Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam merupakan suatu keadaan peningkatan suhu tubuh diatas 38ºC. Apabila suhu tubuh
mencapai 41ºC maka disebut dengan hipertermi atau hiperpireksia. Demam menjadi salah satu
respon adanya infeksi atau peradangan dalam tubuh, dimana hal tersebut menjadi alasan bagi
orangtua segera membawa anaknya kepelayanan kesehatan terdekat. 12 Demam yang terlalu tinggi
pada anak dapat membuat anak mengalami kejang atau umumnya disebut dengan kejang
demam.13

Kejang demam merupakan masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada masa anak-anak
di antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. World Health Organisation (WHO) menyatakan
lebih dari 21,65 juta jiwa anak di dunia mengalami kejang demam sementara 216 ribu anak
meninggal dunia.14 Angka kejadian kejang demam pada rentang usia 6-36 bulan di Amerika
mencapai 1,5 juta jiwa. Di Eropa tercatat sebanyak 2-4% kejadian kejang demam, sedangkan di
Jepang sebesar 8,8% dan India 5-10% tercatat tiap tahunnya. Di wilayah Asia angka kejadian
kejang demam tercatat lebih tinggi dari Negara yang lain yaitu sebesar 80-90% kasusnya adalah
kejang demam sederhana. Berdasarkan hasil laporan Kemenkes RI tahun 2019, di Indonesia
angka kejadian kejang demam tercatat sebesar 14.252 penderita.15

Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Pada
kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat dan hanya sekali dalam 24 jam. Kejang
demam kompleks adalah kejang fokal, kejang yang lama yaitu lebih dari 15 menit atau berulang
dalam 24 jam.

Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia, riwayat
keluarga, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan
bayi berat lahir rendah).
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya
0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Walaupun prognosis kejang demam baik,
bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya. Kejang demam juga dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat
akademik.
Pemberian antipiretik tanpa disertai pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah
tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering
digunakan adalah diazepam, fenobarbital, asam valproat dan fenitoin.

1.2 Batasan Penulisan


Penulisan case report ini dibatasi mengenai kejang demam, mencakup definisi, epidemiologi,
etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, manfestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, prognosis dan
komplikasi.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan grand case ini adalah membahas mengenai kejang demam, mencakup
definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, klasifikasi, manfestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, prognosis dan komplikasi.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan grand case ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan dari berbagai
literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C ,dengan metode pengukuran suhu apa
pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam bukan merupakan akibat
dari infeksi sistem saraf pusat ataupun ketidakseimbangan metabolik apapun dan tidak ada
riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.1,2

2.2 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana
Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya berhubungan dengan demam,
berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Tidak ada efek jangka
panjang dari mengalami kejang demam simpleks baik satu kali ataupun lebih. Sebagian besar
kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1,2,3

b. Kejang demam kompleks


Merupakan kejang demam dengan salah satu dari ciri berikut: kejang lama (berlangsung
lebih dari 15 menit), kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial, kejang berulang dalam 24 jam.1,2,3

2.3 Epidemiologi
Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan puncak insiden
pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat secara neurologis akan
mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang demam, biasanya merupakan kejang
demam simpleks.1,2 Anak berumur antara 1 - 6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi yang berusia
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi kejang demam melainkan termasuk ke
dalam kejang neonatus. Kejang demam sangat bergantung pada umur, 85% kejang pertama
sebelum usia 4 tahun, terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang demam sederhana merupakan
80% dari seluruh kejang demam. 20-30% kejang demam sederhana berpotensi menjadi kejang
demam kompleks. Di Asia, prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di
Eropa dan Amerika. Di Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% - 9,9%. Demam yang terjadi
paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran napas atas. Kejang yang paling sering terjadi
adalah kejang yang bersifat umum dan jenisnya didominasi oleh kejang tonik-klonik. 4,5,6

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor risiko kejang demam pada anak adalah:7
a. Demam, yang dapat disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, infeksi saluran
pencernaan, infeksi telinga, hidung, dan tenggorok (THT), infeksi saluran kemih, roseola
infantum/infeksi virus akut lainnya, dan pascaimunisasi.
b. Usia, yaitu usia 6 bulan-6 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 17-23 bulan. Kejang
demam sebelum usia 5-6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi SSP. Kejang demam di
atas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure plus (FS+)
c. Gen. Risiko akan meningkat 2-3x bila saudara kandung mengalami kejang demam.
Risiko akan meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam.
d. faktor resiko intrauterine juga mempengaruhi kejang demam karena kurangnya berat lahir
dan kehamilan kurang bulan.

2.5 Patogenesis Kejang Demam pada Anak


Otak memerlukan energi untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel yang diperoleh
dari proses metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme yang terpenting adalah glukosa melalui
proses oksidasi. Proses tersebut akan menghasilkan CO2 dan air.8
Sel dilapisi oleh suatu membran yang bersifat lipoid pada permukaan dalam dan ionik
pada permukaan luar. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit lainnya, kecuali
ion klorida (Cl-). Akibatnya, konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na +
rendah sedangkan kondisi di luar sel neuron pada kondisi sebaliknya. Perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel menyebabkan adanya perbedaan potensial yang disebut
sebagai potensial membran sel neuron. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan
sel.8
Keseimbangan potensial membran ini dapat berubah pada beberapa kondisi. Penyebab
pertama adalah adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Selain itu, perubahan
juga dapat terjadi akibat rangsangan mendadak yang datang, misalnya mekanis, kimiawi atau
aliran listrik, dan sebagainya. Penyebab lainnya adalah perubahan patofisiologi dari membran
sendiri karena penyakit atau keturunan8
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron. Dalam waktu singkat, ion kalium maupun
ion natrium akan berdifusi melalui membran sel sehingga lepasnya muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik sangat besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membran tetangganya
dengan bantuan neurotransmiter dan kejang terjadi.8
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda. Kejang pada seorang anak
ditentukan oleh tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Kejang demam berulang lebih sering
terjadi pada anak ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita mengalami kejang.8

2.6 Manifestasi Klinis


Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberikan
reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beeberapa menit atau detik terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti dengan hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd)
yang berlangung beberapa jam hingga beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti
oleh heiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering pada kejang
demam pertama.9

2.7 Diagnosis
Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang lengkap dan
pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam sering terjadi sebagai
akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes Virus, Shigella, ataupun infeksi
lainnya.2,4
a. Anamnesis
• Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
• Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala ISPA, ISK,
OMA, dll)
• Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
• Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang menyebabkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang
dapat menyebabkan hipoglikemia)3
b. Pemeriksaan Fisik
• Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
• Suhu tubuh: apakah terdapat demam
• Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Laseque
• Pemeriksaan nervus kranial
• Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
• Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
• Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patologis3

c. Pemeriksaan Penunjang
• Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia <12 bulan. Kemungkinan meningitis
harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena kejang merupakan tanda mayor dari
meningitis pada 13-15% anak. Usia 12-18 bulan masih dianjurkan lumbal pungsi karena gejala
klinis meningitis masih belum jelas, sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan dapat dilakukan
pemeriksaan rangsang meningeal untuk mendiagnosis apakah kejang disertai dengan meningitis
atau tidak. Pertimbangkan lumbal pungsi pada anak yang tidak diketahui status imunisasi HiB
atau Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.1,2,4
• EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali bila terdapat kejang
fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi
lebih lanjut. EEG tidak dapat memprediksi rekurensi dari kejang demam ataupun epilepsi bahkan
jika ditemukan hasil yang abnormal. EEG dilakukan atau diulangi dua minggu atau lebih setelah
kejang demam. EEG dilakukan pada kasus yang dicurigai adanya epilepsi dan digunakan untuk
menentukan tipe epilepsi, bukan memprediksi rekurensinya.1,2,4
• Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, dan hitung darah
lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam simpleks pertama.
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam karena bakteri merupakan penyebab terbanyak yang menimbulkan kejang demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah Evaluasi gula darah harus dilakukan pada anak dengan prolonged postictal
obtundation atau anak dengan intake per oral yang sedikit. Pada anak dengan klinis dehidrasi,
pemeriksaan seum elektrolit harus dilakukan. Rendahnya kadar natrium berhubungan dengan
tingginya rekurensi kejang demam dalam 24 jam pertama.1,2,8
• Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam simpleks
pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila terdapat indikasi seperti anak dengan evaluasi
neurologi yang abnormal, hemiparesis, atau paresis nervus kranialis. Sekitar 11% anak dengan
status epileptikus febris, biasanya mengalami edema hipokampus unilateral akut, yang kemudian
dapat menjadi atrofi hipokampus.1,2

2.8 Diagnosis Banding


Infeksi SSP dapat disingkirkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan cairan
serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang menimbulkan hemiparesis hingga
sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam. Malaria
juga dijadikan salah satu diagnose banding.8,9

2.9 Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan tidak panik.
Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak sadar, posisikan anak
miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg. Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit.1,2
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Algoritma tatalaksana kejang ditunjukkan oleh gambar 2.1.1

b. Tatalaksana saat Demam


• Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.1,2
• Antikonvulsan Intermieten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat
Gambar 2.1 AlgoritmaTatalaksana Kejang akut dan status epileptikus9
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali
(5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam
pertama demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.1,2
• Antikonvulsan rumatan
Pemberian antikonvulsan rumatan hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka
pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi
serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam
2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.1,2
Terapi tersebut dapat dapat mengurangi, tapi tidak menghilangkan kemungkinan rekurensi
kejang demam. Defisiensi besi berhubungan dengan peningkatan risiko kejang demam, sehingga
skrining keadaan tersebut serta memberikan tatalaksana sebaiknya dilakukan.1,2

c. Indikasi rawat3
• Kejang demam kompleks
• Hiperpireksia
• Usia dibawah 6 bulan
• Kejang demam pertama kali
• Terdapat kelainan neurologis
2.10 Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi
pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan
terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut
menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama. 1

Gambar 2.2 Faktor Risiko Rekurensi Kejang Demam2

Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang mengalami episode
pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode kejang demam, dan pada 50% anak
dengan onset kejang demam dibawah usia 1 tahun. Gambar 2.2 menunjukkan faktor risiko
rekurensi kejang demam, dimana jika tidak memiliki faktor risiko sama sekali risiko berulang
sekitar 12%, dengan satu faktor risiko 25-50%, dua faktor risiko 50-59%, tiga atau lebih faktor
risiko 73-100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang demam, hanya
sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi
dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi dikemudian hari ditunjukkan oleh gambar 2.3.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang
demam.1,2

Gambar 2.3 Faktor risiko kejadian epilepsi setelah kejang demam2


Hampir setiap tipe epilepsi dapat didahului oleh kejang demam, dan beberapa sindroma
epilepsi secara khas diawali dengan kejang demam, yaitu generalized epilepsy with febrile
seizures plus (GEFS+); Dravet syndrome; dan pada kebanyakan pasien, epilepsi lobus temporal
sekunder akibat sklerosis mesial temporal. 2
GEFS+ merupakan sindroma autosomal dominan dengan fenotip yang sangat bervariasi.
Onset biasanya pada masa kanak-kanak awal dan remisi biasanya pada pertengahan masa kank-
kanak. GEFS+ ditandai dengan kejang demam multipel, dan beberapa kejang selanjutnya yang
merupakan kejang umum tanpa demam, termasuk kejang tonik klonik umum, kejang absen,
kejang myoklonik, kejang atonik, atau kejang mioklonik astatik, dengan berbagai derajat
keparahan.2
Sindroma Dravet merupakan fenotip epilepsi-terkait kejang demam yang paling berat.
Onsetnya dikarakteristikkan dengan kejang klonik unilateral dengan ataupun tanpa demam
berulang setiap 1 atau 2 bulan. Kejang awalnya diinduksi oleh demam, namun berbeda dengan
kejang demam biasanya dimana kejang ini lebih lama, lebih sering, dan juga fokal. Kejang
kemudian mulai terjadi dengan suhu demam yang lebih rendah, dan kemudian terjadi tanpa
demam. Sindrom ini biasanya disebabkan oleh mutasi de novo, terkadang diwariskan secara
autosomal dominan namun sangat jarang. Gen yang mengalami mutasi sama dengan gen pada
GEFS+. Kebanyakan pasien dengan kejang demam prolonged dan pasien dengan ensefalopati
vaksin kemudian akan mengalami mutasi Sindrom Dravet.2

Anda mungkin juga menyukai