Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan
bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk
tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsil. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.1,2
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan
tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan
salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses
retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).3
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada fosa
tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil
merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang
dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara
progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara lain
perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan
nafas.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Abses peritonsil sering disebut sebagai Peritonsillar Abscess (PTA) atau Quinsy adalah
suatu rongga yang berisi nanah didalam jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai hasil dari
tonsillitis supuratif.5
Gambar 1. Dari kiri ke kanan : Abses peritonsil dextra, Abses peritonsil sinistra

ANATOMI dan FISIOLOGI


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina,
tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal.6,7

A) Tonsil Palatina8
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua
sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot
palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi

2
seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring yang dibatasi oleh:
Lateral – muskulus konstriktor faring superior
Anterior – muskulus palatoglosus
Posterior – muskulus palatofaringeus
Superior – palatum mole
Inferior – tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau
kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang
kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.6

Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas
posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar
dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeus.5

Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri maksilaris
eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri
maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan
cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil,
vena lidah dan pleksus faringeal.4

3
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda
(deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus.4

B) Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama
dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu
segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.10

C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di
garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen s ekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkumvalata. 10

2.2 Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis.9 Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang
bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Kebanyakan abses
peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. 5

4
Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus,
influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.

2.3 Epidemiologi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian kepala
dan leher. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika insiden
tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, kemungkinan hampir
45.000 kasus setiap tahun.1

2.4 Patofisilogi
Patofisilogi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsilitis eksudatif pertama
menjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess
formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,
namun jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke
tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral, 9 bila proses terus
berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna,
sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.9
Selain itu, abses peritonsil terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsilitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran dari
infeksi virus Epstein-Barr.11

5
2.5 Manifestasi Klinis
Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari onset gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8
hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat
diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat faringitis
akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin
memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.11
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain demam, disfagia, dan odinofagia yang
menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter menekan
tonsil yang meradang, sakit kepala, rasa lemah, dehidrasi, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral,
mulut berbau (foetor ex orae), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi
menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar
membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral
faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Keparahan
dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan terganggu biasanya akibat
pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring
jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih
menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher
dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).1,8,9

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.
Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang
nyaman pada pharingeal unilateral.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi
terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka
mulut. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum

6
oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong
ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa
supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil.
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan
jaringan dari garis tengah.1 Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke
depan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.
3. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang
mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi
jarum (needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan
lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada
syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organisme penyebab infeksi demi
kepentingan terapi antibiotika.5 Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:6
 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.

7
Gambar 2. Foto lateral soft
tissue

 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di


apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk rencana operasi.

Gambar 3. CT Scan dari Abses peritonsil dextra

8
 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.
Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2% dan spesifitas 78,5%.
Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8%.
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang
lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.

Gambar 4. Ultrasonografi dari abses peritonsil

2.7 Diagnosis Banding


1. Abses retrofaring
2. Abses parafaring
3. Abses submandibula
4. Angina ludovici
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit abses leher dalam
lainnya yang disebutkan diatas. Hal ini karena pada semua penyakit abses leher dalam, nyeri
tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut merupakan keluhan yang paling
umum. Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya, diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.9

2.8 Tatalaksana4,12
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

9
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau
peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang
tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug
of choice pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24
jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg
dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan
selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-
gejala pasien.

10
Gambar 5. Insisi Abses Peritonsil

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion
sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.9
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses
peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.8

Gambar 6. Tonsilektomi

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek


mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik
parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.1

11
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:9
 Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piemia.
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
 Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
 Sekuele post streptokokus seperti glomerulonefritis dan demam rheumatik apabila bakteri
penyebab infeksi adalah Streptococcus Group A.
 Kematian walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheath.
 Peritonsilitis kronis dengan aliran pus yang berjeda.
 Akibat tindakan insisi pada abses, terjadi perdarahan pada arteri supratonsilar.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progresi penyakit. Untuk itulah diperlukan
penanganan dan intervensi sejak dini.

2.10 Prognosis6
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intrakranial juga dapat membahayakan nyawa pasien.
Abses peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka
ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut peradangan telah mereda, biasanya
terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.

12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 33 tahun
Alamat : Rejasa Kaja
Agama : Hindu
Suku : Bali
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 2 Januari 2017

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri menelan sejak 4 hari SMRS.

Keluhan Tambahan
Demam, tidak nyaman saat makan dan minum, bengkak pada leher bagian samping
kanan dan kiri, keluar nanah dari mulut, sulit membuka mulut, nyeri saat menoleh.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Badung Mangusada pada tanggal 1 Januari 2018. Pasien
datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya,
pada tanggal 25 Desember 2018 pasien mengaku mulai demam yang dirasakan naik turun. Pada
tanggal 28 Desember 2017 keluhan disertai nyeri menelan sehingga tidak nyaman saat makan
maupun minum, dan pasien mengaku leher bagian samping kanan dan kiri terasa bengkak.

13
Kemudian pada tanggal tersebut pasien datang ke klinik dan diberikan paracetamol dan obat anti
radang. Pada tanggal 1 Januari 2018 pasien datang kembali ke klinik untuk kontrol, namun
keluhan tidak membaik dan keluar nanah dari mulutnya, keluhan sulit membuka mulut dan nyeri
saat menoleh juga dirasakan pasien. Akhirnya pasien dirujuk ke RSUD Badung Mangusada.
Pasien mengaku sering meludah, dan sering merasakan mulut berbau tidak sedap saat sakit ini.
Keluhan seperti batuk, pilek, nyeri pada kedua telinga disangkal oleh pasien. Pasien mengaku
saat tidur terkadang mengorok. Pasien mengaku tidak ada keluhan BAB, BAK, mapun keluhan
lainnya. Riwayat sakit telinga, dan amandel disangkal oleh pasien.

Penyakit Dahulu
Pasien mengaku tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit
kronis seperti diabetes, hipertensi, asma, atau penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien dikatakan tidak ada yang memiliki keluhan seperti pasien. Keluarga
pasien juga menyangkal riwayat penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, asma, atau penyakit
jantung.

Riwayat Sosial
Pasien mengatakan dirinya merupakan seorang pegawai swasta. Pasien belum
berkeluarga dan tinggal bersama kedua orang tuanya dan 2 orang kakaknya. Riwayat alergi obat
dan makanan pada pasien dikatakan tidak ada. Pasien mengaku merokok namun sesekali
mengkonsumsi alkohol dengan teman – temannya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Pasien
a. Kesan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. GCS : E4V5M6
d. Tekanan darah : 120/80 mmHg
e. Nadi : 88x/menit, regular, isi cukup

14
f. Laju respirasi : 20x/menit
g. Suhu aksila : 38,00C

Status Generalis
a. Kepala : normocephali
b. Mata : sclera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), isokor
c. THT
 Telinga : kesan tenang
 Hidung : konka hiperemis (-/-), sekret (-), septum deviasi (-)
 Tenggorokan: uvula hiperemis terdorong ke arah sinistra, hot potato voice (-), tonsil T3-
T3, mukosa hiperemis (+), regio peritonsiler hiperemis (+), pus (-).
d. Mulut : sianosis (-) kering (-)
e. Leher : pembesaran kelenjar (-)
f. Thoraks : simetris (+)
Cor : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
g. Abdomen : distensi (-), bising usus (+) normal
h. Ekstremitas: hangat + + edema - -
+ + - -

15
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
WBC 21.4 10e3/uL
NEU 16.2
LYM 2.93
MONO 2.12
EOS .073
BASO .176
RBC 6.02 10e6/uL
HGB 14.1 g/dL
HCT 46.6 %
MCV 77.5 fL
MCH 23.4 pg
MCHC 30.2 g/dL
RDW 11.2 %
PLT 386. 10e3/uL
MPV 6.55 fL

3.5 Diagnosis Kerja


Abses peritonsiler dextra

3.6 Penatalaksanaan
MEDIKAMENTOSA (MRS)
- IVFD RL:D5% 1:1 20 tpm
- Ceftriaxone 1x1 gr iv
- Metronidazole 3x500 mg iv
- Ketorolac 3x30 mg iv
- Paracetamol 3x500 mg
NON MEDIKAMENTOSA
- Posisi trendelenburg
- Diit cair/ lunak
- KIE

16
Monitoring
 Ruangan 3/01/2018
S Keluhan nyeri disangkal pasien, os sudah dapat makan
sedikit- sedikit, demam disangkal, leher sudah tidak sakit
dan bengkak.
O Sesuai status THT
A Abses peritonsiler dextra
P Ciprofloxacin 2x500 mg
Metronidazole 3x500 mg
Na diclofenac 2x50 mg
KIE saran untuk dilakukan tindakan tonsilektomi
BPL

Status THT
Telinga : nyeri (-/-), sekret (-/-), membrane timpani intak (+/+), kesan tenang
Hidung : konka hiperemis (-/-), sekret (-), septum deviasi (-), kesan tenang
Tenggorokan : tonsil T3-T3, mukosa hiperemis (+), pus (-)

Follow up
 Poli 18/01/2018
S Nyeri menelan, ngorok
O Sesuai status THT
A Abses peritonsiler dextra
P IVFD NaCl 0,9%
Cefotaxim 1 gr (IV) pre op
Konsul Anestesi

Status THT
Telinga : nyeri (-/-), sekret (-/-), membrane timpani intak (+/+), kesan tenang
Hidung : konka hiperemis (-/-), sekret (-), septum deviasi (-), kesan tenang
Tenggorokan : tonsil T3-T3, hiperemis (-), kripta melebar (+)

 Laporan Operasi

17
Ruang : OK IBS
Tanggal : 19 Januari 2018
Waktu operasi : pukul 14.00-15.00 WITA
Nama operator : dr. IGK Nurada, Sp.THT-KL
Nama asisten : dr. Trisna, dr. Kanjeng, Putu
Nama anastesi : dr. Arya, Sp.An
Nama asisten anestesi : Sudiani
Prosedur :
- Pasien tidur terlentang dibawah pengaruh GA-OTT
- Disinfektan dengan betadin alkohol
- Persempit dengan duk steril
- Mulai insisi pilar atas pole tonsil D/S dengan circle knife antara batas pilar
dan massa tonsil
- Dilanjutkan perlebar dengan respat hingga terlihat pole bawah tonsil D/S
- Evaluasi perdarahan, perdarahan (+) pada sinistra, irigasi
- Evaluasi perdarahan, perdarahan (-)
- Operasi selesai
Terapi post operasi :
- Cefotaxime 2x1 gr
- Asam traneksamat 3x1 gr
- Ketorolac 3x30 mg
- Observasi tanda-tanda perdarahan
- Diit suhu ruangan

 Ruangan 20/01/2018
S Nyeri post operasi
O Sesuai status THT
A Post op tonsilektomi D et S

18
P Cefadroxyl 2x500 mg
Dexamethasone 3x0,5 mg
Asam mefenamat 3x500 mg
Asam traneksamat 3x500 mg
BPL

Status THT
Telinga : nyeri (-/-), sekret (-/-), membrane timpani intak (+/+), kesan tenang
Hidung : konka hiperemis (-/-), sekret (-), septum deviasi (-), kesan tenang
Tenggorokan : tonsil T0-T0, beslag (+)

 Poli 25/01/2018
S Kontrol post op tonsilektomi, nyeri
O Sesuai status THT
A Post op tonsilektomi D et S
P Ciprofloxacin 2x500 mg
Asam mefenamat 3x500 mg

Status THT
Telinga : nyeri (-/-), sekret (-/-), membrane timpani intak (+/+), kesan tenang
Hidung : konka hiperemis (-/-), sekret (-), septum deviasi (-), kesan tenang
Tenggorokan : tonsil T0-T0, beslag (+)

3.7 Prognosis
 Ad Vitam : Dubia ad bonam
 Ad Functionam : Dubia ad bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Badung Mangusada pada tanggal 1 Januari 2018. Pasien
datang dengan keluhan nyeri menelan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai

19
demam naik turun, nyeri menelan sehingga tidak nyaman saat makan maupun minum, dan pasien
mengaku leher bagian samping kanan dan kiri terasa bengkak. Pasien sempat ke klinik namun
keluhan tidak membaik dan keluar nanah dari mulutnya, pasien merasa sulit untuk makan,
keluhan sulit membuka mulut dan nyeri saat menoleh juga dirasakan pasien. Pasien mengaku
sering meludah, dan sering merasakan mulut berbau tidak sedap saat sakit ini. Saat di IGD di
anjurkan untuk masuk rumah sakit dan di berikan cairan RL:D5% 1:1, antibiotik ceftriaxone 1x1
gr, metronidazole 3xx500 mg iv, ketorolac 3x30 mg iv, paracetamol 3x500 mg. Pada tanggal 2
Januari pasien baru mendapatkan ruangan di Janger Timur, pasien mengatakan nyeri menelan
sudah berkurang, tidak demam, dan sakit pada leher sudah berkurang. Pasien di rawat selama 1
hari, kemudian di pulangkan pada tanggal 3 Januari 2018 dan selanjutnya disarankan untuk
kontrol ke poliklinik THT pada tanggal 8 januari 2018.
Keluhan di atas memenuhi dari gejala klinis abses peritonsiler yakni adanya demam atau
febris, disfagia, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang,
trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga
menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering
mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis).
Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula
kontralateral. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik.
Pada pasien ini juga sebaiknya perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin
pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4
x 250-500 mg. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah.

BAB V
KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium
peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya

20
unilateral dan didahului oleh infeksi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses
peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40
tahun. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses
peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.
Gejala pada pasien tersebut memenuhi keriteria diagnosis abses peritonsiler yakni adanya
demam atau febris, disfagia, mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang
meradang, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot,
pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis). Pada
pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Pada pasien ini juga sebaiknya perlu diberikan obat kumur atau berkumur dengan air
hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan juga sudah tepat yakni
sefalosporin 3-4 x 250-500 mg seperti seftriakson, dan juga diberikan metronidazol 3-4 x 250-
500 mg. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah.

21

Anda mungkin juga menyukai