OLEH :
PRESEPTOR :
2014
0
I. ABSES SUBMANDIBULA
1.1 Definisi
pus pada daerah submandibula.1,2 Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada
1.2 Epidemiologi
Penelitian Yang5 pada 100 kasus abses leher dalam yang diteliti April 2001
3:2. Abses submandibula merupakan kasus terbanyak (35%), diikuti oleh abses
Oktober 2009 sampai September 2010 didapatkan abses leher dalam sebanyak 33
abses peritonsil (32%), diikuti abses parafaring (18%), abses retrofaring (12%),
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot miohioid. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior. 2 Ruang mandibular dibatasi pada bagian
lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior
1
musculus digastricus, posterior oleh ligament stylohyoid dan perut posterior dari
inferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung
dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang submaksila
saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya
(gambar 4), oleh karena itu abses submandibula dapat menyebar ke struktur
didekatnya.3
Gambar 4. Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan sagital.
Ket : SMS: submandibular space; SLS: sublingual space; PPS: parapharyngeal
space; CS: carotid space; MS: masticatory space. SMG: submandibular gland;
GGM: genioglossus muscle; MHM: mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;
MPM: medial pterygoid muscle; LPM: lateral pterygoid muscle; TM: temporal
muscle.3
1.4 Etiologi
2
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.2
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari
beberapa jalan yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid, posterior dari
kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob
Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam
Fusobacterium.6
1.5 Diagnosis
Pasien biasanya akan mengeluhkan demam, air liur yang banyak, trismus
akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia dan sesak nafas akibat sumbatan
jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang. Pada
(gambar 5), fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang
bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.
3
Gambar 5. Abses submandibula10
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material
yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi
antibiotik
2. Radiologis
a. Rontgen jaringan lunak kepala AP
b. Rontgen panoramik
4
Dilakukan apabila penyebab abses submandibuka berasal dari gigi.
c. Rontgen thoraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien (dikutip dari
(intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level
5
Gambar 7. Axial CT-scan menunjukan infeksi pada ruang submandibula. Tampak
abses multifokal.12
1.6 Penatalaksanaan
1. Antibiotik (parenteral)
hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat
disesuaikan. 2,4-6,13
6
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
2. Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi
abses (gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses
dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau
setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.2 Bila abses belum
setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses
dapat dilakukan.14
3. Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan
1.7 Komplikasi
7
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini
cukup tipis.3 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor
1.8 Prognosis
didiagnosis secara dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak
terjadi. Pada fase awal dimana abses masih kecil maka tindakan insisi dan
8
Abses peritonsil (Quinsy) merupakan infeksi akut yang menyebabkan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m. konstriktor faring dengan
tonsil pada fosa tonsil.16 Abses peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang
paling sering ditemukan pada usia 20-40 tahun dan jarang ditemukan pada anak.16
2.1 Etiologi
Abses peritonsil adalah suatu infeksi akut dan berat di daerah orofaring. 16
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil.17 Infeksi yang terjadi akan
menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil) dan meluas ke dalam
ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding posterior fosa tonsil. Hal ini
kemudian akan menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot
dievakuasi dan dicerna.17 Jika terjadi infeksi berulang, dapat terjadi gangguan
pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar Weber yang
maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil atau infeksi kronis pada
kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut akan membentuk pus sehingga
9
Biasanya kuman penyebab abses peritonsil sama dengan penyebab
2.2 Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula
ke arah kontralateral. 16
Pada abses peritonsil dapat ditemukan gejala dan tanda tonsillitis akut.
Selain itu terdapat pembengkakan awal yang hampir selalu berlokasi pada daerah
palatum mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah
medial. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat sehingga pasien kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah, biasanya
10
pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), demam tinggi (mencapai
menjadi seperti suara hidung dan terdengar seperti bergumam (hot potato voice)
2.4 Pemeriksaan
kedua tonsil terinfeksi pada waktu yang bersamaan. Bila terjadi pembengkakan
secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat.
Di saat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah
peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum mole
yang terkena. Abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di belakang tonsil,
dan obstruksi jalan napas. Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak
menunjukkan gejala yang sama pada kutub superior. Umumnya uvula tampak
normal dan tidak bergeser, tonsil dan daerah peritonsil superior tampak berukuran
mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
11
bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
sentral hypoechoic. 16
yang akurat, membedakan antara selulitis dan abses peritonsil serta menunjukkan
gambaran penyebaran sekunder dari infeksi ini. Khusus untuk diagnosis abses
peritonsil di daerah kutub bawah tonsil akan sangat terbantu dengan tomografi
computer. 16
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiap pembengkakan pada daerah
12
diagnosis banding. Contohnya adalah infeksi mononukleosis, benda asing,
aneurisma arteri karotis interna dan infeksi gigi. Kelainan-kelainan ini dapat
dan abses peritonsil. Karena itu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang sangat
ringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerah peritonsil harus menjalani
aspirasi/punksi. Apabila hasil aspirasi positif (terdapat pus), berarti abses, maka
penatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila hasil aspirasi negatif (pus tidak
2.7 Terapi
klindamisin, dan obat simtomatik. Selain itu dapat diberikan metronidazol sangat
baik untuk infeksi bakteri anaerob. Kumur-kumur dengan cairan hangat dan
kompres hangat pada leher untuk mengendurkan tegangan otot. Bila telah
terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses. Tempat insisi ialah di daerah
yang paling menonjol dan lunak, pada pertengahan garis yang menghubungkan
dasar uvula dengan geraham atas terakhir (medial M3) pada sisi yang sakit atau
Anestesi lokal dapat dilakukan pada cabang tonsilar dan nervus glossofaringeus
(N.IX) yang memberikan inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan
13
menyuntikkan lidokain melalui mukosa ke dalam fosa tonsil. Insisi diperdalam
dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan menggunakan alat
yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah
cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah drenase abses, disebut tonsilektomi “a”
tiedet, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drenase abses, disebut
2.8 Komplikasi
makanan yang kurang. Pecahnya abses secara spontan dengan aspirasi darah atau
14
pus dapat menyebabkan pneumonitis atau abses paru. Pecahnya abses juga dapat
dan abses otak. Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan
menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin
timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga
pernah ditemukan. 16
Abses parafaring adalah infeksi yang mengancam jiwa. Abses terjadi karena
penyebaran infeksi dari ruang sekitarnya dan sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari tonsilitis akut. Infeksi akan diperberat dengan adanya penurunan daya
15
Ruang parafaring berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada
dasar tengkorak dekat dengan foramen jugularis dan puncaknya pada kornu
mayus os hioid.
Batas luar : ramus asenden mandibula yang melekat dengan m.pterigoid interna
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian
yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang
meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit dibagian posterior (post stiloid) berisi a.krotis interna,
v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
seubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
3.2 Etiologi
-
Langsung : akibat tusukan jarum saat tonsilektomi dengan analgesia
-
Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
16
sekunder. Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya trismus, pergesaran dinding
3.4 Diagnosis
3.5 Komplikasi
trakeobronkial dapat terjadi. Stridor bisa terjadi karena udem atau mediastinitis.
3.6 Terapi
-
Pasien dirawat di ruang intensif
17
-
Antibiotika dosis tinggi secara parenteral. Antibiotik yang diberikan bisa
m.sternokleidomastoideus.
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan
anterior.17,18
BAB II
LAPORAN KASUS
18
III.1 Anamnesis
Identitas
Nama : Antoniyus
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Dhamasraya
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 33 tahun dirawat di bangsal THT RSUP. DR. M.
DJAMIL PADANG, sejak 7 Maret 2014 dengan :
Keluhan Utama : Bengkak di bawah dagu dan leher kiri sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit makin lama makin membesar
Keluhan Tambahan : Tidak bisa membuka mulut sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit
19
- Pasien sudah berobat ke dokter spesialis THT dan dirujuk ke RSUP DR. M.
DJAMIL untuk tindakan lebih lanjut
Telinga
20
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Membran timpani
21
Rinne (+) (+)
Hidung
Pemeriksaan Kelainan
Sinus paranasal
Rinoskopi Anterior
Sempit
22
Cavum nasi Lapang
Sekret Jenis
Jumlah
Bau
Cukup
Cukup Lurus
lurus/deviasi
Permukaan Licin
Lokasi - -
Bentuk - -
Ukuran - -
Permukaan - -
Warna - -
Massa
Konsistensi - -
23
Mudah digoyang - -
Pengaruh - -
vasokonstriktor
Rinoskopi Posterior
Lapang
24
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Trismus ½ cm
bifida
Simetris/tidak asimetris
Edem ada
Perlengketan
Sukar dinilai Sukar dinilai
dengan pilar
25
Gigi Karies/Radiks Ada Ada
Bentuk Normal
Laringiskopi Indirek
26
Sinus piriformis Massa Sukar dinilai
IVFD RL
Ceftriaxon inj 2 x 1
27
BAB IV
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berumur 33 tahun dirawat di bangsal THT RSUP.
DR. M. DJAMIL PADANG, sejak 7 Maret 2014 dengan keluhan pasien tidak bisa
membuka mulut sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan pasien hanya bisa
minum air. Bengkak di bawah dagu dan leher kiri sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit yang makin lama makin membesar, awalnya pasien merasa nyeri
menelan sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, kemudian muncul benjolan
dibawah dagu dan leher kiri yang makin lama makin membesar.
sebelum masuk rumah sakit. Demam tinggi terus-menerus sejak 7 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien mengeluhkan keluar air liur terus-menerus dan
berbicara bergumam tidak jelas. Pasien memiliki riwayat sakit gigi berulang sejak
5 bulan yang lalu. Pasien memiliki riwayat nyeri menelan berulang sejak 6 bulan
yang lalu yang dirasakan hilang timbul. Pasien sudah berobat ke dokter spesialis
THT dan dirujuk ke RSUP DR. M. DJAMIL untuk tindakan lebih lanjut.
28
Pemeriksaan fisik ditemukan arkus faring asimetris, peritonsil sinistra
edema, fluktuatif, hiperemis, uvula terdorong ke kanan, tonsil sulit dinilai, dan
fluktuatif, dan terdapat nyeri tekan. Rencana dilakukan insisi dan drainase abses.
inj 3 x 1 amp, ranitidin inj 2 x 1 amp, tramadol drip 1 amp/kolf, betadine + H2O2
DAFTAR PUSTAKA
29
8. Ballenger JJ. Penyakit telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Jilid 1. Edisi
ke-13. Jakarta: Bina Rupa Aksara,1994.295-304
9. Deep Neck Space Infections (updated 08/06). Diunduh dari
http://www.entnyc.com/coclia_deep.pdf. [Diakses tanggal 10 Maret 2014]
10. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/837048-overview. [Diakses tanggal 10
Maret 2014]
11. Micheau A, Hoa D. ENT anatomy: MRI of the face and neck - interactive
atlas of human anatomy using cross-sectional imaging (updated 24/08/2008
10:51 pm). Diunduh dari http://www.imaios.com/en/e-Anatomy/Head-and-
Neck/Face-and-neck-MRI. [Diakses tanggal 11 Maret 2014].
12. Yonetsu K, Izumi M, Nakamura T. Deep facial infections of odontogenic
origin: CT assessment of pathways of space involvement. AJNR Am J
Neuroradiol 1998;19:123
13. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Fakultas kedokteran Bagian Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatra Utara. Diunduh dari USU
digital library 2003. [Diakses tanggal 10 Maret 2014]
14. Gómez CM, Iglesia V, Palleiro O, López CB. Phlegmon in the
submandibular region secondary to odontogenic infection. Emergencias
2007;19:52-53
15. Brook I, Microbiology of polymicrobial abscess and implication for therapy. J
antimicrob chemother 2002;50:805-10
16. Novialdi, Prijadi J. 2006. Diagnosis dan penatalaksanaan abses peritonsil.
Padang : Fakultas kedokteran universitas Andalas.
17. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudding J, dan Restuti RD. 2007. Abses Leher
dalam dalam buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung tenggorok, kepala dan
leher edisi keenam hal. 226-230. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
18. Jagadish T, Arsheed H, DC Pradeep, Puneeth N. 2012. Surgical Management
of Parapharyngeal Abscess. Diunduh dari www.jaypee.journals.com. [Diakses
tanggal 12 Maret 2014].
30
19. Rusmarjono, Bambang H. 2007. Odinofagia dalam buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung tenggorok, kepala dan leher edisi keenam hal.215. Jakarta :
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
31