Meskipun penyebab definitifnya tidak dapat ditentukan, faktor risikonya antara lain:
a. Faktor Biologis
Neurotransmiter serotonin. Davison & Neale menjelaskan bahwa salah satu
penjelasan yang mungkin tentang gangguan obsesif-kompulsif adalah keterlibatan
neurotransmitter di otak, khususnya kurangnya jumlah serotonin. Banyak uji coba kinis
yang telah dilakukan menyokong hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin terlibat di
dalam pembentukan gejala obsesi dan kompulsi pada gangguan ini. Data menunjukkan
bahwa obat serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang mempengaruhi sistem
neurotransmiter lain. Tetapi tidak jelas apakah serotonin terlibat sebagai penyebab
gangguan obsesif-kompulsif.
Neurotransmitter noradrenergik. Baru-baru ini, lebih sedikit bukti yang ada
untuk disfungsi sistem noradrenergik pada gangguan obsesif kompulsif. Laporan tidak
resmi menunjukkan sejumlah perbaikan gejala gangguan obsesif-kompulsif dengan
klonidin oral.
Neuroimunologi. Terdapat hubungan positif antara infeksi streptokokkus dengan
gangguan obsesif kompulsif. Infeksi streptokokkus grup A beta hemolitik dapat
menyebabkan demam reumatik dan sekitar 10-30% pasien mengalami chorea sydenham
dan menunjukkan gejala obsesif kompulsif. Awitan infeksi biasanya terjadi pada usia
sekitar 8 tahun untuk menimbulkan gejala sisa itu. Keadaan ini disebut pediatric
autoimmune neuropsychiatric disorder associated with streptococcal infection
(PANDAS). Beberapa penelitian melaporkan kejadian gangguan obsesif-kompulsif
dengan atau tanpa gejala tik pada anak dan dewasa muda mengikuti infeksi streptokokkus
grup A. Sedikit laporan yang menyampaikan bahwa virus herpes simpleks menjadi
penyebab timbulnya gangguan obsesif kompulsif.
Studi pencitraan otak. Berbagai penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai
contoh PET (positron emission tomography), telah menunjukkan peningkatan aktifitas
(contohnya, metabolisme dan aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (terutama
kaudatus), dan cingulum pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Terapi
farmakologis dan perilaku dilaporkan dapat membalikkan abnormalitas ini. Baik
tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) telah
menemukan berkurangnya ukuran kaudatus bilateral pada pasien dengan gangguan
obsesif-kompulsif. Prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-kadang efektif
dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Temuan ini menunjukkan
hipotesis bahwa gejala OCD didorong oleh gangguan penghambatan intracortical dari
sirkuit orbitofrontal-subkortikal spesifik yang menengahi emosi yang kuat dan respon
otonom untuk emosi.
Genetik. Data genetik yang tersedia mengenai gangguan obsesif kompulsif
menyokong hipotesis bahwa gangguan ini memiliki komponen genetik yang signifikan.
Meskipun demikian, data ini belum membedakan pengaruh budaya dan efek perilaku
terhadap transmisi gangguan ini. Studi kembar untuk gangguan ini secara konsisten
menemukan angka kejadian bersama yang lebih tinggi bermakna untuk kembar
monozigot dibandingkan kembar dizigot. Penelitian keluarga pada pasien gangguan
obsesif kompulsif telah menemukan bahwa 35% kerabat derajat pertama pasien gangguan
obsesif-kompulsif juga mengalami gangguan ini.
b. Faktor Perilaku
Menurut ahli teori pembelajaran, obsesi adalah stimulus yang dipelajari. Stimulus
yang relatif netral menjadi dikaitkan dengan rasa takut atau kecemasan melalui proses
pembelajaran responden yaitu dengan memasangkannya dengan peristiwa yang
berbahaya sifatnya atau menimbulkan kecemasan. Dengan demikian objek dan pikiran
yang sebelumnya netral menjadi stimulus yang dipelajari yang mampu mencetuskan
kecemasan atau ketidaknyamanan.
Kompulsi dibentuk dengan cara yang berbeda. Ketika seseorang menemukan
bahwa suatu tindakan tertentu mengurangi kecemasan yang melekat dengan pikiran
obsesional, ia akan mengembangkan strategi menghindar yang aktif dalam bentuk
perilaku kompulsif atau ritualistik untuk mengendalikan kecemasannya. Secara bertahap,
karena efisiensinya dalam mengurangi dorongan sekunder yang menyakitkan
(kecemasan), strategi penghindaran menjadi terfiksasi seperti pola perilaku kompulsif
yang dipelajari.
c. Faktor Psikososial
Faktor kepribadian. Gangguan obsesif-kompulsif berbeda dengan gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar orang dengan gangguan obsesif-kompulsif
tidak memiliki gejala kompulsif pramorbid dan ciri kepribadian seperti itu tidak perlu
atau tidak cukup untuk menimbulkan gangguan obsesif-kompulsif. Hanya kira-kira 15
sampai 35 persen pasien gangguan obsesif-kompulsif memiliki ciri obsesional pramorbid.
Faktor psikodinamik. Sigmund Freud asalnya mengonsepkan keadaan yang
sekarang kita sebut gangguan obsesif kompulsif sebagai neurosis obsesif kompulsif. Ia
menganggap terdapat kemunduran defensif dalam menghadapi dorongan oedipus yang
mencetuskan kecemasan. Ia mendalilkan bahwa pasien dengan neurosis obsesif
kompulsif mengalami regresi perkembangan psikoseksual ke fase anal. Walaupun terapi
psikoanalitik tidak akan mengubah obsesi atau kompulsi yang berkaitan dengan penyakit
secara langsung, tilikan psikodinamik dapat memberikan banyak bantuan dalam
memahami masalah dengan kepatuhan terapi, kesulitan interpersonal, dan masalah
kepribadian yang menyertai gangguan aksis I. Meskipun gejala gangguan obsesif
kompulsif dapat didorong secara biologis, pasien dapat menjadi tertarik untuk
mempertahankan simtomatologi karena adanya keuntungan sekunder. Contohnya, pasien
laki-laki yang ibunya tinggal di rumah untuk merawatnya, secara tidak sadar dapat ingin
bertahan pada gejala gangguan obsesif kompulsifnya karena gejala tersebut berarti ibunya
tetap memperhatikannya. Kontribusi pemahaman psikodinamik lannya melibatkan
dimensi interpersonal. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kerabat akan mengakomodasi
pasien melalui partisipasi aktif di dalam ritual atau modifikasi kegiatan rutin sehari-hari
yang signifikan. Bentuk akomodasi keluarga ini berhubungan dengan tekanan di dalam
keluarga, sikap penolakan terhadap pasien, dan fungsi keluarga yang buruk. Seringkali
anggota keluarga terlibat dalam upaya mengurangi kecemasan pasien atau
mengendalikan ekspresi kemarahan pasien. pola keterkaitan ini dapat terinternalisasi dan
dimunculkan ketika pasien memasuki lingkungan terapi. Akhirnya satu kontribusi
pemikiran psikodinamik lainnya adalah mengenali presipitan yang memulai atau
memperberat gejala. Seringkali kesulitan interpersonal meningkatkan kecemasan pasien
sehingga juga meningkatkan simtomatologi pasien. Riset mengesankan bahwa gangguan
obsesif kompulsif dapat dicetuskan oleh sejumlah stressor lingkungan khususnya yang
melibatkan kehamilan, kelahiran anak, atau perawatan anak oleh orang tua. Pengertian
akan stresor tersebut membantu klinisi dalam rencan terapi keseluruhan yang membuat
stres itu sendiri atau maknanya bagi pasien.
Faktor psikodinamik lainnya. Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif-
kompulsif dianggap sebagai regresi dari fase oedipus ke fase perkembangan psikoseksual
anal. Ketika pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif merasa terancam oleh
kecemasan, mereka akan mengalami regresi ke tahap yang berhubungan dengan fase
anal. Salah satu ciri yang menonjol pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif
adalah derajat preokupasi yang mereka alami terhadap agresi atau kebersihan baik secara
nyata dalam gejala maupun hubungan yang terletak dibaliknya. Dengan demikian
psikogenesis gangguan obsesif kompulsif dapat terletak pada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan normal terkait fase perkembangan anal-sadistik.
Ambivalensi. Ambivalensi adalah hasil langsung perubahan ciri kehidupan
impuls. Ambivalensi merupakan ciri penting pada anak normal selama fase
perkembangan anal-sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian yang kejam pada
objek yang sama, kadang-kadang bersamaan. Pasien dengan gangguan obsesif kompulsif
sering secara sadar mengalami cinta dan benci pada suatu objek. Konflik emosi yang
berlawanan ini terlihat pada pola perilaku melakukan dan tidak melakukan pola perilaku
dan di dalam keraguan yang melumpuhkan dalam menghadapi pilihan.
Pikiran magis. Di dalam pikiran magis, regresi membuka cara berpikir awal
bukannya impuls; yaitu fungsi ego, dan juga fungsi id, dipengaruhi oleh regresi.
Kelekatan terhadap pikiran magis merupakan omnipotensi pikiran. Banyak pasien dengan
gangguan obsesif kompulsif yakin bahwa hanya dengan memikirkan suatu peristiwa di
dunia eksternal, mereka dapat menyebabkan suatu peristiwa terjadi tanpa tindakan fisik
perantara. Perasaan ini menyebabkan mereka takut memiliki pikiran agresif.
FAKTOR RISIKO
• Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken home, kesalahan
atau kehilangan masa kanak-kanaknya
• Faktor neurobiology dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia dan singulum
• Individu yang memiliki intensitas stress yang tinggi
• Riwayat gangguan kecemasan
• Depresi
• Individu yang mengalami gangguan seksual
3.Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi Obsessive-Compulsive Disorder
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV:
1) Salah satu obsesi atau kompulsi
Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami,
pada suatu saat dimana selama gangguan, sebagai intrusif dan tidak sesuai, dan
menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.
b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang
berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.
c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau bayangan-
bayangan tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.
d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan obsesional adalah
keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran).
Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau tindakan mental
(misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata dalam hati) yang berulang yang
dirasakannya mendorong untuk melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi,
atau menurut dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.
b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau menurunkan
penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan, tetapi
perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan dengan cara yang realistik
dengan apa mereka dianggap untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas
berlebihan.
2) Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-
anak
3) Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas, menghabiskan waktu
(menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna mengganggu rutinitas
normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktifitas atau hubungan sosial yang
biasanya.
4) Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya
(misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan, menarik rambut
jika terdapat trikotilomania, permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan
dismorfik tubuh, preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat,
preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis,
preokupasi dengan dorongan atau fanatasi seksual jika terdapat parafilia, atau perenungan
bersalah jika terdapat gangguan depresif berat).
5) Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk:jika selama
sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Diagnosis banding
Berdasarkan Sadock B.J. and Virginia, A.S. (2010) diagnosis banding untuk penderita
dengan gangguan obsesif kompulsif yaitu:
• Kondisi medis
Gangguan neurologis utama yang dipertimbangkan dalam diagnosis banding
adalah gangguan Tourette, gangguan “tic” lainnya, epilepsi lobus temporalis, dan
kadang-kadang trauma serta komplikasi pascaensefalitis. Gejala khas gangguan Tourette
adalah tik motorik dan vokal yang sering terjadi bahkan setiap hari. Gangguan Tourette
dan gangguan obsesif kompulsif memiliki awitan dan gejala yang serupa. Sekitar 90
persen orang dengan gangguan Tourette memiliki gejala kompulsif dan sebanyak dua
pertiga memenuhi kriteria diagnostik gangguan obsesif kompulsif.
• Kondisi Psikiatri Lain
Pertimbangan psikiatrik utama di dalam diagnosis banding gangguan obsesif-
kompulsif adalah skizofrenia, gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, fobia, dan
gangguan depresif. Gangguan obsesif kompulsif biasanya dapat dibedakan dengan
skizofrenia yaitu tidak adanya gejala skizofrenik lain, sifat gejala yang kurang bizar, dan
tilikan pasien terhadap gangguannya. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif tidak
memiliki derajat hendaya fungsional yang berhubungan dengan gangguan obsesif-
kompulsif. Fobia dibedakan yaitu tidak adanya hubungan antara pikiran obsesif dan
kompulsi. Gangguan depresif berat kadang-kadang dapat disertai gagasan obsesif, tetapi
pasien yang hanya dengan gangguan obsesif-kompulsif gagal memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat.
Kondisi psikiatrik lain yang dapat berhubungan erat dengan gangguan obsesif-
kompulsif adalah hipokondriasis, gangguan dismorfik tubuh, dan kemungkinan gangguan
pengendalian impuls lainnya, seperti kleptomania dan judi patologis. Pada semua
gangguan ini, pasien memiliki pikiran yang berulang (contoh kepedulian akan tubuh) atau
perilaku berulang (contohnya mencuri).
Data yang tersedia menyatakan bahwa semua obat yang digunakan untuk
mengobati gangguan depresif atau gangguan mental lain, dapat digunakan dalam rentang
dosis yang biasanya. Efek awal biasanya terlihat setelah empat sampai enam minggu
pengobatan, walaupun biasanya diperlukan waktu delapan sampai enam belas minggu
untuk mendapatkan manfaat terapeutik yang maksimum. Walaupun pengobatan dengan
obat antidepresan adalah masih kontroversial, sebagian pasien dengan gangguan obsesif-
kompulsif yang berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan tampaknya
mengalami relaps jika terapi obat dihentikan. Pengobatan standar adalah memulai dengan
obat spesifik-serotonin, contohnya clomipramine (Anafranil) atau inhibitor ambilan
kembali spesifik serotonin (SSRI-serotonin specific reuptake inhibitor), seperti
Fluoxetine (Prozac).
Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25 sampai 50 mg
sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25 mg sehari setiap dua sampai
tiga hari, sampai dosis maksimum 250 mg sehari atau tampak efek samping yang
membatasi dosis. Karena Clopramine adalah suatu obat trisiklik, obat ini disertai dengan
efek samping berupa sedasi, hipotensi, disfungsi seksual dan efek samping antikolinergik,
seperti mulut kering.
SSRI. Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) bekerja terutama
pada terminal akson presinaptik dengan menghambat ambilan kembali serotonin.
Penghambatan ambilan kembali serotonin diakibatkan oleh ikatan obat (misalnya:
fluoxetine) pada transporter ambilan kembali yang spesifik, sehinggga tidak ada lagi
neurotransmitter serotonin yang dapat berkaitan dengan transporter. Hal tersebut akan
menyebabkan serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps. Penggunaan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) terutama ditujukan untuk memperbaiki perilaku
stereotipik, perilaku melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, dan
ritual obsesif dengan ansietas yang tinggi. Salah satu alasan utama pemilihan obat-obat
penghambat reuptake serotonin yang selektif adalah kemampuan terapi. Efek samping
yang dapat terjadi akibat pemberian fluexetine adalah nausea, disfunfsi seksual, nyeri
kepala, dan mulut kering. Toleransi SSRI yang relative baik disebabkan oleh karena sifat
selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak berinteraksi dengan reseptor neurotransmitter
lainnya. Penelitian awal dengan metode pengamatan kasus serial terhadap 8 subjek.
Tindakan terapi ditujukan untuk mengatasi gejala-gejala disruptif, dan dimulai dengan
fluexetine dosis 10 mg/hari dengan pengamatan. Perbaikan paling nyata dijumpai pada
gangguan obsesif dan gejala cemas.
Jika pengobatan dengan Clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak ahli
terapi menambahkan lithium (Eskalith). Obat lain yang dapat digunakan dalam
pengobatan gangguan obsesif kompulsif adalah inhibitor monoamine oksidase (MAOI,
monoamine oxidase inhibitor), khususnya Phenelzine (Nardil).
Psikoterapi
Banyak pasien gangguan obsesif-kompulsif yang tergolong resisten terhadap upaya pengobatan,
baik farmakoterapi maupun psikoterapi. Meskipun gangguan obsesif-kompulsif didasari oleh
faktor biologik, gejala obsesif-kompulsif mungkin mengandung makna psikologis yang kuat
sehingga pasien menolak pengobatan. Oleh karena itu, penelusuran psikodinamik tentang
resistensi yang ditunjukkan pasien dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan.1
Beberapa psikoterapi yang dapat dijadkan pilihan adalah psikoterapi suportif, terapi perilaku
terapi kognitif perilaku, adan psikoterapi dinamik.1
Komplikasi
Lebih dari setengah pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki onset gejala
yang tiba-tiba. Kira-kira 50 sampai 70 persen pasien memiliki onset gejala setelah suatu
peristiwa yang menyebabkan stres, seperti kehamilan, masalah seksual, dan kematian seorang
sanak saudara. Karena banyak pasien tetap merahasiakan gejalanya, mereka seringkali
terlambat 5 sampai 10 tahun sebelum pasien datang ke psikiater, walaupun keterlambatan
tersebut kemungkinan dipersingkat dengan meningkatkan kesadaran akan gangguan tersebut
diantara orang awam dan profesional. Perjalanan penyakit biasanya lama tetapi bervariasi.
Beberapa pasien mengalami penyakit yang berfluktuasi, dan pasien lain mengalami penyakit
yang konstan.
Perilaku kompulsi pada penderita kompulsif akan membuang waktu dan tidak dapat
melakukan aktivitas lainnya. Orang-orang dengan gangguan obsesif kompulsif mungkin
tertunda keluar rumah sampai satu jam atau lebih karena harus melakukan ritual pengecekan
mereka. Mereka seharusnya dapat melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada
mengikuti pikiran obsesinya dan tindakan kompulsif nya.
Kira-kira 20 sampai 30 persen pasien dengan gangguan obsesif kompulsif memiliki
gangguan depresif berat, dan bunuh diri adalah risiko bagi semua pasien dengan gangguan
obsesif kompulsif. Suatu prognosis buruk dinyatakan oleh mengalah (bukannya menahan)
pada kompulsi, onset pada masa anak-anak, kompulsi yang aneh (bizzare), perlu perawatan
di rumah sakit, gangguan depresif berat yang menyertai, kepercayaan waham, adanya
gagasan yang terlalu dipegang (overvalued)-yaitu penerimaan obsesi dan kompulsi, dan
adanya gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian skizotipal). Prognosis yang
baik ditandai oleh penyesuaian sosial dan pekerjaan yang baik, adanya peristiwa pencetus,
dan suatu sifat gejala yang episodik. Isi obsesional tampaknya tidak berhubungan dengan
prognosis.
7.Mahasiswa mampu menjelaskan tinjauan islam berkaitan dengan scenario dan peran
dokter keluarga terkait
Aik
Allah s.w.t. berfirman dalam surat Ar- Rad ayat 28 yang artinya:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’d (13):
28).
Keamanan dan ketentraman dalam jiwa seseorang akan tercipta karena keimanannya
yang tulus kepada Allah. Allah senantiasa menaungi dan member pertolongan kepada orang-
orang beriman. Dengan demikian, ia akan merasakan Allah selalu bersamanya.
Orang yang beriman tidak akan merasa takut kepada sesuatu pun di dunia ini. Ia
mengetahui bahwa ia tidak akan tertimpa oleh suatu keburukan kecuali jika itu sudah menjadi
kehendak Allah. Oleh karena itu, mukmin yang tulus imannya adalah manusia yang tidak
dapat dikuasai oleh rasa takut dan cemas. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah:112).
DAFTAR PUSTAKA
1. Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Kaplan & Sadock: Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
2. Jakart: EGC. 2010
2. Greenberg, W.M. and David, B., 2015. Medscape. Obssesive-Compulsive Disorder.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1934139-overview#a5
3. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Cetakan Ke-2. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 2013
4. National Alliance on Mental Illness (NAMI), 2015. Obsessive-Compulsive Disorder.
Available at: https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Obsessive-
Compulsive-Disorder/Overview
5. Obssessive Compulsive Disorder-United Kingdom, 2015. Understanding What Drives OCD.
Available at: http://www.ocduk.org/understanding-ocd
6. Willy F. Maramis, Albert A. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press. 2009