Disusun oleh :
Nadia Septriani, S.Farm 22021026
Sabella Afti Nora, S.Farm 22021030
Indana Zhulva, S.Farm 22021050
Fany Andriani 22021054
1
demam yang tidak tinggi, anak mempunyai resiko tinggi untuk berulangnya
kejang2.
Kejang demam sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama
sebelum berumur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanyasedikit yang
mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6bulan atau berumur 5-8
tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahunpasien tidak kejang demam lagi,
walaupun pada beberapa pasien masih dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-
6 tahun. Kejang demam diturunkan secara dominan autosomal sedrehana. Banyak
pasien kejang demam yang orang tua atau saudara kandungnya menderita
penyakit yang sama. Faktor pranetal dan perinatal dapat berperan dalam kejang
demam2.
Diare adalah peningkatan frekuensi dan penurunan konsistensi keluarnya
tinja dibandingkan dengan pola usus normal seseorang3. Diare akut masih
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara
berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak4.
Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum
yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain
juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena
virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus
diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama
kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan
akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan
sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa4. Diare
merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25% pada anak usia 1-4
tahun4.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun5.
2.1.3 Etiologi
Etiologi kejang demam hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Kejang
demam tidak selalu muncul pada suhu tubuh yang tinggi, kadang-kadang kejang
dapat timbul pada demam yang terlalu tinggi. Kondisi yang menyebabkan kejang
demam antara lain: infeksi yang mengenai jaringan ektrakranial seperti tonsilitis,
otitis media akut, bronchitis5.
3
2.1.5 Klasifikasi Kejang Demam
Kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu: kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.
4
2.1.6 Patofisiologi6
Demam merupakan faktor utama munculnya bangkitan kejang demam.
Perubahan kenaikan suhu tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan 1ºC akan
meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%, sehingga dengan adanya
peningkatan suhu tubuh akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa
dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan
termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus Krebs normal, satu
molekul glukosa menghasilkan 38 ATP. Sedangkan pada keadaan hipoksia
metabolisme berjalan anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan
ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi dan mengganggu
fungsi normal pompa dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal
tersebut mengakibatkan masuknya ke dalam sel meningkat dan timbunan asam
glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan
peningkatanpermeabilitas membran sel terhadap ion sehingga semakin
meningkatkan ion masuk ke dalam sel. Ion ke dalam sel dipermudah pada
keadaan demam. Perubahan konsentrasi ion intrasel dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel
dalam keadaan depolarisasi. Selain itu, demam dapat merusak neuron GABA-
ergik sehingga inhibisi terganggu. Keadaan tersebutlah yang mengakibatkan
kejang demam.
2.1.7 Diagnosis5
a. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium biasanya tidak dilakukan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dilakukan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan atas
indikasi adalah darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
5
2. Fungsi lumbal
Dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan penelitian terbaru, saat
ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak <12
bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
Ada beberapa indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan pungsi lumbal, yaitu:
a. Adanya tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Adanya kecurigaan infeksi sistem saraf pusat berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik yang dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
3. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk
menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut5.
4. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging seperti CT scan atau MRI kepala tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang sederhana. Pencitraan dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, contohnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis5.
6
2.1.8 Penatalaksaan
A. Tatalaksana saat kejang
Diazepam oral dengan dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam atau diazepam
rektal dosisi 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat suhu tubuh > 38,5 o C. Terdapat
efek samping berupa ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39%
kasus5.
Obat yang diberikan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali atau rektal
0,5mg/kg/kali (5 mg untuk BB <12 kg dan 10 mg untuk BB ≥12 kg), sebanyak 3
kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam adalah 7,5 mg/kali dan diberikan
selama 48 jam pertama demam. Dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
mengakibatkan ataksia, iritabilitas, dan sedasi5.
7
D. Pemberian obat antikonvulsan rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan jangka
pendek. Indikasi pengobatan rumat:
1.Kejang fokal
2.Kejang lama >15 menit
3.Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
contohnya palsi serebral, hidrosefalus, dan hemiparesis5.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah fenobarbital atau asam
valproat. Kedua jenis obat ini jika diberikan setiap hari efektif dalam risiko
berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menyebabkan
gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis fenobarbital
adalah 3- 4mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. Obat yang dipilih saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang <2 tahun, asam valproat dapat
mengakibatkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15-40
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun,
penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering
off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam5.
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir.
dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI
sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 sampai 4 kali perhari, keadaan ini
tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat
badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan
intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurna perkembangan saluran cerna.
Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah
meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang pada seorang anak
buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini
dapat disebut diare4.
Diare akut adalah buang air lebih besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam
8
dengan konsistensi cairan dan berlangsung kurang dari 1 minggu. Diare
merupakan penyebab kematian pada 24% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4
tahun1.
2.2.2 Epidemiologi4
Diare masih menjadi masalah kesehatan dimasyarakat dinegara
berkembang termasuk diindonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian
dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia dibawah 5 tahun. Sebanyak 6 juta
anak didunia meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian
tersebut terjadi dinegara berkembang. Sebagai gambarang 17% kematian anak
didunia disebabkan oleh diare, sedangkan diindonesia,hasil riskesdas 2007
diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak
yaitu 42% disbanding pneumonia 24% untuk golongan 1-4 tahun, penyebab
kematian karna diare 25,2% disbanding pneumonia 15,5%.
2.2.3 Etiologi4
Kuman kuman pathogen telah dapat di identifikasi dari penderita diare
sekitar 80% pada kasus yang datang disarana kesehatan dan sekitar 50% pada
kasus ringan dimasyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang
dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak.
Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus bakteri
dan parasite. Dua tipe dasar diare akut karna infeksi adalah non inflammatory
dan inflamotory.
Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi
enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh
parasite, perlekatan dan /atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory
diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginfasi usus secara langsung atau
memproduksi sitotoksin.
Cryptosporidium
Vibrio choler Rota virus
parvum
Clostridium perfringens
Campylobacter jejuni
Bacillus cereus
Aeromonas
10
2.2.5 Klasifikasi tingkat dehidrasi anak dengan Diare7
Tanpa dehidrasi Tidak terdapat cukup tanda Beri cairan dan makanan
untuk diklasifikasikan untuk menangani diare
sebagai dehidrasi ringan dirumah
atau berat Nasehati ibu kapan kembali
segera
Kunjungan ulang dalam
waktu 5 hari jika tidak
membaik
2.2.5 Patofisiologi8
Diare adalah ketidakseimbangan pada absorpsi dan sekresi air dan
elektrolit. Empat mekanisme patofisiologi umum yang mengganggu
keseimbangan air dan elektrolit yang mengakibatkan seseorang mengalami diare
serta mekanisme
11
ini pula yang menjadi dasar diagnosis dan terapi. Empat mekanismenya yang
dimaksud yaitu : (1) perubahan pada transport aktif ion baik karena penurunan
absorpsi natrium atau peningkatan sekresi klorida; (2) perubahan pada motilitas
intestinal; (3) peningkatan pada osmolaritas luminal; dan (4) peningkatan pada
tekanan hidrostatik jaringan. Mekanisme ini berhubungan dengan empat
kelompok diare besar klinis yaitu : sekretorik, osmotik, eksudatif, dan perubahan
transit intestinal. Diare sekretori terjadi ketika substan dengan struktur serupa
seperti Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri, meningkatkan
sekresi atau menurunkan absorpsi sejumlah besar air dan elektrolit. Substan yang
sulit diserap ini menahan cairan intestinal, menyebabkan diare osmotik. Inflamasi
pada intestinal bisa menyebabkan diare eksudatif karena pelepasan mucus, protein
atau darah ke intestinal.
Sekret diare terjadi ketika ada sebuah zat yang merangsang seperti
vasoaktif peptida usus, pencahar atau bakteri yang dapat meningkatkan sekresi
atau penyerapan bakteri dari air dan elektrolit dalam jumlah besar. Penyakit-
penyakit radang pada saluran gastrointestinal dapat menyebabkan diare eksudatif
dengan keluarnya lendir, darah atau protein ke dalam usus. Sehubung dengan
perubahan transit usus, motilitas usus diubah dengan berkurangnya warna kontak
di usus kecil, pengurasan dini pada usus kecil atau pertumbuhan bakteri yang
berlebihan.
Faktor-faktor yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu sama
lain, misalnya cairan intraluminal yang meningkat dapat menyebabkan
terangsangnya usus secara mekanisme meningkatnya volume, sehingga motilitas
usus meningkat. Sebaliknya, bila waktu henti makanan di usus terlalu cepat akan
menyebabkan gangguan waktu penyentuhan makanan dengan mukosa usus
sehingga penyerapat elektrolit, air dan zat-zat lain terganggu10.
12
2.2.6 Cara Penularan dan Faktor Resiko1
Cara penularan diare umumnya melalui cara fekal-oral yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung
tangan dengan penderita atau barang barang yang telah tercemar tinja penderita
atau tidak langsung melalui lalat4.
2.2.7 Diagnosis1
A. Anamnesis
1. Lama diare berlangsung, frekuensi diare sehari warna dan konsentrasi
tinja, lender dan / darah dalam tinja
2. Muntah, rasa haus, rewel, anak lemah, kesadaran menurun, buang air
kecil terakhir, demam,sesak, kejang, kembung
13
B. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum, kesadaran dan tanda vital
2. Tanda utama. Keadaan umum gelisah / cengeng atau lemah atau letargi
atau koma, rasa haus, turgor kulit abdomen menurun
3. Tanda tambahan : ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa
bibir, mulut dan lidah
4. Berat badan
5. Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas
cepat, kembung, kejang.
6. Peneliaan derajat dehidrasi dilakuakan sesui dengan kriteria berikut :
14
c.Dehidrasi berat ( kehilangan cairan > dari 10%)
1) Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambaha
2) Keadaan umum gelisah atau cengeng
3) Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang,
mukosa mulut dan bibir sedikit kering
4) Turgor kurang, akral dingin
5) Pasien harus rawat inap
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja tidak rutin dilakukan pada diare akut, kecuali apabilaa
ada tanda intoleransi laktosa dan kecurigaan amubiasis
2. Hal yang dinilai pada pemeriksaan tinja
a. Makroskopis : konsitensi, warna, lender, darah, bau
b. Mikroskopis : leukosit, eritrosit, parasite, bakteri
c. Kimia : pH, clinites,elektrolit ( Na,K,H,C,O3)
d. Biakan dan uji sensitifitas tidak dilakukan pada diare akut
3. Analisi gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
15
2.8 Tatalaksana1
1. Lintas diare : Cairan, Seng, Nutrisi, Antibiotik yang tepat, Edukasi
2. Tanpa dehidrasi
Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan NEW ORALIT diberikan 5-
10 ml/kgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu umur < 1 tahun
sebanyak 50-100 ml, umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 ml dan umur diatas 5
tahun semaunya. Dapat diberikan cairan rumah tangga sesuai kemauan anak.
ASI harus terus diberikan. Pasien dapat dirawat dirumah, kecuali apabila
terdapat komplikasi lain ( tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare
frekuen dan profus).
3. Dehidrasi ringan- sedang
Cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar diberikan sebanyak 75 ml/kgbb
dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan
sebanyak 5-10 ml/kgbb setiap diare cair
Rehidrasi parenteral ( intravena)diberikan bila anak muntah, setiap diberi
minum walaupun telat diberikan dengan cara sedikit demi-sedikit atau
melaluipipa nasogastric. Cairan intravena yang diberikan Ringer Lactat
atau KAEN 3B atau NaCL dengan jumlah cairan dihitung berdasarkan
berat badan. Status hidrasi dievaluasi secara berkala.
Berat badan 3-10 kg : 200 ml/kgbb/hari
Berat badan 10-15 kg : 175 ml/kgbb/hari
Berat badan > dari 15 kg : 135 ml/kgbb/hari
Pasien dipantau dirumah sakit selama proses rehidrasi sambil memberi
edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orang tua
16
4. Dehidrasi berat
Diberikan cairang rehidrasi parenteral dengan Ringer Lactat atau ringer
asetat 100 ml/kgbb
Umur kurang dari 12 bulan : 30 ml/kgbb dalam 1 jam pertama,dilanjutkan
70 ml/kgbb dalam 2,5 jam berikutnya
Masukkan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat
minum, dimulai dengan 5 ml/kgbb selama proses rehidrasi
5. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit ( lihat PPM/PGD)
Hypernatremia ( Na,> 155 ml/mEq/L)
Koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap dengan pemberian
cairan dekstrose 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh > dari 10
ml/mEq / hari karena bisa menyebabkan edema otak.
Hiponatremia ( Na < 130 ml/ mEq/L)
Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apa bila masih
dijumpai hiponatremia dilakukan koreksi sbb:
Kadar Na koreksi = 125-kadar Na serum x 0,6 x bb diberikan dalam 24 jam
Hyperkalemia ( K > dari mEq/L )
Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5-1ml/kgbb IV secara perlahan-lahan 5-10 menit, sambil dimonitor
irama jantung dengan EKG. Untuk pemberian medikamentosa dapat
dilihat PPM nefrologi.
Hypokalemia ( K<3,5 mlmEq/L ) Koreksi dilakukan menurut kadar kalium
Kadar K 2,5- 3,5 mEq/L, berikan KCL 75 mEq/kgBB per oral per hari
dibagi 3 dosis.
Kadar K , 2,5 mEq/L, berikan KCL melalui drip intravena dengan dosis : 3,5-
kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 4 jam pertama 3,5 -
kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB dalam 20 jam
berikutnya.
Seng
Terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang air besar
dan volume tinja sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya dehidrasi pada
anak. Seng zink elemental diberikan selama 10- 14 hari meskipun anak telah
17
tidak mengalami diare dengan dosis:
Umur dibawah 6 bulan: 10 mg perhari
Umur diatas 6 bulan: 20 mg perhari
Nutrisi
ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap
diberikan untuk mencegah kehilangn bb dan sbagai pengganti nutrisi yang hilang.
Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh
dipuasakan, makanan diberikan sedikit- sedikit tapi sering, rendah serat, buahan
diberikan terutama pisang.
Medikamentosa
a. Tidak boleh diberikan obat antidiare
b. Antibiotik
Antibiotik diberikan bila ada indikasi, misalnya disentri atau diare berdarah.
Pemberian antibiotik akan mengganggu keseimbangan klora usus sehingga
dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium difssfficile akan tumbuh
yang menyebabkan diarer sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian
antibiotik yang tidak rasional dapat mempercepat resistensi kuman thdap
antibiotic. Antibiotik untuk disentribasiler, diberikan sesuai dengan data
sensitifitas tempat, bila tidak memungkinkan dapat mengacu kepada data
publikasi yang dipakai saat ini, yaitu kotrimoksazole sebagai lini pertama,
kemudia lini kedua. Bila kedua antibiotik tersebut sudah resisten maka lini
ketiga adalah sefixim.
c. Anti parasite
Metronidazole 50 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis merupakan obat pilihan untuk
amoeba vegetatif
d. Edukasi
Orang tua diminta untuk membvawa kembali anaknya kepusat pelayanan
kesehatan bila ditemukan hal sbb: demam, tinja berdarah, makan atau
minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam
3 hari.
18
BAB III
TINJAUAN KHUSUS
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama
Kejang 1x 15 menit SMRS. Kejang seluruh tubuh, durasi <5 menit.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Kejang 1x 15 menit SMRS. Kejang seluruh tubuh, durasi <5 menit pasca kejang pasien
lemas tapi sadar. Ada demam sejak 1 hari SMRS, diare sudah 3x SMRS. Batuk (-), pilek
(-), mual (-), muntah (-).
3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
Kejang demam (-)
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
3.2.5 Riwayat Penggunaan Obat Terdahulu
Tidak Ada
2.2.6 Riwayat Alergi
Tidak Ada
20
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
21
3.4 Diagnosis Kerja
KDS ( suspect Kejang Demam plus), Diare akut
3.5 Penatalaksanaan
Terapi IGD dan Rawat Inap, yaitu:
22
√ √
Zink 1 x 20 mg √
√ √
Oralit 75cc Pulang
Diazepam 3 x 4 mg √ √ √ √ √ √
Paracetamol 4 x 150 mg √ √ √
IVFD RL 15 √ √ √
gtt/menit
makro
23
3.6 Follow Up Pasien
1. Tanggal 9 Mei 2023 Jam 09:47:26
S Kejang 1x 15 menit SMRS. Kejang seluruh tubuh, durasi <5 menit pasca kejang
pasien lemas tapi sadar. Ada demam sejak 1 hari sebelumnya, diare sudah 3x sejak
pagi ini. Tidak ada batuk, pilek, mual, atau muntah. Kejang demam sebelumnya (-)
O Berat Badan : 13 kg
Nadi : 115 x/menit
Saturasi Oksigen : SPo2
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi Nafas : 32 x/menit
Suhu : 38.2 °C
GCS : E :4 M : 6 V :5
tanda dehidrasi (-)
S Kejang 1x 15 menit SMRS. Kejang seluruh tubuh, durasi <5 menit pasca kejang
pasien lemas tapi sadar. Ada demam sejak 1 hari sebelumnya, diare sudah 3x sejak
pagi ini. Tidak ada batuk, pilek, mual, atau muntah. Kejang demam sebelumnya (-)
O Berat Badan : 13 kg
24
Nadi : 115 x/menit
Saturasi Oksigen : SPo2
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi Nafas : 32 x/menit
Suhu : 38.2 °C
GCS : E : 4 M : 6 V :5
A Febrile convulsiaon
P Sesuai DPJP
S Kejang (-) demam (-), diare (-). Tidak ada batuk, pilek, mual, atau muntah.
O Berat Badan : 13 kg
Nadi : 101 x/menit
Saturasi Oksigen : 98 SPo2
Kesadaran : KOMPOSMENTIS
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36.7 °C
GCS : E :4 M : 6 V :5
P Boleh pulang
IVFD RL 15 gtt/menit makro
Zink 1 x 20 mg
Diazepam 3 x 4 mg
Parasetamol 4 x 150 mg KP
MLDSC 1200 kkal
Oralit 75cc tiap mencret
25
3.7 Perhitungan Dosis
Diazepam tab 3 x 4 mg PO BB pasien 13,4 kg
Dosis diazepam oral adalah 0,3 mg/kgBB/kali sebanyak 3x sehari dengan dosis
maksimum diazepam 7,5 mg/kali. (IDAI, 2016)
13,4 kg x 0,3 mg/kgBB/kali = 4,02 mg/kali
Berdasarkan perhitungan berat badan, dosis diazepam tablet yang harus diberikan
kepada pasien yaitu 4,02 mg sebanyak 3 kali sehari. Dosis yang diberikan kepada
pasien telah sesuai dengan aturan tatalaksana berdasarkan rekomendasi IDAI.
Berdasarkan perhitungan berat badan, dosis paracetamol tablet yang harus diberikan
kepada pasien yaitu 134-201 mg /kali tiap 4 – 6 jam. Dosis yang diberikan kepada
pasien telah sesuai dengan aturan tatalaksan berdasarkan rekomendasi IDAI.
26
√ √
Oralit 75cc
Pulang
Diazepam 3 x 4 mg √ √ √ √ √ √
Paracetamol 4 x 150 mg √ √ √
IVFD RL 15 √ √ √
gtt/menit
makro
27
3.9 Drug Related Problem (DRPs)
Kejang Menghentikan Diazepam tab Kejang Kejang pasien Kejang (+) Kejang Kejang (-)
kejang dosis: 3 x 4 berhenti (-)
mg
Menurunkan P: 38,2oC
Paracetamol M: 38,2oC P: 36oC
suhu tubuh Suhu tubuh normal: Si:36,1 Co
Demam tab dosis: 4 Suhu tubuh Si: 36oC
kembali 36,6 oC – 37,2oC M: 36 C
o
x 150 mg
normal
Diare (+)
Zink tab 20 Diare (+) Diare (-)
Diare Menghentik Tinja Tinja pasien tidak
mg dan
an diare lembek/cair
Oralit 75cc
3.12 Lembar Monitoring Efek Samping Obat
Seorang pasien anak M.Q. berusia 5 tahun 1 bulan dengan jenis kelamin
laki-laki datang ke rumah sakit pada Senin, 08 Mei 2023. Pada awal kedatangan,
suhu tubuh pasien 38,2ᴼC dan berat badan 13 kg. Pasien mengalami kejang 15
menit sebelum masuk rumah sakit. Kejang yang dialami pasien sebanyak 1 kali
dengan durasi kurang dari 5 menit. Selain itu, pasien juga mengalami demam
sejak 1 hari yang lalu. Pasien tidak mengalami batuk, pilek, mual dan muntah.
Pasien diimunisasi lengkap.
Berdasarkan tanda-tanda dan gejala yang ada, pasien didiagnosis
mengalami kejang demam plus dan diare akut. Saat di IGD, paien mendapatkan
terapi diazepam 3x4 mg secara PO untuk mengatasi kejang pasien, paracetamol
4x150 mg untuk mengatasi demam pasien, Zink 1x20 mg dan Oralit 100cc untuk
mengatasi diare dan terapi cairan RL 15 tpm secara iv sebagai terapi pengganti
cairan, terakhir mendapat MLDSC 1200 kkal. Ketika di rawat inap, pasien
mendapatkan terapi diazepam 3x4 mg secara PO, paracetamol 4x150 mg secara
PO, Zink 1x20 mg dan Oralit 75cc terapi cairan RL 15 gtt/menit makro secara iv
sebagai terapi pengganti cairan, terakhir mendapat MLDSC 1200 kkal.
Berdasarkan rekomendasi penatalaksanaan kejang demam, pasien yang
mengalami kejang demam plus diberikan antipiretik dan antikonvulsan
intermitten. Antipiretiknya dapat berupa paracetamol atau ibuprofen, sedangkan
antikonvulsan intermittennya adalah diazepam. Diazepam diberikan karena onset
kerjanya cepat dan durasinya yang cepat dengan mekanisme kerjanya
meningkatkan aktivitas asam gamma–aminobutirat (GABA), yaitu senyawa kimia
di otak yang betugas menghambat kerja zat kimia penghantar sinyal saraf
(neurotransmitter) di otak. Diazepam ini dapat menjadi profilaksis kejang pasien.
Dosis diazepam peroral anak adalah 0,3 mg/KgBB/8jam (5 mg untuk BB <12 Kg,
dan 10 mg untuk BB >12 Kg). Setelah diterapi dengan diazepam, pasien tidak
mengalami kejang lagi. Efek samping dari penggunaan diazepam adalah
mengantuk, ataxia, kelelahan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring efek samping pada pasien.
Antipiretik yang diberikan pada pasien adalah paracetamol. Mekanisme
kerja paracetamol ini adalah dengan cara menghambat produksi prostaglandin di
sistem saraf pusat. Prostaglandin merupakan suatu zat peradangan dan pemicu
terjadinya demam di bagian hipotalamus, otak. Dosis paracetamol untuk anak
adalah 10-15 mg/KgBB/kali, sebanyak 3-4 kali pemberian dalam sehari.
Penggunaan paracetamol ini hanya ketika pasien demam saja. Paracetamol dapat
menyebabkan efek samping berupa mual, muntah, konstipasi, hepatotoksik
(penggunaan jangka panjang). Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring efek
samping apabila terjadi pada pasien. Setelah mengonsumsi paracetamol beberapa
kali, suhu pasien sudah normal. Sehingga, pada hari Selasa, 10 Mei 2023 pasien
sudah diperbolehkan pulang. Ketika pulang, pasien diberikan obat diazepam
3x4mg PO, dan paracetamol 4x150 mg PO.
Untuk memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare diberikan terapi
zink 1x20 mg secara 10 hari berturut-turut dan rehidrasi dengan menggunakan
oralit 75cc. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun pasien telah
sembuh dari diare. Zink dapat menyebabkan sakit perut, dan muntah. Oleh karena
itu, perlu dilakukan monitoring efek samping apabila terjadi pada pasien. Setelah
mengonsumsi zink beberapa kali, tinja pasien sudah normal. Sehingga, pada hari
Selasa, 10 Mei 2023 pasien sudah diperbolehkan pulang.
Berdasarkan analisis DRPs yang dilakukan, obat yang diterima pasien
sudah tepat dan tidak terdapat DRPs. Namun, ada beberapa hal yang perlu
disampaikan kepada orangtua pasien yang terkena kejang demam yaitu mengenai
cara penanganan jika kejang demam timbul kembali, pemberian obat profilaksis
untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif, tetapi harus diingat adanya
efek samping obat, dan disampaikan untuk penggunaan zink harus diberikan 10-
14 hari, walaupun diare sudah membaik.
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
2. Soetomenggolo, Taslim. S., Ismael. Sofyan. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak.
IDAI. Jakarta.
3. Wells, Barbara G., Schwinghammer ,Terry. L., Dipiro, Joseph. T., Dipiro, Cecil
V. 2017. Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition. Mc. Grow Hill Companies:
United States.
4. Ismail U., 2009. Buku Ajar Gastroenterologi - Hepatologi. Jilid 1 Cetakan Ketiga.
Badan Penerbit IDAI. Jakarta.
8. Wells, Barbara G., Schwinghammer ,Terry. L., Dipiro, Joseph. T., Dipiro, Cecil
V. 2017. Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition. Mc. Grow Hill Companies:
United States.
9. Dipiro, Cecil V., Dipiro, Joseph. T., Schwinghammer ,Terry. L., Wells, Barbara
G. 2017. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. Mc. Grow Hill Companies:
United States