Anda di halaman 1dari 12

Skenario 2. Tak Pernah Kejang Sebelumnya.

An.G,usia 12 bulan dibawa ke UGD RSUD oleh orangtuanya karena kejang. Kejang terjadi kira
kira 1 jam yang lalu. Kejang terjadi di seluruh tubuh, mata mendelik ke atas sebanyak 1x selama
kurang kebih 5 menit. Setelah kejang berhenti anak terbangun dan menangis. Menurut ibunya, 2
hari sebelumnya anak mengalami diare. Diare sebanyak 8x sehari tanpa disertai lendir dan darah.
Kemudian diikuti demam. Demam kira kira sejak 12 jam sebelum kejang terjadi, demam tinggi
terus menerus. Pasien adalah anak kedua, dimana kakak pasien juga pernah mengalami hal yang
sama saat kakak berusia 2 tahun. Pasien tidak pernah mengalami keluhan kejang sebelumnya.
Tidak ada riwayat terjatuh dengan kepala terbentur sebelum demam, tidak pingsan, tidak
muntah, tidak nyeri kepala. Menurut ibu, selama mengandung pasien, ia rutin memeriksakan
kehamilannya ke bidan setiap 1 bulan sekali dan tidak ada keluhan atau penyulit selama
kehamilannya. Pasien lahir cukup bulan, spontan, langsung menangis. Berat badan lahir 3300
gram dan panjang badan 49 cm. Pasien diberi ASI hingga pasien berusia 2 tahun, namun 6 bulan
pertama pasien tidak diberi ASI secara eksklusif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien
dengan keadaan kompos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, status gizi baik
(berdasarkan Z score Berat Badan/Umur, 8,9kg/12bl), nadi:166 x/menit, regular, respirasi: 40
x/menit, dengan temperatur aksila 39 oC. Pada pemeriksaan THT, hidung terdapat sekret di
kedua mukosa hidung. Pemeriksaan thoraks dbn. Pemeriksaan abdomen tidak tampak distensi,
bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku
kuduk dan rangsang meningeal lainnya negatif. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan lekosit
21.500/mmk.

STEP 1

1) Kejang : Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai
mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan.
2) Z Score : Ambang batas normal yang digunakan untuk mengetahui batas normal status
gizi anak
3) Demam : Demam (pireksia) adalah keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin 1 (IL
– 1). Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara
produksi dan pelepasan panas
4) ASI : Cairan yang disekresikan oleh kelenjar payudara ibu berupa makanan alamiah atau
susu terbaik bernutrisi dan berenergi tinggi yang diproduksi sejak masa kehamilan.
5) Distensi : Proses peningkatan tekanan abdominal yang menghasilkan peningkatan
tekanan dalam perut dan menekan dinding perut.
6) Compos Mentis : Keadaan sadar penuh dimana pasien tidak mengalami disorientasi
tempat dan waktu maupun kekacauan verbal
7) Rangsang Meningeal : Indikasi bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub
arachnoid terdapat benda asing seperti darah, maka dapat merangsang selaput otak.
Terdapat 4 perasat yang dilakukan berupa Brudzinsi 1,2,3,4 dan Kernig sign

STEP 2

1. Bagaimana bisa terjadi demam?


2. Mengapa bisa tejadi kejang?
3. Apa hubungan kejang dengan riwayat kejang pada kakak pasien?
4. Apa yang harus dilakukan bila kembali kejang?
5. Adakah hubungan diare dan demam dengan kejang yang dialamai oleh pasien?
6. Apakah pemberian ASI eksklusif berpengaruh dengan keluhan yang dialami pasien ?
7. Mengapa ditanyakan riwayat trauma pasien?
8. Mengapa pasien mengalami diare?
9. Interpretasi pemeriksaan fisik
10. Apa yang terjadi pada pasien?

STEP 3

1. Bagaimana bisa terjadi demam pada pasien?


Pada demam, kenaikan suhu 1 0 C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 -
15 % dan kebutuhan O2 meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi
otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa (hanya 15%)
oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron
dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion kalium dan natrium melalui membran
listrik. dengan bantuan ”neurotransmitter”, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini
dapat menimbulkan kejang. (Ngastiyah,2005)

2. Mengapa bisa terjadi kejang?


Kejang adalah bangkitan yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas
380C) yang disebabkan oleh suatu proses ektrakranium ( = di luar rongga tengkorak).
Kejang tersebut biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi ( demam ). Demamnya
sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang paling utama adalah infeksi.
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi terjadinya kejang
demam.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kejang demam menurut Lumban
Tobing (2005) :
1. Demam itu sendiri, yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih, kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi.
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme
3. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
4. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan, yang tidak diketahui atau
enselofati toksik sepintas.
Berikut adalah penyebab tersering dari terjadinya kejang pada anak :
 Kejang demam
 Infeksi : meningitis, ensefalitis
 Gangguan metabolik : hipoglikemia, hipoatremia, hipoksemia, hipokalsemia,
gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan
metabolik bawaan
 Trauma kepala
 Keracunan : alkohol, teofilin
 Penghentian obat anti epilepsi
 Lain-lain : enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial, idiopatik4
3. Apa hubungan kejang dengan riwayat kejang pada kakak pasien?
Ditemukan lebih dari separuh pasien kejang demam berulang yang memiliki
riwayat kejang demam dalam keluarga (73,2%). Hal ini dikaitkan dengan kepustakaan
bahwa faktor genetik turut berperan dalam timbulnya kejang demam pada anak. Kejang
demam diturunkan secara dominan autosomal sederhana sehingga banyak pasien kejang
demam berasal dari orangtua yang pernah menderita kejang demam.
Kejang demam dengan riwayat keluarga yang positif berisiko lebih tinggi.
Keluarga yang memiliki riwayat menderita kejang demam 25-40% dapat diturunkan.
Beberapa hasil dilaporkan bahwa kejang demam pada saudara kandung berkisar dari 9%
menjadi 22%. Studi pengelompokan keluarga menunjukkan dua kali lipat lebih berisiko
pada anak yang kedua orangtuanya menderita dari pada salah satu dari orangtuanya.
Studi lain melaporkan untuk membuktikan maka dikaitkan dengan dasar genetika, yaitu
hubungan antara kromosom (2q, 5q, 8q, 19p, dan 19q) dengan keterkaitan kuat pada
kromosom 2q serta kaitan khusus dengan gen yang bertanggung jawab pada reseptor
saluran khusus sodium dan mutasi pada alpha (α), serta keterkaitan antara Subunit
pertama dari gen saluran natrium neuron dan kromosom 2q, 19q, dengan fenotip kejang
demam, epilepsi umum (tonik klonik, absensi, dan mioklonik), dan kelanjutan dari kejang
demam (diatas 5 tahun). Jelas, kejang demam adalah suatu kondisi yang heterogen, rumit
dan belum jelas patofisiologi dan dasar genetikanya.
Pada kasus kejang demam riwayat terjadinya kejang demam dapat diturunkan
sampai kurang lebih 60 %, diturunkan secara dominan dengan gejala yang tidak
lengkap Anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam. Bila kejang demam
sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan, maka risiko kejang
demam ke dua 50 %, dan bila kejang demam seder -hana pertama terjadi setelah umur
12 bulan, risiko kejang demam ke dua turunmenjadi 30%.. Setelah kejang demam
pertama, 2-4 % anak akan berkembang menjadi epilepsy dan 4 kali risikonya
dibandingkan populasi umum.

4. Apa yang harus dilakukan bila kembali kejang?


1. Tetap tenang dan tidak panic
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar le-her
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mu-lut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk ke-jang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang.
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlang-sung 5 menit atau lebih

5. Adakah hubungan diare dan demam dengan kejang yang dialamai oleh pasien
Dehidrasi merupakan komplikasi dari kejadian diare yang disebabkan karena tubuh
mengalami kehilangan cairan 40-50 ml/kg berat badan. Pasien dengan dehidrasi
mengalami kekurangan cairan dan elektrolit yang dapat mengakibatkan demam, karena
cairan dan elektrolit ini merupakan komponen yang sangat berpengaruh dalam
keseimbangan termoregulasi di hipotalamus anterior, sehingga jika pasien mengalami
dehidrasi maka keseimbangan termoregulasi di hipotalamus anterior akan mengalami
gangguan. Apabila anak kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi), maka elektrolit-
elektrolit yang ada pada pembuluh darah berkurang padahal dalam proses metabolisme di
hipotalamus anterior membutuhkan elektrolit tersebut, sehingga kekurangan cairan dan
elektrolit mempengaruhi fungsi hipotalamus anterior, dalam mempertahankan
keseimbangan termoregulasi dan akhirnya menyebabkan demam.
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang.

6. Apakah pemberian ASI eksklusif berpengaruh dengan keluhan yang dialami pasien ?
Kejadian diare pada bayi dapat disebabkan karena kesalahan dalam pemberian makan,
dimana bayi sudah diberi makan selain ASI ( Air Susu Ibu ) sebelum berusia 4 bulan
(Susanti, 2004). Perilaku tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena
alasan sebagai berikut;
a. Pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI,
b. Bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang hanya dapat
diperoleh dari ASI ,
c. Adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh
bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan makanan atau minuman
kepada bayi tidak steril.
Berbeda dengan makanan padat ataupun susu formula, ASI bagi bayi merupakan
makanan yang paling sempurna. Pemberian ASI secara dini dan eksklusif sekurang-
kurangnya 4-6 bulan akan membantu mencegah penyakit pada bayi. Hal ini disebabkan
karena adanya antibodi penting yang ada dalam kolostrum dan ASI (dalam jumlah yang
sedikit). Selain itu ASI juga selalu aman dan 10 bersih sehingga sangat kecil
kemungkinan bagi kuman penyakit untuk dapat masuk ke dalam tubuh bayi.

7. Mengapa ditanyakan riwayat trauma pasien?


Karena pada kejang demam kejang diakibatkan oleh proses ekstrakranial bukan infeksi
intracranial yang melibatkan SSP seperti meningitis, ensefalopati maupun ensefalitis
dalam scenario juga didukung dengan pemeriksaan fisik berupa pemeriksaan meningeal
dan kaku kuduk yang negative yang menandakan tidak adanya infeksi pada otak atau
perdarahan subdural karena trauma.

8. Mengapa pasien mengalami diare?


Diare atau gastroenteritis (GE) adalah suatu infeksi usus yang menyebabkan keadaan
feses bayi encer dan/atau berair, dengan frekuensi lebih dari 3 kali perhari, dan kadang
disertai muntah. Diare menyebabkan kehilangan garam (natrium) dan air secara cepat,
yang sangat penting untuk hidup. Jika air dan garam tidak digantikan cepat, tubuh akan
mengalami dehidrasi. Kematian terjadi jika kehilangan sampai 10% cairan tubuh. Diare
timbul akibat dari mekanisme dasar yaitu gangguan osmotik, gangguan sekresi dan
gangguan motilitas usus. Penyebab diare terbagi menjadi 4 faktor, yaitu faktor infeksi
terbagi menjadi 2 yaitu infeksi eneral dan infeksi parenteral. Infeksi interal adalah infeksi
yang berasal dari saluran pencernaan itu sendiri sebagai penyebab utama diare.
Sedangkan untuk parenteral adalah adanya faktor diluar sistem pencernaan yang
mengakibatkan timbulnya diare, yaitu seperti Otitis Media Akut, Tonsilofaringitis dan
lainnya, untuk infeksi pareneteral terutama terjadi pada anak berumur dibawah 2 tahun.
Pada pasien diare dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit dalam tubuh
sehingga muncullah manifrstasi demam

9. Interpretasi pemeriksaan fisik

Kejang terjadi di seluruh Masuk dalam kejang demam simpleks atau


tubuh, mata mendelik ke atas sederhana Berlangsung singkat, kurang dari
sebanyak 1x selama kurang 15 menit dan umumnya akan berhenti
kebih 5 menit. sendiri
Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal,
Tidak ada riwayat terjatuh dengan Dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kepala terbentur sebelum demam, kejang akibat gangguan pada SSP
tidak pingsan, tidak muntah, tidak
nyeri kepala
nadi:166 x/menit, regular Takikardi
respirasi: 40 x/menit, Takipneu

temperatur aksila 39 ºC Demam febris

Pada pemeriksaan THT, hidung


terdapat sekret di kedua mukosa
hidung.
Pemeriksaan thoraks dbn
Pemeriksaan abdomen tidak Tidak ada kemungkinan adanya ileus
tampak distensi, bising usus atau organomegali akibat infeksi
normal, hepar dan lien tidak teraba
Pada pemeriksaan neurologis Tidak terdapat adanya infeksi atau
didapatkan kaku kuduk dan perdarahan subdural yang mengenai SSP
rangsang meningeal lainnya (Meningens) pada pasien
negatif.
Pada pemeriksaan darah rutin Leukositosis
didapatkan lekosit 21.500/mmk.

a. Pasien dengan keadaan kompos mentis, artinya disini pasien sadar sepenuhnya,
baik terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya
b. Keadaan umum tampak sakit sedang,
c. Status gizi baik (berdasarkan Z score Berat Badan/Umur, 8,9kg/12bl),
d. Nadi 166 x/menit, regular
Denyut nadi pada bayi termasuk ke dalam takikardi, karena normalnya pada usia
bayi denyut nadinya 120 – 160 x / menit. Bila frekuensi nadi lebih dari 160 kali
per menit, disebut takikardia (pulsus frequent); sedangkan bila frekuensi nadi
kurang dari 100 kali per-menit, disebut bradikardia (pulsus rarus).
e. Respirasi 40 x/menit
Respirasi pada bayi termasuk ke dalam Normal. Frekuensi pernapasan pada bayi
usia 6 - < 2 tahun adalah 30 - 50 kali per menit. Bila frekuensi pernapasan kurang
dari 35 kali per menit, disebut bradipneu, sedangkan bila lebih dari 50 kali
permenit, disebut takipneu.
f. Temperatur aksila 39 ºC
Temperatur suhu pada pasien termasuk febris. Suhu tubuh yang normal adalah
36,6-37,2°C.
g. Pada pemeriksaan THT, hidung terdapat sekret di kedua mukosa hidung.
Sekret serous merupakan sekret hidung encer yang sering ditemukan pada pasien
dengan rhinitis alergi dan rinitis vasomotor. Jenis sekret ini terdiri atas protein
pembuluh darah yang bocor dari pembuluh darah yang permeabel dan sering
terjadi pada kasus alergi. Sekret purulen (nanah) merupakan sekret yang bersifat
kental, putih kekuningan dan kadang berbau busuk. Sekret purulen sering
ditemukan pada penderita sinusitis yaitu inflamasi mukosa sinus paranasal dengan
penyebab utamanya infeksi virus yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri.
h. Pemeriksaan thoraks dbn.
Pemeriksaan abdomen tidak tampak distensi, bising usus normal, hepar dan lien
tidak teraba.
i. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk dan rangsang meningeal
lainnya negatif.
j. Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan lekosit 21.500/mmk = leukositosis. Bayi
yang baru lahir umumnya memiliki jumlah leukosit antara 9.000–30.000 per
mikroliter (mcL) darah. Rentang jumlah leukosit normal ini akan berubah seiring
dengan bertambahnya usia hingga hanya menjadi 5.000–10.000 mcL saat dewasa.
Leukositosis umumnya disebabkan oleh hal-hal berikut:
 Respon tubuh untuk melawan infeksi bakteri, virus, ataupun alergen;
 Dampak dari konsumsi obat-obatan tertentu;
 Kelainan sistem kekebalan tubuh (autoimun) yang meningkatkan produksi sel
darah putih; dan
 Adanya gangguan di sumsum tulang yang menyebabkan produksi sel darah
putih tidak normal.

10. Apa yang terjadi pada pasien?


Kemungkinan yang terjadi pada pasien dalam skenario di atas yaitu kejang
demam. Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal diatas 38 Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun.1 Dari
penelitian didapatkan bahwa sekitar 2,2%-5% anak pernah mengalami kejang demam
sebelum mereka mencapai usia 5 tahun.8
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts Epilepsy
(Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993) adalah kejang yang disebabkan
kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4oC tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau
gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya. Demam pada kejang demam umumnya disebabkan oleh infeksi,
yang sering terjadi pada anak-anak, seperti infeksi traktus respiratorius dan
gastroenteritis.
Kejang demam adalah Kejang pada anak, biasanya pada usia 6 bulan – 5 tahun,
yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal >38º C ) dan bukan disebabkan oleh
infeksi SSP atau penyebab lain. Anak yang pernag mengalami kejang dengan demam
memiliki factor resiko mengalami kejang demam di kemudian hari. Sedangkan anak
dengan riwayat kejang tanpa demam dan saat ini mengalami kejang dengan demam juga
bukan termasuk kategori kejang demam. Selain itu kejang demam pada usia kurang dari 6
bulan dan lebih dari 5 tahun dapat dipikirkan etiologi kejang lain seperti kelainan pada
SSPnya
Klasifikasi
ILAE (1993) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu5 :
a. Kejang demam kompleks
• Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang bewrulang lebih
dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
• Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
• Berulang dalam 24 jam
B. Kejang demam sederhana
• Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri
• Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal,
• Kejang tidak berulang dalam 24 jam
Pada kasus termasuk dalam kasus kejang demam sederhana.

STEP 4

Kejang Demam

Etiologi dan Faktor Patofisiologi Tatalaksana Komplikasi dan


Risiko Prognosis

Penegakan
Diagnosis dan
Diagnosis Banding

AIK Peran Dokter


Keluarga

STEP 5
1. Etiologi dan faktor risiko
2. Patofisiologi
3. Penegakan diagnosis dan diagnosis banding
4. Tatalaksana
5. Komplikasi dan prognosis
6. Peran dokter keluarga
7. AIK

DAFTAR PUSTAKA

1. Company WS. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC; 2010.
2. Wiji, R.N. ASI dan pedoman Ibu Menyusui. Yogyakarta : Nuha Medika; 2013
3. Bahar, As’ari. Wuysang, Devi. Clinical Skills lab VI : Pemeriksaan Neurologik Lainya.
Makassar : Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2017
4. Kania N. Kejang pada Anak. Bandung : Klinik Penanganan Kejang pada Anak di AMC
Hospital; 2007.
5. Wardhani AK. Kejang Demam Sederhana pada Anak Usia Satu Tahun. Jurnal Medula.
September 2013; Vol 1 (1)
6. Wijayanti W. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare
pada Bayi Umur 0-6 Bulan di Puskesma Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta
[skripsi]. Surakarta : Fakultas Kedokteran Uniersiras Sebelas Maret; 2010
7. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku ajar
ilmu penyakit dalam jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014
8. The International League Againts Epilepsy (ILAE), 1993. Guidelines for epidemiologic
studies on epilepsy. Epilepsia. 34:592–596 3
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009. Kejang Demam Apakah Menakutkan?. Diambil
dari http://www.idai.or.id/tips/artikel.asp?q=2009421101559 [Diakses pada tanggal 11
September 2013]
10. Tumbelaka,Alan R.,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia.,Putro Widodo,Dwi. Penanganan
Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005
11. Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta
Kedokteran : kejang Demam. Edisi ke3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2000.
12. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam.
Badan penerbit IDAI. Jakarta, 2006.
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatri Tropis. Badan penerbit
IDAI. Jakarta, 2010.
14. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak
: Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.

Anda mungkin juga menyukai