Anda di halaman 1dari 8

REFERAT

STUDI KASUS THT

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


DAN URETRHAL INJURY

OLEH:

IRDIANTY FAHIRA JUNAIDI 201810330311012

KELOMPOK 6

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2022
1. Definisi

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian

kepala dan leher. Abses peritonsil merupakan kumpulan/timbunan pus yang terlokalisir

atau terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative

tonsillitis.

2. Etiologi

Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang

anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah

Streptococcus pyogene (Grup A beta-hemolitic streptococcus), sedangkan organisme

anaerob yang berperan adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga

disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob.

Kuman aerob:

- beta-hemolitik streptococci (GABHS)

- Group B, C, G streptococcus, Hemophilus

- influenza (type b and nontypeable)

- Staphylococcus aureus, Haemophilus

- parainfluenzae,

- Neisseria

- species.

- Mycobacteria sp

Kuman anaerob:

- Fusobacterium

- Peptostreptococcuse, Streptococcus sp.


- Bacteroides. Virus : Eipsten-Barr Adenovirus

- Influenza A dan B, Herpes simplex,

- Parainfluenza

3. Epidemiologi

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering

terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang

menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas

yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-

laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan

multiple penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada

orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-

kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000

kasus setiap tahun.

4. Patofisiologi

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut.,

walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil

sehingga terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah

superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu

infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di

bagian inferior, namun jarang

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga

permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil

akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi

kontralateral.

5. Gejala klinis

- Nyeri tenggorok yang sangat (odinofagi)  gejala yang menonjol, sehingga penderita

mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah

- Hipersalivasi  akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah, ludah seringkali keluar

- Mulut berbau (foetor ex ore)

- Muntah (regurgitasi)

- Sampai nyeri alih ke telinga (otalgi)

- Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.

6. Diagnosis

Diagnosis kejang demam ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

1. Panas sub febris, disfagia dan odinofagia yang menyolok dan spontan

2. Hot potato voice

3. Mengunyah terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang

4. Nyeri telinga (otalgia) ipsilateral

5. Foetor ex orae

6. Perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk di faring

7. Rinolalia aperta karena odem palatum mole

8. Trismus
b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsillitis akut dengan asimetris faring sampai

dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional.

Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasi tonsil,

dan pergeseran uvula kontralateral. Pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang

mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglottitis dan supraglotis.

c. Pemeriksaan penunjang

Prosedur diagnosis yaitu dengan melakukan aspirasi jarum. Tempat yang akan

dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidokain dan epinephrine

dengan menggunakan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada

syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan

material dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab

infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit

(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures). Karena

pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan

menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak tercukupinya

asupan makanan

 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan

tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,

penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function

tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.


 “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk

identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk

pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya

resistensi antibiotik

 Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)

dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.

 Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan

hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan

“peripheral rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk pembesaran

asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya

 Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography merupakan teknik

pencitraan yang simpel dan non-invasif, dapat membedakan selulitis dan abses.

7. Tatalaksana

Tatalaksana harus segera dilakukan dan adekuat, untuk mencegah obstruksi

pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan

basis kranii.

Setelah dibuat diagnosis abses peritonsil, segera dilakukan aspirasi kemudian

insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan aspirasi

jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Gold standart adalah insisi dan

drainase abses. Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test.

Penanganan meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotic yang efektif

mengatasi staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi,


diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simptomatik. Juga perlu kumur-kumur

dengan cairan hangat. Pemilihan antibiotic yang tepat tergantung dari hasil kultur

mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of choice” pada abses

peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan metronidazole.

Metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob.

8. Komplikasi

- Abses pecah spontan dan mengakibatkan terjadinya perdarahan dan aspirasi paru

(pneumonitis/abses paru)

- Edema laring  diperlukan tindakan tonsilektomi

- Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring

- Penjalaran ke intracranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis,

abses otak

- Penjalaran infeksi ke organ lain (sepsis) yaitu nefritis, peritonitis dan mediastinitis.

9. Prognosis

Pemberian antibiotic yang adekuat dan drainase abses merupakan penanganan

yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi penyembuhan. Dalam

jumlah kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa lama kemudian. Bila pasien tetap

mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi.

Kekambuhan abses peritonsil pada usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi,

demikian juga bila sebelumnya menderita tonsillitis


DAFTAR PUSTAKA

Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine.

Marbun, E.M. 2016. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Jurnal

Kedokteran Meditek, Volume 22, No. 60, Sept-Des 2016.

Galioto, NJ. 2008. Peritonsillar abscess. AM Fam Physiciann, Jan 15:77 (2): 199-202.

Soepardi,E.A, Iskandar, H.N. 2000. Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung dan Tenggorokan. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai