Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Cilegon
yang berjudul HEPATITIS C. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi
tugas yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya mendapat
banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien.
Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang membantu
saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Didiet Pratignyo, SpPDFINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan masukannya dalam menyusun laporan kasus ini. Saya
juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-teman serta
pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu dalam pembuatan laporan kasus ini. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan untuk membuat laporan kasus ini lebih baik. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................ 1
Daftar isi................................................................................................................... 2
Laporan kasus
1. Identitas ...................................................................................................... 3
2. Anamnesis..................................................................................................
3. Pemeriksaan fisik.......................................................................................
4. Pemeriksaan penunjang.............................................................................. 9
5. Diagnosis....................................................................................................
11
6. Diagnosis banding......................................................................................
13
7. Terapi.........................................................................................................
14
8. Prognosis....................................................................................................
14
9. Follow up...................................................................................................
15
Analisa kasus........................................................................................................
19
BAB I PENDAHULUAN.....
26
1. Pendahuluan..............................................................................................
26
27
2.1. Definisi.................................................................................
27
2.2. Epidemiologi.................................................................
27
2.3. Etiologi.......................................................................................
28
2.4. Patogenesis.....................................................................................
29
33
2.6. Diagnosis...
36
2.7. Penatalaksanaan
40
2.8. Komplikasi....
45
2.9. Pencegahan....................................................................................
45
2.10. Prognosis.
46
47
BAB IV KESIMPULAN......................................................................................
48
Daftar Pustaka....................................................................................................... 49
2
PRESENTASI KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
Topik
: Hepatitis C
Penyusun
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. Y
Usia
: 46 tahun
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Agama
: Islam
Alamat
Pendidikan
: SMP
No. CM
: 849***
Pembiayaan
: BPJS
Tanggal Berobat
: 28 Oktober 2015
Ruangan
II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 31 Oktober 2015 di IGD RSUD Cilegon
pukul 13.00 WIB.
o Keluhan Utama:
Nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
o Keluhan Tambahan:
Lemas, pusing, demam dan mual.
Bisul
(-)
Rambut
(-)
Keringat malam
(-)
Kuku
(-)
Ikterus
(-)
Sianosis
(-)
Lain-lain
4
Kepala
(-)
Trauma
(+)
Nyeri kepala
(-)
Sinkop
(-)
Nyeri sinus
(-)
Nyeri
(-)
Sekret
(-)
Radang
(-)
Gangguan penglihatan
(-)
Sklera Ikterus
(-)
(-)
Congjungtiva Anemis
Mata
Telinga
(-)
Nyeri
(-)
Tinitus
(-)
Sekret
(-)
Gangguan pendengaran
(-)
Kehilangan pendengaran
Hidung
(-)
Trauma
(-)
Gejala penyumbatan
(-)
Nyeri
(-)
Gangguan penciuman
(-)
Sekret
(-)
Pilek
(-)
Epistaksis
Mulut
(-)
Bibir
(-)
Lidah
(-)
Gusi
(-)
Gangguan pengecapan
(-)
Selaput
(-)
Stomatitis
(-)
Perubahan suara
Tenggorokan
(-)
Nyeri tenggorok
Leher
5
(-)
Benjolan/ massa
(-)
Nyeri leher
Jantung/ Paru
(-)
Nyeri dada
(+)
Sesak nafas
(-)
Berdebar-debar
(-)
Batuk darah
(-)
Ortopnoe
(-)
Batuk
(-)
Perut membesar
(+) Mual
(-)
Wasir
(-)
Muntah
(-)
Mencret
(-)
Muntah darah
(-)
Melena
(-)
Sukar menelan
(-)
(-)
Benjolan
Rasa kembung
Disuria
(-)
Kencing nanah
(-)
Stranguri
(-)
Kolik
(-)
Poliuria
(-)
Oliguria
(-)
Polakisuria
(-)
Anuria
(-)
Hematuria
(-)
Retensi urin
(-)
Batu ginjal
(-)
Kencing menetes
(-)
Ngompol
(-)
(-)
Perdarahan
(-)
Sukar menggigit
Katamenis
(-)
Leukore
(-)
Lain-lain
Anestesi
(-)
Parestesi
(-)
Ataksia
(-)
Otot lemah
(-)
Hipo/hiper-estesi
(-)
Kejang
(-)
Pingsan / syncope
(-)
Afasia
(-)
Kedutan (tick)
(-)
Amnesis
(-)
Pusing (Vertigo)
(-)
Lain-lain
(-)
Ekstremitas
(-)
(-)
Deformitas
(-)
Nyeri sendi
(-)
Sianosis
: Compos mentis
- Nadi
: 80 kali/menit (92x)
- Respirasi
: 20x kali/menit
- Suhu
: 36,00C
- BB/TB
: tidak ditanyakan
STATUS GENERALIS:
- Kulit
- Kepala
- Rambut
- Alis
- Mata
: Tidak exophthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat
dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan bola mata baik.
- Hidung
: Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret, dan
tidak hiperemis.
- Telinga
: Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak ada
tanda radang, membran timpani intak.
- Mulut
: Bibir tidak sianosis, gigi geligilengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak kotor,
mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis.
- Leher
- Thoraks
: Normal, Simetris kiri dan kanan, tidak terlihat pelebaran vena, tak terdapat
spider nevy.
Paru-paru
Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan dinamis,
perbandingan trasversal : antero posterior = 2:1, tidak terdapat retraksi dan
pelebaran sela iga.
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya krepitasi,
fremitus taktil dan vokal kiri simetri kanan dan kiri.
Perkusi
:Sonor pada seluruh lapangan paru dan terdapat peranjakan paru hati pada sela
iga VI.
Jantung
Inspeksi
Palpasi
: Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, dan tidak terdapat
thrill
Perkusi
: Batas jantung kanan pada ICS IV linea para sternalis dextra, batas jantung kiri
pada ICS V linea midklavikula sinistra, pinggang jantung pada ICS 3
parasternal sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop.
- Abdomen
Inspeksi
: Tampak simetris, tidak tegang, tidak terdapat kelainan kulit, tidak ditemukan
adanya spider nevy. tidak terlihat massa, tidak pelebaran vena, tidak terdapat
caput medusa.
Auskultasi
Palpasi
: Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan pada epigastik dan hipokondrium kiri.
Tidak teraba massa, hepatomegaly (-) splenomegaly (-), Ballotement (-),
Undulasi (-).
Perkusi
- Genitalia
5 5
- Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik, kekuatan otot
5 5
28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hematologi
Hemoglobin
13,1
14 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
40 48 %
6.810
Trombosit
135.000
150.000 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
Leukosit
Fungsi Hati
SGPT
114
0 37 U/l
SGOT
79
0 41 U/l
Natrium
143,6
135-155 mmol/l
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
Elektrolit
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Penunjang:
-
USG
Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
EKG
10
Irama
: Sinus
Axis
: Normal
HR
: 57x/menit reguler
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja: Sindroma Dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C
Dasar diagnosis :
Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 02.00 WIB
dengan keluhan nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut
disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing, demam dan mual. Saat datang ke IGD tekanan
11
darah pasien 160/ 80 mmHg. Pasien mengaku sering merasa kelelahan sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini dan riwayat sakit kuning sebelumnya. Pasien juga
mengaku memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, dengan frekuensi lebih dari 2x dalam
seminggu dan lebih dari 1 botol. Pasien sering melakukan kegiatan donor darah dan tidak pernah
melakukan transfusi darah. Riwayat melakukan free sex juga disangkal oleh pasien. Pasien
mengatakan tidak ada riwayat BAB berwarna hitam namun BAB dirasakan keras dan BAK dalam
batas normal.
Pemeriksaan fisik :
-
Didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium dan daerah hipokondrium sinistra.
Pemeriksaan lab :
Laboratorium :
28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hemoglobin
13,1
5,8
14 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
19,8
40 48 %
6.810
4.240
Trombosit
135.000
107.000
150.000 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
SGPT
114
0 37 U/l
SGOT
79
0 41 U/l
143,6
135-155 mmol/l
PEMERIKSAAN
Hematologi
Leukosit
Fungsi Hati
Elektrolit
Natrium
12
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Penunjang:
-
USG
Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
Alcoholic Hepatitis
Cholangitis
Hemochromatosis
Hepatitis A, B, D, E
Hepatoseluler Karsinoma
Wilson Disease
IGD
ANGGREK
IVFD RL
20 tpm
IVFD RL 20 tpm
Curcuma
3x1 tab
Amlodipin
1x5 mg
Amlodipin 1x5 mg
KSR
2x1 tab
Ranitidin
1 amp
KSR 3x1
Ketorolac
1 amp
Laxadin 2x1 C
IX. Prognosis
- Quo ad vitam
: ad malam
14
FOLLOW UP
1. Rabu, 28 Oktober 2015
TD: 100/70 mmHg
N: 84x/menit
S:
Pasien mengeluhkan
nyeri perut, mual, dan
pusing.
O:
KU: TSS
KS: CM
Kepala: Normocephale
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
THT: dbn
Cor: BJI-BJII regular, G(-),
M(-)
Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (-/-)
Abd: Supel, pelebaran vena (), BU (+), aorta abdominalis
tidak terdengar, shifting
dullness (-), splenomegaly (-),
hepatomegaly (-), undulasi (-),
NT (+) epigastrik.
Eks: Edema kedua tungkai (-),
akral hangat.
R: 20x/menit
S: 36,0 C
A:
Sindroma
dispepsia,
Hipertensi,
Hepatitis C
P:
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ranitidin 1 amp
Inj. Ketorolac 1 amp
Amlodipin 1x 5mg
Curcuma 3x1 tab
KSR 3x1
Ranitidin 2x1 tab
15
O:
KU: TSS
KS: CM
Kepala: Normocephale
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
THT: dbn
Cor: BJI-BJII regular, G(-),
M(-)
Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-)
Abd: Supel, pelebaran vena
(-), BU (+), aorta
abdominalis tidak terdengar,
shifting dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-), undulasi
(-), NT (+) epigastrik.
Eks: Edema kedua tungkai
(-), akral hangat.
R: 20x/menit
S: 36,2 C
A:
Sindroma
dispepsia,
Hipertensi,
Hepatitis C
P:
IVFD RL 20 tpm
Ranitidin 2x1 tab
Curcuma 3x1
Amlodipin 1x5mg
Asam Mefenamat 3x1
EKG
16
R: 20x/menit
S: 36,2 C
A:
Sindroma
dispepsia,
Hipertensi,
Hepatitis C
O:
P:
KU: TSS
IVFD RL 20 tpm
KS: CM
Ranitidin 2x1 tab
Kepala: Normocephale
Curcuma 3x1
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
Amlodipin 1x5mg
THT: dbn
Asam Mefenamat 3x1
Cor: BJI-BJII regular, G(-),
Laxadin 2x1C
M(-)
Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-)
Abd: Supel, pelebaran vena
(-), BU (+), aorta
abdominalis tidak terdengar,
shifting dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-), undulasi (), NT (+) epigastrik.
Eks: Edema kedua tungkai
(-), akral hangat.
USG Abdomen (2 November 2015) :
Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
17
O:
KU: TSS
KS: CM
Kepala: Normocephale
Mata: CA (-/-) SI (-/-)
THT: dbn
Cor: BJI-BJII regular, G(-),
M(-)
Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-)
Abd: Supel, pelebaran vena
(-), BU (+), aorta
abdominalis tidak terdengar,
shifting dullness (-),
splenomegaly (-),
hepatomegaly (-), undulasi
(-), NT (+) epigastrik.
Eks: Edema kedua tungkai
(-), akral hangat.
R: 22x/menit
S: 36,5 C
A:
Sindroma
dispepsia,
Hipertensi,
Hepatitis C
P:
IVFD RL 20 tpm
Ranitidin 2x1 tab
Curcuma 3x1
Amlodipin 1x5mg
Asam Mefenamat 3x1
Laxadin 2x1C
18
ANALISA KASUS
1. Apakah penegakan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?
Ya. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas
sejak 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing,
demam dan mual. Saat datang ke IGD tekanan darah pasien 160/ 80 mmHg. Os juga
memiliki kebiasaan minum alkohol. Pasien sering melakukan kegiatan donor darah dan
tidak pernah melakukan transfusi darah.
TTV (31 Oktober 2015) :
- Kesadaran
: Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit Sedang
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi
: 80 kali/menit
- Respirasi
: 20x kali/menit
- suhu
: 36,00C
- BB/TB
: tidak ditanyakan
Pemeriksaan Fisik :
Didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium dan daerah hipokondrium sinistra.
Pemeriksaan Penunjang:
Laboratorium :
PEMERIKSAAN
28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hematologi
Hemoglobin
13,1
14 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
40 48 %
6.810
Trombosit
135.000
150.000 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
114
0 37 U/l
Leukosit
Fungsi Hati
SGPT
19
79
0 41 U/l
Natrium
143,6
135-155 mmol/l
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
SGOT
Elektrolit
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Radiologi:
-
USG:
Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
20
Menurut Teori:
interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu
laporan hanya 3 bulan.
3. Bagaimana cara penularan Hepatitis C pada pasien ini dan bagaimana perjalanan
penyakit tersebut?
Pada pasien ini cara penularan virus hepatitis C tidak diketahui, karena saat pasien
dianamnesis tentang faktor risiko penularan HCV, tidak didapatkan pencetus penularan
HCV terhadap pasien.
Penularan Hepatitis C biasanya melalui kontak langsung dengan darah atau produknya
dan jarum atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi. Dalam kegiatan sehari-hari banyak
resiko terinfeksi Hepatitis C seperti berdarah karena terpotong atau mimisan, atau darah
menstruasi. Perlengkapan pribadi yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan
virus Hepatitis C (seperti sikat gigi, alat cukur atau alat manicure). Resiko terinfeksi
Hepatitis C melalui hubungan seksual lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih dari
satu pasangan.
Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang terinfeksi Hepatitis C ke bayi yang
baru lahir atau anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika sang ibu juga penderita
HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat lebih memungkinkan. Menyusui tidak
menularkan Hepatitis C. Jika anda penderita Hepatitis C, anda tidak dapat menularkan
Hepatitis C ke orang lain melalui pelukan, jabat tangan, bersin, batuk, berbagi alat makan
dan minum, kontak biasa, atau kontak lainnya yang tidak terpapar oleh darah. Seorang yang
terinfeksi.
Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C
kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu
lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap
akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepatitis C penyebab utama pada transplantasi
hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk
fibrosis, yang menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis.
22
Diet seimbang
kalori 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari
Rendah garam 5.2g atau 90mmol/hari
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot
Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
Pasien diharapkan segara datang kembali apabila ada penurunan kesadaran (koma
hepatikum)
25
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir
semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus meliputi virus
hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV)
dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus tersebut merupakan virus RNA kecuali virus
hepatitis B. Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di
seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian
setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di
Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada
hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua
setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%25,9%).
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah
terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi mengenai infeksi VHC, namun
menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak
adalah berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum penapisan donor
darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan dengan status ekonomi yang
rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak
juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV
karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.
Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC melalui
tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis maupun operasi. Selain
itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang
didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3.
Prevalensi yang tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien
dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC melalui saliva dan
kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya infeksi
dan transmisi VHC.
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. Hepatitis C
2.1. Definisi
Hepatitis C adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel sel hati. Virus ini dapat mengakibatkan
infeksi seumur hidup, sirosis hari, kanker hati dan kematian. Belum ada vaksin yang dapat
melindungi terhadap HCV, dan diperkirakan 3% masyarakat Indonesia terinfeksi virus ini.
2.2. Epidemiologi
Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh
dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap
tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia
menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus
akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis
A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%).
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah
terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi mengenai infeksi VHC, namun
menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi
populasi umum di Jakarta prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak
adalah berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum penapisan donor
darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan dengan status ekonomi yang
rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksid ari ibu ke anak
juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV
karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi.
Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC melalui
tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis maupun operasi. Selain
itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang
didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3.
Prevalensi yang tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien
dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC melalui saliva dan
kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya infeksi
dan transmisi VHC.
27
2.3. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus hepatitis C yang temasuk kelas Flaviviridae genus
hepacivirus dan memiliki selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal.
Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui reseptor yang
mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel hati maupun limfosit B atau
reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati, VHC akan melepaskan selubung
virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan translasi protein dan kemudian replica RNA.
Struktur gen VHC adalah sebuah RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang
basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak
ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk
identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati
yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut. Penularan Hepatitis C
biasanya melalui kontak langsung dengan darah atau produknya dan jarum atau alat tajam
lainnya yang terkontaminasi. Dalam kegiatan sehari-hari banyak resiko terinfeksi Hepatitis
C seperti berdarah karena terpotong atau mimisan, atau darah menstruasi. Perlengkapan
pribadi yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan virus Hepatitis C (seperti sikat
gigi, alat cukur atau alat manicure). Resiko terinfeksi Hepatitis C melalui hubungan seksual
lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih dari satu pasangan.
28
Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang terinfeksi Hepatitis C ke bayi yang
baru lahir atau anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika sang ibu juga penderita
HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat lebih memungkinkan. Menyusui tidak
menularkan Hepatitis C. Jika anda penderita Hepatitis C, anda tidak dapat menularkan
Hepatitis C ke orang lain melalui pelukan, jabat tangan, bersin, batuk, berbagi alat makan
dan minum, kontak biasa, atau kontak lainnya yang tidak terpapar oleh darah. Seorang yang
terinfeksi.
Pada umumnya cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV
dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah
ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan
lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV, yaitu:3,4
1. Penularan horizontal
Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau komponen
produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.
2.Penularan vertikal
Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau penderita Hepatitis C
kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat persalinan.
2.4 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit dilakukan
karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse
yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih
belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukan adanya mekanisme imunologis yang
menyebabkan kerusakan sel sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan
29
reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula
mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini menyebabkan kontroversi apakah
VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi
menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relative lemah
masih mampu merusak sel sel hati dan melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias
menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi limfosit sel
T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2
berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL.
Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti TNF-, TGF-1,
akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel sel
Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini yang sebelumnya dalam keadaan tenang
(quicent) kemudian berpoliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat
menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam
menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus
karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin
banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati
lanjut dan sirosi hati
Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses inflamasi
berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih
lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan
nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk
infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua
kasus inflamasi akibat VHC
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam proses
keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat dilakukan scoring untuk
inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien
maupun komunikasi antara ahli patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi
intra dan interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.
Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan hepatitis C. Tingkatan
tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada hepar antara lain:
0
1
2
3
4
30
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit (sel hati) dan
kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. Sulitnya
membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-primata telah
memperlambat lajunya riset HCV. Namun daur hidup HCV telah dapat dikemukakan seperti
penjelasan dibawah ini:
Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan secara
alur skematis.
1.
HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel
yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein
permukaan CD8 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan
dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai
protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar hepatosit.
2.
Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses
kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya
dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam
hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam
sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya
mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat bahanbahan untuk proses reproduksi.
3.
Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat
lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme
sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk
berfungsi dan berkembang biak.
31
4.
5.
Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2
jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis
kopi virus RNA asli.
6.
Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali)
untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu
bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang
sangat banyak yang merupakan kopi identik materi genetik virus.
7.
8.
Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada jenis virus,
jumlah virus dan faktor dari host.
Perjalanan Alamiah Hepatitis C
Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai sejak virus hepatitis C masuk ke dalam darah
dan terus beredar dalam darah menuju hati, menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel,
lalu berkembang biak. Hati menjadi meradang dan sel hati mengalami kerusakan dan terjadi
gangguan fungsi hati dan mulailah perjalanan infeksi virus hepatitis C yang panjang. Ada 2
mekanisme bagaimana badan menyerang virus. Mekanisme pertama melalui pembentukan
antibodi yang menghancurkan virus dengan menempel pada protein bagian luar virus.
Antibodi ini sangat efektif untuk hepatitis A dan B. tetapi sebaliknya antibodi yang
diproduksi imun tubuh terhadap HCV tidak bekerja sama sekali.
Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dapat menghilangkan virus
tersebut dari tubuhnya secara spontan sayangnya, mayoritas penderita penyakit ini menjadi
kronis. Dienstag telah meneliti 189 kasus hepatitis NANB ternyata dari jumlah tersebut 34%
penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif
dan 18% penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis
kronik aktif dan 18% penderita sirosis hati.
Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C
kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu
lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap
akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepatitis C penyebab utama pada transplantasi
hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk
fibrosis, yang menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis.
32
Hampir semua mortalitas hepatitis C berhubungan dengan komplikasi sirosis hati dan
kanker. Sepertiga dari pasien terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah menjadi sirosis.
Sepertiga dari kasus hepatitis kronik menjadi sirosis dalam waktu 30 tahun dan sebagian
dapat berkembang menjadi kanker hati. Sedangkan sepertiga lagi dalam waktu 20 tahun.
Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang menjadi penyakit
hati menahun. Infeksi HCV dinyatakan kronik jika deteksi RNA HCV dalam darah menetap
sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B.
Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan
kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus.
Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat dibanding
infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup,
meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra
hepatik.
Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang
biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen
planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin
telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan hepatitis C kronik.
Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam empat tahap yaitu:
1. Fase Inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat timbulnya gejala
atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis virus tergantung pada dosis
inokulan yang ditularkan dan jalur penularan. Makin besar dosis inokulan makin pendek fase
inkubasinya.
2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus. Biasanya
ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dana
anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa
kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan aktivitas.
3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan dengan
munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbulnya ikterus
jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan justru akan terjadi perbaikan klinis yang
nyata.
4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi hepatomegali dan
abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu.
Pada 5%-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari
1% yang menjadi fulminan.
Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau bergejala minimal.
Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu setelah terjadinya
paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak
terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.
34
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut didapatkan adanya
gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut karena virus lain. Hepatitis
fulminan sangat jarang terjadi. ALT meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal
tetapi umumnya tidak melebihi 1000U/ liter.
Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis dengan morbiditas
dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab utama sirosis hati, penyakit hati
stadium akhir dan kanker hati. Sering kali proses ini tidak menimbulkan gejala apapun
walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat
jarang terjadi. Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan
terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang terinfeksi
dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak diketahui.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana ALT selalu
normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati bermakna, sedangkan diantara pasien dengan
peningkatan ALT, hamper semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat.
Progesivitas hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain asupan
alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua saat
terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan
frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun
kondisi seperti ini jarang terjadi.
Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk
perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula
mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga
mempersulit pengobatan dengan antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang
menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di
Indonesia, kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat
suntik bergantian.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatic antara
lain crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan,
vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome, lichen planus dan porphyria cutanea tarda.
Patofisiologi manifestasi gejala ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun
dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga
mengganggu respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non Hodgin pada
pasien dengan infeksi HCV.
Infeksi Kronis
Infeksi akan menjadi kronik pada 70 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis
kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat
jarang terjadi. 4 Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat
bervariasi. Diperlukan waktu 20 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi
35
pada 15 20% pasien hepatitis C kronis.5 Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati
tergantung beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B
atau Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya
infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah.1,11 Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko
terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun. Karsinoma hepatoseluler
dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi.
Hepatitis C Fulminan
Hepatitis fulminan jarang terjadi. ALT (alanine amino-transferase) meninggi sampai
beberapa kali diatas batas atas normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L.
Manifestasi Ekstrahepatik
Selain memiliki manifestasi hepatik, ada beberapa manifestasi ektrahepatik HCV yang
penting.
1.
Pada 50% pasien HCV umumnya terdeteksi cryoglobulin pada serum darah,
dancryoprecipitates biasanya mengandung sejumlah besar antigen dan antibodi HCV,
namun hanya sebagian kecil pasien (10-15%) yang memiliki gejala. Gejala-gejala biasanya
terkait dengan vaskulitis, yaitu lemah, atralgia dan purpura.
2.
Membranoproliferative glomerulonephritis
Pada kasus ini, telah terjadi peranan dari persarafan dan otak sehingga gejala yang
timbul lebih berat.
3.
Poliarteritis Nodosa
4.
2.6. Diagnosis
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi yang dibentuk
tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah
infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan
infeksi VHC pada infeksi akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun
tahun (18-20 tahun). Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik
enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah
antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (ns 3,4 dan 5) sehingga tes ini
menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa generasi pemeriksaan antibodi VHC
ini dimana antigen yang digunakan semakin banyak sehingga saat ini generasi III
mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat
dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif
palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada
36
pasien HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada
meraka dengan anti HCV positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat spesifitas dan
sensivitas EIA yang sudah sedemikian tinggi, tes konfirmasi ini tidak diragukan lagi.
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien
terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC
dalam serum maupun dalam hati relative sangat kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi
agar terdeteksi. Teknik polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh
enzyme polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya digunakan
untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk mengetahui jumlah virus
VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai dalam menentukan genotip VHC.teknik
lain adalah dengan menggadakan signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe
RNA sehingga dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit
dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi dalam satuan
pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu pemeriksaan dapat diikuti atau
dilakukan pemeriksaan ulang dengan pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat
dibandingkan. Untuk menentukan genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan
teknik hibridasi atau dengan melakukan sequencing gen VHC.
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan pada
penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit transfusi darah menggunakan deteksi
anti VHC dengan EIA maupun dengan cara imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus
kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif.
Teknik deteksi nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia saat ini
telah dikembangkan teknik menggunakan real time PCR yang dapat mendeteksi RNA VHC
dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50 kopi/ml). selain itu, tekhnologi
menggunakan teknik transcripted mediated amplification (TMA) juga telah dikembangkan
untuk meningkatkan sensitivitas deteksi VHC. Teknik yang sangat sensitif ini berguna untuk
mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan masyarakat umum untuk
tranfusi darah.
Test yang dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus seperti Enzyme Immuno
Assay (EIA), yang mengandung antigen HCV dari gen inti dan non struktural, dan Assay
Imunoblot Recombinan (RIBA). Teknik Polymerasi Chain Reaction (PCR) atau
Transcription Mediated Amplification (TMA) sebagai test kualitatif untuk HCV RNA,
sementara amplifikasi target (PCR) dan teknik amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat
dipakai untuk mengukur muatan virus.
Pendekatan paling baik untuk diagnosa hepatitis C adalah test HCV RNA yang
merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau Transcription
Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum menandakan infeksi
aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien yang dengan test EIA dengan
hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya pasien dengan gangguan imun yang
mana hasil anti HCV nya negative, sebab mereka tidak cukup memproduksi antibody.
Pasien-pasien dengan akut hepatitis C, test anti HCV negative karena antibody baru muncul
setelah satu bulan fase akut.
37
Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif
menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA yang
dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test kuantitatif dibagi
dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik Reverse Transcription
PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada test
kuantitatif ini pula dapat diketahui derajat viremia. Sesuai dengan rekomendasi konsensus
penatalaksanaan HCV di Indonesia :
1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif, dapat memastikan diagnosis
2. Bila HCV RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti HCV
(+)
3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa untuk
penentuan pengobatan.
5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi.
6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska terapi.
7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotip
1 dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan atau
dihentikan.
Test faal hati rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar
50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test
faal hatinya normal , penderita ini ternyata menunjukkan kelainan histologypenyakit hati
berupa nekroinflamasi denganatau tanpa sirosis. Pemantauan dengan menggunakan kadar
transaminase sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai
ke abnormal dengan perjalanan waktu. Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai
pengobatan anti virus dan tetap merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui
perkembangan penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi
kronik HCV. Dengan transaminase abnormal yang direncanakan pengobatan antiviral,
pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis penyakit hati akibat
alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi untuk penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis
hati memberikan informasi tentang kontribusi besi, steatosis dan penyakit penyerta hati
alkoholik terhadap perjalanan hepatitis C kronik menuju sirosis. Informasi yang didapat pada
biopsi hati memungkinkan pasien mengambil keputusan tentang penundaan atau dimulainya
pemberian terapi antivirus, karena mengingat efek samping pengobatan.
38
Jika seseorang sudah didiagnosis terkena infeksi Hepatitis C kronis, harus dilakukan
pemeriksaan terhadap tingkat kerusakan hati yang telah terjadi (fibrosis dan sirosis). Hal ini
bisa dilakukan dengan melakukan:
Biopsi hati Suatu prosedur diagnostik menggunakan jarum yang sangat halus untuk
memperoleh sedikit jaringan hati, yang dapat diperiksa di bawah mikroskop untuk
membantu mengidentifikasi penyebab maupun stadium dari penyakit hati.
Pemeriksaan Transient Elastography (Fibroscan) Pemeriksaan ini dapat secara akurat
membedakan antara tahap fibrosis ringan dengan sirosis.
Sebagai tambahan, diperlukan juga pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi
genotipe dari virus Hepatitis C yang diderita.
39
2.7. Penatalaksanaan
Saat ini obat Hepatitis C standar adalah kombinasi Interferon dengan Ribavirin.
Kombinasi obat Hepatitis C ini akan memberikan hasil berupa sustained virologic response
(respon virus menetap) yang tinggi. Response ini sering disingkat dengan SVR. Obat
Hepatitis C Pegylated interferon alfa dibuat dengan menggabungkan suatu molekul besar
yang larut air yang disebut polyethylene glycol (PEG) dengan molekul interferon alfa.
Penggabungan dengan PEG memperbesar ukuran interferon alfa sehingga dapat bertahan
dalam tubuh lebih lama. Hal itu juga dapat memproteksi molekul interferon terpecah oleh
40
enzim tubuh. Keuntungan lainnya adalah waktu di dalam tubuh obat Hepatitis C ini lebih
lama (waktu paruh) sehingga obat Hepatitis C tidak perlu sering-sering dikonsumsi.
Interferon alfa standar biasa disuntikkan tiga kali dalam seminggu tetapi pegylated
interferon alfa cukup satu kali dalam seminggu.
Pengobatan hepatitis C kronik telah berkembang sejak interferon alfa pertama kali
disetujui untuk dipakai pada penyakit ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu
obat ini diberikan 24 sampai 48 minggu sebagai kombinasi Pegylated alfa interferon dan
Ribavirin. Pegylated alfa interferon (penginterferon) adalah modifikasi kimia dengan
penambahan molekul dari polyethylene glycol. Penginterferon dapat diberikan satu kali per
minggu dan keuntungannya kadarnya konstan di dalam darah. Ribavirin adalah suatu obat
antivirus yang mempunyai efek sedikit pada virus hepatitis C, tetapi penambahan Ribavirin
dengan interferon menambah respon 2 3 kali lipat. Kombinasi terapi ini dianjurkan untuk
pengobatan hepatitis C. Terapi dengan Interferon 3 juta unit 3x perminggu selama 12-18
bulan, yang diberikan kepada pasien dengan aminotransferase tinggi, biopsi menunjukkan
kronik hepatitis berat atau lanjut, HCV RNA, 50% mengalami remisi atau perbaikan 50%
pasien kembali diantara 12 bulan pengobatan dan perlu mengulang pengobatan kembali.
Respon yang baik yaitu hilangnya HCV RNA yang tinggi pada genotip HCV 1a dan 1b.
lebih menguntungkan dengan penambahan ribavirin. Kriteria yang harus dipenuhi sebelum
pemberian terapi Interferon:
1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+],
genotip virus, biopsi.
2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic.
3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal.
4. Tidak ada dekompensasi hati.
5. Pemeriksaan laboratorium:
a. Granulosit > 3000/ cmm
b. Hb > 12 g/dl
c. Trombosit > 50000/ cmm.
d. Bilirubin total < 2 mg/ dl
e. Protrombin time < 3 menit.
Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI PPHI:
1. Terapi antivirus diberikan bila ALT >2 N
2. Untuk pengobatan hepatitis C diberikan kombinasi Interferon dengan Ribavirin
3. Ribavirin diberikan tiap hari, tergantung berat badan selama pemberian interferon
dengan dosis:
a. < 55 kg diberikan 800 mg/hari
b. 56 75 kg diberikan 1000 mg/hari
c. > 75 kg diberikan 1200 mg/hari
4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU seminggu 3 kali, tergantung kondisi
pasien.
5. Pegylated Intenferon Alfa 2a diberikan 180 ug seminggu sekali selama 12 bulan pada
genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3. pada Pegylated Interferon Alfa 2b
diberikan dengan dosis 1,5ug/kg BB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan tergantung
genotip
41
6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping anemia,
dapat diberikan enitropoitin.
42
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin
tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL, lekousit darah <2500/uL,
trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak
diindikasikan untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan
ginjaljuga tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan
ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3
kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah
diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan
setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug
(untuk Peg-Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin
dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70kg 1000 mg
setiap hari, dan >70kg 1200mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.5
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan RNA
HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV resisten terhadap pengobatan dengan
interferon dan tidak memerlukan pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan
terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif.
Bila RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik yang
menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV kembali positif, pasien
dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong kambuh ini dapat kembali diberikan
Interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya
menggunakan Interferon konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa
peneliti menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi dimulai
untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis dikatakan baik bila RNA
HCV turun >2 log.1
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai flu
(nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi,
kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang
timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi
timbulnya efek asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal
pemberian interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories (Hb, lekousit,
trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap bulan.
Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL, lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil
<500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti
depresi, atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.9
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi HCV lebih kurang
60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan
genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail dieradikasi sedangkan untuk genotype lain,
tingkat keberhasilan terapi dapat mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan
mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional.
Hal lain yang juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan
interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki,
berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati yang berat.2
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien
pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini interferon dapat
43
digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3
bulan. Namun sulit untuk menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat
infeksi virus ini sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila
jelas infeksi akut enjadi tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang secara rutin
dilakukan anti HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah tertusuk jarum anti-HCV
menjadi positif maka monoterapi dengan interferon dapat diberikan.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan bila
jumlah CD4 pasien ini <200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respons terapi
sangat tidak memuaskan. Untuk pasien dengan ko-infeksi HCV-HBV, dosis pemberian
interferon untuk HCV sudah sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus
dapat diterpai bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus
untuk HBV.
Edukasi
Istirahat yang cukup
Atur pola makan
Hindari makanan yang dapat menyebabkan penimbunan gas dalam lambung
(ubi, singkong, kacangm erah, kol, sawi, lobak, nangka, durian)
Hindari makanan yang telah di awetkan (hamburger, sosis, ikan asin, kornet)
Pilih bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak (daging tidak
berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit)
Pilih sayuran rendah serat (bayam, wortel, bit, labu siam, kacang panjang
muda, buncismuda, kangkung)
Hindaribumbu-bumbumasakan yang terlalubanyakdandalambatas normal
Hindaribahanmakanan yang terlaluberlemak (daging, usus, otak, sumsum,
santankental)
Diet seimbang
kalori 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari
Rendah garam 5.2g atau 90mmol/hari
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot
Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
Pasien diharapkan segara datang kembali apabila ada penurunan kesadaran (koma
hepatikum)
44
2.8. Komplikasi
-
Sirosis Hepatis
Penderita Hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati.
Sedikit dari penderita Hepatitis kronis, hatinya menjadi rusak dan perlu dilakukan
transplantasi hati. Kenyataannya, penyakit hati terutama Hepatitis C penyebab utama
pada transplantasi hati sekarang ini. Sekitar sepertiga kanker hati disebabkan oleh
Hepatitis C. Hepatitis C yang menjadi kanker hati terus meningkat di seluruh dunia
karena banyak orang terinfeksi Hepatitis C tiap tahunnya.
Walaupun Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, kerusakan hati terus berlanjut dan
menjadi parah seiring waktu. Saat hati menjadi rusak (sebagai contoh, karena Hepatitis
C) hati tersebut akan memperbaiki sendiri yang membentuk parut. Bentuk parut ini
sering disebut fibrosis. Semakin banyak parut menunjukkan semakin parahnya
penyakit. Sehingga, hati bisa menjadi sirosis (penuh dengan parut).
-
Hepatoseluler Karsinoma
Kanker hati yang merupakan penyebab tersering transplantasi hati, terjadi pada 1-5
persen penderita hepatitis C kronik dalam waktu 20-30 tahun.
2.9. Pencegahan
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah
hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis C dengan cara jarum
suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex yang aman. Bila memiliki pasangan yang lebih
dari satu atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri misalnya dengan
pemakaian kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan
gunting kuku. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang
dipakai steril. Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya [misalnya dokter, perawat,
perugas laboratorium] harus hati-hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan
cara memakai sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan.
Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA HCV
setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis
C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit
45
46
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus tersebut dapat diketahui bahwa keluhan utama nyeri perut daerah ulu hati
sejak 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing,
demam dan mual. Pasien mengaku sering merasa kelelahan sejak 1 bulan yang lalu. Pasien
tidak pernah mengalami sakit seperti ini dan riwayat sakit kuning sebelumnya. Pasien
mengatakan tidak ada riwayat BAB berwarna hitam namun BAB dirasakan keras dan BAK
dalam batas normal.
Pasien menyangkal pernah menjalani transfusi darah, namun sering melakukan
kegiatan donor darah. Riwayat melakukan free sex juga disangkal oleh pasien. Pasien juga
mengaku memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, dengan frekuensi lebih dari 2x
dalam seminggu dan lebih dari 1 botol.
Manifestasi klinis pada pasien ini cukup jelas mengarah ke hepattitis C kronis. Pada
pemeriksaan fisik tidak didapatkan sklera ikterik dan hepato maupun spleenomegali.
Pemeriksaan darah lengkap didapatkan anti HCV positif yang menunjukan bahwa pasien
menderita hepatitis C. Pemeriksaan tes fungsi hati didapatkan kenaikan kurang dari 3 kali
dari batas normal SGOT dan SGPT yang menunjukan tanda kronis.
Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk mengetahui kondisi hepar secara detail,
ternyata didapatkan gambaran struktur hepar dalam keadaan baik, sehingga untuk dapat
mengetahui perjalanan penyakit hepatitis C pada pasien ini diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut yakni biopsi hepar untuk mengetahui seberapa besar kerusakan pada hati.
Konsensus penanganan hepatitis Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya
dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronis bisa sangat fluktuatif dan
adanya fibrosis signifikan tidak bisa diketahui tanpa dilakukan biopsi hati. Biopsi hati
diperlukan untuk menentukan prognosis seiring dengan terjadinya sirosis hati ataupun
penyakit hati lanjut.
Terapi pada kasus ini lebih cenderung terapi simptomatik. Pemberian curcuma
ditujukan untuk mengurangi inflamasi pada hepar dan asam mefenamat ditujukan untuk
meminimalisir rasa nyeri yang dirasakan pasien. Sedangkan KSR diberikan untuk
meningkatkan kalium dalam darah, amlodipin diberikan untuk menurunkan tekanan darah,
ranitidine untuk melindungi organ lambung berguna untuk melancarkan BAB pasien.
47
BAB IV
KESIMPULAN
1. Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi
virus ini.
2. Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang memiliki selubung
glikoprotein dengan RNA rantai tunggal
3. Gambaran klinis hepatitis virus meliputi fase prodormal, fase ikterus, fase ikterus dan fase
konvalosen.
4. Hepatitis kronis dibedakan menjadi hepatitis kronis persisten, hepatitis kronis lobular dan
hepatitis kronis aktif.
5. Pemeriksaan EIA, anti HCV dan PCR dapat dilakukan untuk mendiagnosis hepatitis C
6. Terapi menggunakan interferon dan ribavirin pada hepatitis C kondisi lanjut atau yang
berkembang kearah kronis.
7. Penatalaksanaan awal pada pasien dengan mengatasi perdarahan saluran cerna berupa melena
untuk mencegah anemia berat.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman SA. 2004.Hepatitis Virus Kronis. Dalam:Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I
Edisi Ketiga.Jakarta: FKUI. Hal 262-3
2. Alan Franciscus.2007.HCV Diagnostic Tools: Grading and Staging Liver Biopsy.Hepatitis
C Support Project.
3. Andri Sanityoso.2006. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: FKUI. Hal 429-31
4. Bell, B. 2009. Chronic Hepatitis C. http://www.digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/p
diakses pada 10 November 2015
5. Jake Liang et al.2000.Phatogenesis, Natural History, Treatment and Prevention of
Hepatitis C.Ann Intern Med 132:296-305.
6. Pangestu Adi. 2006.Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Dalam : Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid I Edis IV.Jakarta:FKUI. Hal 291-4
7. PPHI. 2003. Konsensus Penatalaksanaan Hepatitis C kronik. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
8. Rino A Gani.2005.Pengobatan Terkini Hepatitis Kronis B dan C. Divisi Hepatologi Bagian
Penyakit Dalam FKUI RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dapat diakses di
http://pdpersi.co.id
9. Rino A Gani.2006.Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
IV.Jakarta: FKUI. Hal 441-4
10. Collins, S and Swan, T. 2009. Treatment for HCV Living with Co-Infection (HIV i-Base).
USA. Dapat diakses di http://img.thebody.com/ibase/2009/HCVmar09.pdf
49