Anda di halaman 1dari 14

NAMA : MADALENA DOS SANTOS XAVIER

NIM : 2011411045
KELAS : 4B

RESUME MATERI
KEPERAWATAN ANAK I TM8-14

1. KEJANG DEMAM (TM 8)


Definisi
Kejang demam menurut konsensus penatalaksanaan kejang demam dari IDAI
adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Diagnosis kejang demam dapat
ditegakkan jika tidak ditemukan penyakit intrakranial, seperti meningitis atau
ensefalitis, dan perlu dipastikan bahwa pasien memiliki status neurologi yang normal
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kejang demam pada anak merupakan kelainan
neurologis yang paling sering ditemukan pada anak dan bisa jadi menyerang sekitar
4% anak, terutama pada anak berusia 4bulan sampai 4tahun.

Etiologi
Kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang memicu eksitasi sel saraf otak
sehingga menimbulkan kejang. Semua kenaikan suhu tubuh bisa menyebabkan kejang
demam.
Infeksi virus lebih sering menyebabkan demam yang berujung pada kejang demam
bila dibandingkan dengan infeksi bakteri. Infeksi virus menyebabkan kenaikan suhu
tubuh yang tinggi, seperti contohnya adalah campak, cacar air dan rubella.
Demam pasca operasosi
Pasca-imunisasi, demam dapat terjadi sebagai bagian dari kejadian ikutan pasca
imunisasi
(KIPI). Imunisasi yang sering menyebabkan demam adalah imunisasi yang memiliki
kuman hidup yang dilemahkan, yaitu difteri-tetanus-pertussis (DTP) dan mumps-
measles-rubella (MMR). Perlu diinformasikan kepada orang tua bahwa kejang
disebabkan karena demam-nya bukan karena imunisasi.

Faktor Risiko
Usia: 6 bulan – 5 tahun. Kejang demam jarang terjadi di luar usia ini. Bila terjadi
demam dan kejang pada usia di luar rentang ini, maka perlu dipikirkan penyebab lain,
terutama penyebab intrakranial.
Riwayat keluarga. Anak yang memiliki riwayat keluarga yang memiliki kejang
demam akan lebih berisiko terkena kejang demam.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah: Riwayat keluarga dengan kejang
demam (derajat pertama). Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1
jam pada Usia < 18 bulan, dengan temperatur yang rendah yang membangkitkan
bangkitan kejang.
Klasifikasi kejang demam
Menurut Teguh, (2009) Kejang Demam diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kejang Demam Sederhana
Yaitu kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum. Adapun pedoman
untuk mendiagnosa kejang demam sederhana dapat diketahui melalui criteria
Livingstone yaitu:
1). Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2). Kejang berlangsung hanya sebentar, tidak lebih dari 15 menit.
3). Kejang bersifat umum
4). Kejang timbul setelah 16 jam pertama setelah timbul demam.
5) Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6). Pemeriksaan EGG yang di buat setidaknya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7). Frekuensi kejang bangkitan dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

b. Kejang Demam Kompleks


Kejang Demam Kompleks tidak memenuhi salah satu dari 7 kriteria Livingstone.
Menurut
Mansyur (2000) biasanya kejang kompleks di tandai dengan kejang yang berlangsung
lebih dari 15 menit, fokal / multiple (lebih dari 1 kali dalam 24 jam). Di sini anak
sebelumnya dapat mempunyai kelainan neurology atau riwayat kejang dalam atau
tanpa kejang dalam riwayat keluarga.

Manifestasi Klinik
Menurut (Teguh, 2009) menyebutkan manifestasi klinis pada kejang demam yaitu:
Kedua kaki dan tangan kaku disertai gerakan – gerakan kejut yang kuat dan kejang –
kejang selama 5 menit.
a. Suhu tubuh meningkat
b. Bola mata terbalik keatas
c. Gigi terkatup
d. Muntah
e. Tak jarang anak berhenti napas sejenak
f. Pada beberapa kasus tidak mengontrol pengeluaran air besar / kecil
g. Pada kasus berat, si kecil kerap tak sadarkan diri
h. Intensitas waktu saat kejang juga sangat bervariasi dari beberapa detik sampai
puluhan menit.

Patofisiologi
Kejang demam masih belum diketahui dengan jelas. Kejang demam merupakan
salah satu bentuk unik dari kejang yang berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh.
Faktor predesposisi yang diduga menyebabkan kejang demam adalah genetik. Studi
pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara pirogen endogen
seperti interleukin 1-beta dan peningkatan aktivitas sel saraf yang mengakibatkan
demam dan aktivitas kejang.

Komplikasi
Komplikasi kejang demam menurut Waskitho (2013) adalah
a. Kerusakan neorotransmiter
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
ataupun
membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada neuron
b. Epilepsi
Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsy yang sepontan
c. Kelainan anatomi di otak
Serangan kejang yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan di otak yang
lebih banyak terjadi pada anak berumur 4 bulan sampai 5 tahun
d. Kecacatan atau kelainan neorologis karena disertai demam

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik kejang demam, selain adanya peningkatan suhu, biasanya normal
atau sesuai dengan penyebab demam (contoh: rhonki pada paru pada anak
bronkopneumonia yang demam).
Fase Iktal: gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat/menurun, peningkatan sekresi
mucus, peningkatan nadi, sedangkan post iktal dapat ditemukan apnea. Akibat kejang
dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan lunak/gigi cedera selama kejang. Pada
aktivitas dan kekuatan otot terjadi keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus otot/
kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Di
intergumen ditemukan : Akral hangat, kulit kemerahan, demam.

JUVENILE DIABETES (TM 9)

Pengertian
Juvenile Diabetes (JD) adalah diabetes tipe I atau Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM) yang terjadi pada masa kanak-kanak, bersifat herediter disebabkan
oleh reaksi autoimmune pada sel betha pancreas. Kerusakan sel betha pancreas
menimbulkan ketiadaan insulin sehingga menimbulkan hiperglikemi dan
komplikasinya. Penyandang Juvenile Diabetes membutuhkan suntikan insulin,
pengaturan pola makan dan latihan fisik serta kondisi emosional yang selalu harus
terjaga agar glukosa darah tetap seimbang dan terhindar dari komplikasi akut yang
mengancam. Komplikasi akut seperti hipoglikemia dan diabetik ketoasidosis
merupakan ancaman terbesar bagi penyandang Juvenile Diabetes. Penyandang
Juvenile Diabetes dapat mengalami harga diri rendah, merasa terisolasi dan
didiskriminasi oleh lingkungannya, yang kesemuanya akan memicu timbulnya depresi
bahkan suicide (percobaan bunuh diri).

Tanda dan Gejala


Diabetes juvenile dapat terjadi secara perlahan maupun secara mendadak. Namun
biasanya pada tahap awal penyakit, diabetes juvenile tidak menunjukkan gejala
apapun juga.Bila ada gejala yang muncul, dapat terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Buang air kecil lebih sering dari biasanya, bahkan harus terbangun beberapa kali di
malam hari untuk buang air kecil.
2. Minum lebih banyak dari anak seusianya pada umumnya.
3. Terlihat lemas dan lebih cepat lelah.
4. Berat badan turun, atau peningkatan berat badannya tak seperti yang
seharusnya.

Diagnosis
Untuk memastikan diabetes, dokter akan melakukan pemeriksaan darah, berupa
pemeriksaan gula darah puasa dan gula darah dua jam setelah makan. Kadar gula
darah yang tinggi akan memastikan adanya diabetes.Sedangkan untuk memastikan
bahwa diabetes tersebut adalah diabetes juvenile, perlu dilakukan pemeriksaan kadar
C-peptida dari darah. Kadar C-peptida yang rendah memastikan bahwa diabetes yang
dialami merupakan diabetes juvenile.

Patofisiologi diabetes melitus tipe 1


DM 1 terjadi karena akibat kekurangan insulin untuk mengantarkan glukosa
menembus membran sel kedalam sel.molekul glukosa menumpuk dalam peredaran
darah mengakibatkan hiperglekimia.hiperglekimia menyebabkan hiperosmolaritas
serum yg menarik air dari ruang intraseluler ke dalam sirkulasi umum.peningkatan
volume darah meningkat aliran darah ginjal dan hiperglikemia bertindak sebagai
diuretik osmosis.fieremetik osmosis yg di hasilkan meningkatkan haluaran urine.atau
yg di sebut polliura.Ketik kadar glukosa darah melebihi batas glukosa sekitar
180mg/dl glukosa diekseresikan ke dalam urine suatu kondisi yg di sebut
glukosuria.penurunan volume intraseluler dan peningkatan haluaran urine
menyebabkan dehidrasi mulut menjadi kering dan sensor haus di aktifkan yg
menyebabkan orang minum dalam jumlah banyak/disebut polodipsia.

Patofisiologi Dm tipe 2
Respon sel terbatas terhadap hiperglikemia menjadi factor mayor dalam
perkembangan sel terpapar secara kronis trhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi
secara progresif kurang efisien ketika merespon peningkatan glukosa lebih
lanjut./disebut dengan desensitisasi dan dapat kembali normal dengan kadar glukosa.
Dm tipe 2 yaitu suatu kondisis dimana hiperglekimia puasa yg terjaadi meski tersedia
insulin endogen.kadar insulin di hasilkan Dm tipe 2 meskipun ada funsi yg rusak oleh
resesintesi insulin di jaringan perifer .hati memproduksi glukosa lebih normal
karbohidrat tidak berektivitas penyakit obat obatan dan pertambahan
usia.Hiperglekimis meningkat secar perlahan dan dapat berlangsung lama sebelum dm
diagnosis baru Dm tipe 2 didiagnosis yg mengalami komplikasi.

ASPHYXIA (TM 10)

Asfeksia neonatorum menurut IDAI ( Ikatan Dokter Anak Indonesia) adalah


kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah
lahir yang di tandai dengan hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis ( Saputra, 2014).
Asfeksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secaraspontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus danhipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan atausegera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 2007).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak bisa bernafas
secaraspontan dan adekuat (Wroatmodjo,2008)

2. Etiologi
a. Faktor Ibu
Hipoksia ibu menyebabkan hipoksia janin dan memiliki semua konsekuensinya.
Hipoksia pada ibu dapat disebabkan oleh hipoventilasi akibat pemberian analgetik
atau anestesi pada disfungsi kontraktil uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan,
hipertensi akibat eklampsia, penyakit jantung, dan lain-lain.
b. Faktor Placenta
Yang meliputi solutio plasenta, pendarahan pada plasenta previa, plasenta tipis,
plasenta kecil, plasenta tak menempel pada tempatnya.
c. Faktor Janin dan Neonatus
Meliputi tali pusat menumbung, tali pusat melilit ke
leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir, gemelli, IUGR, kelainan
kongenital dan lain-lain.
Faktor Persalinan
Meliputi partus lama, partus tindakan dan lain-lain.

Gejala Klinik
Bayi tidak bernapas, detak jantung kurang dari 100 bpm, kulit sianosis, pucat,
tonus otot.

Gejala klinik Asifiksia Neonatorum yang khas meliputi :


a. Pernapasan terganggu
b. Detik jantung berkurang
c. Reflek / respon bayi melemah
d. Tonus otot menurun
e. Warna kulit biru atau pucat
4. Patofisiologi
Hipoksia ibu menyebabkan hipoksia janin dan memiliki semua konsekuensinya.
Hipoksia pada ibu dapat disebabkan oleh hipoventilasi akibat pemberian analgetik
atau anestesi pada disfungsi kontraktil uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan,
hipertensi akibat eklampsia, penyakit jantung, dan lain-lain.

Klasifikasi Asfiksia Neonatorum


Menurut Marmi dan Rahardjo, asfiksia di klasifikasikan sebagai berikut : a)
Virgorous baby
Skor APGAR 7-10, dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan resusitasi.
b) Mild-moderate asphyxia (asfiksia sedang)
Nilai APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari
100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis dan refleks iritabilitas tidak
ada.
c) Asfiksia berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari
100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis berat yang kadang-kadang pucat dan refleks
iritabilitas tidak ada.

Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum


a) Faktor Antepartum
b) Faktor Intrapartum
c) Faktor Janin

HIPERBILIRUBIN (TM 11)

Definisi
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol yang berwarna jingga kuning dan
merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme yang melalui proses
reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi pada sistem retikulo endothial. Bilirubin ini
diproduksi oleh kerusakan normal dari sel darah merah. Bilirubin ini terbentuk dari
hati yang kemudian dilepaskan ke dalam usus sebagai empedu atau cairan yang
berfungsi untuk membantu pencernaan.

Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan adanya peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, sehingga sel darah merah tersebut mengalami
pemecahan sel dengan lebih cepat. Namun hiperpilirubinemia juga dapat disebabkan
karena penurunan uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan adanya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Secara etiologi hiperbilirubinemia pada neonatus dapat dibagi menjadi :
1. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini akan melebihi kemampuan neonates
untuk mengeluarkan zat. Contohnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan saat proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini disebabkan oleh
asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom criggler-Najjar). Adapun penyebab lain seperti defisiansi protein. Protein Y
dalam hepar mempunyai peran penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin yang ada dalam darah terikat pada
albumin yang kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin dapat
dipengaruhi oleh obat contohnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin akan
menyebabkan lebih banyak bilirubin indirek yang bebas dalam darah dan mudah
melekat pada sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ekskresi dapat terjadi karena obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan yang berada diluar hepar biasa disebabkan adanya
kelainan bawaan. Sedangkan obstruksi dalam hepar biasa disebabkan adanya infeksi
atau kerusakan hepar karena penyebab lain. (Nelson (2011)).

Patofisiologi
Produksi bilirubin sebagian besar 70-80% dari eritrosit yang sudah rusak. Kemudian
bilirubin yang tidak terkonjugasi dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan
albumin. Sedangkan bilirubin yang terkonjugasi diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi mampunyai usus yang belum sempurna karena belum ada
bakteri pemecah, sehingga pemecahan pada bilirubin gagal dan menjadi bilirubin
indirek (tak terkonjugasi) yang kemudian ikut masuk ke dalam aliran darah, sehinga
bilirubin tetap bersikulasi. Pembentukan bilirubin yang terjadi dalam sistem
retikuloendotelial selanjutnya akan dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan
dengan albumin. Kapasitas ikatan plasma dalam neonatus sangat rendah terhadap
bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitan ikatan molar juga
kurang. Bilirubin yang sudah terikat bersama albumin tidak dapat memasuki susunan
syaraf pusat dan bersifat toksik.

Klarifikasi Hiperlubirubin
a) Hiperbilirubinemia Fisiologis
b) Hiperbilirubinemia Patologis

Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir
tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih
(Mansjoer, 2013). Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirek pada
kulit sehingga menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direk
bisanya dapat menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor.
Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih
fatal, hiperbilirubinemia pada neonatus dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu
kerusakan neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental,
hiperaktivitas, bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta
tangisan yang melengking.

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium


a. Pemeriksaan Fisik
b. Pemeriksaan Laboratorium

RDS (TM 12)


Respiratory Distress Syndrome
(RDS)

Definisi
Sindrom gawat napas atau RDS adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi
pernapasan pada neonatus. Sindrom ini merupakan penyakit yang berhubungan
dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Asrining Surasmi, Siti
Handayani, 2003). RDS disebut juga sebagai penyakit membran hialin (hyalin
membrane disease, (HMD)) atau penyakit paru akibat difisiensi surfaktan
(surfactant deficient lung disease (SDLD)). Gangguan pertukaran gas adalah
kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida pada
membran alveolus-kapiler. Gangguan pertukaran gas merupakan keadaan individu
mengalami penurunan gas baik oksigen maupun karbon dioksida antara alveoli paru
dengan sistem vascular, dapat dipicu oleh sekresi yang kental atau imobilisasi akibat
adanya penyakit pada sistem neurologis, terjadi depresi pada susunan saraf pusat, atau
terjadi penyakit radang pada paru.

2. Etiologi
RDS sering ditemukan pada bayi prematur dan sangat berkaitan erat dengan
usia kehamilan. Dengan ungkapan lain semakin muda usia kehamilan ibu,
semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia
kehamilan, semakin rendah kejadian RDS. Penyebab SGNN adalah penyakit
membran hialin (PMH) yang terjadi akibat kekurangan surfaktan. Surfaktan adalah
suatu kompleks lipoprotein yang merupakan bagian dari permukaan mirip film yang
ada di alveoli, untuk mencegah kolapsnya paru. Ketidakadekuatan surfaktan
menimbulkan kolaps paru, sehingga menyebabkan hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Sedangkan penyebab dari gangguan pertukaran gas adalah ketidakseimbangan
ventilasi perfusi dan perubahan membran alveolus kapiler.
3. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk
berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor utama
terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut terutama
disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Kekurangan atau
ketidakmatangan fungsi sufaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat
inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi.

Manifestasi klinis
Umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram
atau masa gestasi 30-36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan, dan sering disertai
dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir
kehamilan.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita RDS dengan gangguan
pertukaran gas :
a. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o- 37oc)
dengan cara meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus
adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen harus dilakukan dengan hati-hati karena berpengaruh kompleks
terhadap bayi prematur. Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental) dan lain-
lain. Untuk mencegah terjadinya komplikasi, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan
pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas untuk pemeriksaan analisa gas
darah arteri tidak ada, maka O2 diberikan dengan konsentrasi O2 tidak lebih dari 40%
sampai gejala sianosis menghilang.

6. Pengobatan
Pengobatan RDS bertujuan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah agar
organ tubuh pasien berfungsi normal dan terhindar dari gagal organ. Tujuan lain dari
pengobatan RDS adalah untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.
Beberapa metode untuk mengatasi RDS adalah:
a. Memberikan bantuan oksigen melalui selang hidung atau masker bagi pasien
dengan gejala ringan
b. Memasang alat bantu napas dan ventilator untuk membantu mengalirkan oksigen
ke paru- paru
c. Memberikan cairan melalui infus

d. Memberikan asupan nutrisi menggunakan selang nasogastrik yang dipasang


melalui hidung
e. Memberikan obat antibiotik untuk mencegah dan mengatasi infeksi
f. Memberikan obat pengencer darah untuk mencegah penggumpalan darah di kaki
dan paru-
paru
g. Memberikan obat pereda nyeri, obat untuk mengurangi asam lambung, dan obat
untuk
meredakan kecemasan

7. Pencegahan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya RDS,
yaitu:
1. Menghentikan kebiasaan merokok dan menjauhi paparan asap rokok
2. Menghentikan konsumsi minuman beralkohol
3. Menjalani imunisasi flu setiap tahun dan imunisasi PCV setiap 5 tahun untuk
mengurangi
risiko terjadinya infeksi paru-paru

8. Diagnosis Respiratory Distress Syndrome


Dokter akan menanyakan gejala dan riwayat penyakit pasien, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan tanda-
tanda vital, seperti laju atau frekuensi pernapasan, tekanan darah, denyut nadi, suhu,
serta warna kebiruan pada bibir dan kuku, dan pemeriksaan fisik dinding dada. Untuk
memastikan diagnosis dan penyebab, dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan
di bawah ini :
1. Tes darah, untuk mengukur kadar oksigen dalam darah (analisa gas darah) dan
memeriksa kemungkinan anemia atau infeksi
2. Rontgen dada, untuk melihat lokasi dan banyaknya penumpukan cairan di dalam
paru- paru, sekaligus mendeteksi kemungkinan pembesaran jantung
3. CT scan, untuk melihat kondisi paru-paru dan jantung dengan gambaran yang lebih
detail
4. Ekokardiografi (USG jantung), untuk menilai kondisi dan struktur jantung serta
mendeteksi ada tidaknya gangguan fungsi jantung
5. Elektrokardiogram (EKG), untuk melihat aktivitas kelistrikan jantung dan
menyingkirkan kemungkinan gejala disebabkan oleh penyakit jantung
6. Kultur atau pemeriksaan sampel dahak, untuk mengetahui bakteri atau
mikroorganisme
lain yang menyebabkan infeksi
7. Biopsi atau pengambilan sampel jaringan dari paru-paru, untuk menyingkirkan
kemungkinan gejala disebabkan oleh penyakit paru-paru selain RDS
THYPOID FEVER (TM 13)

Definisi Penyakit Demam Tifoid


Demam thypoid atau enteric fever adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu.
Gangguan pada pencernaan dan gangguan keasadaran. Demam thypoid disebabkan
oleh infeksi salmonella typhi. Tifoid adalah penyakit infeksi akut pada usus Thypoid
fever atau demam halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan gangguan kesadaran.

Etiologi Demam Tifoid


Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri samonella typhi. Bakteri
salmonella typhi adalah berupa hasil gram negatif, bergerak dengan rambut getar,
tidakberspora, dan mempunyai tiga macam antigen yaitu antigen O (somatik yang
terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flegella), dan antigen VI.
Dalam serum penderita, terdapat zat (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Kuman tumbuh pada suasana acrob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41
derajat celsius (optimum 37 dderaja celsius) dan pH pertumbuhan 6-8. Faktor
pencetus lainnya adalah lingkungan, sistem imun yang rendah, feses, urin,
makanan/minuman yang terkontaminasi, formalitas dan lain sebagainya.

Patofisiologi Demam Tifoid


Proses perjalanan penyakit kuman masuk ke dalam mulut melalui makanan dan
minuman yang tercemar oleh salmonella (biasanya >10.000 basil kuman). Sebagian
kuman dapat dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus
halus. Jikä respon imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil
salmonella akan menembus sel sel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju lamina
propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di ileum distal dan
kelenjar getah bening mesenterika.

Cara Pencegahan Demam Tifoid


Cara terbaik untuk mencegah demam tifoid adalah dengan menjaga kebersihan dan
memperbaiki sanitasi. Selain itu, dapat melakukan cara – cara dibawah ini :
a. Vaksinasi, yang dianjurkan pemerintah Indonesia tapi tidak diwajibkan. Vaksin bisa
diberikan secara oral maupun suntikan pada anak diatas usia dua tahun.
b. Cuci tangan dengan air dan sabun, terutama setelah menyiapkan makanan atau
setelah buang air.
c. Menghindari makanan mentah karena bakteri penyebab demam tifoid mungkin saja
tersisa di produk – produk tersebut.
d. Menghindari kontak dengan orang sakit karena bakteri sangat mudah menyebar
dari satu orang ke orang lainnya.

Diagnosis Demam Tifoid


Dasar diagnosis demam tifoid adalah kultur positif dari darah atau tempat anatomis
lain. Hasil kultur darah positif pada 40-60% pasien yang terlihat pada awal perjalanan
penyakit, dan kultur feses dan urin menjadi positif setelah minggu pertama. Hasil
kultur tinja juga kadang- kadang positif selama masa inkubasi. Namun, sensitivitas
kultur darah dalam mendiagnosis demam tifoid di banyak bagian negara berkembang
terbatas karena peresepan antibiotik yang meluas dapat membuat konfirmasi
bakteriologis menjadi sulit. Meskipun kultur sumsum tulang dapat meningkatkan
kemungkinan konfirmasi bakteriologis tifus, ini sulit diperoleh dan relativ invasif.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengembangan teknik diagnostik PCR bersarang yang
sensitif telah memungkinkan untuk mendeteksi demam tifoid dengan sensitivitas yang
lebih besar daripada kultur darah sehingga menimbulkan pertanyaan apakah kultur
darah dapat dianggap sebagai “standar emas” untuk diagnosisnya.

MENINGITIS (TM 14)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Meningitis adalah radang dari selaput otak yaitu lapisan arachnoid dan piameter
yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Judha & Rahil, 2012). Pengertian lain juga
menyebutkan bahwa meningitis adalah inflamasi arakhnoid dan pia mater yang
mengenai CSS (Cairan Serebro Spinal). Infeksi menyebar ke subarachnoid dari otak
dan medula spinalis biasanya dari ventrikel (Batticaca, Fransisca, 2008).

2. Etiologi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan penyakit meningitis muncul yaitu salah
satunya adalah
bakteri, faktor predisposisi, faktor maternal, dan faktor imunologi. Menurut (Suriadi
& Yuliani, 2006) penyebab meningitis yaitu sebagai berikut :
Bakteri, yaitu Haemophilus influenza (tipe B), Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Listeria monocytogenes, dan Staphylococcus aureus.
c. Faktor predisposisi, yaitu jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan
dengan wanita
b. Faktor maternal, yaitu ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan
c. Faktor imunologi, yaitu defisiensi mekanisme imun, defisiensi immunoglobulin,
anak yang mendapat obat-obat imunosupresi.
Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan.

3. Klarifikasi
Penyakit meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan
otak yaitu
a. Meningitis Serosa.
Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai
cairan otak yang jernih (serous). Penyebab meningitis serosa yang paling sering
terjadi adalah mycrobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya seperti virus, gondhii,
toxoplasma dan rickettsia (Harsono, 1996). Meningitis tuberkulosa merupakan bagian
dari meningitis serosa.

b. Meningitis Purulenta.
Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang
melingkupi
otak dan medulla spinalis. Penyebab dari penyakit ini berdasarkan golongan umur
adalah masa neonatus oleh E.coli, streptokokkus beta hemolitikus, dan listeria
monositogenes. Kelompok umur anak dibawah 4 tahun yaitu hemofilus influenza,
meningokokus, dan pneumokokus. Kelompok umur diatass 4 tahun dan orang dewasa
adalah meningokokus dan pneumokokus (Harsono, 2015).

c. Patofisiologis
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak oleh
penyebaran hematogen, tapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna
putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput otak, sumsum tulang belakang, tulang.

e. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungi lumbal
a. Meningitis : bakterial tekanan meningkat, cairan keruh cairan keruh/berkabut,
jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat kultur positif
terhadap beberapa jenis bakteri.
b. Meningitis virus : tekanan bervariasi tekanan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus
biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis)
3. LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
5. Elektrolit : darah abnormal
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis.
7. Kultur darah/hidung/tenggorokan/urine dapat mengidentifikasikan daerah pusat
infeksi atau
mengidentifikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/akan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, Melihat ukuran/letak
vertikel, hematom daerah cerebral, hemoragik atau tumor
9. Rongsen dada/kepala/sinus : mungkin ada indikasi sumber infeksi intracranial

4. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat
perlumenyesuaikan dengan
standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang bergunasebagai bahan kolaborasi
dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi
pemberian antibiotic yang mampu melewati barierdarah otak ke ruang subarachnoid
dalam konsentrasi yang cukup untukmenghentikan perkembangbiakan bakteri.
Baisanya menggunakan sefaloposforingenerasi keempat atau sesuai dengan hasil uji
resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan.
Obat anti infeksi (meningitis tuberkulosa)
1. Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1
setengah
tahun.
2. Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.
3. Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.
Obat anti-infeksi (meningitis bakterial)
1. Sefalosporin generasi ketiga
2. Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari
3. Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.
Pengobatan simtomatis:
1. Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4.0,6 mg/kgBB,
atau
fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3 x
sehari
2. Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis
3. Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati
edema serebri.

5. KOMPLIKASI
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder

Anda mungkin juga menyukai