Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

Abses Peritonsil, Submandibula, dan Parafaring

OLEH :

Alfa Febrianda 0810313175

Berby Bermanda 0810313240

Dita Az-Zahra Suprapto 0910312032

Revan Aliantino 1010313068

Fadma Yuliani 1010313035

PRESEPTOR :

Dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMILPADANG

2014

0
I. ABSES SUBMANDIBULA

1.1 Definisi

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan

pus pada daerah submandibula.1,2 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada

leher bagian dalam (deep neck infection).

1.2 Epidemiologi

Penelitian Yang5 pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001

sampai Oktober 2006 mendapatkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan

3:2. Abses submandibula merupakan kasus terbanyak (35%), diikuti oleh abses

parafaring (20%), mastikator (13%), peritonsil (9%), sublingual (7%), parotis

(3%), infra hyoid (26%), retrofaring (13%), ruang karotis (11%).

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama periode

Oktober 2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33

orang. Abses submandibula (26%) merupakan kasus kedua terbanyak setelah

abses peritonsil (32%), diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%),

abses mastikator (9%), dan abses pretrakeal (3%).6

1.3 Anatomi Ruang Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.

Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang

submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila

(lateral) oleh otot digastrikus anterior. 2 Ruang mandibular dibatasi pada bagian

lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior

1
musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari

musculus digastricus, superior oleh musculus mylohyoid dan hyoglossus, dan

inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung

glandula saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.7

Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula

dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila

saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya

sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.2

Ruang submandibula berhubungan dengan beberapa struktur didekatnya

(gambar 4), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur

didekatnya.3

Gambar 4. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal
space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;
GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;
MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal
muscle.3
1.4 Etiologi

2
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe

submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.2

Sebanyak 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi. 7

Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari

mandibula, jika apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus

mylohyoid.4 infeksi dari gigi dapat menyebar ke ruang submandibula melalui

beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari

ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang mastikor.3

Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai

kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob

yang sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptococcus sp, Haemofilus

influenza, Streptococcus Pneumonia, Moraxtella catarrhalis, Klebsiell sp,

Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam

adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun

Fusobacterium.6

1.5 Diagnosis

Anamnesa dan gejala klinis

Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus

akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan

jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah submandibula

(gambar 5), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang

bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.

Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.2,7,8

3
Gambar 5. Abses submandibula10

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material

yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi

antibiotik
2. Radiologis
a. Rontgen jaringan lunak kepala AP
b. Rontgen panoramik

4
Dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal dari gigi.
c. Rontgen thoraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,

pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.


d. Tomografi komputer (CT-scan)
CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses

leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan

pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap

luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien (dikutip dari

Pulungan). Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens

(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level

(gambar 6 dan gambar 7). 6,13

Gambar 6. CT-scan pasien dengan keluhan trismus, pembengkakan submandibula


yang nyeri dan berwarna kemerahan selama 12 hari. CT-scan axial menunjukkan
pembesaran musculus pterygoid medial (tanda panah), peningkatan intensitas
ruang submandibular dan batas yang jelas dari musculus platysmal (ujung
panah).3

5
Gambar 7. Axial CT-scan menunjukan infeksi pada ruang submandibula. Tampak

abses multifokal.12

1.6 Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :

1. Antibiotik (parenteral)

Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab,

uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara

parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus.

Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram

positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman

penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris

kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah

hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat

disesuaikan. 2,4-6,13

6
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi

terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone,

ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka

sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif.

Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 2,4-6,13

2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi

abses (gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang

dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses

dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau

setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.2 Bila abses belum

terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV,

setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses

dapat dilakukan.14
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan

trakeostomi perlu dipertimbangkan.14

Gambar 4. Insisi abses submandibula10


4. Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda.2

1.7 Komplikasi

7
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau

langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula

paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini

cukup tipis.3 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor

melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi

dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.6

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis.

Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila

pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi

perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul

tromboflebitis dan septikemia.3

1.8 Prognosis

Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat

didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak

terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan

pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat menghasilkan penyembuhan yang

sempurna.Apabila telah terjadi mediastinitis, angka mortalitas mencapai 40-50%

walaupun dengan pemberian antibiotik. Ruptur arteri karotis mempunyai angka

mortalitas 20-40% sedangkan trombosis vena jugularis mempunyai angka

mortalitas 60%. 2,14,15

II. ABSES PERITONSIL

8
Abses peritonsil (Quinsy) merupakan infeksi akut yang menyebabkan

terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan

tonsil pada fosa tonsil.16 Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang

paling sering ditemukan sebagai komplikasi tonsillitis akut. 17 Abses peritonsil

paling sering ditemukan pada usia 20-40 tahun dan jarang ditemukan pada anak.16

2.1 Etiologi

Abses peritonsil adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. 16

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber

dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.17 Infeksi yang terjadi akan

menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam

ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Hal ini

kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot

konstriktor faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat.16

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar yang terletak di

supratonsil yaitu kelenjar Weber.17 Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah

mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk

menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di dalamnya lalu

dievakuasi dan dicerna.17 Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan

pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang

mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar.16,17 Jika tidak diobati secara

maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada

kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga

menyebabkan terjadinya abses.16

9
Biasanya kuman penyebab abses peritonsil sama dengan penyebab

tonsillitis, yaitu dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.17 Streptococcus

Viridians merupakan penyebab terbanyak infeksi abses peritonsil, diikuti oleh

Streptococcus beta hemolyticus grup A.16

2.2 Patologi

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,

oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering

menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak.16

Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian

inferior. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat) selain pembengkakan tampak

permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah

tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula

ke arah kontralateral. 16

Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses

dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. 17

2.3 Gejala dan tanda16,17

Pada abses peritonsil dapat ditemukan gejala dan tanda tonsillitis akut.

Selain itu terdapat pembengkakan awal yang hampir selalu berlokasi pada daerah

palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah

medial. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah odinofagia (nyeri menelan) yang

hebat sehingga pasien kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah, biasanya

10
pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), demam tinggi (mencapai

40oC), lemah dan mual.

Gejala klinis lainnya yang dapat ditemukan adalah terdapat muntah

(regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), dan

kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar

submandibula dengan nyeri tekan. Penderita menjadi sulit berbicara, suara

menjadi seperti suara hidung dan terdengar seperti bergumam (hot potato voice)

karena penderita berusaha mengurangi nyeri saat membuka mulut.

2.4 Pemeriksaan

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang

kedua tonsil terinfeksi pada waktu yang bersamaan. Bila terjadi pembengkakan

secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat.

Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah

peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole

yang terkena. Abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil,

penyebaran pus ke arah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis

dan obstruksi jalan napas. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak

menunjukkan gejala yang sama pada kutub superior. Umumnya uvula tampak

normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran

normal hanya ditandai dengan kemerahan.16

Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring, karena trismus. Palatum

mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula

11
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin

banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.16

Gambar 5 : abses peritonsil

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium darah memperlihatkan leukositosis, kemudian

dapat dilakukan pemeriksaan rontgen polos. Pemeriksaan radiologi lain yang

dapat dilakukan adalah ultrasonografi dan tomografi komputer. Pada pemeriksaan

ultrasonografi dapat ditemukan gambaran cincin isoechoic dengan gambaran

sentral hypoechoic. 16

.Kelebihan penggunaan tomografi komputer adalah Penentuan lokasi abses

yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan

gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini. Khusus untuk diagnosis abses

peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi

computer. 16

2.6 Diagnosis Banding

Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah

peritonsilar harus dipertimbangkan penyakit lain selain abses peritonsil sebagai

12
diagnosis banding. Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing,

tumor/keganasan/limfoma, penyakit Hodgkin leukemia, adenitis servikal,

aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini dapat

dibedakan dari abses peritonsil melalui pemeriksaan darah, biopsi dan

pemeriksaan diagnostik lain. 16

Tidak ada kriteria spesifik yang dianjurkan untuk membedakan selulitis

dan abses peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat

ringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani

aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi positif (terdapat pus), berarti abses, maka

penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak

ada), pasien mungkin dapat didiagnosis sebagai selulitis peritonsil.16

2.7 Terapi

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau

klindamisin, dan obat simtomatik. Selain itu dapat diberikan metronidazol sangat

baik untuk infeksi bakteri anaerob. Kumur-kumur dengan cairan hangat dan

kompres hangat pada leher untuk mengendurkan tegangan otot. Bila telah

terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses. Tempat insisi ialah di daerah

yang paling menonjol dan lunak, pada pertengahan garis yang menghubungkan

dasar uvula dengan geraham atas terakhir (medial M3) pada sisi yang sakit atau

pada pool atas tonsil. 16

Insisi dilakukan dengan posisi duduk menggunakan anestesi lokal.

Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dan nervus glossofaringeus

(N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan

13
menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Insisi diperdalam

dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat

penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk mencegah

aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi

yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah

cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita

kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi antibiotika. 16

Gambar Teknik insisi

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan

bersama-sama tindakan drenase abses disebut tonsilektomi “a” chaud. Bila

tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a”

tiedet, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut

tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi

tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drenase abses. 17

2.8 Komplikasi

Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan

makanan yang kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau

14
pus dapat menyebabkan pneumonitis atau abses paru. Pecahnya abses juga dapat

menyebabkan penyebaran infeksi ke ruang leher dalam, dengan kemungkinan

sampai ke mediastinum dan dasar tengkorak. Infeksi abses peritonsil dapat

menyebar ke arah parafaring menyusuri selubung karotis kemudian membentuk

ruang infeksi yang luas. Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapat

menyebabkan terjadinya abses parafaring, penjalaran selanjutnya dapat masuk ke

mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis.16

Pembengkakan yang timbul di daerah supra glotis dapat menyebabkan

obstruksi jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-

ruang faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan

drainase dari luar melalui segitiga submandibular. Bila terjadi penjalaran ke

daerah intrakranial dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis

dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan

menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin

timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga

pernah ditemukan. 16

III. ABSES PARAFARING

Abses parafaring adalah infeksi yang mengancam jiwa. Abses terjadi karena

penyebaran infeksi dari ruang sekitarnya dan sering terjadi akibat penyebaran

infeksi dari tonsilitis akut. Infeksi akan diperberat dengan adanya penurunan daya

tahan tubuh, HIV, dan tata laksana yang tidak adekuat.18

3.1 Anatomi ruang parafaring

15
Ruang parafaring berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada

dasar tengkorak dekat dengan foramen jugularis dan puncaknya pada kornu

mayus os hioid.

Batas bagian dalam : m. Konstriktor faring superior

Batas luar : ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.pterigoid interna

Batas posterior : kelenjar parotis

Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid

dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian

yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang

meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.

Bagian yang lebih sempit dibagian posterior (post stiloid) berisi a.krotis interna,

v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut

seubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh

suatu fasia yang tipis.19

3.2 Etiologi

-
Langsung : akibat tusukan jarum saat tonsilektomi dengan analgesia
-
Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,

hidung, sinus paranasal, mastoid,dan vertebra servikal


-
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.17

3.3 Gejala dan tanda

Demam dan malaise adalah gejala pertama. Infeksi progresif menimbulkan

odinofagi dan disfagia. Penurunan intake oral dapat menimbulkan dehidrasi

16
sekunder. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya trismus, pergesaran dinding

orofaring, indurasi atau pembengkakan disekitar angulus mandibula, dan

pembengkakan dinding lateral faring.18

3.4 Diagnosis

Ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinis. Bila

meragukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan

lunak AP atau CT Scan.17

3.5 Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau

langsung ke daerah sekitarnya. Abses dapat pecah spontan dan sirasi ke

trakeobronkial dapat terjadi. Stridor bisa terjadi karena udem atau mediastinitis.

Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, kebawah

menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum

Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila

pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi rupture, sehingga terjadi

perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul

tromboflebitis dan septikemia.17

3.6 Terapi

-
Pasien dirawat di ruang intensif

17
-
Antibiotika dosis tinggi secara parenteral. Antibiotik yang diberikan bisa

berupa amoksislin dengan asam klavulanat (150mg/kgbb/hari) karena

sebagian besar abses leher dalam mengandung organisme penghasil beta

laktamase. Untuk bateri anaerob dapat diberikan metronidazol intravena

0,5 gram setiap enam jam.


-
Evaluasi jika tidak ada perbaikan selama 24-48 jam dengan eksplorasi

dalam narcosis. caranya melalui :



Insisi dari luar dilakukan 2 ½ jari dibawah dan sejajar mandibula.

Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior

m.sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian

medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang

parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat

di dalam selubung carotid, insisi dilanjutkan vertical dari

pertengahan insisi horizontal ke bawah didepan

m.sternokleidomastoideus.

Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan

memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus

m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring

anterior.17,18

BAB II

LAPORAN KASUS

18
III.1 Anamnesis

Identitas

Nama : Antoniyus

Umur : 33 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku bangsa : Minang

Alamat : Dhamasraya

ANAMNESIS

Seorang pasien laki-laki berumur 33 tahun dirawat di bangsal THT RSUP. DR. M.
DJAMIL PADANG, sejak 7 Maret 2014 dengan :

Keluhan Utama : Bengkak di bawah dagu dan leher kiri sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit makin lama makin membesar
Keluhan Tambahan : Tidak bisa membuka mulut sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


- Pasien tidak bisa membuka mulut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
dan pasien hanya bisa minum air
- Bengkak di bawah dagu dan leher kiri sejak 4 hari sebelum masuk rumah
sakit yang makin lama makin membesar, awalnya pasien merasa nyeri
menelan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, kemudian muncul benjolan
dibawah dagu dan leher kiri yang makin lama makin membesar
- Nyeri ketika menggerakkan leher terutama ke bagian kiri sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit
- Demam tinggi terus-menerus sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit
- Pasien mengeluhkan keluar air liur terus-menerus dan berbicara bergumam
tidak jelas
- Pasien memiliki riwayat sakit gigi berulang sejak 5 bulan yang lalu
- Pasien memiliki riwayat nyeri menelan berulang sejak 6 bulan yang lalu yang
dirasakan hilang timbul

19
- Pasien sudah berobat ke dokter spesialis THT dan dirujuk ke RSUP DR. M.
DJAMIL untuk tindakan lebih lanjut

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

- Tidak ada menderita keluhan yang sama seperti pasien

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan:

- Sosial ekonomi menengah kebawah


PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 130/70 mmHg

Frek.nadi : 98x/mnt, irama teratur

Frek.nafas : 20x/mnt, irama teratur, cuping hidung (-), retraksi (-).

Suhu : 38oC (axilla).

Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis(-)

Status Lokalis THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Kel kongenital Tidak ada Tidak ada

Daun telinga Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada

20
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada

Cukup lapang (N) Cukup lapang (N) Cukup lapang(N)

Diding liang Sempit


telinga
Hiperemis Tidak ada Tidak ada

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Ada / Tidak ada ada

Serumen Bau Tidak ada Tidak ada

Warna kekuningan kekuningan

Jumlah sedikit sedikit

Jenis Lunak lunak

Membran timpani

Warna Putih mengkilat Putih mengkilat

Reflek cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Utuh Bulging Tidak ada Tidak ada

Retraksi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada

Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada

Perforasi Jenis Tidak ada Tidak ada

Kwadran Tidak ada Tidak ada

Pinggir Tidak ada Tidak ada

Tanda radang Tidak ada Tidak ada

Fistel Tidak ada Tidak ada

Mastoid Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

21
Rinne (+) (+)

Tes garpu tala Schwabach Sama dengan Sama dengan


pemeriksa pemeriksa

Weber Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Telinga N Telinga N

Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Kelainan

Deformitas Tidak ada

Kelainan kongenital Tidak ada

Hidung luar Trauma Tidak ada

Radang Tidak ada

Massa Tidak ada

Sinus paranasal

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Vestibulum Vibrise ada ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Cukup lapang (N) lapang lapang

Sempit

22
Cavum nasi Lapang

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Sekret Jenis

Jumlah

Bau

Konka inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin Licin

Edema Tidak ada Tidak ada

Konka media Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin Licin

Edema Tidak ada Tidak ada

Cukup
Cukup Lurus
lurus/deviasi

Permukaan Licin

Warna Merah muda


Septum
Spina Tidak ada

Krista Tidak ada

Abses Tidak ada

Perforasi Tidak ada

Lokasi - -

Bentuk - -

Ukuran - -

Permukaan - -

Warna - -
Massa
Konsistensi - -

23
Mudah digoyang - -

Pengaruh - -
vasokonstriktor

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Cukup lapang (N)

Koana Sempit Sukar dinilai Sukar dinilai

Lapang

Warna Sukar dinilai Sukar dinilai

Mukosa Edem Sukar dinilai Sukar dinilai

Jaringan granulasi Sukar dinilai Sukar dinilai

Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai

Konka inferior Warna Sukar dinilai Sukar dinilai

Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai

Edem Sukar dinilai Sukar dinilai

Adenoid Ada/tidak Sukar dinilai Sukar dinilai

Muara tuba Tertutup sekret Sukar dinilai Sukar dinilai


eustachius
Edem mukosa Sukar dinilai Sukar dinilai

Lokasi Sukar dinilai Sukar dinilai

Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai

Massa Bentuk Sukar dinilai Sukar dinilai

Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai

Post Nasal Drip Ada/tidak Sukar dinilai Sukar dinilai

Jenis Sukar dinilai Sukar dinilai

Orofaring dan mulut

24
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Trismus ½ cm

Uvula edema Terdorong ke kanan

bifida

Simetris/tidak asimetris

Arkus Faring Warna Hiperemis

Edem ada

Bercak/eksudat Tidak ada

Dinding faring Warna Sukar dinilai

Permukaan Sukar dinilai

Ukuran Sukar dinilai Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai Sukar dinilai

Permukaan Sukar dinilai Sukar dinilai

Muara kripti Sukar dinilai Sukar dinilai

Detritus Sukar dinilai Sukar dinilai


Tonsil
Eksudat Sukar dinilai Sukar dinilai

Perlengketan
Sukar dinilai Sukar dinilai
dengan pilar

Warna Merah muda Hiperemis

Peritonsil Edema Tidak ada Ada

Abses Tidak ada Ada, fluktuatif

Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk Tidak ada Tidak ada

Tumor Ukuran Tidak ada Tidak ada

Permukaan Tidak ada Tidak ada

Konsistensi Tidak ada Tidak ada

25
Gigi Karies/Radiks Ada Ada

Kesan Higiene kurang

Warna Merah muda

Bentuk Normal

Lidah Deviasi Tidak ada

Massa Tidak ada

Laringiskopi Indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Bentuk Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai

Epiglotis Edema Sukar dinilai

Pinggir rata/tidak Sukar dinilai

Massa Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai

Ariteniod Edema Sukar dinilai

Massa Sukar dinilai

Gerakan Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai

Ventrikular band Edema Sukar dinilai

Massa Sukar dinilai

Warna Sukar dinilai

Plica vokalis Gerakan Sukar dinilai

Pingir medial Sukar dinilai

Massa Sukar dinilai

Subglotis/trakea Massa Sukar dinilai

Sekret Sukar dinilai

26
Sinus piriformis Massa Sukar dinilai

Sekret Sukar dinilai

Valekula Massa Sukar dinilai

Sekret ( jenisnya ) Sukar dinilai

Pemeriksaan region submandibula sinistra : bengkak, hiperemis, fluktuatif, dan


nyeri tekan

Diagnosis Kerja : abses peritonsil sinistra + abses submandibula sinistra


perluasan ke parafaring sinistra dan suprasternal

Rencana Terapi : Rawat inap

IVFD RL

Ceftriaxon inj 2 x 1

Metronidazol drip 3 x 500 mg

Dexametason inj 3 x 1 amp

Ranitidin inj 2 x 1 amp

Tramadol drip 1 amp/kolf

Betadine + H2O2 kumur 3 x 1

Rencana dilakukan insisi dan drainase abses

Rencana Pemeriksaan : Pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan rontgen jaringan


lunak leher dan rontgen thoraks, CT scan

27
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berumur 33 tahun dirawat di bangsal THT RSUP.

DR. M. DJAMIL PADANG, sejak 7 Maret 2014 dengan keluhan pasien tidak bisa

membuka mulut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan pasien hanya bisa

minum air. Bengkak di bawah dagu dan leher kiri sejak 4 hari sebelum masuk

rumah sakit yang makin lama makin membesar, awalnya pasien merasa nyeri

menelan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, kemudian muncul benjolan

dibawah dagu dan leher kiri yang makin lama makin membesar.

Nyeri ketika menggerakkan leher terutama ke bagian kiri sejak 4 hari

sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi terus-menerus sejak 7 hari sebelum

masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan keluar air liur terus-menerus dan

berbicara bergumam tidak jelas. Pasien memiliki riwayat sakit gigi berulang sejak

5 bulan yang lalu. Pasien memiliki riwayat nyeri menelan berulang sejak 6 bulan

yang lalu yang dirasakan hilang timbul. Pasien sudah berobat ke dokter spesialis

THT dan dirujuk ke RSUP DR. M. DJAMIL untuk tindakan lebih lanjut.

28
Pemeriksaan fisik ditemukan arkus faring asimetris, peritonsil sinistra

edema, fluktuatif, hiperemis, uvula terdorong ke kanan, tonsil sulit dinilai, dan

dinding faring posterior sulit dinilai. Regio submandibula bengkak, hiperemis,

fluktuatif, dan terdapat nyeri tekan. Rencana dilakukan insisi dan drainase abses.

Pasien diberikan ceftriaxon inj 2 x 1, metronidazol drip 3 x 500 mg, dexametason

inj 3 x 1 amp, ranitidin inj 2 x 1 amp, tramadol drip 1 amp/kolf, betadine + H2O2

kumur 3 x 1. Rencana pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan rontgen jaringan

lunak leher dan rontgen thoraks, dan CT scan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal


infection. International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33
2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 145-48
3. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all.
Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging
assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9
4. Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection:
analysis of 18 cases. Head and neck. Ockt 2004.860-4
5. Yang S.W, Lee M.H, See L.C, Huang S.H, Chen T.M, Chen T.A. Deep neck
abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of antibiotics.
Infection and Drug Resistance. 2008;1:1-8.
6. Pulungan MR. Pola Kuman abses leher dalam. Diunduh dari
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-
DALAM-Revisi. [Diakses tanggal 10 Maret 2014]
7. Calhoun KH, Head and neck surgery-otolaryngology Volume two. 3nd Edition.
USA: Lippincott Williams and Wilkins. 2001. 705,712-3

29
8. Ballenger JJ. Penyakit telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jilid 1. Edisi
ke-13. Jakarta: Bina Rupa Aksara,1994.295-304
9. Deep Neck Space Infections (updated 08/06). Diunduh dari
http://www.entnyc.com/coclia_deep.pdf. [Diakses tanggal 10 Maret 2014]
10. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview. [Diakses tanggal 10
Maret 2014]
11. Micheau A, Hoa D. ENT anatomy: MRI of the face and neck - interactive
atlas of human anatomy using cross-sectional imaging (updated 24/08/2008
10:51 pm). Diunduh dari http://www.imaios.com/en/e-Anatomy/Head-and-
Neck/Face-and-neck-MRI. [Diakses tanggal 11 Maret 2014].
12. Yonetsu K, Izumi M, Nakamura T. Deep facial infections of odontogenic
origin: CT assessment of pathways of space involvement. AJNR Am J
Neuroradiol 1998;19:123
13. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Fakultas kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatra Utara. Diunduh dari USU
digital library 2003. [Diakses tanggal 10 Maret 2014]
14. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the
submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias
2007;19:52-53
15. Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J
antimicrob chemother 2002;50:805-10
16. Novialdi, Prijadi J. 2006. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil.
Padang : Fakultas kedokteran universitas Andalas.
17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudding J, dan Restuti RD. 2007. Abses Leher
dalam dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung tenggorok, kepala dan
leher edisi keenam hal. 226-230. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
18. Jagadish T, Arsheed H, DC Pradeep, Puneeth N. 2012. Surgical Management
of Parapharyngeal Abscess. Diunduh dari www.jaypee.journals.com. [Diakses
tanggal 12 Maret 2014].

30
19. Rusmarjono, Bambang H. 2007. Odinofagia dalam buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung tenggorok, kepala dan leher edisi keenam hal.215. Jakarta :
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

31

Anda mungkin juga menyukai