Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam merupakan bangkitan yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
mencapai > 38 - 38,9 ̊C) dapat terjadi karena proses ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada
balita berumur 6 bulan - 5 tahun sebanyak 2 - 4% dan paling sering terjadi pada balita usia
17-23 bulan.2
Kejang demam anak perlu diwaspadai karena kejang yang lama (≥ 15 menit) dapat
menyebabkan kematian 0,64-0,74%, kerusakan saraf otak sehingga menjadi epilepsi,
kelumpuhan bahkan retardasi mental. Hasil pengamatan Livingston (2008) diantara 201
pasien kejang demam sederhana 6 orang (3%) menderita epilepsi, sedangkan diantara 297
pasien dengan epilepsi yang diprovokasi oleh demam 276 orang (93%) menderita epilepsi.
Biasanya antara usia 3 bulan sampai 5 tahun, sekitar 2-5% balita pernah mengalami kejang
demam sebelum usia 5 tahun.2
Setiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi
rendahnya suhu seorang anak. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejadian
kejang terjadi pada suhu 38-38,9 ̊C, sedangkan balita dengan ambang kejang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu 40 ̊C atau lebih. Pengobatan segera atau terapi sangat penting, jika
tidak dilakukan kambuhnya kejang semakin tinggi, sekitar sepertiga pasien kejang demam
akan mengalami kekambuhan sebesar 44% pada pasien yang tidak diobati.9
Bila kejang sering berulang dan berlangsung lama (lebih dari 5 menit), bisa
mengakibatkan kerusakan sel-sel otak akibat terhambatnya aliran oksigen ke otak. Hal ini
dapat menyebabkan epilepsi berbeda-beda. Menurut Livingstone (2008) dari golongan kejang
demam sederhana sekitar 2,9 % yang dapat menyebabkan epilepsi dan golongan epilepsi
yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi. Dengan penanggulangan yang
tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian.9

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium . Kejang demam ini
terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus
dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan
dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki.

2.3 Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.

2.4 Faktor Resiko


Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak

2
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi. Faktor resiko terjadinya epilepsi di
kemudian hari yaitu adanya gangguan neurodevelopmental, kejang demam kompleks,
riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang
demam kompleks. Berikut beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam:
1. Faktor Demam
Demam yang terjadi pada anak paling sering disebabkan oleh infeksi virus sekitar
80%. Perubahan kenaikan temeperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang
kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal
ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% dan akan
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan
menyebabkan hipoksia jaringan termasuk otak.
2. Faktor Usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase, yakni: 1) neurulasi, 2) perkembangan
prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural, 5) organisasi, dan 6) mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun- tahun
pertama pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap
organisasi sampai mielnisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan
apabila mengalamai bangkitan kejang.
3. Faktor Riwayat Keluarga
Belum dapat dipastikan carapewarisan sifat genetic terkait dengan kejang demam.
Namun tampaknya pewarisan gen autosomal dominan yang paling banyak ditemukan.
Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60-80%. Apabila salah satu orang
tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam, mempunyai risiko
untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua
penderita tersebut mempunyai riwayat kejang demam maka risiko untuk terjadinya
bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59-64%, tetapi sebaliknya jika kedua
orang tua tidak memiliki riwayat dengan kejang demam makan risiko terjadi
bangkitan kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah, yaitu 27% berbanding 7%.

3
4. Faktor Prenatal
Usia saat ibu hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan.
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan. Komplikasi kehamilan dapat mengakibatkan prematuritas,
bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan maupun partus lama. Keadaan tersebut
dapat menyebabkan janin dengan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan
iskemia yang mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai.
5. Faktor Perinatal
Asfiksia dan perdarahan intrakranial merupakan komplikasi dari trauma persalinan.
Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya
menimbulkan kejang.
6. Faktor Pascanatal
Risiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada
sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila
serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Selain infeksi pada SSP, trauma
kepala atau cedera kepala memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat
akut dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul
dikemudian hari dengan gejala sisa neurologic parese nervus cranialis, serta cerebral
palsy dan retardasi mental. Pada penelitian yang dilakukan di New York Amerika,
dilaporkan bahwa anak dengan kejang demam ditemukan bukti bahwa cedera kepala
memicu kejadian kejang demam pada anak sebanyak 20,6%. Hasil penelitian lain
dikemukakan bahwa kemungkinan besar terjadinya kejang demam berasal dari faktor
keluarga dekat, cedera kepala dan kelahiran prematur.

2.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO 2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid

4
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K +) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat
pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. 
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya. 
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur
3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah,
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang. Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan
mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin

5
meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi.

2.6 Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak  berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan
keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri,
akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya
pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat
penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode - periode dimana anak
menderita suhu yang sangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka pada
kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika
suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang
tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik –
klonik seperti kejang grand mal; kadang – kadang hanya kaku umum atau mata
mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam
waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak,
dalam hal ini juga kejang demam sederhana masih mungkin. 

6
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut
 Kejang lama lebih dari 15 menit.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8 % kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi,
atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang demam.

2.7 Manifestasi Klinik


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang tidak disebabkan oleh infeksi susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.
Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan,
yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).

7
Modifikasi kriteria Livingston:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. 

2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :

8
 Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
 Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
 Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis
tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

4. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT –
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti :
 Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
 Paresis nervus VI
 Papiledema

2.9 Diagnosis Banding


Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
3. Abses otak 

Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak) . Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber
infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat
antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.

9
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau
dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat
diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti
diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan
fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam, apakah
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Obat Pada Saat Demam


1. Antipiretik 
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 –
10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan. 

10
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25
% - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.

3. Pemberian Obat Rumat


Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu) :
 Kejang lama > 15 menit.
 Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
 Kejang fokal.
 Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
 Kejang demam > 4 kali per tahun.

Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau
fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik. 

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat


Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap
hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar  pada 40 % - 50 % kasus.
11
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam
1 – 2 dosis.

2.10.1 Edukasi Pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik. 
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.

2.10.2 Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang


a. Tetap tenang dan tidak panik. 
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

2.10.3 Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.

12
Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian.

2.11 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kejang yang lebih
dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit, diduga biasanya
telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap. Apabila tidak diterapi dengan baik,
kejang demam dapat berkembang menjadi :
 Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %.
Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
 Epilepsi
Resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
 Kelainan motorik 
 Gangguan mental dan belajar  
b. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga 
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam


adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya

13
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.

Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :


a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama. 
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi


sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

BAB III

14
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : NKNPW
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 1 tahun 8 bulan
Alamat : Br. Menesa, Darmasaba
Agama : Hindu
Suku : Bali
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Belum bekerja
Status : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 7 Juli 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Kejang.

Keluhan Tambahan
Demam, pilek.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Badung Mangusada pada tanggal 7 Juli 2018. Pasien
diantar oleh orang tuanya dikeluhkan mengalami kejang di rumah. Kejang pertama kali
dalam hidupnya. Kejang dengan tangan dan kaki menghentak hentak, mata mendelik ke atas.
Kejang hanya 1 kali dan terjadi selama kurang lebih 10 menit. Pasien juga dikeluhkan
mengalami demam dan pilek sejak 2 hari yang lalu. Demam dirasakan hilang ketika berobat
dengan penurun panas dari dokter namun timbul kembali. Pilek dikatakan kental dengan
sekret berwarna putih. Batuk, diare, muntah, keluar cairan atau infeksi telinga disangkal
orang tua pasien. Gerak anak baik tidak tampak ada kelemahan. Makan dan minum dikatakan
baik. BAB dan BAK dikatakan normal.

Riwayat Pengobatan

15
- Paracetamol sirup

Penyakit Dahulu
Pasien dikatakan tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Riwayat
penyakit kronis seperti diabetes, asma, atau penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien dikatakan tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien.
Keluarga pasien juga menyangkal riwayat penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, asma,
atau penyakit jantung.

Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan.

Riwayat Persalinan
Penderita lahir secara normal ditolong oleh dokter dengan lahir cukup bulan. Berat badan
lahir 2800 gram, panjang badan 45 cm, lingkar kepala dikatakan lupa oleh orang tua pasien.
Saat lahir, pasien dikatakan segera menangis dan dikatakan tidak ada kelainan.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Pasien
a. Kesan umum : baik
b. Kesadaran : compos mentis
c. GCS : E4V5M6
d. Nadi : 125 x/menit
e. Laju respirasi : 24 x/menit
f. Suhu aksila : 39,00C
g. BB : 11 kg

Status Generalis
a. Kepala : normocephal, ubun ubun datar
b. Mata : sclera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), isokor
c. THT

16
 Telinga : kesan tenang
 Hidung : secret (+), napas cuping hidung (-)
 Tenggorokan: faring hiperemi (-)
d. Mulut : sianosis (-) kering (-) bibir mencong (-)
e. Leher : pembesaran kelenjar (-)
f. Thoraks : simetris (+), retraksi (-)
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesicular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
h. Ekstremitas: hangat + + edema - -
+ + - -

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Lengkap (7/7/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 24.17 10e3/uL 5.50-17.50
NEU 76.4 % 17.0-60.0
LYM 15.6 % 20.0-70.0
MONO 7.1 % 1.0-11.0
EOS 0.0 % 1.0-5.0
BASO 0.9 % 0.0-1.0
RBC 4.87 10e6/uL 3.60-5.70
HGB 13.1 g/dL 10.7-14.7
HCT 38.9 % 31.0-43.0
MCV 79.8 fL 72.0-102.0
MCH 26.9 pg 23.0-31.0
MCHC 33.7 g/dL 26.0-34.0
RDW 10.9 % 11.5-14.5
PLT 282 10e3/uL 217-553
MPV 5.3 fL 9.0-13.0

3.5 Diagnosis Kerja


Kejang Demam Sederhana

3.6 Penatalaksanaan
- MRS
- IVFD D5 ½ NS 8 tpm
- Paracetamol sirup 3xcth I

17
- Amoxicillin sirup 3xcth I
- Luminal 2x30 mg (pulv)

Monitoring
 Di ruangan 8/7/2018
S Demam (+), kejang (-)
O Tax: 380C
N: 100 x/mt
RR: 24x/mt

Mata : anemis -/-, icterus -/-


THT : faring hiperemi (-)
Thorax
- Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
- Pulmo : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat +/+, CRT < 2 detik
A Kejang Demam Sederhana
P IVFD D5 ½ NS 8 tpm
Paracetamol sirup 3xcth I
Amoxicillin sirup 3xcth I
Luminal 2x30 mg (pulv)

 Di ruangan 9/7/2018
S Demam (+), kejang (-), makan minum (+) baik
O Tax: 37,50C
N: 100 x/mt
RR: 22x/mt

Mata : anemis -/-, icterus -/-


THT : faring hiperemi (-)
Thorax
18
- Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
- Pulmo : vesikular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat +/+, CRT < 2 detik
A Kejang Demam Sederhana + Suspek Bronkopneumoni
P IVFD D5 ½ NS 8 tpm
Paracetamol sirup 3xcth I
Ampicillin 3x400 mg
Luminal 2x30 mg (pulv)
Thorax foto

 Di ruangan 10/7/2018
S Demam (-), kejang (-), makan minum (+) baik
O Tax: 360C
N: 100 x/mt
RR: 22x/mt

Mata : anemis -/-, icterus -/-


THT : faring hiperemi (-)
Thorax
- Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
- Pulmo : vesikular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat +/+, CRT < 2 detik
A Kejang Demam Sederhana + Suspek Bronkopneumoni
P IVFD D5 ½ NS 8 tpm
Paracetamol sirup 3xcth I k/p demam
Ampicillin 3x400 mg
Luminal 2x30 mg (pulv)
Konsul hasil x ray
DL ulang besok

 Di ruangan 11/7/2018
S Demam (-), kejang (-), makan minum (+) baik
O Tax: 36,50C
N: 100 x/mt
19
RR: 22x/mt

Mata : anemis -/-, icterus -/-


THT : faring hiperemi (-)
Thorax
- Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
- Pulmo : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat +/+, CRT < 2 detik
A Kejang Demam Sederhana + Pneumonia
P IVFD D5 ½ NS 8 tpm
Paracetamol sirup 3xcth I k/p demam
Ampicillin 3x400 mg
Luminal 2x30 mg (pulv)
BPL

Darah Lengkap 11/7/2018


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 7.29 10e3/uL 5.50-17.50
NEU 27.4 % 17.0-60.0
LYM 57.9 % 20.0-70.0
MONO 9.1 % 1.0-11.0
EOS 4.0 % 1.0-5.0
BASO 1.6 % 0.0-1.0
RBC 5.25 10e6/uL 3.60-5.70
HGB 14.0 g/dL 10.7-14.7
HCT 42.0 % 31.0-43.0
MCV 80.1 fL 72.0-102.0
MCH 26.7 pg 23.0-31.0
MCHC 33.4 g/dL 26.0-34.0
RDW 10.8 % 11.5-14.5
PLT 271 10e3/uL 217-553
MPV 5.5 fL 9.0-13.0

Hasil Bacaan X Ray Thorax AP

20
- Pneumoniae
- Lymphadenopaty parahilar bilateral
- Cor: bentuk, letak dan ukuran dalam batas normal
- Sinus costophrenicus dan diapraghm dalam batas normal
- Tulang-tulang costa intak
- Jaringan lunak sekitarnya baik

 Poli Anak 14/7/2018


S Demam (-), kejang (-), makan minum (+) baik
O Tax: 36,60C
N: 100 x/mt
RR: 22x/mt

Mata : anemis -/-, icterus -/-


THT : faring hiperemi (-)
Thorax
- Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
- Pulmo : vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat +/+, CRT < 2 detik
A Follow up Kejang Demam Sederhana + Pneumonia
P KIE

3.7 Prognosis
 Ad Vitam
Dubia ad bonam
 Ad Functionam
Dubia ad bonam

21
 Ad Sanationam
Dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Ilustrasi kasus melaporkan seorang pasien anak perempuan berumur 1 tahun 8 bulan,
datang dengan dikeluhkan mengalami kejang di rumah. Kejang pertama kali dalam
hidupnya. Kejang dengan tangan dan kaki menghentak hentak, mata mendelik ke atas.
Kejang hanya 1 kali dan terjadi selama kurang lebih 10 menit. Pasien juga dikeluhkan
mengalami demam dan pilek sejak 2 hari yang lalu. Demam dirasakan hilang ketika berobat
dengan penurun panas dari dokter namun timbul kembali. Pilek dikatakan cair dengan sekret
bening. Batuk, diare, muntah, keluar cairan atau infeksi telinga disangkal orang tua pasien.
Makan dan minum dikatakan baik. BAB dan BAK dikatakan normal.
Manifestasi klinis yang tampak pada pasien sesuai dengan teori yang disampaikan
pada tinjauan pustaka untuk kejang demam sederhana. Gejala yang dikeluhkan pasien
terdapat kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit. Kejang berbentuk
umum dengan tangan dan kaki menghentak hentak. Kejang tidak  berulang dalam waktu 24
jam. Begitu pula dengan hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
mendukung diagnosis kejang demam sederhana. Pemeriksaan fisik didapatkan suhu tinggi ,
rhonki pada lapang paru dan tidak ditemukan kelainan neurologis. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan kondisi infeksi, yaitu peningkatan WBC pada pemeriksaan darah lengkap dan
juga gambaran pneumonia pada x ray thorax pasien yang mengarah pada infeksi paru yang
menjadi sumber dari penyebab kejang tersebut.

22
Pada penatalaksanaan pasien dilakukan berupa edukasi kepada keluarga pasien
mengenai penyakit yang dialami pasien dan rencana tindakan yang diberikan serta
menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh keluarga pasien. Kejang demam biasanya
berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang
dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB
perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau dalam waktu 3 – 5 menit, dengan
dosis maksimal 20 mg, namun pada pasien ini datang kejang sudah berhenti sehingga terapi
dilanjutkan dengan antipiretik dan antikonvulsan oral. Antipiretik yang digunakan yaitu
parasetamol 3xcth I sedangkan antikonvulsan yang digunakan adalah luminal 2x30 mg
(pulv). Pasien ini juga diberikan antibiotik ampicillin 3x400 mg yang digunakan untuk
pengobatan infeksi parunya.
Pada follow up pasien didapatkan keluhan demam masih dialami pasien pada hari
pertama dan kedua, namun pada hari ketiga dan keempat demam sudah tidak dialami pasien.
Kejang sudah tidak dialami pasien, nafsu makan dan minum baik sehingga pasien dapat
dipulangkan. Secara umum dengan penatalaksanaan kejang demam yang tepat akan
menunjukan prognosis pasien yang baik.

23
BAB V
KESIMPULAN

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium . Kejang demam ini
terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Demam sering disebabkan infeksi
saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Kejang demam dapat dibagi menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.
Penegakan diagnosis kejang demam melalui anamnesis, serta pemeriksaan fisik bila
diperlukan dapat disertai pemeriksaan penunjang. Penanganan yang diberikan yaitu dengan
antikonvulsan dan antipiretik serta edukasi. Penatalaksanaan kejang demam yang tepat dan
cepat akan menunjukan prognosis pasien yang baik.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahtera, T., (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa
Tengah.
2. Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis),
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
3. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27.1982
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia Jilid 1.
6. Mangunatmadja, I., Widodo, D.P., (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana
Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang Kalimantan Barat.
7. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures,
British Columbia Medical Assosiation.
8. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 2006.

25
9. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006.
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985

26

Anda mungkin juga menyukai