Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

STUDI KASUS ANAK 1

KEJANG DEMAM DAN ARI PADA ANAK

OLEH:

IRDIANTY FAHIRA JUNAIDI 201810330311012

KELOMPOK 6

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022
KEJANG DEMAM

1. Definisi Kejang Demam

Kejang demam adalah kejang yang disertai demam/ terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan suatu proses ekstrakranium. Kejang demam

merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Kejang demam umunya

terjadi pad aanak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam merupakan

kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan

umur 3 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang

demam sederhana dan kejang demam kompleks (Attila Dewanti et al., 2012).

Kejang tersebut biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi (demam).

Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang paling utama

adalah infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi

terjadinya kejang demam. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak

umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun

pernah menderita kejang demam (Irdawati, 2019).

2. Etiologi dan Patofisiologi Kejang Demam

Etiologi dari kejang demam masih tidak dapat diketahui. Namun sebagian besar

anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh.

Biasanya suhu demam diatas 38,8 C dan terjadi saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat

setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh. Namun, faktor-faktor penyebab kejang demam

yang sering muncul pada anak, antara lain efek produk toksik daripada mikroorganisme

terhadap otak, Neoplasma toksin, respon alergik yang abnormal oleh infeksi, gangguan
metabolik : hipoglikemi, gagal ginjal, hipoksia,hipokalsemia, hiponatremia,

hiperbilirubinemia, aminoasiduria, hipomagnesemia.

Penyakit yang paling sering menyebabkan demam pada pasien kejang demam

adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dengan jumlah 25 orang (49.0%) dengan

etioliogi virus sebanyak 20 orang (80%). Etiologi 2/3 kejadian kejang demam disebabkan

oleh infeksi virus yang biasanya disebabkan adenovirus dan influenza. Virus yang

biasanya menjadi penyebab kejang demam yaitu Influenza virus A and B, Parainfluenza

1, 2, and 3, Respiratory syncytial virus, Adenovirus, Entero viruses, Enterovirus 71,

Herpesviruses, Herpes simplex virus 1. Dan bakteri penyebab kejang demam yang

tersering antara lain Shigella dysenteriae, Streptococcus pneumonia, Escherichia coli,

Salmonella (Bizly & Cahaya, 2021).

Patofisiologi kejang demam yaitu penyebab terbanyak kejang demam terjadi pada

infeksi luar kranial dari bakteri, seperti tonsilitis,bronkitis dan otitis media akut akibat

bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan menyebar ke seluruh tubuh secara

hematogenataupun limfogen. Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit,dan jaringan tubuh

yang lain akan mengeluarkan mediator kimia berupa epinefrin dan prostaglandin.

Pengeluaran mediator kimia ini merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron.

Pada keadaan kejang demam terjadipeningkatan reaksi kimia tubuh, sehinggareaksi-

reaksi oksidasi terjadilebih cepat dan menyebabkan oksigen cepat habis sehingga terjadi

hipoksia. Pada kejadian ini transport ATP terganggu sehingga Naintrasel dan K ekstrasel

meningkat dan menyebabkan potensial membran cenderung turun dan aktifitas sel saraf

meningkat terjadi fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang (Yeni &

Ukur, 2019).
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan

aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang merupakan

pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons

inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1

(IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri

gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan

memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6,

interleukin-1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini

mungkin melalui sel endotelial circumventricular akan menstimulus enzim

cyclooxygenase-2 (COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi

PGE2 yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi

kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus.

Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal

(glutamatergic) dan menghambat GABAergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini

yang menimbulkan kejang (Arief, 2015).

3. Klasifikasi Kejang Demam

Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan kejang

demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),

tonik-klonik. Dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal dan pulih dengan

spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu

sisi atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan

berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali, dan di antara

bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8%

kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang

didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di

antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kejang demam (Arief,

2015).

4. Faktor Resiko Kejang Demam

a. Riwayat Kejang Keluarga

Riwayat kejang pada keluarga menjadi salah satu faktor resiko kejang demam.

Anak yang memiliki riwayat kejang pada keluarga beresiko hampir 4 kali lebih besar

untuk mengalami kejang demam. Pasien yang memiliki riwayat kejang demam pada

kedua orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kejang demam yang lebih

tinggi dibandingkan dengan riwayat kejang pada kakek, nenek, paman, bibi atau

sepupu (second degree relatives. Faktor genetik berperan dalam faktor resiko kejang

demam. Peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama

disebabkan oleh mutasi gen tertentu yang mempengaruhi esitabilitas ion pada

membran sel yang memiliki mekanisme sangat kompleks. Secara teoritis, defek yang

diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang mempengaruhi ekstabilitas

neuron dapat mencetuskan timbulnya kejang (Susanti & Wahyudi, 2020).

b. Suhu Tubuh

Demam disebabkan oleh infeksi virus yang merupakan penyebab terbanyak

timbulnya kejang demam (80%). Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak

terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul kejang merupakan nilai
ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara

38,3°C– 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada

seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi

sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak

terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang

demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah

(Arifuddin, 2016).

c. BBLR

BBLR dapat menyebabkan afiksia atau iskemia otak dan pendarahan

intraventrikuler, iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat

mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalesemia. Keadaan

ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada perinatal, adanya kerusakan otak dapat

menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama

melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi pendarahan

intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan

manisfestasi kejang (Arifuddin, 2016).

d. Usia

Sebagian besar kejang demam terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Hal ini

disebabkan karena imaturitas dari otak dan termoregulator. Pada keadaan otak yang

belum matur, reseptor untuk asam glutamat memiliki sifat eksitatorik yang aktif,

sebaliknya reseptor GABA memiliki sifat sebagai inhibitorik yang kurang aktif. Hal

ini mengakibatkan sifat eksitasi lebih dominan dibandingkan dengan inhibisi. Selain

itu, kadar Corticotropin Releasing Hormone (CRH) di hipokampus juga tinggi


sehingga berpotensi untuk mencetuskan bangkitan kejang apabila terpicu oleh

demam. CRH merupakan neuropeptida eksitator yang memiliki sifat sebagai

prokonvulsan.

Mekanisme regulasi ion-ion di dalam tubuh (Na+, K+, dan Ca2+) juga belum

sempurna sehingga mengakibatkan gangguan repolarisasi pasca depolarisasi dan

meningkatkan eksitabilitas neuron. Masa ini disebut sebagai developmental window

(masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada saat anak berusia kurang dari 2

tahun). Pada masa ini, anak rentan terhadap bangkitan kejang karena komponen

eksitatorik lebih dominan dibanding inhibitorik (Susanti & Wahyudi, 2020).

5. Pemeriksaan dan Observasi

Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk

dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti lumbal pungsi, sedangkan pada

anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika kondisi stabil, keluarga perlu

diinformasikan jika terjadi kejang berulang maka harus dibawa ke rumah sakit. Pada

kejang demam sederhana, pemeriksaan darah rutin, elektroensefalografi, dan

neuroimaging tidak selalu dilakukan. Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien

umur <18 bulan dengan meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi SSP.

Pada kejang demam kompleks, pemeriksaan difokuskan untuk mencari etiologi

demam. Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi lebih lanjut di rumah

sakit. Pungsi lumbal serta beberapa tindakan seperti ensefalografi dan CT Scan mungkin

diperlukan (Arief, 2015).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk

mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya

gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain

pemeriksaan darah perifer, elektrolit, dan gula darah.

b. Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau

menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah 0,6–

6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis

karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan

pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan

2. Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan

3. Bayi >18 bulan – tidak rutin Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu

dilakukan pungsi lumbal

c. Elektroensefalografi

Pemeriksaan elektroensefalografi (electroencephalography/EEG) tidak

direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau

memperkirakan kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG

masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada

kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal

d. Pencitraan

MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi

dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat

sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti

Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI)

tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan saat Kejang

Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan saat

pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling

cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara

pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan

dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi di

rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg untuk anak

dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih

dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk

anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat

diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali

pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.

Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5

mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin intravena dengan
dosis awal 10- 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/ kgBB/menit atau kurang dari

50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari,

dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka

pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat

selanjutnya tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor

risikonya.

Pemberian Obat pada saat Demam

1. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun para ahli di

Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol adalah

10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis

ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid

dapat menyebabkan sindrom Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan,

sehingga tidak dianjurkan.

2. Antikonvulsan

Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan risiko

berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam rektal dosis 0,5

mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut dapat menyebabkan ataksia,

iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39% kasus. Phenobarbital, carbamazepine,

dan phenytoin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

Pemberian Obat Rumatan

Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai

berikut:

 Kejang lama dengan durasi >15 menit

 Ada kelainan neurologis nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya

hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, dan hidrosefalus.

 Kejang fokal

Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam

 Kejang demam terjadi pada bayi usia kurang dari 12 bulan

 Kejang demam dengan frekuensi >4 kali per tahun.


Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >15 menit merupakan

indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan

perkembangan ringan, bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal

atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

Phenobarbital atau valproic acid efektif menurunkan risiko berulangnya kejang.

Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam

tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena

itu pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka pendek.

Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40–

50% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2 tahun,

valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid 15-40

mg/ kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2

dosis.

8. Monitoring

Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan

elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres

pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik. Orang

tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam

dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien

ini baik dan tidak menyebabkan kematian (AS, 2013).

9. Edukasi

Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang

orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan
dan diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut.

Lembaran tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga; penjelasan

terutama pada:

 Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik

 Memberitahukan cara penanganan kejang

 Memberi informasi mengenai risiko berulang

 Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko efek

samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang:

 Tetap tenang dan tidak panik

 Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher

 Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan

muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin tergigit,

jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut

 Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang

 Tetap bersama pasien selama kejang

 Berikan diazepam rektal. Jangan diberikan bila kejang telah berhenti

 Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
ISPA

1. Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang

melibatkan organ saluran pernapasan. Saluran nafas yang dimaksud adalah organ mulai

dari hidung sampai alveoli paru (Intan, 2014). ISPA disebabkan oleh virus, jamur dan

bakteri Staphylococcus, Streptococcus. Staphylococcus dan Streptococcus merupakan

bakteri gram positif. Staphylococcus tumbuh pada lingkungan dengan temperatur 15 –

45ºC, sedangkan Streptococcus tumbuh pada lingkungan dengan temperatur suhu 37ºC.

Timbulnya gejala ISPA biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa

hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, sesak

napas, mengi, atau kesulitan bernapas (Luhukay et al., 2018).

2. Gejala Penyakit

Tanda-tanda bahwa balita mengalami pneumonia adalah terjadi peningkatan frekuensi

napas sehingga anak tampak sesak. Gejala-gejala yang sering ditemui pada anak dengan

pneumonia adalah batuk dan atau tanda kesulitan bernapas yaitu adanya napas cepat,

kadang disertai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDKK) (Profilkes,

2019) dengan frekuensi napas berdasarkan usia balita :

 <2 bulan : ≤60/ menit

 2 - <12 bulan : ≤50/ menit

 1 - <5 tahun : ≤40/ menit

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018)

3. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dipastikan dengan foto dada (X-ray) dan uji laboratorium,

namun pada tempat-tempat yang tidak mampu melaksanakannya, kasus dugaan

pneumonia dapat ditetapkan secara klinis dari gejala klinis yang ada (Departemen

Kesehatan, 2010).

Evaluasi laboratorium pada anak-anak yang diduga menderita pneumonia harus

dimulai dengan tes yang non-invasif seperti tes swab nasofaring untuk influenza, virus

syncytial pernapasan, dan metapneumovirus manusia jika tersedia. Tes ini mampu untuk

membantu meminimalkan pemberian antibiotik yang tidak perlu untuk anak-anak. Anak-

anak yang telah berada di daerah endemis TB atau memiliki riwayat pajanan, dan datang

dengan tanda dan gejala yang mengarah pada pneumonia harus memiliki sampel dahak

atau aspirasi lambung yang dikumpulkan untuk kultur (Chiemelie Ebeledike; Thaer

Ahmad., 2020).

Menurut Jain, 2020 diagnosis pneumonia terdiri dari 3, yaitu :

a. Evaluasi klinis, dengan melakukan pemeriksaan fisik secara keseluruhan dan

dilihat apakah terdapat gejala-gejala klinis dari pneumonia

b. Evaluasi radiologis, infiltrasi yang dapat ditunjukkan oleh rontgen dada

diperlukan dan dianggap sebagai metode terbaik (dengan temuan klinis yang

mendukung) untuk diagnosis pneumonia. Temuan dapat bervariasi dari lobar

hingga infiltrat interstitial, hingga kadang-kadang lesi kavitas dengan kadar

cairan udara menunjukkan proses penyakit yang lebih parah. Jika pasien

terindikasi pneumonia, rontgen dada harus diperoleh dari posisi tegak

posteroanterior pada anak yang berumur dari 4 tahun, sedangkan bagi anak

dengan umur <4 tahun posisi pengambilan rontgen dalam posisi terlentang
anteroposterior. Dan jika dicurigai terdapat efusi pleura maka pengambilan

rontgen diambil dari lateral decubitus (Gereige, 2020)

c. Evaluasi laboratorium, serangkaian tes seperti kultur darah, kultur sputum dan

mikroskopis, jumlah darah rutin, dan jumlah limfosit. Tes khusus seperti tes

antigen kemih aspirasi bronkial, atau sputum yang diinduksi dapat digunakan

untuk patogen tertentu

4. Tatalaksana

Pengobatan pada pneumonia harus ditargetkan sesuai dengan penyebab patogen

spesifiknya yang didapatkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kunci

pengobatan pada pneumonia non-infeksi dan pneumonia virus adalah manajemen suportif

dan simtomatik meliputi pemberian oksigen untuk pasien hipoksia, antipiretik untuk

demam, dan cairan bagi pasien dehidrasi. Untuk pneumonia bakteri, berikan antibiotik

secara empirik. Pengobatan pneumonia pada neonatus, diberikan ampisilin dan

aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga kecuali ceftriaxone, karena dapat

menyebabkan kern ikterus. Pada bayi 1 hingga 3 bulan sering terjadi pneumonia atipikal

yang dapat diobati dengan antibiotik tambahan yaitu eritromisin atau klaritromisin. Untuk

bayi dan anak di atas 3 bulan, obat pilihan pertama adalah amoksisilin oral dengan dosis

tinggi atau antibiotik beta-laktam lainnya. Pada anak-anak yang lebih tua dari 5 tahun,

terapi pertama yang digunakan adalah antibiotik makrolida (Chiemelie Ebeledike; Thaer

Ahmad., 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Arief, R. F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. Cermin Dunia Kedokteran-232, 42(9),

658–659. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/HealthyTadulako/article/download/

8333/6614

Arifuddin, A. (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam. Jurnal Kesehatan

Tadulako, 2(2), 61.

AS, P. (2013). Kejang Demam Sederhana pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan

Faring. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, September, 57–64.

Attila Dewanti, Joanne Angelica Wi, Anna Tjandrajani, & Amril A Burhany. (2012). Kejang

Demam dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi. SarI Pediatri, 14(1), 57–61.

Bizly, A. A., & Cahaya, N. (2021). Evaluasi Etiologi Kejang Demam di Rumah Sakit Umum

Haji Medan. Jurnal Ilmiah Simantek, 5(2), 157–161.

http://www.tjyybjb.ac.cn/CN/article/downloadArticleFile.do?attachType=PDF&id=9987

Chiemelie Ebeledike; Thaer Ahmad. (2020). Pediatric pneumonia.

Departemen Kesehatan. (2010). Pneumonia Balita. 400.

Gereige, R. S. (2020). Pneumonia. 34(10).

Irdawati. (2019). Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu Keperawatan, 2

No.3(September), 143–146.

https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/2377/KEJANG DEMAM DAN

PENATALAKSANAANNYA.pdf?sequence=1

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Indonesia.

Luhukay, J., Mariana, D., & Puspita, D. (2018). Peran Keluarga Dalam Penanganan Anak

dengan Penyakit ISPA Di RSUD Piru. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah, 3(1).


https://doi.org/10.30651/jkm.v3i1.1469

Susanti, Y. E., & Wahyudi, T. (2020). Karakteristik Klinis Pasien Kejang Demam Yang Dirawat

Di Rumah Sakit Baptis Batu. Damianus: Journal of Medicine, 19(2), 91–98.

https://doi.org/10.25170/djm.v19i2.1265

Yeni, B., & Ukur, S. (2019). Latar belakang tujuan metode hasil pembahasan. Komponen Dn

Jenis-Jenis Evaluasi Dalam Asuhan Keperawatan, 1995, 1–5.

Anda mungkin juga menyukai