KEJANG DEMAM
Oleh :
K1B1 21 088
Pembimbing :
KENDARI
2022
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada anak
dan memiliki kemungkinan untuk berulang. Kejang demam adalah bangkitan
kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami
kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C, dengan metode pengukuran suhu apa pun)
yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang demam merupakan tipe
kejang yang sering ditemukan pada masa anak-anak, angka kejadian kejang
demam terjadi 2-5% pada anak. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat
mengalami kejang demam, namun jarang sekali.1,10
Secara umum kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar
30% sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan mengalami kejang
demam berulang. Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5
juta, dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan
puncak pada usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di berbagai
negara.4
Pada tahun 1976, nelson dan ellenberg menggunakan data dari National
Collaborative Perinatal project lebih jauh mendefinisikan kejang demam menjadi
kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
didefinisikan sebagai kejang umum primer yang berlangsung kurang dari 15
menit dan tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam kompleks didefinisikan
sebagai fokal, berkepanjangan (15 menit), dan / atau berulang dalam 24 jam.14,15
Kejang demam ialah tantangan utama dalam praktik pediatric karena
insidensi tinggi pada anak kecil dan cenderung berulang.7 Bila ada riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Kejang
demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang
berulang tanpa demam. Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5
tahun pernah menderitanya.1,2 Dalam beberapa tahun belakagan, kesadarana akan
penanganan kasus kejang demam semakin tinggi karena melihat beratnya
komplikasi yang akan disebaban oleh penyakit ini.7
I. DEFINISI
Kejang adalah suatu perubahan fungsi pada otak secara mendadak
dan sangat singkat atau sementara yang dapat disebabkan oleh aktifitas
yang abnormal serta adanya pelepasan listrik serebal yang sangat
berlebihan. Demam (pireksia) didefinisikan sebagai akibat peningkatan
pusat pengaturan suhu di hipothalamus yang dipengaruhi oleh interleukin
1 (IL-1). Demam pada umumnya tidak berbahaya, tetapi bila demam
tinggi dapat membahayakan anak.1
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak
berumur 6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh
(suhu di atas 380C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak
disebabkan oleh proses intrakranial. Pada kejang demam, kejang yang
terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya
maka tidak disebut sebagai kejang demam. Bila bayi berusia kurang dari 1
bulan maka termasuk dalam kejang neonatus bukan kejang demam.2
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.3
II. EPIDEMIOLOGI
Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA hampir 1,5 juta,
dan sebagian besar terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan
puncak pada usia 18 bulan. Angka kejadian kejang demam bervariasi di
berbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika tercatat 2-4% angka
kejadian kejang demam pertahunnya, sedangkan di India sebesar 5-10%
dan di Jepang 8,8%.4
Anak-anak berusia 12-30 bulan mewakili 50% dari semua anak
dengan kejang demam, sedangkan proporsi anak-anak yang mengalami
episode pertama kejang demam setelah usia empat tahun 6% -15%.
Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam berulang dan
kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang pertama terjadi pada usia
kurang dari 1 tahun. Dapat diketahu bahwa 9% – 35% kejang demam
pertama kali adalah kompleks dan 25% kejang demam kompleks tersebut
berkembang ke arah epilepsi.3
Angka kejadian kejang demam di Asia dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80% - 90% dari seluruh kejang demam sederhana. Kejadian kejang
demam di Indonesia disebutkan terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan
sampai dengan 3 tahun dan 30% diantaranya akan mengalami kejang
demam. Kejadian kejang demam laki-laki memiliki insiden kejang demam
yang sedikit lebih tinggi di bandingkan perempuan .5
III. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari kejang demam masih belum diketahui,
meskipun beberapa penelitian menunjukkan kemungkinan hubungan
dengan faktor lingkungan dan genetik. Dalam sebuah studi keluarga
menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting dan
ditemukan sepertiga dari anak-anak dengan kejang demam memiliki
V. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi kejang pada tingkat seluler sebenarnya berhubungan
dengan terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu
depolarisasi pascasinaps yang berlangsung lama. Paroxysmal
depolarization shift merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada
neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan
listrik secara bersama-sama sehingga timbul hipereksibilitas neuron otak.
Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan
membrane sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya
inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA), atau
meingkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter glutamate dan
aspartate melalui jalur eksitasi yang berulang.10
Peningkatan temperatur dalam otak yang terjadi pada kejang
demam berpengaruh terhadap perubahan letupan aktivitas neuronal.
Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang merupakan
pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam
dan respons inflamasi akut. Demam juga akan meningkatkan sintesis
sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan
meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat
GABA - ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan
kejang. Bangkitan kejang dapat terjadi apabila 1) adanya depolarisasi
membran, 2) mekanisme eksitator lebih dominan dibanding inhibitor
(eksitator > inhibitor).3
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,
diperkirakan bahwa demam menyebabkan peningkatan reaksi kimia tubuh.
Reaksi-reaksi oksidasi yang terjadi lebih cepat akan mengakibatkan
asupan oksigen cepat habis sehingga berujung pada timbulnya keadaan
hipoksia. Transpor aktif yang memerlukan adenosine triphosphate (ATP)
terganggu sehingga kadar ion Na intraselular dan ion K ekstraselular
meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun
atau kepekaan sel saraf meningkat.
Saat kejang demam terjadi akan timbul kenaikan konsumsi energi
di otak, jantung, otot, dan gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama sehingga kerusakan otak semakin
bertambah.1
VI. KLASIFIKASI
Klasifikasi kejang demam berdasarkan konsensus penatalaksanaan
kejang demam dari IDAI yang membagi 2 macam kejang demam yaitu:
a) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit,
dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik
dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam
waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam.2,16
b) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.2,16
Keterangan:
1) Kejang lama > 15 menit
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
3) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada
16% di antara anak yang mengalami kejang demam.2
VIII. DIAGNOSIS
Kejang demam dapat didiagnosis hanya setelah kausa kejang lain
disingkirkan. Hal ini mengharuskan kita menyingkirkan berbagai
kemungkinan etiologi, misalnya infeksi susunan saraf pusat, gangguan
metabolisme, dan lesi struktural pada susunan saraf.11
a. Anamnesis (Subyektif)
Keluhan Keluhan utama adalah kejang. Anamnesis dimulai
dari perjalanan penyakit sampai tiba kejang. Perlu deskripsi kejang
seperti tipe kejang, lama, frekuensi dan kesadaran pasca kejang.
Berdasarkan anamnesis, penting untuk melihat serangan kejang
dihadapkan kita, dan pemeriksaan penunjang, sangatlah penting
membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau
bukan kejang.5
Faktor Risiko
1. Demam
a. Permintaan yang ditambahkan pada KD, akibat:
- Infeksi saluran pernafasan
- Infeksi saluran pencernaan
- Infeksi THT
- Infeksi saluran kencing
- Roseola infantum / infeksi virus akut lain.
- Paska imunisasi
b. Derajat demam:
IX. PENATALAKSANAAN
a. Tatalaksana Saat Kejang
Pada umumnya kejang berlangsung singkat dan pada waktu pasien
datang, biasanya kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang
dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. 2
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap
kejang, dianjurkanke rumah sakit. 2
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation
(ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan.
Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana
kejang sangat bervariasi antar institusi. Berikut ini adalah algoritma
tata laksana kejang akut berdasarkan Konsensus UKK Neurologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia.2
Keterangan:
Diazepam : diberikan secara IV 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg)
dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti
sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital : untuk pemberiannya boleh diencerkan dengan NaCl 0,9%
1:1 dengan kecepatan yang sama
Midazolam buccal : dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM,
ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan
spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal
berdasarkan kelompok usia;
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
5 mg (usia 1 – 5 tahun)
7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24
jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam
dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam
dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU,
namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam
keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10
mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan. 2
b. Tatalaksana demam
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak
ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak
di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-
6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. 2
Antikonvulsan Intermiten
Pemberian antikonvulsan intermiten penting untuk
mencegah anak-anak mengalami kejang demam. Yang dimaksud
dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan
yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di
bawah ini 2 :
1) Kelainan neurologis berat, misalnya serebral palsy
2) Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
3) Usia <6 bulan
4) Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39oC
5) Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali
per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg
dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi
dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam. 2
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan
adalah depresi napas serta hipotensi, terutama golongan
benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus
diwaspadai adalah propofol infusionsyndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal
jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam
valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. 2
Antikonvulsan Rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1) Kejang lama > 15 menit
2) Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya hemiparesis, paresis todd, palsi serebral,
retardasi mental, hidrosefalus.
3) Kejang fokal.
XI. KOMPLIKASI
Sebagian besar kejang demam tidak memiliki efek jangka panjang
dan dapat sembuh tanpa komplikasi, pada kejang demam sederhana tidak
menyebabkan kerusakan otak, retardasi mental dan kesulitan belajar.
Komplikasi yang sering terjadi yaitu terjadinya kejang demam berulang
dengan ambang demam yang lebih rendah sushunya. Risiko berkembang
menjadi epilepsi sebesar 1,5 % dan 2,5 % pada anak dibawah 12 bulan. 14
XII. PROGNOSIS
Pada anak atau bayi yang telah menderita kejang demam sederhana
harus dilakukan evaluasi lebih lanjut terkait dengan penyabab demam
anak.14 Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian
kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus
kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang
mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi
kejang demam yang berpotensi menjadi kejang lama. 2,16
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus bila
terdapat faktor yang dapat mencetuskan kejang berulang, kemungkinan
berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat
faktor kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun
pertama. 6,16
Anak dengan kejang kompleks cenderung meninggal setelah dua
tahun kemudian dibandingkan dengan anak dengan tanpa kejang demam.
Dalam penelitian di UK, menyatakan bahwa anak pada usia 10 tahun
tidak memiliki perbedaan intelektual antara anak dengan kejang demam
sederhana atau kompleks. Anak dengan kejang demam sederhana dapat
sembuh sekitar 4% tanpa faktor risiko tetapi 75% anak memiliki faktor
risiko tersbut. 12
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Angka kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam
sederhana dengan perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi
umum.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Indrayati, N., Haryanti, D. 2019. Gambaran Kemampuan Orangtua Dalam
Penanganan Pertama Kejang Demam Pada Anak Usia. Jurnal Ilmiah Permas:
Kejang Demam pada Anak di Instalasi Rawat Inap RS. Bethesda Yogyakarta.
4. Rasyid, Z., Astuti, D.K., Purba, C.V. 2019. Determinan Kejadian Kejang
Demam pada Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru.
15(10): 1-8.
7. Leung, A., Hon, K., Leung, T. 2018. Febrile seizures: an overview. Drugs In
10. Pudjiadi, A.H. Latief, A., Budiwardhana, N. 2013. Buku Ajar: Pediatri Gawat
13. Ruslie RB, Darmadi. Diagnosis dan tatalaksana Terkini Kejang Dema. Jurnal
15. Nelson KB, Ellenberg JH. 1976. Predictors of epilepsy in children who have