Anda di halaman 1dari 2

Judul: Frontliner yang Sebenarnya Bukanlah Kami Tim Medis, tapi Kalian yang Berada di Luar

Cover: “Keputusan saya untuk menjadi dokter yang terjun langsung menangani pasien covid
19 sempat membuat teman-teman di sekitar saya berpendapat bahwa saya adalah orang
yang tidak berpikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan”
Narasi 1: Sebagai seorang dokter saya merasa cemas, sedih, dan kaget
Nama saya Parada Jiwanggana, akrab dipanggil wangga atau dokter wangga, karena saya
bekerja sebagai dokter. Awalnya saya tidak mengira kalau covid 19 akan mewabah di
Indonesia, karena menurut pendapat ahli saat itu, Indonesia memiliki iklim yang tropis dan
termasuk daerah yang cukup panas. Ketika covid 19 mulai menyebar sekitar bulan februari-
maret respon saya sebagai seorang dokter tentu cemas, sedih dan kaget juga. Saat
mendengar covid 19 sudah mewabah di Indonesia, muncul keinginan dari diri sendiri untuk
terjun langsung menangani pasien covid 19, karena dengan cara inilah saya dapat ikut
berjuang dengan Indonesia untuk melawan virus ini.
Narasi 2: Siap untuk Mempertaruhkan Nyawa bagi Indonesia
Awalnya saya mencari informasi tentang dimana RS yang membutuhkan tim medis dalam
penanganan pasien covid 19, karena waktu itu Jakarta adalah salah satu kota dengan jumlah
pasien terbanyak yang positive covid 19, sampai saya mendapat informasi kalau wisma atlit
sedang membuka recruitment tim medis akhirnya saya berniat mendaftar disana. Namun
ketika mengisi form lamaran, ternyata kuota sudah penuh dan dibuka beberapa minggu lagi.
Ternyata dalam waktu menunggu, saya mendengar bahwa RS di Solo tempat saya bekerja
yaitu RS UNS menjadi RS rujukan pasien covid 19, dan akhirnya sayapun mendaftarkan diri
sebagai dokter yang terjun langsung dalam menangani pasien covid 19. Saya menganggap
bahwa ini merupakan tantangan untuk saya dan kontribusi saya kepada Indonesia ketika
sedang mengalami masa pandemi
Narasi 3: Di Pandang sebagai Orang yang Tidak Berpikir Panjang oleh Teman, namun Di
Dukung oleh Keluarga
Keputusan saya untuk menjadi dokter yang terjun langsung menangani pasien covid 19
sempat membuat teman-teman di sekitar saya berpendapat bahwa saya adalah orang yang
tidak berpikir panjang dalam mengambil sebuah keputusan. Meski sempat mendapat stigma
seperti itu, saya bersyukur karena pihak keluarga sangat mendukung sepenuhnya dan
berharap saya dapat menjadi berkat bagi orang lain. Bentuk nyata dukungan keluarga
adalah mulai dari yang tidak kelihatan yaitu doa hingga yang kelihatan, misalnya orang tua
sering mengantar jamu jahe temulawak jinten, vitamin-vitamin, makanan ke Solo, dan kalau
pulang ke rumah juga dimasakin makanan-makanan bergizi. Selain keluarga, saya bersyukur
karena tidak mengalami penolakan, dikucilkan atau stigma negatif dari tetangga. Waktu
heboh kasus covid 19 di Solo sekitar bulan Juni dan gak bisa pulang tetangga saya bilang ke
orang tua “nanti kalau mas wangga pulang tak buatke bakso ya” soalnya ada tetangga saya
yang juragan bakso
Narasi 4: 6-8 Jam berada di Medan Perang
Saya mendapatkan jadwal jaga pasien covid dan menggunakan perlengkapan APD selama 6-
8 jam. Selama 6-8 jam itu saya merasakan panas, sesak, sulit bernafas, pusing, menahan
tidak makan, tidak minum dan menahan BAK (Buang Air kecil) juga, namun karena ini adalah
komitmen dan kemauan dari awal, saya melakukannya dengan sepenuh hati. Ketika melihat
pasien yang membaik dan sembuh merupakan sebuah semangat yang baru bagi saya.
Waktu lalu saya mendapatkan pasien seorang bapak dan anaknya, kondisi bapaknya
semakin baik, namun kondisi anaknya semakin buruk hingga meninggal dunia, saat itu juga
kondisi bapaknya ikut memburuk juga, saya sangat sedih. Itulah rasa campur aduk yang saya
alami selama berada di medan perang. Antara mempertaruhkan diri sendiri dan merawat
orang lain.
Narasi 5: toleransi saat ini bukan lagi membahas tentang perbedaan suku, agama, atau ras
namun bagaimana cara untuk saling menjaga
Saya hanya berpesan supaya orang-orang di luar sana tetap mematuhi protokol kesehatan,
ga papa kalau mau keluar rumah, asalkan tetap pakai masker, jaga jarak dan hindari
kerumunan, cuci tangan dan jaga kesehatan dengan olah raga dan makan makanan bergizi.
Hal itu sudah sangat membantu kami para tim medis, frontliner yang sebenarnya adalah
kalian yang sedang berada di luar sana, bukan kami. Kami tim medis tahu bagaimana cara
merawat orang yang terkena covid 19, tapi orang-orang yang berada di masyarakatlah yang
seharusnya lebih waspada karena berhadapan langsung dengan virus yang sedang mewabah
namun tidak terlihat. Toleransi saat ini bukan lagi perkara yang membahas suku, agama,
sara atau perbedaan, toleransi saat ini adalah bagaimana cara kita menjaga diri sendiri dan
tidak menulari orang lain agar tidak terkena covid 19.

Anda mungkin juga menyukai