PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada masa anak-anak
di antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. World Health Organisation (WHO) menyatakan
lebih dari 21,65 juta jiwa anak di dunia mengalami kejang demam sementara 216 ribu anak
meninggal dunia.14 Angka kejadian kejang demam pada rentang usia 6-36 bulan di Amerika
mencapai 1,5 juta jiwa. Di Eropa tercatat sebanyak 2-4% kejadian kejang demam, sedangkan di
Jepang sebesar 8,8% dan India 5-10% tercatat tiap tahunnya. Di wilayah Asia angka kejadian
kejang demam tercatat lebih tinggi dari Negara yang lain yaitu sebesar 80-90% kasusnya adalah
kejang demam sederhana. Berdasarkan hasil laporan Kemenkes RI tahun 2019, di Indonesia
angka kejadian kejang demam tercatat sebesar 14.252 penderita.15
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Kejang demam
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Pada
kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat dan hanya sekali dalam 24 jam. Kejang
demam kompleks adalah kejang fokal, kejang yang lama yaitu lebih dari 15 menit atau berulang
dalam 24 jam.
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia, riwayat
keluarga, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan
bayi berat lahir rendah).
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya
0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian
berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Walaupun prognosis kejang demam baik,
bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tuanya. Kejang demam juga dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat
akademik.
Pemberian antipiretik tanpa disertai pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah
tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering
digunakan adalah diazepam, fenobarbital, asam valproat dan fenitoin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C ,dengan metode pengukuran suhu apa
pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam bukan merupakan akibat
dari infeksi sistem saraf pusat ataupun ketidakseimbangan metabolik apapun dan tidak ada
riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.1,2
2.2 Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana
Merupakan kejang umum, biasanya tonik klonik, serangannya berhubungan dengan demam,
berlangsung maksimum 15 menit, dan tidak berulang dalam 24 jam. Tidak ada efek jangka
panjang dari mengalami kejang demam simpleks baik satu kali ataupun lebih. Sebagian besar
kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.1,2,3
2.3 Epidemiologi
Kejang demam sering terjadi pada usia 6 bulan hingga 5 tahun dengan puncak insiden
pada usia 18 bulan. Sebanyak 2% - 5% bayi dan anak yang sehat secara neurologis akan
mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode kejang demam, biasanya merupakan kejang
demam simpleks.1,2 Anak berumur antara 1 - 6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului
demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi yang berusia
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi kejang demam melainkan termasuk ke
dalam kejang neonatus. Kejang demam sangat bergantung pada umur, 85% kejang pertama
sebelum usia 4 tahun, terbanyak antara usia 17-23 bulan. Kejang demam sederhana merupakan
80% dari seluruh kejang demam. 20-30% kejang demam sederhana berpotensi menjadi kejang
demam kompleks. Di Asia, prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di
Eropa dan Amerika. Di Jepang, kejang demam terjadi sekitar 8,3% - 9,9%. Demam yang terjadi
paling banyak disebabkan oleh infeksi saluran napas atas. Kejang yang paling sering terjadi
adalah kejang yang bersifat umum dan jenisnya didominasi oleh kejang tonik-klonik. 4,5,6
2.7 Diagnosis
Setiap anak dengan kejang demam membutuhkan penggalian riwayat yang lengkap dan
pemeriksaan umum dan neurologis yang menyeluruh. Kejang demam sering terjadi sebagai
akibat dari otitis media, infeksi roseola dan Human Herpes Virus, Shigella, ataupun infeksi
lainnya.2,4
a. Anamnesis
• Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
• Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala ISPA, ISK,
OMA, dll)
• Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
• Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang menyebabkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang
dapat menyebabkan hipoglikemia)3
b. Pemeriksaan Fisik
• Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran
• Suhu tubuh: apakah terdapat demam
• Tanda ransang meningeal: Kaku kuduk, Brudzinski I dan II, Kernig, Laseque
• Pemeriksaan nervus kranial
• Tanda peningkatan tekanan intrakranial: UUB menonjol, papil edema
• Tanda infeksi diluar SSP: ISPA, OMA, ISK, dll
• Pemeriksaan neurologis: tonus, motorik, reflek fisiologis, reflek patologis3
c. Pemeriksaan Penunjang
• Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi direkomendasikan untuk anak usia <12 bulan. Kemungkinan meningitis
harus dipikirkan sebagai diagnosis banding karena kejang merupakan tanda mayor dari
meningitis pada 13-15% anak. Usia 12-18 bulan masih dianjurkan lumbal pungsi karena gejala
klinis meningitis masih belum jelas, sedangkan pada anak diatas usia 18 bulan dapat dilakukan
pemeriksaan rangsang meningeal untuk mendiagnosis apakah kejang disertai dengan meningitis
atau tidak. Pertimbangkan lumbal pungsi pada anak yang tidak diketahui status imunisasi HiB
atau Streptococcus pneumonia.
Indikasi lumbal pungsi:
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.1,2,4
• EEG
Elektroensefalografi tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali bila terdapat kejang
fokal untuk menentukan ada atau tidaknya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi
lebih lanjut. EEG tidak dapat memprediksi rekurensi dari kejang demam ataupun epilepsi bahkan
jika ditemukan hasil yang abnormal. EEG dilakukan atau diulangi dua minggu atau lebih setelah
kejang demam. EEG dilakukan pada kasus yang dicurigai adanya epilepsi dan digunakan untuk
menentukan tipe epilepsi, bukan memprediksi rekurensinya.1,2,4
• Laboratorium Darah
Laboratorium darah (elektrolit serum, kalsium, fosfor, magnesium, dan hitung darah
lengkap) tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam simpleks pertama.
Pemeriksaan laboratorium dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam karena bakteri merupakan penyebab terbanyak yang menimbulkan kejang demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit,
dan gula darah Evaluasi gula darah harus dilakukan pada anak dengan prolonged postictal
obtundation atau anak dengan intake per oral yang sedikit. Pada anak dengan klinis dehidrasi,
pemeriksaan seum elektrolit harus dilakukan. Rendahnya kadar natrium berhubungan dengan
tingginya rekurensi kejang demam dalam 24 jam pertama.1,2,8
• Neuroimaging
CT ataupun MRI tidak direkomendasikan untuk anak dengan kejang demam simpleks
pertama. Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila terdapat indikasi seperti anak dengan evaluasi
neurologi yang abnormal, hemiparesis, atau paresis nervus kranialis. Sekitar 11% anak dengan
status epileptikus febris, biasanya mengalami edema hipokampus unilateral akut, yang kemudian
dapat menjadi atrofi hipokampus.1,2
2.9 Tatalaksana
a. Tatalaksana saat kejang
Apabila anak kejang, maka yang pertama dilakukan adalah tetap tenang dan tidak panik.
Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher. Bila anak tidak sadar, posisikan anak
miring. Bila terdapat muntah, bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah tergigit, jangan memasukkan
sesuatu kedalam mulut. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg. Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang
belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit.1,2
Apabila saat pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat
untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5
mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Algoritma tatalaksana kejang ditunjukkan oleh gambar 2.1.1
c. Indikasi rawat3
• Kejang demam kompleks
• Hiperpireksia
• Usia dibawah 6 bulan
• Kejang demam pertama kali
• Terdapat kelainan neurologis
2.10 Prognosis dan Komplikasi
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi
pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan
terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut
menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama. 1
Kejang demam akan berulang kembali pada sekitar 30% anak yang mengalami episode
pertama kejang demam, 50% setelah dua atu lebih episode kejang demam, dan pada 50% anak
dengan onset kejang demam dibawah usia 1 tahun. Gambar 2.2 menunjukkan faktor risiko
rekurensi kejang demam, dimana jika tidak memiliki faktor risiko sama sekali risiko berulang
sekitar 12%, dengan satu faktor risiko 25-50%, dua faktor risiko 50-59%, tiga atau lebih faktor
risiko 73-100%.1,2
Walaupun sekitar 15% anak dengan epilepsi pernah mengalami kejang demam, hanya
sekitar 2-7% anak yang mengalami kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi
dikemudian hari. Faktor risiko kejadian epilepsi dikemudian hari ditunjukkan oleh gambar 2.3.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%,
kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang
demam.1,2