam (antipiretik) juga sudah dikenal
secara luas9.
Sebagai obat analgesik antipiretik, parasetamol berbeda dengan obat anti
inflamasi non steroid/AINS (aspirin, ibuprofen, naproxen). Pada dosis yang
dianjurkan, parasetamol lebih aman dibandingkan AINS dan tidak menimbulkan
efek samping seperti gangguan pada perut maupun perdarahan. Namun
penggunaan parasetamol yang tidak sesuai dengan dosis anjuran dapat
menyebabkan kerusakan hepar, mulai dari kelainan fungsi hati pada tes darah,
gagal hati akut bahkan kematian9.
1. Rumus Bangun

Gambar 4. Rumus Bangun Paracetamol dan Fenasetin


Gugus Aminobenzen itulah yang memberikan efek antipiretik9,14.
2. Farmakodinamik
Parasetamol memiliki efek analgesik yang serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti pada sakit

kepala, nyeri sendi, nyeri haid, dan mialgia. Keduanya menurunkan suhu
tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti
salisilat.
Parasetamol menghambat biosintesis prostaglandin dengan lemah.
Hambatan

prostaglandin

ini

hanya

terjadi

bila

kadar

peroksid di

lingkungannya rendah, yaitu di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya


banyak mengandung peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan
mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. Selain itu, efek
iritasi, erosi, perdarahan lambung, gangguan pernapasan, dan gangguan
keseimbangan asam basa juga tidak terlihat pada parasetamol8,14
3. Farmakokinetik
Parasetamol diberikan per oral dan diabsorbsi secara cepat dan sempurna
melalui saluran cerna. Absorbsi ini tergantung pada kecepatan pengosongan
lambung. Konsentrasi tertinggi pada plasma dicapai dalam waktu jam dan
waktu paruh plasma antara 1-3 jam. Pada jumlah toksik atau pada penyakit
hati, waktu paruhnya bisa meningkat dua kali lipat atau lebih.
Parasetamol tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma 25%
parasetamol terikat oleh protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim
mikrosom hati. Sebagian parasetamol (80%) dikonjugasi dengan asam
glukoronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu, obat ini
juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi
melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar
dalam bentuk terkonjugasi8,14
4. Nama Paten
Alphamol, Biogesic, Bodrexin demam, Contratemp, Cupaol, Dumin,
Farmadol, Fasgo Forte, Fevrin, Pamol, Panadol biru, Sanmol, Sanmol tablet,
Pyrex, Pyridol.
5. Sediaan
Tablet 500 mg dan sirup yang mengandung 120/5ml. Selain itu
parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet
maupun cairan8.

6. Dosis
Dosis untuk dewasa

: 300 mg-1g per kali, dengan maksimum 4 g per hari

Anak 6-12 tahun

: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2 g/hari.

Anak 1-6 tahun

: 60-120 mg/kali, diberikan maksimum 6 kali

Bayi di bawah 1 tahun: 60 mg/kali, diberikan maksimum 6 kali14


7. Mekanisme Kerja
Mekanisme aksi utama dari parasetamol adalah hambatan terhadap
enzim siklooksigenase (COX), dan selektif menghambat COX-2. Meskipun
mempunyai efek antipiretik dan analgesik dan antiinflamasi yang lemah. Pada
beberapa sumber waktu paruh dari paaracetamol adalah 1-3 jam atau 2,5
jam8,14,16.
8. Absorbsi

Onset dari paracetamol kurang dari 1 jam dengan waktu paruh sekitar 13 jam.

Paracetamol cepat diabsorpsi di saluran pencernaan, juga diabsorpsi


secara baik dari membrane mukosa rectum.

9. Distribusi dan Metabolisme


Paracetamol didistribusikan secara luas dalam cairan tubuh dan dengan
mudah.
10. Eksresi
Setelah paracetamol dimetabolisme oleh liver, lalu dieksresi oleh

ginjal

dan dalam jumlah kecil pada air susu ibu (ASI). Paracetamol, aman untuk
wanita hamil dan anak-anak.
11. Indikasi
Meredakan demam dan nyeri yang ringan sampai sedang yang
disebabkan oleh berbagai hal, post-Immunisation Pyrexia.
12. Kontra Indikasi
Alergi terhadap paracetamol, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta
pasien dengan ketergantungan terhadap alkohol.
13. Efek Samping
Mual, hipersensitivitas, ruam pada kulit, acute renal tubular necrosis,
discrasia darah (seperti

thrombocytopenia,

agranulocytosis), dan kerusakan liver.

leucopenia,

neutropenia,

B. Antikonvulsan: Diazepam
Penggunaan obat golongan benzodiazepin masih menjadi pilihan utama
dalam mengatasi kejang karena awitan kerja obat cepat dan mempunyai efek
samping yang relatif kecil

11,13, 15

. Penanganan pasien kejang di Departemen Ilmu

Kesehatan Anak (RS Dr. Cipto Mangunkusumo) Jakarta menggunakan diazepam


rektal apabila akses vena belum terpasang10,11.

Penggunaan diazepam rektal

mempunyai beberapa kelemahan, antara lain obat sering keluar kembali


bersamaan dengan feses, memerlukan tehnik tertentu dalam pemberian obat, dan
rasa enggan orangtua jika memberikan obat melalui jalur ini terutama jika pasien
sudah menginjak usia remaja12.
1. Rumus Bangun

Gambar 5. Rumus Bangun Diazepam


2. Farmakodinamik
Sistem pembuluh darah
Diazepam dengan dosis 0,5-1 mg/kg iv untuk induksi anestesi memberikan
efek minimal terhadap penurunan tekanan darah sistemik, curah jantung,
dan tahanan pembuluh darah sistemik yang dipantau pada saat pasien
tertidur. Meskipun efek hipotensi jarang terjadi, pemberian diazepam harus
hati-hati pada pasien dengan tekanan darah rendah dan pasien usia tua.
Sistem saraf pusat
Diazepam berikatan dengan gamma-amino butyric acid (GABA) reseptor
sehingga menurunkan aktifitas neuron di sistem limbik, thalamus dan
hipotalamus yang mengakibatkan efek sedasi dan anti cemas.
Sistem Pernafasan
Diazepam, sama seperti golongan benzodiazepin yang lain, memberikan
efek minimal terhadap ventilasi dan sirkulasi sistemik. Diazepam
mengakibatkan efek depresan yang minimal pada ventilasi dengan
peningkatan PaCO2. Efek depresan ini tidak terjadi pada pemakaian obat

sampai dosis 0,2 mg/kg intravena. Kombinasi diazepam dengan obat


depresan CNS lain (opioid, alkohol ) atau pada pasien dengan penyakit
obstruksi saluran nafas kronis dapat mengakibatkan perpanjangan depresi
ventilasi8,17.
3. Farmakokinetik
Diazepam (N-demethylated) merupakan golongan benzodiazepin yang
larut dalam lemak. Diazepam cepat diabsorbsi dari saluran gastrointestinal
pada saat pemberian secara oral (penyerapan diazepam lebih dari 90%),
dengan konsentrasi puncak sekitar 60-90 menit pada dewasa tetapi lebih cepat
15 sampai 30 menit pada anak-anak.
Diazepam pada pemberian injeksi intravena segera didistribusi ke otak
walaupun efeknya baru terlihat beberapa menit kemudian. Kadar diazepam
turun karena adanya redistribusi, tetapi sedasi sering muncul lagi setelah 6-8
jam akibat adanya absorbsi ulang diazepam yang dibuang melalui empedu.
Masa paruh diazepam memanjang dengan meningkatnya usia, kira-kira 20 jam
pada usia 20 tahun, dan kira-kira 90 jam pada usia 80 tahun. Sehingga
pemberian diazepam jangka lama tidak memerlukan koreksi dosis. Masa kerja
diazepam tidak berhubungan dengan reseptor tetapi ditentukan laju
metabolisme dan eliminasi obat.
Diazepam pada prinsipnya dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati
dengan menggunakan jalur N-demethylasi. Dua metabolit utama diazepam
adalah

desmethyldiazepam

dan

oxazepam.

Desmethyldiazepam

dimetabolisme lebih lambat dibandingkan oxazepam. Pengaruh metabolit ini


seperti mengantuk sekitar 6-8 jam setelah pemberian diazepam. Resirkulasi
enterohepatik dapat mengakibatkan terjadinya efek sedasi yang berulang.
Konsentrasi plasma diazepam secara klinis signifikans dan dapat diperkirakan
cepat perubahannya sebagai konjugat asam glukoronat.
Masa paruh eliminasi diazepam lambat sekitar 21 sampai 37 jam. Sirosis
hati berhubungan dengan peningkatan masa paruh eliminasi diazepam. Masa
paruh eliminasi diazepam juga meningkat cepat dengan penambahan usia
karena

peningkatan

sensitivitas

pasien

terhadap

efek

sedasi

obat.

Perpanjangan masa paruh eliminasi diazepam dengan sirosis hati berhubungan


dengan penurunan8,17.

4. Nama Paten
Valium, Stesolid rectal tube
5. Bentuk Sediaan Obat
Tablet : 2mg; 5mg
Rectal tube : 5mg/2,5mL dan 10mg/2,5mL
Injeksi : 5mg/mL
6. Dosis
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/KgBB setiap 8 jam pada saat demam.
Diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5
mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak di bawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas 3
tahun.
Diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 12 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg
7,14

7. Mekanisme Kerja
tmax = 1,5-2jam
t = 20-50 jam
8. Metabolisme
Diazepam dimetabolisme di hati dan terikat pada reseptor di daerah
spinal cord, serebelum, sistem limbik dan korteks serebral.
9. Indikasi
Obat anti cemas, sedatif-hipnotic, dan obat anti kejang, ansietas atau
insomnia, tambahan pada putus alkohol akut, status epileptikus, kejang
demam, spasme otot.
10. Efek Samping
Rasa kantuk, kelelahan dan ataksia, trombosis vena dan flebitis pada
tempat penyuntikan

SSP : kebingungan, depresi, disarthria, sakit kepala, hipoaktiviti, melantur


berbicara, sinkop, tremor, vertigo, mual, inkontinensia, perubahan libido,
retensi urin
Kardiovaskuler : bradikardia, kolaps kardiovaskuler, hipotensi
Kulit : urtikaria, ruam kulit
11. Interaksi Obat
Simetidin dapat menghambat P-450 enzim mikrosom hati dan dapat
memperpanjang waktu paruh eliminasi diazepam. Efek sedasi dapat
meningkat pada pemberian simetidin dengan diazepam dibandingkan
pemberian tunggal diazepam.
Pemberian

diazepam

bersamaan

dengan

nitrous

oxide

dapat

mengakibatkan depresi otot jantung dan menurunkan tekanan darah sistemik.


Diazepam juga memperpanjang efek obat anti epilepsi lain seperti
fosfofenitoin17.
C. Infus: Ringer Laktat
Ringer Laktat merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan
pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai
replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati
menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis
metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan
sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai
cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah
terjadinya ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3
mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L.
Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menjaga
keseimbangan

cairan

dan

elektrolit

agar

tidak

terjadi

kejang

akibat

ketidakseimbangan elektrolit. Antisipasi ini karena pada demam potensi

kehilangan cairan meningkat sejalan dengan meningkatnya metabolisme basal


pada pasien.
Bila larutan RL tidak tersedia maka dapat digunakan larutan NaCL0,9%,
akan tetapi kehilangan bikarbonat dan kalium tidak terganti. Larutan dekstrosa
sebaiknya tidak digunakan karena tidak mengandung elektrolit, sehingga tidak
dapat mengganti kehilangan elektrolit dan mengkoreksi asidosis. Selain itu,
larutan dekstrosa juga kurang efektif untuk mengatasi hipovolemia.

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Kejang demam sederhana merupakan bangkitan kejang yang sering terjadi
pada anak berusia di atas 1 bulan karena suatu proses ekstrakranial ketika suhu
tubuh tinggi (suhu rektal di atas 38C), di mana tidak terdapat infeksi SSP,
gangguan elektrolit akut, dan riwayat kejang tanpa demam sebelumnya. Kejang
demam disebut kejang demam kompleks apabila kejang lamanya >15 menit dan
berulang.
Kejang demam sederhana memerlukan tata laksana segera dan tepat, baik
dengan farmakoterapi maupun non-farmakoterapi. Prognosis sangat ditentukan
oleh rangkaian tata laksana yang dilakukan.
B. Saran
Sebagai seroang tenaga medis, sebaiknya tidak hanya memberikan
tatalaksana dari aspek farmakoterapi saja untuk kasus kejang demam sederhana
ini karena kasus ini memerlukan tata laksana non-farmakoterapi, terutama dengan
edukasi kepada orang tua sebagai pengasuh anak sehari-harinya mengenai seluk
beluk kejang demam sederhana hingga dapat mengenali tanda-tandanya dan dapat
mengatasi secara dini di rumah serta dapat segera mencari pertolongan ke rumah
sakit apabila penanganan dini di rumah tidak berhasil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. 2000. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak


Nelson, Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. XXVII :
2059 2060.
2. Hendarto S. K. (2006). Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSCM,
Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran. 57: 6 8.
3. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. (2005). Neurologi
Anak, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media
Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. pp: 48, 434 437.
4. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. (2006)
Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi
Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, pp: 1 14.
5. Saharso Darto (2006) Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. pp: 271 273.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985 : 25, 847 855.
7. IDAI (2006). Konsensus Penatalaksaan Kejang Demam. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI
8. Katzung BG (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi ke 8. Jakarta:
Salemba Empat, pp: 485-486
9. Lutter RW (2009). How to Address The Public Health Problem of Liver
Injury Related to The Use of Acetaminophen in Both Over- The-Counter
(OTC) and Prescription (Rx) Products. Washington: FDA
10. Mangunatmadja I (2002). Kejang pada anak. Dalam: Trihono PP, Syarif DR,
Hegar B, Gunardi H, penyunting. Hottopics in pediatrics II. Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI XLV. Jakarta18-19
Februari; 2002. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, h. 245-61.
11. Rosenow F, Arzimanoglou A, Baulac M (2002). Recent development in
treatment of status epilepticus: a review. Epileptic Disord; 4:S1-11.

12. Tendean S, Pusponegoro DH, Madiyanto B (2007). Perbandingan Efektivitas


Pengobatan Lorazepam Bukal Dengan Diazepam Rektal dalam Tata Laksana
awal Kejang pada Anak. Sari Pediatri 8 (4): 265-9.
13. Widodo DP (2006). Algoritme penatalaksanaan kejang akut dan status
epileptikus pada bayi dan anak. Dalam: Pusponegoro HD, Handryastuti S,
Kurniati N., penyunting. Pediatric neurology and neuroemergency in daily
practice. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI
XLIX. Jakarta 27-28 Maret 2006. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia, h. 63-9.
14. Wilmana PF dan Gan S (2007). Analgesik-Antipiretik Analgesik AntiInflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S.,
Setiabudy, R., dan Elysabeth, eds. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.
15. Young CC, Prielipp RC (2001). Benzodiazepines in the intensive care unit.
Crit Care Clin; 17:843-62.
16. Castanyer PB, Barcelo MB, Puiiguriguer FJ, Rovira IM, Soy MD (2007).
Clinical value of estimated half-life in paracetamol poisoning as a
complement to Rumacks nomogram. Medical Clinic of Barcelona;
129(20):765-771.
17. Muharrami V (2013). Perbandingan tingkat sedasi Klonidin syrup 2
mcg/kgBB dengan Diazepam syrup 0,4 mg/kgBB sebagai premedikasi pada
pasien anak yang menjalani pembedahan dengan general anastesi. Repository
USU. pp: 24-25.

Anda mungkin juga menyukai