Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kejang Demam

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam terjadi pada 2 - 4% anak berumur 6 bulan – 5
tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila
anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat
ataupun epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam
(Wardhani AK, 2013).

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta
tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah
kenaikan suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para
ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai
5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan
kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia
dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia
antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam
tertinggi terjadi pada usia 18 bulan (Pasaribu AS, 2013).

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.


Di Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan
Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%.
Sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%. Dan di

Page | 14
China mencapai 0,5 – 1,5%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai
14% (Pasaribu AS, 2013).

Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda


bankitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu
kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah
mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam
terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang
demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan (American Academy of
Pediatrics, 1999).

2.3 Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam


sederhana dan kejang demam kompleks (Fuadi, 2010).
Tabel 3.1 Perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks

No Klinis KD Sederhana KD Kompleks


1 Durasi < 15 Menit >15 Menit
2 Tipe Kejang Umum Umum/Fokal
3 Berulang dalam 1 episode 1Kali >1 Kali
4 Defisit Neurologis - +/-
5 Riwayat Keluarga Kejang Demam +/- +/-
6 Riwayat Keluarga Tanpa Kejang +/- +/-
Demam
7 Abnormalitas Neurologis Sebelumnya +/- +/-

Sebagian besar 63% kejang demam berupa kejang demam sederhana dan 35%
berupa kejang demam kompleks.

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat
keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat

Page | 15
badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).
a. Faktor Demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,80C


aksila atau diatas 38,30C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,
tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor utama
timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus
merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%
(Graves dkk, 2012).

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang


kejang dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada
kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh
satu derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga
dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksi
jaringan termasuk jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal
pompa Na+ dan reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut
mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam
glutamate ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas
membrane sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+
ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam,
sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap membrane
sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan
mengakibatkan perubahan potensial membrane sel neuron sehingga membrane
sel dalam keadaan depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron
GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Fuadi, 2010).
Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan kadar
asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya kenaikan
suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam glutamate.

Page | 16
Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh kenaikan suhu
tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA sebagai
inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak (Fuadi,2010).

b. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)


perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi
dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi
sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk
eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum
matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,
sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih
dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan
neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak belum matang
kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk terjadinya bangkitan
kejang apabila terpicu oleh demam (Fuadi, 2010).

c. Faktor riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Penetrasi
autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%. Apabila salah satu orang tua
penderita dengan riwayat pernah menderita kejang demam mempunyai resiko untuk terjadi
bangkitan kejang demam sebesar 20% - 22%. Dan apabila kedua orang tua penderita
tersebut mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam meningkat menjadi 59% -
64%, tetapi sebaliknya apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat
kejang demam maka resiko terjadinya kejang demam hanya
9% (Fuadi, 2010).

d. Usia saat ibu hamil

Page | 17
Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan
dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
berbagai konplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan
dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir rendah, penyulit persalinan dan partus
lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi
hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan
yang memadai (Fuadi, 2010).

e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi


Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan eklamsia
dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada kehamilan primipara
atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap penderita kejang pada anak
sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat eklamsia selama kehamilan. Asfiksia
disebabkan oleh karena adanya hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang.
Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga
berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah (Fuadi,2010).

Page | 18
f. Kehamilan primipara atau multipara

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang


ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan
yang mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak.
Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi
klinisnya (Fuadi, 2010).

g. Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu,


seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat
menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan
janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan resiko
kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya
plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan
atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat
menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang (Fuadi, 2010).

h. Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah


intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan
selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan
iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada
stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam

Page | 19
setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan
neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan
peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).

i. Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak

dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya
(Fuadi, 2010).

j. Kelahiran premature dan postmatur

Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga


belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat,
dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang
permanen lebih besar. Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan
terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan
menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu
yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic (Fuadi, 2010).

k. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama

Page | 20
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang (Fuadi, 2010).

j. Persalinan dengan alat

Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga

Page | 21
[Date]
22
k. Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu,


seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat
menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan perkembangan
janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama kehamilan meningkatkan
resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah
terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada
kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio sesarea.
Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang (Fuadi,
2010).

l. Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarah


intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus dan
selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan
iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang, baik pada
stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya mulai timbul 6 – 12 jam
setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24 jam bangkitan kejang menjadi
lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan
neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan
peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi edema otak. Hipoksia dapat
mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi,
sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai (Fuadi, 2010).

m. Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak

dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang. Bayi dengan
BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia.
Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal.
Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya
(Fuadi, 2010).

j. Kelahiran premature dan postmatur


Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga
belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat,
dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang
permanen lebih besar.(5)
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi

proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak
stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat

Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)

m. Perdarahan intrakranial

Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)

Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)
Page | 26
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)

m. Perdarahan intrakranial

Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)

Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)

Page | 27
Page | 28
Page | 29
kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya.(5)
j. Kelahiran premature dan postmatur

Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga


belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita apnea, asfiksia berat,
dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan ini sering timbul dan tiap
serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan timbulnya kerusakan otak yang
permanen lebih besar.(5)
Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi

proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.
Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tidak
stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologic.(5)
k. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam.
Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam. Sedangkan pada
multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam. Persalinan yang sukar dan lama
meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis
dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang.(5)
l. Persalinan dengan alat

Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak
dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Persalinan yang
sulit terutama bila terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat
menyebabkan perdarahan subdural. Perdarah subarachnoid dapat terjadi pada bayi
premature dan cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan
tersebut dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang
dapat berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga

Page | 30
terjadi perdarahan atau udem otak, keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,
dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya.(5)

m. Perdarahan intrakranial

Merupakan akibat trauma atau asfiksia dan jarang diakibatkan oleh gangguan
perdarahan primer atau anomaly kongenital. Perdarahan subdural biasanya berhubungan
dengan persalinan yang sulit terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi
sefalopelvik. Perdarahan dapat terjadi karena laserasi vena-vena, biasanya disertai
kontusio serebral yang akan memberikan gejala kejang-kejang. Perdarahan subarachnoid
terutama terjadi pada bayi premature yang biasanya bersama-sama dengan perdarahan
intraventrikular. Keadaan ini akan menimbulkan gangguan struktur serebral dengan
kejang sebagai salah satu manifestasi klinisnya.(5)
n. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)

Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis,
dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di Negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah Herpes Simpleks (tipe 1) yang menyerang lobus temporalis. Kejang yang
timbul berbentuk serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum
sekunder dan biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan daya ingat
yang berat dan kejang dengan kerusakan otak dapat berakibat fatal. Pada meningitis
dapat terjadi sequele yang secara langsung menimbulkan cacat berupa cerebral
palsy, retardansi mental, hidrosefalus, dan deficit nervus kranilalis, serta kejang.
Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa sikatrik pada sekelompok neuron
atau jaringan sekitar neuron sehingga terjadilah focus epilepsy yang dalam kurun waktu
2 -3 tahun kemudian menimbulkan kejang.(5)

Page | 31
Page | 32
3.5 Patofisiologi

Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik


yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik
berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf seperti juga sel hidup
umumnya, mempunyai potensial membrane. Potensial membrane yaitu selisih potensial
antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan
ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membrane berkisar antara 30 – 100 mV,
selisih potensial membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membrane ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion
terutama ion Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi akan mengakibatkan
menurunnya potensial membrane. Penurunan potensial membrane ini akan
mengakibatkan permeabilitas membrane tehadap ion Na+ akan lebih banyak masuk ke
dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membrane masih dapat
dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali
ke keadaan istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang
disebut sebagai respon lokal.(5)
Bila rangsangan cukup kuat, perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permeabilitas membrane terhadap Na+ akan meningkat secara
besar-besaran sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini
akan dihantarkan oleh sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara zat
kimia yang dikenal sebagai neurotransmitter. Bila perangsangan telah selesa, maka
permeabilitas membrane kembali ke keadaan istirahat, dengan cara Na+ akan kembali ke
luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na – K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.(5)
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:

a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na – K, misalnya pada


hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membrane sel saraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.

Page | 33
c. Perubahan relatif neurotransmitter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan bahwa
pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-
reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat habis,
terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga
Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membrane
cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat.(5)
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,

jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang
lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme otak.(5)
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum matang
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan
permeabilitas membrane sel
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2 yang
akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-


ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan
meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya
diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen
dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme
anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

Page | 34
selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas
menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi hipoksemia dan
edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.(5)

3.6 Penegakan Diagnosis

Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk


membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:(1)
a. Dari anamnesa yang didapatkan

- Umur pasien kurang dari 6 tahun (1 tahun 11 bulan)

- Kejang didahului demam

- Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari

5 menit

- Kejang umum dan tonik klonik

- Kejang berhenti sendiri

- Pasien tetap sadar setelah kejang

b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan

- Suhu tubuh aksila 38,20C

- Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah


bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall
Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang
dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode demam. Kejang demam
kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit baik bersifat fokal atau
Page | 35
multipel. Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari
satu episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam sederhana dan
epilepsi yang diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan
tidak memerlukan pengobatan rumat.(7)

Page | 36
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada
anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi
traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis (7-
9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan
ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan
kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam
mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang terjadi pada suhu
antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.(1) Menurut kepustakaan,
pada kejang demam pemeriksaan laboratorium
tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa cairan serebrospinal
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-
6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien
kurang dari 18 bulan.(1)
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat
di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral.
Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai
risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat
pertama sekali timbul kejang demam untuk me- nyingkirkan adanya proses infeksi intra
kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak
usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang demam.(7)

3.7 Tatalaksana

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:

a. Mencegah kejang demam berulang b.


Mencegah status epilepsy
c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi d.
Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Page | 37
Pengobatan fase akut

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit
harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka)
dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral
10 mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).(7)

Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase akut,
karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat diberikan
secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya lambat. Dosis
diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara intravena pada kejang
demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika
jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan dosis 5 mg
bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada berat badan lebih dari 10 kg.
Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan oleh
orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan
intramuskular dengan dosis awal
30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih
dari 1 tahun. Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan efektif untuk
mengantisipasi kejang demam akut pada anak. Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran
darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat cukup baik. Namun efek terapinya
masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.(7)

Mencari dan Mengobati Penyebab

Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal
diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena
gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok umur tersebut. Pada
saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula

Page | 38
kontraindikasinya. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh
demam dan pertama kali terjadi.(7)

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan


keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (7)
• Profilaksis intermittent pada waktu demam

• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.

Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien
mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap
6 jam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana Diazepam
dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk mencegah
timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten
merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam ditambah
antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang dibandingkan
pemberian antipiretik saja. Pada pasien ini sebaiknya diberikan Diazepam oral sebagai
profilaksis, karena kondisi pasien kompos mentis dan masih dapat mengkonsumsi
obat oral.(7)

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari

Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:

• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan perkembangan
neurologis.
• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau
saudara kandung.
Page | 39
• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap.

Page | 40
• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan. Pemberian
profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian
fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah
menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam.
Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif
ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi
dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat yang
memejiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane meneliti
kejadian kang berulang sebesar 5,5% pada kelompok yang diobati dengan asam
valproate dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan dengan asam valproat. Dosis asam
valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah
hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek
profilaksis terus menerus.
Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya mencegah dan
menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai berikut:
Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai penanganan
demam dan kejang.
Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis

0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai
alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.
Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.

Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian sebaiknya


dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar fenobarbital dalam
darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan tingkah laku dan
psikologis anak.

Page | 41
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan
demam dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka
prognosis pada pasien ini baik dan tidak menyebabkan kematian.(1)

3.8 Prognosis

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian
tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang
demam baik, bangkitan kejang demam cukup mengkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)

Pada kasus ini pasien mengalami batuk dan pilek sejak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tonsil tidak
membesar tetapi hiperemis dan faring yang juga hiperemis. Sehingga dapat dipastikan
bahwa demam disebabkan karena telah terjadi peradangan pada tonsil dan faring pasien.
Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan dengan
ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah mendapatkan
kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan kejang demam
mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14
- 40% kejang terjadi pada suhu antara 38° - 38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara

39°C - 39,9ºC.

Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium tidak


dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa

Page | 42
cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan
meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6% - 6,7%. Pungsi
lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia pasien kurang dari 18
bulan. Pada kasus ini pasien telah berumur 23 bulan dan secara klinis tidak ditemukan
gejala yang mengarah pada infeksi intrakranial sehingga pemeriksaan pungsi tidak perlu
dilakukan. Kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal

10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi
berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan terjadi keadaan hipoksia.
Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen, serta terganggunya
berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion
natrium, sehingga lebih baik jika dilakukan pemeriksaan elektrolit dan glukosa
darah.
Dari hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien ini hanya
keadaan tonsil dan faring yang hiperemis. Pemeriksaan penunjang berupa hasil
laboratorium darah rutin mengarahkan adanya infeksi bakteri berupa kadar leukosit
yang meningkat, sehingga pemberian antibiotik diberikan pada kasus ini. Sedangkan
terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai
dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien
mengalami demam. Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten,
dimana Diazepam dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,50C untuk
mencegah timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis
intermitten merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian
Diazepam ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang
dibandingkan pemberian antipiretik saja.
Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan, kalori dan
elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan mengkompres
pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan pemberian antipiretik.
Orang tua anak juga harus diberi cukup informasi mengenai penanganan demam
dan kejang. Dengan penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien
ini baik dan tidak menyebabkan kematian.

Page | 43
Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Kejang Demam Sederhana e.c
tonsilofaringitis pada seorang anak perempuan berusia 2 tahun atas dasar anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini demam terjadi karena
adanya infeksi bakteri pada tonsil dan faring. Penatalaksanaan Kejang Demam dengan
memberikan oksigen, cairan intravena untuk memenuhi kebutuhan elektrolit, serta kalori
yang seimbang sebagai terapi supportif, serta pemberian antipiretik dan antikonvulsan
sebagai terapi medikamentosa. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat maka
prognosis akan lebih baik.

Page | 44
BAB IV KESIMPULAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak
didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan
suhu tubuh di atas 380C rektal atau di atas 37,80C aksila. Pendapat para ahli terbanyak
kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan sampai 5 tahun. Berkisar
2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari
90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai
dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18
bulan.
Penatalaksanaan kejang demam pada anak mencakup dalam tiga hal, yaitu:

1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau fungsi vital
tubuh. Saat ini diazepam intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh
karena mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat digunakan
luminal suntikan intramuscular ataupun yang lebih praktis midazolam intranasal.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan pungsi lumbal pada
saat pertama sekali kejang demam. Fungsi lumbal juga dianjurkan pada anak usia
kurang dari 2 tahun karena gejala neurologis sulit ditemukan. Pemeriksaan
laboratorium penunjang lain dilakukan sesuai indikasi.\
3. Pengobatan profilaksis.

Intermittent: anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam (suhu
rektal lebih dari 380C) dengan menggunakan diazepam oral / rektal, klonazepam
supositoria.
Terus menerus, dengan memberikan fenobarbital atau asam valproat tiap hari untuk
mencegah berulangnya kejang demam. Pemberian obat- obatan untuk
penatalaksanaan kejang demam pada anak, harus
dipertimbangkan antara khasiat terapeutik obat dan efek sampingnya.

Page | 45
32

Page | 46
33

Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian
hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna,
sebagian berkembang menjadi epilepsy sebanyak 2% - 7%. Kejang demam dapat
mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian
tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang
demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.

Page | 47
Page | 48
Page | 49
Page | 50
Page | 51

Anda mungkin juga menyukai