TINJAUAN PUSTAKA
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam
(Wardhani AK, 2013).
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai
5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan
kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia
dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia
antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
tertinggi terjadi pada usia 18 bulan (Pasaribu AS, 2013).
2.2 Epidemiologi
Page | 14
China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai
14% (Pasaribu AS, 2013).
2.3 Klasifikasi
Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35%
berupa kejang demam kompleks.
Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat
Page | 15
badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Faktor Demam
Page | 16
Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu
tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai
inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak (Fuadi,2010).
b. Faktor usia
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi
autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua
penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita
tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% -
64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat
kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya
9% (Fuadi, 2010).
Page | 17
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi
hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai (Fuadi, 2010).
Page | 18
f. Kehamilan primipara atau multipara
h. Asfiksia
Page | 19
setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan
neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan
peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak
dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya
(Fuadi, 2010).
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
Page | 20
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
Page | 21
[Date]
22
k. Pemakaian bahan toksik
l. Asfiksia
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak
dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya
(Fuadi, 2010).
proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak
stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)
Page | 26
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)
Page | 27
Page | 28
Page | 29
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.(5)
j. Kelahiran premature dan postmatur
proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak
stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
Page | 30
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)
m. Perdarahan intrakranial
Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)
Page | 31
Page | 32
3.5 Patofisiologi
Page | 33
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-
reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis,
terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga
Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane
cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme otak.(5)
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang
akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan
Page | 34
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas
menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan
edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5)
- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari
5 menit
Page | 36
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan
ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan
kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam
mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu
antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1) Menurut kepustakaan,
pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien
kurang dari 18 bulan.(1)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat
di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai
risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat
pertama sekali timbul kejang demam untuk me- nyingkirkan adanya proses infeksi intra
kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak
usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam.(7)
3.7 Tatalaksana
Page | 37
Pengobatan fase akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit
harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka)
dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral
10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).(7)
Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan
secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis
diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang
demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika
jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg
bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh
orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan
intramuskular dengan dosis awal
30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih
dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran
darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya
masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.(7)
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal
diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena
gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada
saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula
Page | 38
kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh
demam dan pertama kali terjadi.(7)
Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien
mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap
6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam
dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk mencegah
timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten
merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah
antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan
pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral sebagai
profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat mengkonsumsi
obat oral.(7)
• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan
neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau
saudara kandung.
Page | 39
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.
Page | 40
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian
fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang
memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti
kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam
valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam
valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah
hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek
profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan
menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai penanganan
demam dan kejang.
Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis
0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai
alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.
Page | 41
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan
demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka
prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.(1)
3.8 Prognosis
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian
tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang
demam baik, bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil tidak
membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat dipastikan
bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil dan faring pasien.
Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan
ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan
kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam
mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14
- 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara
39°C - 39,9ºC.
Page | 42
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pungsi
lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18
bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan secara klinis tidak ditemukan
gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu
dilakukan. Kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi
berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan hipoksia.
Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen, serta terganggunya
berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion
natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan pemeriksaan elektrolit dan glukosa
darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya
keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil
laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar leukosit
yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini. Sedangkan
terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien
mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten,
dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang
dibandingkan pemberian antipiretik saja.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam
dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien
ini baik dan tidak menyebabkan kematian.
Page | 43
Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c
tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam terjadi karena
adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan Kejang Demam dengan
memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan elektrolit, serta kalori
yang seimbang sebagai terapi supportif, serta pemberian antipiretik dan antikonvulsan
sebagai terapi medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka
prognosis akan lebih baik.
Page | 44
BAB IV KESIMPULAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan
suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar
2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari
90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai
dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18
bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi vital
tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh
karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan
luminal suntikan intramuscular ataupun yang lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada
saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan pada anak usia
kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit ditemukan. Pemeriksaan
laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai indikasi.\
3. Pengobatan profilaksis.
Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu
rektal lebih dari 380C) dengan menggunakan diazepam oral / rektal, klonazepam
supositoria.
Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat- obatan untuk
penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.
Page | 45
32
Page | 46
33
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian
tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang
demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.
Page | 47
Page | 48
Page | 49
Page | 50
Page | 51