Anda di halaman 1dari 12

3.1.

ABSES PERITONSIL (QUINSY)

3.1.1. Definisi 1,2,17


Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil merupakan abses
yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang disebut sebagai kelenjar
Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan muskulus konstiktor
faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan sinus piriformis (inferior)
membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi
parah area ini bisa secara cepat membentuk material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif
bisa menyebar langsung melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang
dasar dari lidah.
3.1.2. Epidemiologi
Insidensi abses peritonsil di Amerika Serikat adalah sekitar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, mewakili sekitar 45.000 kasus per tahun. Tidak ada data akurat secara internasional.17
Meskipun tonsilitis penyakit anak, hanya sepertiga kasus abses peritonsil ditemukan di
kelompok umur ini. Umur pasien dengan abses peritonsil bervariasi, dengan jarak 1-76 tahun,
dengan insidensi tertinggi pada pasien dengan usia 15-35 tahun.17
Tidak ada predileksi jenis kelamin ataupun ras.17

3.1.3. Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab
tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1

Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui kultur. Kultur
menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering. Selanjutnya, yang paling
sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Terakhir, organisme lain yang
bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk filamentosa seperti Actinomyces sp.,
Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa
bukti menunjukkan bakteri anaerob sering menyebabkan infeksi ini. 18
3.1.4. Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menampati daerah ini, sehingga
tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat melebar melibatkan
palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah. Walaupun sangat jarang,
abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima adalah
kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih dahulu dan lalu
membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada populasi yang diobati dan
yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa riwayat tonsilitis rekuren atau kronis.
Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi dari infeksi Epstein Barr Virus (misalnya
mononucleosis).17
Teori lain menunjukkan asal abses peritonsil ada di kelenjar Weber.1,17 Kelenjar air liur
kecil ini ditemukan di ruang peritonsil dan disebutkan membantu membersihkan debris dari
tonsil. Saat obstruksi terjadi sebagai hasil dari jaringan parut karena infeksi, nekrosis jaringan
dan pembentukan abses terjadi, sehingga terjadilah abses peritonsil.
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis, bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin
dapat terjadi aspirasi ke paru.

Fosa tonsiler kaya akan pembuluh limfa menuju ke ruang parafaring dan kelenjar limfa
servikal superior, yang menjelaskan pola limfadenopati secara klinis. Limfadenopati servikal
superior ipsilateral adalah hasil penyebaran infeksi ke kelenjar limfa regional. Kadang-kadang,
keparahan proses supuratif dapat menuju abses servikal, khususnya pada kasus yang sangat
fulminan atau progresif cepat.
3.1.5. Gejala dan tanda1,2,17
1. Anamnesis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin terdapat muntah
(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara gumam (hot
potato voice) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar
submandibula dengan nyeri tekan. Pasien biasanya memiliki riwayat faringitis akut ditemani
dengan tonsilitis dan rasa faring tidak nyaman unilateral dan makin memburuk. Pasien mungkin
mengalami malaise, kelelahan, dan sakit kepala. Pasien sering mengalami demam dan rasa
tenggorokan penuh yang tidak simetris. Karena limfadenopati dan inflamasi otot servikal, pasien
sering mengalami nyeri leher dan bahkan keterbatasan gerak leher. Dokter harus memikirkan
diagnosis abses peritonsil pada pasien dengan gejala faring persisten meskipun sudah diberikan
rejimen antibiotik yang adekuat.
Seiring derajat inflamasi dan infeksi berlanjut, gejala berlanjut ke dasar mulut, ruang
parafaring, dan ruang prevertebral. Kelanjutan di dasar mulut mengkhawatirkan karena obstruksi
jalan napas; dokter harus sadar dengan gawat darurat yang mungkin terjadi.
2. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik mungkin hasil bervariasi dari tonsilitis akut dengan faring
asimetris unilateral sampai dehidrasi dan sepsis, Kebanyakan pasien memiliki nyeri berat.
Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan tanda-tanda eritem, palatum mole asimetris, eksudasi
tonsil, dan uvula disposisi kontralateral.

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke
sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di kutub superior tonsil yang terkena,
pada fosa supratonsil. Pada tingkat lipatan supratonsil, mukosa dapat tampak pucat dan mungkin
menunjukkan bintil-bintil kecil. Palpasi pada palatum mole sering menunjukkan fluktuasi.
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel dianjurkan untuk pasien dengan airway distress.
Laringoskopi adalah kunci untuk menyingkirkan epiglotitis dan supraglotitis, juga kelainan pita
suara.
Derajat trismus tergantung dari inflamasi ruang faring lateral. Penemuan limfadenopati
servikal ipsilateral melibatkan satu atau lebih kelenjar tidak tak biasa. Kelenjar limfa yang
terkena mungkin agak padat. Pada pasien dengan inflamasi kelenjar limfa yang signifikan,
tortikolis dan keterbatasan mobilitas mungkin dialami.

Gambar 12. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19


3.1.6. Pemeriksaan Penunjang2,17
1. Pemeriksaan laboratorium

Darah perifer lengkap, elektrolit, kultur darah: pasien dengan abses peritonsil sering
tampak septik dan dapat menunjukkan derajat bervariasi dehidrasi karena intake oral yang
kurang. Untuk mengetahui dua peristiwa ini perlu pemeriksaan darah perifer lengkap,
elektrolit, dan kultur darah.

Tes Monospot
o

Pada pasien yang menunjukkan tonsilitis dan limfadenopati servikal bilateral, tes
Monospot (antibodi heterofil) harus dipertimbangkan

Jika hasil tes positif, pasien membutuhkan evaluasi hepatosplenomegali. Tes


fungsi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan hepatomegali.

Kultur swab tenggorok: untuk membantu identifikasi organisme infeksius, swab


tenggorok dan kultur harus dipertimbangkan. Hasil dapat membantu seleksi antibiotik yang
paling tepat saat organisme teridentifikasi, mebatasi resiko resitensi antibiotik.

2. Pemeriksaan radiologi

Foto x-ray jaringan lunak polos


o

Foto jaringan lunak leher lateral menampakkan nasofaring dan orofaring dapat
membantu dokter untuk menyingkirkan abses retrofaring.

Pada foto anteroposterior, foto menunjukkan distorsi jaringan lunak tetapi tidak
berguna untuk menentukan lokasi abses.

CT scan
o

Pada kasus tertentu dan pasien yang sangat muda, evaluasi radiologi dapat
dilakukan dengan CT scan rongga mulut dan leher menggunakan kontras intravena.

Temuan yang biasa adalah adanya kumpulan cairan hipodens pada apex tomnsil
yang terkena, dengan penebalan pinggiran.

Temuan lain dapat termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fosa di sekitarnya.

Penggambaran lebih jauh limfadenopati servikal dibutuhkan, karena identifikasi


kumpulan cairan intranodal mungkin, yang mengindikasikan abses servikal dan
membantu perencanaan penanganan bedah.

Ultrasonografi20
o

Ultrasonografi intraoral sederhana, dapat ditolerir, non invasif yang dapat


membantu membedakan selulitis dan abses.

USG juga dapat membantu pilihan aspirasi lebih langsung pada fosa tonsil
sebelum penanganan bedah definitif.

3. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan sebelum drainase. Ini membantu identifikasi lokasi abses
di ruang peritonsil.

Lokasi aspirasi dianestesi dengan lidocaine dengan epinefrin, dan jarum ukuran 16-18 G
dipasang di spuit 10cc. Infiltrasi adalah metode pilihan untuk anestesi lokal untuk aspirasi
dan insisi abses peritonsil.

Jarum ditusukkan di mukosa yang telah teranestesi dimana aspirasi akan dilakukan.

Aspirasi material purulen merupakan diagnostik, dan dapat dikirim untuk kultur.

Gambar 13. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.19


3.1.7. Diagnosis
Indikasi untuk mempertimbangkan kemungkinan abses peritonsil meliputi sebagai
berikut: 17
-

Pembengkakan unilateral area peritonsil.

Pembengkakan unilateral palatum mole, dengan disposisi anterior tonsil ipsilateral.

Tonsilitis yang non resolusi, dengan pembesaran tonsil unilateral persisten.


Pada dewasa, tanda klinis yang berhubungan dengan abses peritonsil antara lain trismus,

deviasi uvula, disposisi inferior kutub superior dari tonsil yang terkena. 21 Pada kasus abses
peritonsil, saat insisi dan drainase dilakukan, gejala pasien akan membaik. Aspirasi jarum dapat
digunakan untuk diagnostik dan terapeutik, karena dapat menentukan lokasi akurat ruang abses.
Cairan aspirasi dapat dikultur, dan pada beberapa kasus, insisi dan drainase mungkin tidak perlu.
Jika pasien terus menerus melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronik setelah insisi
dan drainase, ini dapat menjadi indikasi tonsilektomi.
3.1.8. Terapi 1,17
1. Medikamentosa

Pasien dengan dehidrasi membutuhkan cairan intravena sampai inflamasi hilang dan
pasien bisa melanjutkan intake cairan oral adekuat.

Antipiretik dan analgetik digunakan untuk meredakan demam dan rasa tidak nyaman.

Terapi antibiotik sebaiknya dimulai setelah kultur diperoleh dari abses. Penggunaan
penisilin intravena dosis tinggi tetap sebagai pilihan baik untuk terapi empiris untuk abses
peritonsil.

Sebagai pilihan alternatif, karena biasanya pus mikrobial, obat yang mengobati
kopatogen dan tahan terhadapp beta laktamase juga dianjurkan sebagai pilihan pertama.

Cephalexin atau sefalosporin lain

(dengan atau tanpa metronidazol) tampaknya

merupakan pilihan awal. Pilihan alternatif antara lain (1) cefuroxime or cefpodoxime
(dengan atau tanpa metronidazol), (2) klindamisin, (3) trovafloxacin, atau (4)
amoksisilin/klavulanat (jika mononucleosis sudah disingkirkan). Pasien dapat diberi resep
antibiotik oral jika intake oral sudah terpenuhi; lama pengobatan sebaiknya sekitar 7-10 hari.

Penggunaan steroid kontroversial. Pada studi oleh Ozbek, penambahan dosis tunggal
dexametason ke dalam antibiotik parenteral telah ditemukan secara signifikan mengurangi
waktu rawat inap, nyeri tenggorok, demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
pasien yang hanya diobati dengan antibiotik parenteral.22 Dan juga, penggunaan steroid pada
pasien dengan gejala dan tanda mononukleosis selama studi belum menuju pembentukan
abses peritonsil.

Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.

2. Bedah
Penanganan pasien yang diduga abses peritonsil sebaiknya meliputi rujukan ke spesialis
THT atau bedah dengan pengalaman terhadap penanganan penyakit ini. Rujukan segera
sebaiknya dipertimbangkan jika diagnosis belum jelas dan diindikasikan pada pasien dengan
obstruksi jalan napas.

Preoperatif

Mendiskusikan patofisiologi dan indikasi operasi kepada pasien adalah penting.

Consent sebaiknya diterima dari pasien atau wali hanya setelah menjelaskan komplikasi
yang mungkin secara hati-hati.

Pada kasus dimana akses jalan napas terganggu, konsultasi segera dengan dokter anestesi
harus dilakukan, dan mendiskusikan obstruksi jalan napas yang potensial.

Potensi obstruksi jalan napas yang signifikan muncul jika akses jalan napas pasien
dibatasi oleh trismus atau edema struktur orofaringeal.

Intraoperatif
Pada pasien kooperatif, tindakan dapat dilakukan di kursi pemeriksaan. Lipatan
supratonsil dianestesi dengan injeksi anestesi lokal dengan epinefrin untuk mengurangi
perdarahan. Tempat aspirasi atau insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada sisi
yang sakit.
a. Aspirasi jarum

Aspirasi jarum dapat dilakukan pada anak berumur 7 tahun, khususnya jika sedasi sadar
dilakukan.

Aspirasi jarum dapat digunakan untuk diagnostik dan terapeutik karena bisa menentukan
lokasi rongga abses secara akurat.

Cairan aspirasi dapat dikirim untuk kultur dan pada beberapa kasus, dpat tidak
dilanjutkan dengan insisi dan drainase.

b. Insisi dan drainase

Insisi dan drainase intraoral dilakukan dengan menginsisi mukosa di atas abses, biasanya
terletak di lipatan supratonsil.

Setelah abses terlihat lokasinya, diseksi tumpul dilakukan untuk memecahkan lokulisasi.

Pembukaan dibiarkan terbuka untuk drainase, dan pasien diminta untuk berkumur dengan
larutan NaCl, supaya material yang terakumulasi keluar dari rongga abses.

Aspirasi atau drainase yang berhasil menuju ke perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Pada pasien sangat muda atau inkooperatif atau saat abses terletak di tempat tidak biasa,

sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

Gambar 14. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.19


c. Tonsilektomi

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-sama


tindakan drainase abses disebut tonsilektomi achaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu

setelah drainase abses, disebut tonsilektomi afroid.


Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu setelah
drainase abses.

Tonsilektomi segera sebagai bagian penanganan abses peritonsil juga masih merupakan
kontroversi. Banyak studi menunjukkan amannya tonsilektomi pada abses akut. Yang
lainnya menunjukkan tonsilektomi seger atau tertunda mungkin tidak perlu karena tingginya
tingkat keberhasilan dan rendahnya rekurensi dan morbiditas setelah drainase.

Pada situasi dimana abses terletak di lokasi yang susah untuk dijangkau, tonsilektomi
mungkin satu-satunya jalan untuk drainase abses.

Pascaoperatif

Karena perbaikan segera terhadap gejala nyeri, kebanyakan pasien dapat di pulangkan
segera setelah pembedahan jika intake oral bagus dan tidak ada perdarahan.

Beberapa pasien mungkin membutuhkan rawat inap untuk 24-48 jam atau sampai intake
oral sudah terpenuhi dan nyeri sudah menurun.

Hidrasi intravena penting karena kebanyakan pasien memiliki defisit cairan.

Penggunaan antibiotik lanjutan juka penting. Saat pasien dapat intake cairan lewat mulut,
antibiotik bisa diberikan secara oral selama 7-10 hari.

Analgetik oral juga penting tergantung tingkat ketidaknyamanan dari inflamasi.

3.1.9. Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik ruangruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,17
1
2

Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada

penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.


Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.

Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut (Angina

Ludovici).
Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau cabangnya
terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi.23

3.1.10. Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali,
membutuhkan tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok
berulang dan/atau kronis setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi
diindikasikan. 17

Anda mungkin juga menyukai