Anda di halaman 1dari 12

Abses Peritonsil

Grace Stephanie Manuain


10.2011.266
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna no. 6, Jakarta 11510
Email: stephanie.manuain@yahoo.com

Pendahuluan

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil pada
fosa tonsil.1

Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsil
merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering terjadi pada orang
dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial dan berkembang secara
progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil yang mungkin terjadi antara
lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hingga infeksi ke
intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi jalan
nafas.

Penyakit-penyakit infeksi pada tenggorok telah diketahui sejak abad ke dua Masehi
oleh Aretaues of Cappadocia. Pada abad ke 2 dan 3 sebelum Masehi, ia menerangkan tentang
dua tipe penyakit pada tonsil yaitu pembengkakan tonsil tanpa ulserasi dan pembengkakan
tonsil dengan obstruksi jalan nafas. Beberapa kepustakaan menjelaskan bahwa abses
peritonsil yang kita kenal sekarang ini pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1700-an.2

1
Anamnesis

 Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku, agama, status perkawinan,
pekerjaan, dan alamat rumah. Data ini sangat penting karena data tersebut sering
berkaitan dengan masalah klinik maupun gangguan sistem organ tertentu. Identitas
perlu ditanyakan untuk memastikan tidak ada kesalahan pasien yang dihadapi.
1. Menanyakan keluhan utama
2. Menanyakan adanya rasa sakit/nyeri menelan (odinofagi)
3. Menanyakan adakah rasa mengganjal di tenggorokan
4. Menanyakan adanya demam
5. Menanyakan adanya nyeri dipangkal hidung/dekat kantus medius, menanyakan
adanya gangguan penciuman
6. Menanyakan adanya batuk
7. Menanyakan adakah keluhan sering berulang/kambuh
8. Menanyakan adanya lendir di tenggorokan yang keluar dari belakang hidung (post
nasal drip)
9. Menanyakan adanya sekret

Pemeriksaan fisik faring

1. Mulut dibuka, lampu diarahkan kefaring, kemudian pasien diminta bernafas perlahan-
lahan
2. Lidah didalam, ditekan dengan spatel lidah

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak, hiperemis,
mungkin banyak detritus dan terdorong kearah tengah, depan dan bawah.

2
Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, elektrolit, dan kultur darah. Yang
merupakan “gold standar” untuk mendiagnosa abses peritonsilar adalah dengan
mengumpulkan pus dari abses menggunakan aspirasi jarum.
 Pemeriksaan radiologi pada posisi anteroposterior hanya menunjukkan “distorsi” dari
jaringan tapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses.
 Pada pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yang
menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat
pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk
rencana operasi.
 Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu
dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase
secara pasti.3

Diagnosis kerja

Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan berdasarkan


anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan fisik penderita. Aspirasi
dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis
yang akurat untuk memastikan abses peritonsil.4 Pemeriksaan penunjang akan sangat
membantu selain untuk diagnosis juga untuk perencanaan penatalaksanaan.5 Pemeriksaan
secara klinis seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus. Palatum mole tampak
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak
detritus, terdorong ke arah tengah, depan dan bawah. Uvula terdorong kearah kontra lateral.
Gejala lain untuk diagnosis sesuai dengan gejala klinisnya.6 Pemeriksaan laboratorium darah
berupa faal hemostasis, terutama adanya leukositosis sangat membantu diagnosis.
Pemeriksaan radiologi berupa foto rontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer.7

3
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapat mendiagnosis abses peritonsil secara
spesifik dan mungkin dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan. Mayoritas kasus yang
diperiksa menampakkan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran sentral hypoechoic.7

Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bila volume relatif pus dalam seluruh abses
adalah kurang dari 10% pada penampakan tomografi komputer. Penentuan lokasi abses yang
akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan gambaran
penyebaran sekunder dari infeksi ini merupakan kelebihan penggunaan tomografi komputer.
Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu
dengan tomografi komputer. Bagaimanapun tomografi komputer dan ultrasonografi dapat
membantu untuk membedakan antara abses peritonsil dengan selulitis tonsil. Kasus diagnosis
abses peritonsil bilateral di ruang gawat darurat dengan menggunakan intraoral sonografi.
Ultrasonografi juga dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat darurat untuk membantu
mengidentifikasi ruang abses sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.7

Diagnosis banding

Abses retrofaring

Merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi, terutama terjadi pada anak dan merupakan
abses leher dalam yang terbanyak pada anak.8 Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti
infeksi saluran nafas atas dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada
daerah retrofaring. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4 tahun.9
Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma tumpul pada mukosa
faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.10

Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok, pergerakan leher terbatas, sesak nafas,
odinofagi maupun disfagi. Pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan dinding posterior
faring.10

4
Abses Parafaring

Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi, parotis, atau
kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan perluasan dari abses leher
dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses submandibula, abses retrofaring
maupun mastikator. Gejala abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok,
odinofagi dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak
teraba. Pada abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala
trismus yang lebih jelas.10

Abses Submandibula

Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak, Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas
dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus.
Ludwig’s angina merupakan sellulitis di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal
abses. Biasanya akan mengenai kedua sisi submandibula, air liur yang banyak, trismus, nyeri,
disfagia, massa di submandibula, sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.

5
Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.2

Mikrobiologi yang sering ditemukan pada abses paling banyak adalah infeksi
campuran. Terdapat bakteri aerob dan anaerob. Apabila diisolasi paling sering ditemukan
adalah Streptococcus grup A atau grup B. Staphylococcus aureus, Fusobacterium dan bakteri
gram negative anaerob juga sering ditemukan. 5% dari kultur menunjukkan tidak adanya
pertumbuhan bakteri, hal ini disebabkan karena kebanyakan pasien mendapatkan terapi
antibiotic sebelum dilakukan operasi pada stadium akut.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah


Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme
aerobik dan anaerobic.

Epidemiologi
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.11

6
Patofisologi

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak
diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess
formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang.2

Infiltrasi supuratifa dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering pada fosa
supratonsilaris (70%). Hal ini menyebabkan oedem palatum mole pada sisi yang terkena dan
pendorongan uvula melewati garis tengah. Pembengkakan meluas ke jaringan lunak
sekitarnya, menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga


permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.2

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation)
dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

7
Manifestasi klinis

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeru menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.2

Pada kasus yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata. Pembengkakan
mengganggu artikulasi dan membuat bicara menjadi sulit. Demam sekitar 100o F, meskipun
adakalanya mungkin lebih tinggi. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan menyebabkan pasien merasa
tidak enak. Diagnosis jarang sangsi jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsiler yang
luas, mendorong uvula melewati garis tengah dengan oedem dari palatum mole dan
penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsilla sendiri Nampak normal juga
terdorong ke medial dan pembengkakan terjadi lateral terhadap tonsilla. Palpasi jika mungkin
membantu membedakan abses dari sellulitis.

Gejala-gejala yang sering muncul pada abses peritonsiler diantaranya:

• Mild/moderate distress
• Demam
• Tachycardia
• Dehidrasi
• Drooling, salivation, trouble handling oral secretions
• Trismus
• Hot potato/muffled voice → suara yang muncul seperti sedang makan
makanan yang panas masih di dalam mulut
• Cervical lymphadenitis
• Asymmetric tonsillar hypertrophy
• Letak tonsil ke inferior atau medial
• Deviasi kontralateral the uvula
• Erythema pada tonsil
• Exudasi pada tonsil

8
Penatalaksanaan

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang
diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg
atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.9

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak,
atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien.

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum.

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.9

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses


peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.12

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek


mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah
sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

9
Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.


2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.9

Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan. Beratnya
komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan
penanganan dan intervensi sejak dini.

Prognosis

Abses peritonsiler yang tidak berkomplikasi dan mendapat perawatan yang baik akan sembuh
94%. Di Amerika Serikat angka kekambuhan 10%, meski di negara-negara lain bisa
mencapai 15% atau lebih.

10
Kesimpulan

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher akibat dari kolonisasi bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsiler.
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Abses peritonsiler terbentuk dia area antara
tonsil palatine dan kapsulnya. Jika abses berlanjut maka akan menyebar ke daerah sekitarnya
meliputi musculus masseter dan muskulus pterygoid. Jika berat infeksinya maka akan terjadi
penetrasi melalui pembuluh darah karotis.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah


Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp.
Penelitian yang dilakukan merekomendasikan penisilin sebagai agen lini pertama. Semua
specimen harus diperiksa untuk kultus sensitifitas terhadap antibiotic. Pada stadium infiltrasi,
diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air
hangat dan kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Indikasi-indikasi untuk
tonsilektomi segera diantaranya adalah obstruksi jalan napas atas, sepsis dengan adenitis
servikalis atau abses leher bagian dalam, riwayat abses peritonsilaris sebelumnya, riwayat
faringitis eksudatifa yang berulang.

Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar


antara 0% sampai 22%. Tonsilektomi adalah terapi terbaik untuk terapi abses peritonsiler
untuk mencegah kekambuhan, dimana angka kekambuhannya tinggi. Pada individu dengan
abses peritonsiler ulangan atau riwayat faringitis ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau
dalam jangka enam minggu kemudian dilakukan tonsilektomi.

11
Daftar Pustaka

1. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern District of


Israel. Int Journal of Ped Otol 2009;73:1148-50.
2. Soepardi, EA et al. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Uniersitas Indonesia. Jakarta.
3. E, Steyer, Terrence, M.D, Peritonsiller Abscess: Diagnosis and Treatment. Available
at: www.aafp.org/afp, Accesed on Okt, 2010
4. Hanna B, Ronan MM. The Epidemiology of Peritonsillar Abscess Disease in
Northern Ireland. Journal of Infection 2006; 52:247-53.
5. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe Trismus.
Journal of Laryngol & Otol 2006;120:492-94.
6. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar Abscess as a Cause of Transient Velopharyngeal
Insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal, July 1993;30:421-28.
7. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your Usual Sore
Throat. The Journal of Emergency Medicine 2005;29 p. 45-7.
8. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the Deep Spaces of The Neck. In: Bayle BJ ,
Johnson JT. editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Company 2006. p.666-81.
9. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007:p. 185-8.
10. Abshirini H, Alavi SM, Rekabi H, Ghazipur A, Shabab M. Predisposing factors for
the complications of deep neck infection. The Iranian J of otorhinolaryngol 2010;22
(60): 139-45.
11. Pulungan, M. Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM-
Revisi pada tanggal 14 April 2011.
12. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

12

Anda mungkin juga menyukai