Anda di halaman 1dari 13

KEJANG DEMAM

PADA ANAK

Diana Indriani, dr
NIP : 198001262010012011

RUMAH SAKIT KHUSUS IBU DAN ANAK


KOTA BANDUNG
MARET
2013
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang
tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat .
Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan
gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga menimbulkan hipoksia pada
jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan adanya gejala sisa di kemudian hari.

Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana kejang,
ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah
pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa. Sifat
kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula
lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai
diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran
kepandaian.Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi.

Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan sembuh
tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling lazim pada
masa anak, dengan prognosa baik secara seragam . Penanganan kejang demam sampai saat
ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya
penggunaan obat untuk profilaksis rumat. Dengan latar belakang tersebut, penyusun merasa
perlu untuk mengangkat kejadian kejang demam ini dalam sebuah referat.

1.2 Tujuan Penulisan

a. Mengetahui tinjauan umum mengenai kejang demam.

 b. Mengetahui tentang bagaimana patofisiologi serta etiologi terjadinya kejang demam.

c. Mengetahui bagaimana manifestasi klinik kejang demam.

d. Mengetahui cara penatalaksanaan saat terjadi maupun sesudah terjadinya kejang demam.
BAB II
TINJAUAN UMUM KEJANG DEMAM
2.1 Definisi

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium . Kejang demam ini
terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan ± 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam .
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam . Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus
dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitisatau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam   karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat .

2.2 Epidemiologi

Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan


dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira ± kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 ± 23
bulan). Kejang demam sedikit lebih sering pada laki ± laki.

2.3 Faktor Resiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam . Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik . Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah . Setelah kejang
demam pertama, kira ± kira 33 % anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan
kira - kira 9 % anak akan mengalami tiga kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi
meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul,
temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga
epilepsi .
2.4 Klasifikasi

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang
tidak  berulang dalam waktu 24 jam . Kejang demam sederhana merupakan 80 % diantara
seluruh kejang demam . Suhu yang tinggi merupakan keharusan pada kejang demam
sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri, akan tetapi oleh kenaikan suhu yang
tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya pada radang telinga tengah yang akut, dan
sebagainya.

Bila dalam riwayat penderita pada umur - umur sebelumnya terdapat periode - periode
dimana anak menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka
pada kejang yang terjadi kemudian harus berhati - hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya . Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika suhu
sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui
sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang tiba - tiba
merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang.

Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik
-klonik seperti kejang grand mal; kadang - kadang hanya kaku umum atau mata mendelik
seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam waktu 16 jam
meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak, dalam hal ini juga kejang
demam sederhana masih mungkin. 

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

Kejang dengan salah satu ciri berikut :

1. Kejang lama lebih dari 15 menit


2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam .

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8
% kejang demam . Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari,
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16 % diantara anak
yang mengalami kejang demam .
2.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain
misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. 

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6 % - 6,7 %. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.

2. Bayi antara 12 ± 18 bulan dianjurkan.

3. Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin.

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya


kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari
6 tahun atau kejang demam fokal.

d. Pencitraan

Foto X ± ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT ± scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti :

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema
2.6 Diagnosis Banding

Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :

1. Meningitis

2. Ensefalitis

3. Abses otak 

4. Dan lain ± lain.

Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak) . Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber
infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat
antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.

2.7 Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian.
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal.
Kejang yang lebih dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit,
diduga  biasanya telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap . Apabila tidak diterapi
dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi :
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %. Umumnya
terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi
3.Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar  

\
BAB III

PATOFISIOLOGI DAN ETIOLOGI KEJANG DEMAM

3.1 Patofisiologi Kejang Demam

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru -  paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dankonsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na ± K ± ATPase
yang terdapat pada permukaan sel .
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1 o C akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang
anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan
dengan orang dewasa yang hanya15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi
dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter
dan terjadilah kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah
terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40 oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah, sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.
Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan
mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia . Kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan meningkatnya
aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan
neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan
peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.Kerusakan pada
daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama
dapat menjadi ³matang´ di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsy yang spontan.
Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
sehingga terjadi epilepsi.

3.2 Etiologi Kejang Demam


Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasanatas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
 
BAB IV
MANIFESTASI KLINIK KEJANG DEMAM

Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila
suhu tubuh (dalam) mencapai 39 o C atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik ± klonik
lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca
kejang. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi, seperti mata terbalik ke atas dengan
disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab
organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika
demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di rumah sakit, tanggung jawab dokter yang
paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan meningitis.
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8 %
berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit,
anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparese
sementara yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama
dapat diikuti hemiparese yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih
sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
 
BAB V
PENATALAKSANAAN KEJANG DEMAM
5.1 Penatalaksanaan Saat Kejang

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena.

Dosis diazepam intravena adalah 0,3- 0,5 mg/kgBB perlahan - lahan dengan


kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 - 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3- 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum
berhenti diberikan fenitoin secara intravena dalam NaCl 0,9 % dengan dosis awal 10 -
20mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 - 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal.

Bisa juga diberikan fenobarbital 20mg/kgbb dengan kecepatan < 50mg/kgbb/menit.


Jika kejang berhenti, !2 jam kemudian diberikan Fenobarbital dosis rumatan 4-8
mg/kg/bb/hari dibagi dalam 2 x pemberian.

Bila dengan fenitoin/fenobarbital kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

5.2 Pemberian Obat Pada Saat Demam

a. Antipiretik 

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya


kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan.
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 - 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan
tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 - 10 mg/kgBB/kali, 3 - 4 kali sehari.

b. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut cukup
tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25 % - 39 %
kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.

5.3 Edukasi Pada Orang Tua

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :

a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. 

b. Memberitahukan cara penanganan kejang.

c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.

 
BAB VI
KESIMPULAN

1. Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektaldiatas 38 o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam ini
terjadi pada2 ± 4 % anak berumur 6 bulan ± 5 tahun.
2. Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat kejang
demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus dan kadar natrium rendah.
3. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) berlangsung singkat, kurang dari 15
menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam.
4. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) adalah kejang dengan salah satu
ciri berikut : a. Kejang lama lebih dari 15 menit. b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau
kejang umum didahului kejang parsial. c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
5. Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
6. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis.
7. Diagnosis banding dari kejang demam adalah meningitis, ensefalitis, abses otak.
8. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal.
9. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
10. Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering
disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih.
11. Saat kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang
diberikan secara intravena Dosis diazepam intravena adalah 0,3 - 0,5 mg/kgBB perlahan –
lahan dengan kecepatan 1 - 2 mg/menit atau dalam waktu 3 - 5 menit, dengan dosis maksimal
20 mg.
12. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mguntuk berat badan lebih dari 10 kg.
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15.Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 ± 2060.
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran
No. 27.1982 : 6 ± 8.
3. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita
SelektaKedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia,
Jakarta.2000 : 48, 434 ± 437.
4. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
PenatalaksanaanKejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2006 :1 ± 14.
5. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
IlmuKesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 ± 273.
6. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
KesehatanAnak FKUI Jakarta. 1985 : 25, 847 ± 855.
7. Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak FK UNPAD. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Bagian FK UNPAD Bandung, 2012

Anda mungkin juga menyukai