OLEH:
KELOMPOK 6
FAKULTAS KEDOKTERAN
2022
KEJANG DEMAM
Kejang demam adalah kejang yang disertai demam/ terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal >38oC) yang disebabkan suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Kejang demam umunya
terjadi pad aanak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam merupakan
kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama pada golongan
umur 3 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks (Attila Dewanti et al., 2012).
Kejang tersebut biasanya timbul pada suhu badan yang tinggi (demam).
Demamnya sendiri dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang paling utama
adalah infeksi. Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi
terjadinya kejang demam. Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak
umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun
Etiologi dari kejang demam masih tidak dapat diketahui. Namun sebagian besar
anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh.
Biasanya suhu demam diatas 38,8 C dan terjadi saat suhu tubuh naik dan bukan pada saat
setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh. Namun, faktor-faktor penyebab kejang demam
yang sering muncul pada anak, antara lain efek produk toksik daripada mikroorganisme
terhadap otak, Neoplasma toksin, respon alergik yang abnormal oleh infeksi, gangguan
metabolik : hipoglikemi, gagal ginjal, hipoksia,hipokalsemia, hiponatremia,
Penyakit yang paling sering menyebabkan demam pada pasien kejang demam
adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) dengan jumlah 25 orang (49.0%) dengan
etioliogi virus sebanyak 20 orang (80%). Etiologi 2/3 kejadian kejang demam disebabkan
oleh infeksi virus yang biasanya disebabkan adenovirus dan influenza. Virus yang
biasanya menjadi penyebab kejang demam yaitu Influenza virus A and B, Parainfluenza
Herpesviruses, Herpes simplex virus 1. Dan bakteri penyebab kejang demam yang
Patofisiologi kejang demam yaitu penyebab terbanyak kejang demam terjadi pada
infeksi luar kranial dari bakteri, seperti tonsilitis,bronkitis dan otitis media akut akibat
bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan menyebar ke seluruh tubuh secara
yang lain akan mengeluarkan mediator kimia berupa epinefrin dan prostaglandin.
Pengeluaran mediator kimia ini merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron.
reaksi oksidasi terjadilebih cepat dan menyebabkan oksigen cepat habis sehingga terjadi
hipoksia. Pada kejadian ini transport ATP terganggu sehingga Naintrasel dan K ekstrasel
meningkat dan menyebabkan potensial membran cenderung turun dan aktifitas sel saraf
meningkat terjadi fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga timbul kejang (Yeni &
Ukur, 2019).
Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan
pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons
(IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri
gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan
memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6,
interleukin-1 receptor antagonist (IL1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini
kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus.
Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
tonik-klonik. Dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal dan pulih dengan
spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
Kejang demam kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu
sisi atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan
berulang atau lebih dari 1 kali kejang selama 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali, dan di antara
bangkitan kejang kondisi anak tidak sadarkan diri. Kejang lama terjadi pada sekitar 8%
kejang demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% kejang demam (Arief,
2015).
Riwayat kejang pada keluarga menjadi salah satu faktor resiko kejang demam.
Anak yang memiliki riwayat kejang pada keluarga beresiko hampir 4 kali lebih besar
untuk mengalami kejang demam. Pasien yang memiliki riwayat kejang demam pada
kedua orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kejang demam yang lebih
tinggi dibandingkan dengan riwayat kejang pada kakek, nenek, paman, bibi atau
sepupu (second degree relatives. Faktor genetik berperan dalam faktor resiko kejang
demam. Peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama
disebabkan oleh mutasi gen tertentu yang mempengaruhi esitabilitas ion pada
membran sel yang memiliki mekanisme sangat kompleks. Secara teoritis, defek yang
b. Suhu Tubuh
timbulnya kejang demam (80%). Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak
terjadinya kejang demam. Tinggi suhu tubuh pada saat timbul kejang merupakan nilai
ambang kejang. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara
38,3°C– 41,4°C. Adanya perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada
seorang anak baru timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi
sedangkan pada anak yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak
terlalu tinggi. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang
demam akan lebih sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah
(Arifuddin, 2016).
c. BBLR
intraventrikuler, iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan BBLR dapat
ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada perinatal, adanya kerusakan otak dapat
melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi pendarahan
intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi dengan
d. Usia
Sebagian besar kejang demam terjadi pada usia kurang dari 2 tahun. Hal ini
disebabkan karena imaturitas dari otak dan termoregulator. Pada keadaan otak yang
belum matur, reseptor untuk asam glutamat memiliki sifat eksitatorik yang aktif,
sebaliknya reseptor GABA memiliki sifat sebagai inhibitorik yang kurang aktif. Hal
ini mengakibatkan sifat eksitasi lebih dominan dibandingkan dengan inhibisi. Selain
prokonvulsan.
Mekanisme regulasi ion-ion di dalam tubuh (Na+, K+, dan Ca2+) juga belum
(masa perkembangan otak fase organisasi yaitu pada saat anak berusia kurang dari 2
tahun). Pada masa ini, anak rentan terhadap bangkitan kejang karena komponen
Pada kejang demam sederhana, anak <18 bulan sangat disarankan untuk
dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih lanjut seperti lumbal pungsi, sedangkan pada
anak >18 bulan tidak harus observasi di rumah sakit jika kondisi stabil, keluarga perlu
diinformasikan jika terjadi kejang berulang maka harus dibawa ke rumah sakit. Pada
neuroimaging tidak selalu dilakukan. Pemeriksaan pungsi lumbal dilakukan pada pasien
umur <18 bulan dengan meningeal sign serta pasien dengan kecurigaan infeksi SSP.
demam. Semua kejang demam kompleks membutuhkan observasi lebih lanjut di rumah
sakit. Pungsi lumbal serta beberapa tindakan seperti ensefalografi dan CT Scan mungkin
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk
b. Pungsi Lumbal
6,7%. Pada bayi, sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan
pada:
3. Bayi >18 bulan – tidak rutin Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu
c. Elektroensefalografi
masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal
d. Pencitraan
dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT
scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat
sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
7. Penatalaksanaan
Pada kebanyakan kasus, biasanya kejang demam berlangsung singkat dan saat
pasien datang kejang sudah berhenti. Bila datang dalam keadaan kejang, obat yang paling
cepat menghentikan kejang adalah diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB, dengan cara
pemberian secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam 3-5 menit, dan
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau jika kejang terjadi di
rumah adalah diazepam rektal 0,5-0,75 mg/kgBB, atau diazepam rektal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan diazepam rektal 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10 kg. Jika anak di bawah usia 3 tahun dapat diberi diazepam rektal 5 mg dan untuk
anak di atas usia 3 tahun diberi diazepam rektal 7,5 mg. Jika kejang belum berhenti, dapat
diulang dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Jika setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
mg/kgBB. Jika kejang tetap belum berhenti, maka diberikan phenytoin intravena dengan
dosis awal 10- 20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1 mg/ kgBB/menit atau kurang dari
50 mg/menit. Jika kejang berhenti, maka dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kgBB/hari,
dimulai 12 jam setelah dosis awal. Jika dengan phenytoin kejang belum berhenti, maka
pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Jika kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor
risikonya.
1. Antipiretik
Antipiretik tidak terbukti mengurangi risiko kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol adalah
10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak boleh lebih dari 5 kali. Dosis
ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari. Meskipun jarang, acetylsalicylic acid
dapat menyebabkan sindrom Reye, terutama pada anak kurang dari 18 bulan,
2. Antikonvulsan
Diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB tiap 8 jam saat demam menurunkan risiko
berulangnya kejang pada 30-60% kasus, juga dengan diazepam rektal dosis 0,5
mg/kgBB tiap 8 jam pada suhu >38,50 C. Dosis tersebut dapat menyebabkan ataksia,
iritabel, dan sedasi cukup berat pada 25-39% kasus. Phenobarbital, carbamazepine,
dan phenytoin saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Obat rumatan diberikan hanya jika kejang demam menunjukkan salah satu ciri sebagai
berikut:
Kejang fokal
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam kurun waktu 24 jam
atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
Obat pilihan saat ini adalah valproic acid. Berdasarkan bukti ilmiah, kejang demam
tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, oleh karena
itu pengobatan rumat hanya diberikan pada kasus selektif dan dalam jangka pendek.
Phenobarbital dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40–
50% kasus. Pada sebagian kecil kasus, terutama pada usia kurang dari 2 tahun,
valproic acid dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis valproic acid 15-40
mg/ kgBB/hari dalam 2-3 dosis, dan phenobarbital 3-4 mg/kgBB/hari dalam 1-2
dosis.
8. Monitoring
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik. Orang
tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam
dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien
9. Edukasi
Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang
orang tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan
dan diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut.
Lembaran tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga; penjelasan
terutama pada:
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi efektif, tetapi harus diingat risiko efek
samping obat
Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin tergigit,
Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
ISPA
1. Definisi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
melibatkan organ saluran pernapasan. Saluran nafas yang dimaksud adalah organ mulai
dari hidung sampai alveoli paru (Intan, 2014). ISPA disebabkan oleh virus, jamur dan
45ºC, sedangkan Streptococcus tumbuh pada lingkungan dengan temperatur suhu 37ºC.
Timbulnya gejala ISPA biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa
hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorokan, pilek, sesak
2. Gejala Penyakit
napas sehingga anak tampak sesak. Gejala-gejala yang sering ditemui pada anak dengan
pneumonia adalah batuk dan atau tanda kesulitan bernapas yaitu adanya napas cepat,
kadang disertai dengan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDKK) (Profilkes,
3. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dipastikan dengan foto dada (X-ray) dan uji laboratorium,
pneumonia dapat ditetapkan secara klinis dari gejala klinis yang ada (Departemen
Kesehatan, 2010).
dimulai dengan tes yang non-invasif seperti tes swab nasofaring untuk influenza, virus
syncytial pernapasan, dan metapneumovirus manusia jika tersedia. Tes ini mampu untuk
membantu meminimalkan pemberian antibiotik yang tidak perlu untuk anak-anak. Anak-
anak yang telah berada di daerah endemis TB atau memiliki riwayat pajanan, dan datang
dengan tanda dan gejala yang mengarah pada pneumonia harus memiliki sampel dahak
atau aspirasi lambung yang dikumpulkan untuk kultur (Chiemelie Ebeledike; Thaer
Ahmad., 2020).
diperlukan dan dianggap sebagai metode terbaik (dengan temuan klinis yang
cairan udara menunjukkan proses penyakit yang lebih parah. Jika pasien
posteroanterior pada anak yang berumur dari 4 tahun, sedangkan bagi anak
dengan umur <4 tahun posisi pengambilan rontgen dalam posisi terlentang
anteroposterior. Dan jika dicurigai terdapat efusi pleura maka pengambilan
c. Evaluasi laboratorium, serangkaian tes seperti kultur darah, kultur sputum dan
mikroskopis, jumlah darah rutin, dan jumlah limfosit. Tes khusus seperti tes
antigen kemih aspirasi bronkial, atau sputum yang diinduksi dapat digunakan
4. Tatalaksana
pengobatan pada pneumonia non-infeksi dan pneumonia virus adalah manajemen suportif
dan simtomatik meliputi pemberian oksigen untuk pasien hipoksia, antipiretik untuk
demam, dan cairan bagi pasien dehidrasi. Untuk pneumonia bakteri, berikan antibiotik
menyebabkan kern ikterus. Pada bayi 1 hingga 3 bulan sering terjadi pneumonia atipikal
yang dapat diobati dengan antibiotik tambahan yaitu eritromisin atau klaritromisin. Untuk
bayi dan anak di atas 3 bulan, obat pilihan pertama adalah amoksisilin oral dengan dosis
tinggi atau antibiotik beta-laktam lainnya. Pada anak-anak yang lebih tua dari 5 tahun,
terapi pertama yang digunakan adalah antibiotik makrolida (Chiemelie Ebeledike; Thaer
Ahmad., 2020).
DAFTAR PUSTAKA
658–659. http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/HealthyTadulako/article/download/
8333/6614
Arifuddin, A. (2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam. Jurnal Kesehatan
AS, P. (2013). Kejang Demam Sederhana pada Anak yang Disebabkan karena Infeksi Tonsil dan
Attila Dewanti, Joanne Angelica Wi, Anna Tjandrajani, & Amril A Burhany. (2012). Kejang
Demam dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi. SarI Pediatri, 14(1), 57–61.
Bizly, A. A., & Cahaya, N. (2021). Evaluasi Etiologi Kejang Demam di Rumah Sakit Umum
http://www.tjyybjb.ac.cn/CN/article/downloadArticleFile.do?attachType=PDF&id=9987
No.3(September), 143–146.
PENATALAKSANAANNYA.pdf?sequence=1
Luhukay, J., Mariana, D., & Puspita, D. (2018). Peran Keluarga Dalam Penanganan Anak
Susanti, Y. E., & Wahyudi, T. (2020). Karakteristik Klinis Pasien Kejang Demam Yang Dirawat
https://doi.org/10.25170/djm.v19i2.1265
Yeni, B., & Ukur, S. (2019). Latar belakang tujuan metode hasil pembahasan. Komponen Dn