Anda di halaman 1dari 25

Mengatasi Kejang Demam pada Anak

Kejang demam adalah penyakit yang sering dijumpai pada anak dan merupakan
gangguan kejang tersering pada anak. Kejang demam atau yang sering pula disebut
dengan step merupakan suatu keadaan dimana terjadi kejang dengan disertai
demam lebih dari 38C dan bukan disebabkan oleh kelainan otak. Faktor penyebab
kejang demam antara lain adalah derajat demam, umur, dan genetik.
Kejang demam dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang kurang dari 15
menit, tidak berulang, dan kejangnya mengenai seluruh tubuh (kelojotan). Kejang
demam sederhana merupakan bentuk yang paling sering ditemukan dan memiliki
risiko komplikasi yang rendah. Sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang
lebih dari 15 menit, yang dapat berulang dalam 24 jam, dan kejangnya hanya
mengenai satu atau beberapa bagian tubuh.
Pada umumnya kejang demam adalah penyakit yang tidak membahayakan dan
memiliki risiko kompllikasi yang rendah. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
antara lain adalah kejang demam berulang, epilepsi, penurunan IQ, dan gangguan
neurologis,
Pengobatan kejang demam adalah dengan pemberian obat diazepam lewat anus
dengan dosis yang sesuai berat badan, 5mg untuk berat badan kurang dari 10 kg
dan 10mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Pemberian obat penghilang demam
juga dapat membantu mengurangi risiko terjadinya kejang demam, obat yang sering
dipakai antara lain adalah parasetamol dan ibuprofen.
Apabila terjadi kejang demam, berikut adalah tips yang harus dikerjakan untuk
penanganan awal :
1. Jangan panik
2. Buka pakaian anak
3. Posisikan terlentang dengan kepala miring
4. Bersihkan muntahan dan lendir dari mulut dan hidung
5. Ukur suhu dan hitung berapa lama kejangnya
6. Berikan diazepam pada saat kejang (tidak perlu apabila sudah berhenti)
7. Bawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
Kejang demam pastinya akan membawa ketakutan bagi orang tua, namun jangan
panik, kejang demam dapat segera diatasi dan jarang menimbulkan masalah
kedepannya.













BAB I
PENDAHULUAN

Kejang bukan suatu penyakit, tetapi gejala dari suatu atau beberapa penyakit, yang
merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik yang berlebihan di sel-sel
neuron otak oleh karena terganggu fungsinya. Kejang demam pada anak
merupakan kelainan neurologik yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak.
Kejang demam adalah tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak. Walaupun
telah dijelaskan oleh bangsa Yunani , baru pada abad ini kejang demam dibedakan
dengan epilepsy. 1,2
Kejang merupakan salah satu darurat medik yang harus segera diatasi.2 Kejang
didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak paroksismal yang dapat dilihat sebagai
kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan
sensoris, atau disfungsi autonom.1,2
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu
badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial (ekstrakranial : ekstra =
di luar, kranium : rongga tengkorak. Ekstrakranial : di luar rongga tengkorak).1
Serangan kejang demam pada anak yang satu dengan yang lain tidak sama,
tergantung dari nilai ambang kejang masing-masing. Setiap serangan kejang pada
anak harus mendapat penanganan yang cepat dan tepat apalagi pada kasus kejang
yang berlangsung lama dan berulang. Karena keterlambatan dan kesalahan
prosedur akan mengakibatkan gejala sisa pada anak atau bahkan menyebabkan
kematian.2
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2-4% dari jumlah penduduk
di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya
lebih tinggi. Sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam
kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita,
kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki. Penderita pada
umumnya mempunyai riwayat keluarga (orang tua atau saudara kandung) penderita
kejang demam.2

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal lebih dari 380c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun. Anak yang
pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam.

2.2. Epidemiologi
A. Frekuensi
Amerika Serikat
Antara 2% sampai 5% anak mengalami kejang demam sebelum usianya yang ke 5.
Sekitar 1/3 dari mereka paling tidak mengalami 1 kali rekurensi.
Internasional
Kejadian kejang demam seperti di atas serupa di Eropa. Kejadian di Negara lain
berkisar antara 5 sampai 10% di India, 8.8% di Jepang, 14% di Guam, 0.35% di
Hong Kong, dan 0.5-1.5% di China.

B. Mortalitas/Morbiditas
Kejang demam biasanya tidak berbahaya.
Anak dengan kejang demam memiliki resiko epilepsy sedikit lebih tinggi
dibandingkan yang tidak (2% : 1%).
Faktor resiko untuk epilepsy di tahun-tahun berikutnya meliputi kejang demam
kompleks, riwayat epilepsy atau kelainan neurologi dalam keluarga, dan hambatan
pertumbuhan. Pasien dengan 2 faktor resiko tersebut mempunyai kemungkinan
10% mendapatkan kejang demam.

C. Ras
Kejang demam terjadi pada semua ras.

D. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian lebih tinggi pada pria.

E. Usia
Kejang demam terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun.

2.3. Etiologi
Hingga kini etiologi kejang demam belum diketahui dengan pasti. Demam sering
disebabkan oleh :
infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media,
pneumonia,
gastroenteritis, dan
infeksi saluran kemih.
Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu
tinggi dapat menyebabkan kejang.3
Penyebab lain kejang disertai demam adalah penggunaan obat-obat tertentu seperti
difenhidramin, antidepresan trisiklik, amfetamin, kokain, dan dehidrasi yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.4

2.4. Faktor Resiko
Sedangkan faktor yang mempengaruhi kejang demam adalah :11
1. Umur
a. 3% anak berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam.
b. Insiden tertinggi terjadi pada usia 2 tahun dan menurun setelah 4 tahun, jarang
terjadi pada anak di bawah usia 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama dan kemudian
menurun dengan bertambahnya umur.

2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 2 : 1. Hal ini mungkin disebabkan oleh maturasi serebral yang lebih
cepat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.

3. Suhu badan
Kenaikan suhu tubuh adalah syarat mutlak terjadinya kejang demam. Tinggi suhu
tubuh pada saat timbul serangan merupakan nilai ambang kejang. Ambang kejang
berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38,3C 41,4C. Adanya
perbedaan ambang kejang ini menerangkan mengapa pada seorang anak baru
timbul kejang setelah suhu tubuhnya meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
yang lain kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi. Dari
kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih
sering pada anak dengan nilai ambang kejang yang rendah.

4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam.
Beberapa penulis mendapatkan bahwa 25 50% anak yang mengalami kejang
demam memiliki anggota keluarga ( orang tua, saudara kandung ) yang pernah
mengalami kejang demam sekurang-kurangnya sekali.

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam.6 Kejang demam
cenderung timbul dalam 24 jam pertama pada waktu sakit dengan demam atau
pada waktu demam tinggi.7

Faktor faktor lain diantaranya:
riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung,
perkembangan terlambat,
problem pada masa neonatus,
anak dalam perawatan khusus, dan
kadar natrium rendah.

Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali
rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih.
Risiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang
setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga
kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.

Sekitar 1/3 anak dengan kejang demam pertamanya dapat mengalami kejang
rekuren.
o Faktor resiko untuk kejang demam rekuren meliputi berikut ini:
Usia muda saat kejang demam pertama
Suhu yang rendah saat kejang pertama
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Durasi yang cepat antara onset demam dan timbulnya kejang
o Pasien dengan 4 faktor resiko ini memiliki lebih dari 70% kemungkinan rekuren.
Pasien tanpa faktor resiko tersebut memiliki kurang dari 20% kemungkinan rekuren.
2.5. Patofisiologi
Kelangsungan hidup sel otak memerlukan energi yang didapat dari metabolisme
glukosa melalui suatu proses oksidasi. Dimana dalam proses oksidasi tersebut
diperlukan oksigen yang disediakan dengan perantaraan paru-paru. Oksigen dari
paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular.11,12,13
Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu
membran yang terdiri dari membran permukaan dalam dan membran permukaan
luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan
luar bersifat ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan
mudah dilalui ion Kalium ( K+ ) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan
elektrolit lainnya, kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat
keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran tadi dapat berubah oleh adanya :

1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya
3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan11,12,13
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.
Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu
tubuh pada seorang anak dapat mengakibatkan adanya perubahan keseimbangan
membran neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangga dengan perantaraan neurotransmiter sehingga terjadilah
kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda, dan tergantung dari tinggi
rendahnya nilai ambang kejang, seorang anak menerita kejang pada kenaikan suhu
tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang
telah terjadi pada suhu 38C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi,
serangan kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapat
disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam akan lebih sering pada anak
dengan ambang kejang yang rendah. Sehingga dalam penanggulangan anak
dengan ambang kejang demikian perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa anak
tersebut akan mendapat serangan. 11,12,13
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi pada kejang lama (lebih dari 15 menit) biasanya
disertai terjadinya apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat
yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Rangkaian kejadian tadi adalah faktor penyebab hingga terjadinya
kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan
kerusakan neuron. 11,12,13 Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap
bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan kejang yang
berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab
terhadap terjadinya epilepsi.
Berdasarakan referensi lain, mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak
ada beberapa faktor fisiologis yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk
memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan
discharge (rabas) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik. Perjalanan
discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps glumaterik. Bukti
baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmiter asam amino (glutamat,
aspartat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksistasi neuron dengan
bekerja pada reseptor sel tertentu. Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari
daerah kematian neuron dan bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian
neuron dan bahwa daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps
hipereksitabel baru yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus
temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat hematoma, gliosis, dan malformasi
arteriovenosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil secara
bedah. Kejang mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat ditimbulkan pada
binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada model ini, stimulasi
otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan konvulsi
berulang (misal, amigdala) akhirnya menyebabkan terjadinya epilepsi pada manusia
pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang-
ulang dari lobus temporalis normal kontralateral dengan pemindahan stimulus
melalui korpus kallosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang
tertentu pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) , yang
menunjukkan bahwa otak yang kurang berkembang lebih rentan rerhadap kejang
spesifik daripada anak yang lebih tua atau orang dewasa. Faktor genetik
menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi. Penggunaan analisis
kaitan, lokasi kromosom beberapa epilepsi. Penggunaan analisis kaitan, lokasi
kromosom beberapa epilepsi famili telah dikenali, termasuk konvulsi neonatus
benigna (20q), epilepsi mioklonik juvenil (6p), dan epilepsi mioklonik progresif
(21q22.3), Adalah amat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekular epilepsi
tambahan, seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung, akan
dikenali. Juga diketahui bahwa substansia abu-abu memegang peran integral pada
terjadinya kejang menyeluruh. Aktivitas kejang elektrografi menyebar dalam
substansia abu-abu, menyebabkan peningkatan pada ambilan 2 deoksiglukosa
pada binatang dewasa, tetapi ada sedikit atau tidak ada aktivitas metabolik dalam
substansia abu-abu bila binatang imatur mengalami kejang. Telah diduga bahwa
imaturitas fungsional substansia abu-abu dapat memainkan peran pada
peningkatan substansia abu-abu dapat memainkan peran pada peningkatan
kerentanan kejang otot imatur. Lagipula, neuron pars retikulata substansia abu-abu
(substantia nigra pars reticulata (SNR) sensitif-asam gama aminobutirat (GABA)
memainkan peran pada pencegahan kejang. Agaknya bahwa saluran aliran keluar
substansia abu-abu mengatur dan memodulasi penyebaran kejang tetapi tidak
menyebabkan mulainya kejang. Penelitian eksitabilitas neuron, mekanisme
hambatan tambahan, pencairan mekanisme non-sipnapsis perambatan kejang dan
kelainan seseptor GABA.5

2.6. Klasifikasi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak dengan umur berkisar antara 6 bulan
sampai 5 tahun, insidens tertinggi pada umur 18 bulan.
Kejang demam dibagi atas :

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure).5,6
Berlangsung singkat (< 15 menit) dan umumnya akan berhenti sendiri.
Kejang berbentuk umum (bangkitan kejang tonik dan atau klonik), tanpa gerakan
fokal.
Kejang hanya sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)5,6
Berlangsung lama (> 15 menit).
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial.
Kejang berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8 % bangkitan kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didauhului
kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% diantara anak yang
mengalami kejang demam.

2.7. Manifestasi Klinik
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang
bila suhu tubuh (dalam) mencapai 30oC atau lebih. Kejang khas menyeluruh, tonik-
tonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk
singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan
pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai di
rumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan
penyebab demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan
berkenaan dengan kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan
cairan serebrospinalis (CSS) terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas,
roseola dan otitis media akut adalah penyebab kejang demam yang paling sering.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak
memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan
terbangun dan sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
A. Anamnesis
v Adanya kejang, jenis kejang, lama kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi,
interval, pasca kejang, penyebab kejang di luar SSP.
v Riwayat Kelahiran, perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga (kakak-adik, orang tua).
v Singkirkan dengan anamnesis penyebab kejang yang lainnya.

B. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran
suhu tubuh
tanda rangsang meningkat
tanda peningkatan tekanan intracranial seperti: kesadaran menurun, muntah
proyektil, fontanel anterior menonjol, papiledema tanda infeksi di luar SSP.
Tanda ifeksi diluar SSP misalnya otitis media akut, tonsilitis, bronkitis, furunkulosis,
dan lain-lain1

C. Pemeriksaan Nervi Kranialis
Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi kranialis

2.8. Kriteria Diagnosis
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berusia 6 bulan - 5 tahun. Kejang disertai
demam pada bayi <> 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain seperti infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama
demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang saat
demam, tidak termasuk dalam kejang demam.

Kejang didahului oleh demam
Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit
Pemeriksaan punksi lumbal normal

Pengamatan kejang tergantung pada banyak faktor, termasuk umur penderita, tipe
dan frekuensi kejang, dan ada atau tidak adanya temuan neurologis dan gejala yang
bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam pertama pada
anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit
serum dan EEG. Peragaan discharge (rabas) paroksismal pada EEG selama kejang
klinis adalah diagnostik epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi dalam laboratorium
EEG. EEG normal tidak mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman
antar-kejang normal pada sekitar 40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi
hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi cahaya, dan bila terindikasi, penghentian
tidur dan perempatan elektrode khusus (misal hantaran zigomatik), sangat
meningkatkan hasil positif, discharge (rabas) kejang lebih mungkin direkam pada
bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada
penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG
ini memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian
kejang yang jarang diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Tehnik ini sangat
membantu dalam klasifikasi kejang karena ia dapat secara tepat menentukan lokasi
dan frekuensi discharge (rabas) kejang saat perubahan perekaman pada tingkat
yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan kejang palsu dapat dengan
mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati, dan tipe kejang (misal, kompleks
parsial vs menyeluruh) dapat lebih dikenali dengan tepat, yang adalah penting pada
pengamatan anak yang mungkin merupakan calon untuk pembedaan epilepsi.
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial.
Hasilnya pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa
demam pertama dan pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada
pemeriksaan anak dengan gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa.
Meskipun sekitar 30% anak ini menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks
setempat atau ventrikel dilatasi), hanya sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif
sebagai akibat dari skenning CT dengan demikian, skenning CT atau MRI harus
dicadangkan untuk penderita yang pemeriksaannya neurologis abnormal. Kejang
sebagian yang lama, tidak mempan dengan terapi antikonvulsan, defisit neurologis
setempat, dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial merupakan indikasi untuk
pemeriksaan pencitraan saraf.
Pemeriksaan CSS terindikasi jika kejang berkemungkinan terkait dengan proses
infeksi, perdarahan subaraknoid, atau gangguan demielinasi. Uji metabolik spesifik
digambarkan pada seksi mengenai kejang neonatus dan status epileptikus.

2.9. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
keadaan lain, misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya : darah perifer, elektrolit
dan gula darah.
Lumbal pungsi :
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Meningitis dapat menyertai kejang, walupun kejang biasanya bukan satu-satunya
tanda meningitis.
Factor resiko meningitis pada pasien yang datang dengan kejang dan demam
meliputi berikut ini:
Kunjungan ke dokter dalam 48 jam
Aktivitas kejang saat tiba di rumah sakit
Kejang fokal, penemuan fisik yang mencurigakan (seperti merah-merah pada kulit,
petekie) sianosis, hipotensi
Pemeriksaan saraf yang abnormal
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada :
- Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
- Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
- Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

B. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-Scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
hanya atas indikasi seperti :
- Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
- Paresis Nervus VI
- Papiledema
CT scan sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan kejang demam
kompleks.

C. Tes lain (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan EEG dapat dilakukan pada kejang demam tak khas; misalnya pada
anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal.
EEG tidak diperlukan pascakejang demam sederhana karena rekamannya akan
membuktikan bentuk Non-epileptik atau normal dan temuan tersebut tidak akan
mengubah manajemen. EEG terindikasi untuk kejang demam atipik atau pada anak
yang berisiko untuk berkembang epilepsi. Kejang demam atipik meliputi kejang yang
menetap selama lebih dari 15 menit, berulang selama beberapa jam atau hari, dan
kejang setempat. Sekitar 50% anak menderita kejang demam berulang dan
sebagian kecil menderita kejang berulang berkali-kali. Faktor resiko untuk
perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah riwayat epilepsi
keluarga positif, kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam lama
atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat, dan pemeriksaan neurologis
abnormal. Indidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada
dibanding dengan insiden 1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak
ada faktor resiko.

2.10. Diagnosis Banding
Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya
meningitis atau ensefalitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak
menyingkirkan meningitis, dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu
pertimbangan pungsi lumbal.3
Adapun diagnosis banding kejang pada anak dan bayi adalah gemetar, apnea dan
mioklonus nokturnal benigna.
Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Gangguan
primer mungkin terdapat intrakranium atau ekstrakranium. Berbagai penyakit intra
serebral dan gangguan metabolik yang juga dapat menyebabkan kejang antara lain
:

1. Kelainan intrakranium
- Meningitis
- Ensefalitis
- Infeksi subdural dan epidural
- Abses otak
- Trauma kepala
- Stroke dan AVM
- Cytomegalic inclusion disease

2. Gangguan metabolik
- Hipoglikemi
- Defisiensi vitamin B-6
- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria
- Keracunan

3. Epilepsi
Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi,
yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron serebral secara eksesif.

MENINGITIS6
Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri
patogen. Ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan
serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan
serebrospinal.

Manifestasi klinis
a. Anamnesis
Meningitis bakterialis pada anak seringkali didahului infeksi pada saluran napas atas
atau pencernaan seperti demam, batuk, pilek, diare dan muntah. Demam, nyeri
kepala dan meningismus dengan atau tanpa penurunan kesadaran merupakan hal
yang sangat sugestif meningitis. Banyak gejala meningitis berkaitan dengan usia;
anak berusia kurang dari tiga tahun jarang mengeluh nyeri kepala.
b. Pemeriksaan fisik
Gangguan kesadaran dapat berupa penurunan kesadaran atau iritabel
Dapat juga ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda rangsang
meningeal lain, kejang dan defisit neurologist fokal.
Tanda rangsang meningeal mungkin tidal ditemukan pada anak kurang dari satu
tahun.
Kriteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan manifetasi klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit darah, biakan darah.
Pungsi lumbal : jumlah sel 100-10.000/l, dengan hitung jenis sel polimorfonuklear,
protein 200-500mg/dl, glukosa < 40mg/dl, pewarnaan gram, biakan dan uji
resistensi, identifikasi antigen (aglutinasi latex)
Pada kasus berat pungsi lumbal harus ditunda (dengan pemberian antibiotika
empiris, penundaan 2-3 hari tidak mengubah niulai diagnostik kecuali untuk
identifikasi kuman
Pemeriksaan CT atau MRI kepala (pada kasus berat)
Pemeriksaan eletroensefaligrafi bila ada kejang
ENSEFALITIS6
Ensefalitis ialah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme,
misalnya bakteri, ptozoa, cacing, spichaeta, atau virus. Penyebab yang tersering
dan terpenting adalah virus. Pada banyak pasien sering terjadi keterlibatan
leptomeningeal (meningoensefalitis), sedangkan ensefalomielitis menunjukkan
keterlibatan medulla spinalis. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari demam tidak
tinggi disertai sakit kepala, sampai keadaan berat, koma, kejang dan kematian.
Awitan ensefalitis dapat secara tiba-tiba atau gradual. Komplikasi yang dapat terjadi
termasuk kenaikan tekanan intrakranial, edema otak dan syndrome of inappropriate
antidiuretic hormone (SIADH) secretion. Ensefalitis dapat menyebabkan gejala sisa
neurologis seperti kejang/ epilepsi, tuli, atau buta.

Manifestasi klinis
Gejala khas berupa suhu naik mendadak, dapat sampai hiperpireksi, nyeri kapala,
muntah dan perubahan tingkah laku
Kedaran menurun
Kejang umum dan/atau fokal atau hanya twitching saja. Pada kejang fokal
dicurigai penyebab virus herpes simpleks
Gejala serebral lainnya dapat berupa ataksis, paresis, paralisis, afasia dan
sebagainya.
Gerakan involunter (bila terkena ganglia basalis)
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan LCS, biasanya jernih dengans el normal, atau sedikit meningkat 50-
500 per mm3, hitung jenis didominasi sel limfosit.
Banyak pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan namun jarang bersifat
diagnostik.
Darah tepi lengkap, dapat menunjukkan polimorfonuklear ringan atau leukositosis
mononuklear.
Pemeriksaan cairan serebrospinal : biasanya cairan jernih, jumlah sel normal
aqtau sedikit meningkta terutama limfosiy, sedikit peningkatan protein, kadar gula
normal atau sedikit menurun.
Biakan darah.
Elektrolit lengkap.
Pemeriksaan serologik darah.
MRI/CT scan kepala biasanya hanya memperlihatkan edema otak baik umum
maupun fokal.
EEG biasanya menunjukkan gambaran abnormal berupa aktivitas gelombang
lambat umum.

2.11. Penatalaksanaan
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu
(1) pengobatan fase akut ;
(2) mencari dan mengobati penyebab ; dan
(3) pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam.

1. Pengobatan fase akut
Penatalaksanaan saat kejang :
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang, yang perlu diperhatikan
adalah ABC (Airway, Breathing,Circulation). Perhatikan juga keadaan vital seperti
kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang
tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
Intravena (IV). Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2
mg/menit dalam waktu 3-5 menit dengan dosis maks 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atu dirumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg dengan berat diatas 10 kg. dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
dan dosis 7,5 mg diatas 3 tahun.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum terhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah
sakit dapat diberikan diazepam IV dengan dosis 0,3 -0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgbb
IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang tidak berhenti juga maka pasien harus dirawat diruang
intensif. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl
fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.

Pemberian Antipiretik :
Pemberian antipiretik tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan obat ini mengurangi
resiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B).
Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan dalam 4 kali
pemberian per hari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen adalah 5-10
mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. Asam asetilsalisilat tidak dianjurkan karena kadang dapat
menyebabkan sindrom Reye pada anak kurang dari 18 bulan.

Pemberian Antikonvulsan :
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulang kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5oC (level I,
rekomendasi A)
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam (level II, rekomendasi E)

Pemberian obat rumat :
Pemberian obat rumat hanya diberikan dengan indikasi berikut:
Kejang lama >15 menit
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retatdasi mental, hidrosefalus.
Kejang fokal
Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila:
o Kejang berulang 2 X atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam 4 X atau lebih pertahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kelaian neurologis tidak nyata misalkan keterlambatan
perkembangan ringan bukan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau fokal
menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat :
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulang kejang (level I). berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang
demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping,
maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Dosis asam valproat pada anak anak adalah
15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan dosis fenobarbital 3-4mg/kg per hari dalam
1-2 dosis.

Lama Pengobatan Rumat :
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian diberhentikan
secara bertahap selama 1-2 tahun.

2. Mencari dan mengobati penyebab.
Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama.

3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu :
(1) profilaksis intermiten saat demam dan
(2) profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-
0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula
diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg)>10kg) setiap
pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia,
mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah terjadinya
epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2
dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgbb/hari.
Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan
diazepam oral atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

VAKSINASI :
Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang.
Angka kejadian pasca vaksinasi DPT asalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang
divaksinasi sedangakan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. dianjurkan
untuk memberikan diazepam oral atau MMR. Beberapa dokter maka
merekomendasikan parasetamol padasaat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

2.12. Komplikasi10
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan kejang demam antara lain:18
o sewaktu terjadi serangan kejang demam :
trauma akibat jatuh atau terhantuk objek sekitar
mengigit tangan orang lain
aspirasi cairan ke dalam paru yang dapat menimbulkan pneumonia
o efek samping obat antikonvulsan yang digunakan seperti hiperaktivitas, iritabilitas,
letargi, rash, dan penurunan intelegensia
o komplikasi meningitis sebagai etiologi kejang demam
o kejang berulang tanpa disertai demam

2.13. Prognosis3,6,13
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis :
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang
sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kematian karena
kejang demam tidak pernah dilaporkan.
1. KematianDengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya
baik, tidak sampai terjadi kematian.Dalam penelitian ditemukan angka kematian
KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya KejangKemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d
50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. EpilepsiAngka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi
oleh seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
- riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
- kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami
serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau
tidak sama sekali faktor di atas.
4. HemiparesisBiasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun
kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula
kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang
kejang demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan
atau kelainan neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam
diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi
mental adalah 5x lebih besar.

Kemungkinan berulangnya kejang demam :
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia < 12 bulan
3. Suhu rendah saat kejang demam
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.

Faktor Resiko terjadinya epilepsi :
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi
epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan risiko epilepsi sampai 4%- 6%; kombinasi
faktor risiko tersebut meningkatkan risiko epilepsi menjadi 10%-49%. Risiko epilepsi
tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat/profilaksis pada kejang demam.

2.14. Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini dapat dikurangi dengan cara antara lain:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberi informasi tentang risiko kejang berulang
4. Pemberian obat pencegahan memang efektif, tetapi harus diingat risiko efek
samping obat

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang :
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama sekitar leher
3. Jika tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut dan/atau hidung. Walaupun ada risiko lidah tergigit,
jangan masukkan apapun ke dalam mulut.
4. Ukur suhu tubuh, catat lama dan bentuk/sifat kejang
5. Tetap bersama anak selama kejang
6. Berikan diazepam per rektal. Jangan diberikan jika kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit jika kejang berlangsung 5 menit.

2.15. Pemantauan6
Tumbuh kembang. Walaupun secara umum benign, tapi sangat mencemaskan
orang tua, akibat kejadian berulangnya tinggi, meningkatkan kejadian epilepsy dan
dapat merusak jaringan otak.
Pasien kejang demam dirujuk atau dirawat dirumah sakit apabila :
o Kejang demam kompleks
o Hiperpireksia
o Kejang demam pertama
o Usia dibawah 6 bulan
o Dijumpai kelainan neurologis




Bagan penatalaksanaan kejang demam pada anak :
BAB III
PENUTUP

Kejang demam adalah kejang yang terjadi saat demam (suhu rektal diatas 380c)
tanpa adanya infeksi SSP atau gangguan elektrolit akut, terjadi pada anak diatas
umur 1 bulan, dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.4
Klasifikasi dari kejang demam :
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks. 3,4,5
Penatalaksanaan yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Untuk prognosis kejang demam, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian jika ditanggulangi dengan tepat dan cepat.3 Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.

















Demam pada anak merupakan alasan konsultasi tersering ke dokter anak dan
dokter umum, sekitar 30% dari seluruh total kunjungan. Demam merupakan reaksi
normal tubuh yang bermanfaat melawan kuman. Walaupun banyak orangtua
memberikan obat penurun panas, perlu ditekankan bahwa tujuan utama obat
tersebut adalah membuat anak merasa nyaman, bukan mempertahankan suhu
yang normal.
Saat anak mengalami demam, orang tua harus memperhatikan aktivitas anaknya
secara umum, apakah masih bisa bermain, makan dan minum dengan baik, dan
perhatikan buang air kecil anaknya setiap 3-4 jam. Jika anak lebih sering tidur,
malas minum dan buang air kecil semakin jarang, segera bawa anak ke dokter.
Pada anak sedang tertidur lelap, sebaiknya orangtua tidak membangunkan untuk
memberi obat penurun panas.
Obat penurun panas harus disimpan di tempat yang aman dan tidak terjangkau oleh
anak-anak. Pemberian obat penurun panas harus diberikan berdasarkan berat
badan anak dan diperlukan sendok obat yang khusus, yang bisa didapatkan dari
apotek saat membeli obat tersebut.
Penurunan suhu tubuh dapat dibantu dengan penggunaan obat penurun panas
(antipiretik), terapi fisik (nonfarmakologi) seperti istirahat baring, kompres hangat,
dan banyak minum. Penggunaan obat tradisional dengan produk herbal atau
homeopatik belum terbukti secara ilmiah dapat menurunkan demam, tapi hanya
berdasarkan pengalaman semata sehingga perlu dikaji lebih lanjut.

Obat Penurun Panas (Antipiretik)
Penggunaan obat penurun panas bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh dan
membuat anak merasa lebih nyaman, namun tidak efektif untuk mencegah kejang
demam. Parasetamol merupakan pilihan lini pertama untuk menurunkan demam
dan menghilangkan nyeri. Kombinasi dua antipiretik parasetamol dan ibuprofen
secara selang seling setiap 4 jam tidak terbukti secara ilmiah memiliki efek
antipiretik/analgetik yang lebih kuat dibanding pengguaan satu macam antipiretik.
1-3

Indikasi pemberian obat penurun panas:
Indikasi utama pemberian obat penurun panas adalah membuat anak merasa
nyaman dan mengurangi kecemasan orangtua, bukan menurunkan suhu
tubuh.
4
Pemberian obat penurun panas diindikasikan untuk anak demam dengan
suhu 38
o
C (pengukuran dari lipat ketiak). Dengan menurunkan suhu tubuh maka
aktivitas dan kesiagaan anak membaik, dan perbaikan suasana hati (mood) dan
nafsu makan juga semakin membaik.
5

Kombinasi antipiretik
Beberapa tahun terakhir, penggunaan dua antipiretik parasetamol dan ibuprofen
sering digunakan untuk mengobati demam pada anak di Rumah Sakit dan di
rumah. Praktik seperti ini tidak dianjurkan karena sering terjadi kesalahan dosis
obat, interval pemberian salah, dan intoksikasi obat karena berlebihan.
6,7


Pengobatan Secara Fisik
Tirah baring:
Aktifitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan suhu tubuh anak dengan demam dan
tanpa demam. Walaupun demikian, pergerakan anak yang demam selama aktivitas
normal tidak cukup menyebabkan demam. Memaksakan anak demam untuk tirah
baring tidak efektif, tidak disenangi dan mengganggu secara psikologis. Suatu
penelitian kontrol-kasus dari 1082 anak dengan demam, ditemukan bahwa tirah
baring tidak menurunkan suhu secara signifikan.
Kompres alkohol:
Kompres dengan menggunakan etil alkohol 70% / isopropil alkohol dalam air tidak
efektif menurunkan suhu, dan lebih superior dengan mengompres dengan air.
Inhalasi alkohol selama kompres berbahaya menimbulkan hipoglikemia dan koma.
Kompres air hangat (tepid sponging):
Tepid merupakan suatu kompres/sponging dengan air hangat. Penggunaan
kompres air hangat di lipat ketiak dan lipat selangkangan (inguinal) selama 10-15
menit akan membantu menurunkan panas dengan cara panas keluar lewat pori-pori
kulit melalui proses penguapan. Jika dokter dan orang tua merasa kompres
diperlukan (misalnya suhu tubuh meningkat lebih dari 40 derajat Celsius, yang tidak
respon obat penurun panas, maka penting untuk memberikan obat penurun panas
terlebih dahulu untuk menurunkan pusat pengatur suhu di susunan saraf otak
bagian hipotalamus, kemudian dilanjutkan kompres air hangat.
Kompres dingin:
Kompres dingin tidak direkomendasikan untuk mengatasi demam karena dapat
meningkatkan pusat pengatur suhu (set point) hipotalamus, mengakibatkan badan
menggigil sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Kompres dingin mengakibatkan
pembuluh darah mengecil (vasokonstriksi), yang meningkatkan suhu tubuh. Selain
itu, kompres dingin mengakibatkan anak merasa tidak nyaman.

Pengobatan Herbal
Homeopati, terapi herbal, aromaterapi, akupuntur, refleksiologi, pijat, shiatsu,
kiropraktik, osteopati dan penyembuhan spiritual belum terbukti secara ilmiah dapat
menurunkan demam.
1,4


Kesimpulan
Tujuan utama pemberian obat penurun panas antipiretik adalah untuk membuat
anak menjadi nyaman, dan juga berfungsi sebagai anti nyeri sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri. Penggunaan kombinasi antipiretik parasetamol dan
ibuprofen secara bergantian tidak dianjurkan. Obat penurun panas tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit dan tidak mengurangi rerata hari demam.

Anda mungkin juga menyukai