Anda di halaman 1dari 33

PAPER

TRAUMA TUMPUL
Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh Program
Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :
Rakhmad Rizqi Pradana
Merry Indrawati
Jean Retno Pratiwi
Fanny Puspita Sari
Icis Ratnasari

Pembimbing :
dr. Mistar Ritonga, Sp.F

DEPARTEMENT KEDOKTERAN FORENSIK


RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
MEDAN
2017
HALAMAN PENGESAHAN

TRAUMA TUMPUL

Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat dalam Menempuh Program
Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :
Rakhmad Rizqi Pradana
Merry Indrawati
Jean Retno Pratiwi
Fanny Puspita Sari
Icis Ratnasari

Medan, 19 Juni 2017


Pembimbing,

dr. Mistar Ritonga, Sp. F

i
BAB I
PENDAHULUAN

Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan atas
jaringan tubuh yang masih hidup (living tissue) sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, pengertian
yang sebenarnya dari traumatologi adalah ilmu yang mempelajari semua aspek yang berkaitan
dengan kekerasan terhadap jaringan tubuh manusia yang masih hidup, juga mempelajari
tentang luka dan cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan, sedangkan yang
dimaksud dengan luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat
kekerasan. Kegunaannya selain untuk kepentingan pengobatan juga dalam kepentingan
forensik sebab dapat diaplikasikan guna membantu penegak hukum dalam rangka membuat
terang tindak pidana kekerasan yang menimpa tubuh seseorang.1

Trauma merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Trauma dalam
bidang forensik sudah dikenal sejak lama. Pada masa Persia kuno telah dikenal tingkat atau
kualifikasi luka dan pemeriksaan yang dilakukan pada orang-orang yang mengalami perlukaan.
Aquillia (572 SM) menulis tentang perlukaan yang dapat mematikan dan pendapat medis dalam
menaksir kegawatannya. Bohn (1970) adalah orang yang pertama kali membedakan luka ante
mortem dan post mortem.2

Trauma merupakan salah satu penyebab kematian, baik kematian yang mendadak atau
tidak. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang teliti apakah perlukaan pada seseorang dapat
berakibat fatal atau tidak, dan ini merupakan poin penting untuk membantu proses peradilan.
Trauma dikelompokkan berdasarkan sifatnya menjadi trauma mekanik, fisika dan kimia.1
Dalam sebuah penelitian, jumlah data secara keseluruhan yang berasal dan 33 provinsi
di Indonesia adalah 972.317 responden. Adapun untuk responden yang pernah mengalami
cedera selama kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 77.248 orang. Responden bisa
mempunyai jawaban lebih dan satu penyebab cedera selama kurva waktu 12 bulan tersebut.
Dan jumlah tersebut tiga proporsi penyebab cedera terbesar yaitu jatuh sebanyak 45.987 orang
(59,6%), kecelakaan lalu lintas sekitar 20.829 orang (27%), dan terluka benda tajam/tumpul
Sebesar 144.127 orang (18,3 %).13
Dari 74 kasus yang masuk di Instalansi Forensik RS. Bhayangkara Semarang periode
ahun 1 Januari 2007 sampai 31 Agustus 2010 didapatkan kasus tersering adalah trauma benda

1
tumpul 40 kasus (54,05%) dan lokasi perdarahan kepala merupakan lokasi perdarahan yang
menyebabkan kematian tersering adalah 46 kasus (62,16%).
Trauma mekanik atau luka mekanik disebabkan oleh kekerasan benda tajam, benda
tumpul dan senjata api. Trauma atau luka mekanik terjadi karena alat atau senjata dalam
berbagai bentuk, alami atau dibuat manusia. Senjata atau alat yang dibuat manusia seperti
kampak, pisau, panah, martil dan lain-lain. Bila ditelusuri, benda-benda ini telah ada sejak
zaman pra sejarah dalam usaha manusia mempertahankan hidup sampai dengan pembuatan
senjata-senjata masa kini seperti senjata api, bom dan senjata penghancur lainnya. Akibat pada
tubuh dapat dibedakan dari penyebabnya. Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka
antara lain adalah batu, besi, sepatu, tinju,lantai, jalan dan lain-lain.
Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri adalah :
 Tidak bermata tajam
 Konsistensi keras / kenyal
 Permukaan halus / kasar
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab, yaitu alat atau senjata yang mengenai atau
melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak ke arah objek atau alat
yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang hal ini perlu dijelaskan,
walaupun terkadang sulit dipastikan.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Defenisi

Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan pengertian
medis. Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah hilangnya diskontinuitas
dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah pengetahuan tentang alat atau
benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seseorang. Artiya orang yang sehat, tiba-
tiba terganggu kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat menimbulkan cedera.
Aplikasinya dalam pelayanan Kedokteran Forensik adalah untuk membuat terang suatu tindak
kekerasan yang terjadi pada seseoang.1 Trauma tumpul adalah suatu ruda paksa yang
mengakibatkan luka pada permukaan tubuh yang disebabkan oleh benda-benda yang
mempunyai permukaan tumpul seperti batu, kayu, bola, martil, jatuh dari tempat tinggi,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.4 Trauma tumpul pada kepala adalah kekerasan tumpul
pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang
tengkorak, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri.2
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik..2

II. INSIDEN

Pada kasus kematian karena cedera, trauma kepala merupakan jenis trauma terbanyak
yang ditemukan yakni lebih dari 50% trauma. Pada pasien uang mengalami trauma multipel,
kepala adalah bagian yang paling sering mengalami cedera, dan pada kecelakaan lalu-lintas
yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita.2
Setiap tahun, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% penduduk dunia mengalami trauma kapitis
dan otak. Di Amerika Serikat, insiden cedera otak karena trauma diperkirakan 180-220 kasus
per 100.000 populasi. Dengan jumlah popuasi yang mencapai 300 juta jiwa, kira-kira 600.000
mengalami cedera kepala traumatik pertahunnya.6
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada umumnya
rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering mengalaminya.7 Statistik

3
negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma kapitis mencakup 26% dari
jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari
satu hari sampai selama jangka panjang. Kurang lebih 33 % kecelakaan yang berakhir pada
kematian menyangkut trauma kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma
kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-
orang yang mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di
rumah sakit. Dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40%
meninggal dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.8
Penyebab kematian dan cacat yang menetap yang diakibatkan oleh trauma kepala yaitu
50% oleh trauma secara langsung dan 50% oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi
yang terkait secara tidak langsung pada trauma. Komplikasi itu berupa perubahan tonus
pembuluh darah serebral, perubahan-perubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal
yang bisa menimbulkan gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-
basa.8

III. ANATOMI

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu:
a) skin atau kulit yang mengandung rambut dan kelenjar keringat (kelenjar
sebasea)
b) connective tissue atau jaringan penyambung di mana sebagian besar saraf
sensorik berada di lapisan ini.
c) aponeurosis atau galea aponeurotika yang merupakan jaringan ikat
berhubungan langsung dengan tengkorak di mana melekat 3 otot yakni ke
anterior m. frobtalis, posterior : m. occipitalis dan lateral : m. temporalis.
d) loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar yang memisahkan galea
dari perikranium. Lapisan ini kaya akan pembuluh darah sehingga pada
trauma kepala dapat terjadi perdarahan yang hebat (hematom subgaleal).
e) Pericranium yaitu bagian yang berhubungan dengan tabula eksterna dari skull
atau tengkorak..

4
Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala
(Dikutip dari kepustakaan 3)

2. Tulang Tengkorak
Ruang tengkorak (cavum cranii) merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan
perluasan isi intrakranial. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula
yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding
bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan
isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-
alur yang berisikan arteri meningea anterior, media dan posterior. Apabila fraktur tulang
tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang
diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal
kecuali bila ditemukan dan diobati dengan segera. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal
adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata
sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus

5
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang
otak dan serebelum.10

3. Meningen
Meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Dura mater terdiri dari 2 lamina
yakni lamina endostealis dan meningealis. Pada encephalon. Lamina endostealis melekat

6
kuat pada permukaan inferior cranium, terutama sutura, basis crania, dan tepi foramen
magnum. Lamina meningealis mempunyai permukaan yang licin dan membentuk 4 septa
yaitu falx cerebri, tentorium cerebella, falx cerebelli, dan diafragma sellae.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging
veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b) Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak 3,6. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural
dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam . Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

7
4. Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3 bagian yaitu
:
a) Proencephalon yang berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon.
Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang menempati fossa crania
anterior dan media.
b) Mesencephalon
c) Rhombencepahlon yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.3

8
Gbr 2.
Lobus-lobus Otak
(Dikutip dari kepustakaan 3)

5. Cairan Cerebrospinalis dan Vaskularisasi


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
Monroe menuju ventrikel III, melalui akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV. Setelah
melalui 2 foramen Luschka di bagian lateral dan foramen Magendi di medial, CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan
dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
Otak mendapat suplai darah dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis.
Sedangkan darah dari parenkim otak bermuara ke dalam sinus-sinus venosus yang
kemudian dialirkan ke vena jugularis interna.

9
IV. GEJALA DAN TANDA
Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi, sepatu,
tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri adalah tidak
bermata tajam, konsistensi keras / kenyal dan permukaan halus / kasar.
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang mengenai
atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak ke arah objek atau
alat yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang hal ini perlu dijelaskan,
walaupun terkadang sulit dipastikan. Luka karena kererasan tumpul dapat berebentuk salah
satu atau kombinasi dari luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.
Variasi mekanisme terjadinya trauma tumpul adalah:
a) Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
b) Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.

10
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut terdapat
perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai
beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut
menimbulkan berbagai tipe luka yakni abrasi, laserasi, kontusi/ruptur, fraktur, kompresi, dan
perdarahan.
Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian kepala tertentu
dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek

2) Tengkorak dapat terjadi :


a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria

3) Otak

a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri

4) Selaput Otak

a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage

A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)


Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 7,8
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase

11
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi dari ketiga klasifikasi di atas.
Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu : 7-9
a. Besarnya energi benturan
b. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai
perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur deppressed.
c. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak

1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan
tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras dengan ukuran sedang,
yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2. Pada benturan yang terjadi, sebagian besar energi
tidak digunakan untuk menimbulkan deformitas lokal pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media, perlu
dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang dijumpai melintasi
daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu dicurigai adanya hematoma
epidural vena.7,8

12
Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan
raya akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan No.10)

2. Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan berakibat
terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada anak di bawah
usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang. Fraktur diastase yang terjadi
pada sutura lambdoidea memiliki resiko terjadinya hematoma epidural. 7-9

Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL).
Dikutip dari kepustakaan No.10
3. Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu fragmen
patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak membedakan fraktur
ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan bentuk fraktur linier yang multipel.
7-9

Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted. ( Dikutip dari kepustakaan No.11

4. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar daripada fraktur
linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu,

13
batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini lebih terfokus dan lebih padat
sehingga akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur
deppressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan
masuk ke dalam sehingga terletak di bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak
sekitanya yang utuh. Sebagai akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi terhadap
duramater dan jaringan otak di bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural dari
jaringan otak tersebut.7,8

Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak


( Dikutip dari kepustakaan No.9 )

5. Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan os
occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif, atau
diastase.7,8

Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas (pemeriksaan


postmortem) (Dikutip dari kepustakaan No.7)

14
6. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium, yang dapat
terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur jenis ini merupakan
kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki komplikasi yang tidak ringan.
Beberapa literatur memberikan perkiraan kasus fraktur basis cranii mencapai 3 - 24 % dari
total seluruh kasus cedera kepala. Fraktur basis cranii sering disertai dengan robeknya lapsan
duramater, sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya rhinorea dan otorhea. Adanya kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko
tinggi terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus clinoidalis anterior
dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah rhinorea cairan serebrospinal,
hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis periorbita, bisa bilateral, biasa disebut sebagai brill
hematoma atau raccoon eyes. Ekimosis periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada
struktur di belakangnya, bukan karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk
membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu terletak di
bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada lapisan kulit. 7,8
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum
sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis pada mastoid (battle’s sign) yang
muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi, otorhea, dan hemotimpanum yaitu darah yang
dijumpai pada canalis auricularis eksterna, dapat terjadi bila membran timpani robek. 7,8

15
Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii fossa
media (Dikutip dari kepustakaan No.7)

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior


Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada daerah ini
kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak disertai dengan gejala dan
tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat karena penekanan
terhadap batang otak. 7,8

B. Trauma Serebrum ( Cedera Otak )


Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder. 7,8
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat
benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan.
Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. 7,8
a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa :
7,8

 Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Istilah
kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau gangguan pada jaringan otak yang
lebih berat dari konkusi (concussion), dengan memiliki karakteristik adanya kerusakan sel
saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan kapiler dan edema jaringan otak. Terutama
melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan
lekukan tulang saat terjadi benturan. 7,8

16
Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga ’burst lobe’
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain (countrecoup
contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup yang disebut sebgai
intermediate-coup contussion. 7,8

Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme


Cedera kepala (Dikutip dari kepustakaan No.7)

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan kematian karena adanya
komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi kardiopulmonal. 7,8

 Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan gangguan
kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat kerusakan atau robeknya
piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika,
subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak
langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan

17
laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
7,8

 Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma ekstradural,
adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan tabula interna
tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul kepala, yang mengakibatkan
terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa disertai fraktur. Lokasi yang paling sering
adalah di bagian temporal atau temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di bagian frontal,
oksipital, dan fossa serebri posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk
bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media, akibat fraktur
yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri dan vena lainnya,
atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur tulang tengkorak akan
memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat
terjadi. 7,8

Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)

2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan
arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang melintas
dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan bermuara dalam

18
sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan pembuluh darah kortikal,
subarachnoidea, atau arachnoidea yang disertai robeknya lapisan arachnoidea. 7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan memiliki
angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut. 7,8

Gambar 12. Hematoma subdural ( Dikutip dari kepustakaan No.10 )

3) Hematoma Sub Arachnoid


Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub arachnoid,
atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak. Robekan pembuluh darah
terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak bergerak atau menggeser. Perdarahan
terletak antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid dan masuk ke dalam
sistem cairan serebrospinalis. Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi serebri.
Perdarahan subarachnoid yang terjadi murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %. Darah
yang masuk ke dalam subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut akan
menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.7,8
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami spasme. Sebagai
akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga dapat turun hingga tinggal 40
%. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke
6-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke-12. Vasospasme ini akan menyebabkan
terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. 7,8
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga mengakibatkan
terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non komunikan. Tipe komunikan terjadi
bila produk darah mengobstruksi villi arachnoid, sedangkan tipe non komunikans dapat terjadi
bila bekuan darah mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga. 7,8

19
Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital
pada kasus Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan lobus
parietal. (C) Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii. (Dikutip dari
kepustakaan No.9)
4) Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim otak).
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Perdarahan dapat
berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia alba hemisfer serebri, serebellum,
diensefalon, atau mungkin juga di corpus callosum. Akan tetapi lokasi yang paling sering
adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup)
atau pada sisi lainnya (countre-coup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa perdarahan yang
luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi akselerasi-deselerasi,
sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau kontusio serebri berat. Beberapa sumber
menyatakan definisi hematoma intraserebri adalah perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila
kurang maka disebut petechial intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan dapat terjadi
segera, dapat pula beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien lanjut usia. 7,8
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya herniasi uncus yang
berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan hematoma subdural, kontusio
atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek yang juga fatal, dan disebut sebagai ”burst
lobe”. Bentuk perdarahan lainnya adalah yang disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma
intraserebral yang terjadi setelah beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama
waktu tersebuut pasien dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan dengan
keadaan hipotensi, syok, DIC, dan konsumsi alkohol. 7,8

20
Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia basal
(kanan). (Dikutip dari kepustakaan No.12)

5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam hal ini akibat
trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan biasanya sulit ditemukan,
mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel, korpus kalosum, septum pelusidum, forniks,
atau pada pleksus koroid. Dapat pula sebagai perluasan dan perdarahan di lobus temporal atau
frontal, atau ganglia basalis. 7,8
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma subarachnoid.
Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan intraventrikel ini merupakan cedera
yang sangat berat, dan karenanya memiliki mortalitas yang tinggi. 7,8

Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)

21
b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak, dan
umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi.
Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan serabut saraf pada
berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh. Berdasarkan gambaran patologinya, kerusakan
difus ini dibedakan atas: 7,8
 Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus kalosum,
batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang pada saat benturan
melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau fragmentasi aksolemma, dan
keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi
ada yang memberi batas waktu dalam 60 menit sejak kejadian (primer axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan sitoskeleton
akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada sitoskeleton yang
mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson (retraction ball), yang pada
akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi antara 12 – 48 jam (secondary axotomy).
7,8

 Diffuse Vascular Injury (DVI)


DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer, khusunya
massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera meninggal
dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan struktur menyeluruh pada endotel
mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah merah. 7,8

2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK (Tekanan Tinggi
Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat
dikelompokkan atas dua, yaitu : 7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan.
Kerusakan ini timbul karena : 7,8

22
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan
volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse brain swelling
sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis kongestif karena
kehilangan tonus vasomotor. 7,8

V. Patofisiologi
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang tersebut untuk
menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi) saat benturan. Hal ini juga
dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka elastisitas jaringan tulang akan
berkurang. Keadaan tulang yang mempengaruhi adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang
tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di tempat
benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan tabula interna
ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi seluruh tengkorak. Jika
peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh
sebab itu, peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari tabula interna yang kemudian
disusul oleh tabula eksterna. 7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada tulang
tengkorak, mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang yang terkena dan
biasa pula terjadi variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah luar (outbending). Apabila
kekuatan benturan mengenai area yang kecil (misal: pukulan atau senjata) maka fraktur
biasanya memberikan gambaran inbending, sedangkan apabila area yang terkena benturan itu
luas, maka biasanya akan memberikan gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang
tengkorak menyebabkan penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak
dari tulang tengkorak. Pada banyak kasus, fraktur linier akan bercabang sepanjang diastase
dan membentuk fraktur diastase. Sebaliknya, energi yang terjadi pada basis tulang tengkorak
(basis cranii) akan menyebabkan fraktur linier yang akan mengakibatkan tejadinya
kelemahan, memberikan berbagai gambaran adanya udara dalam foramina dan sinus. 7,8

23
B. Trauma Cerebrum (Otak)
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yag tidak dapat ditekan, otak 1400 gr, cairan serebrospinal ± 75ml, dan darah ±
75 ml. Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan
pada ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial.
Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK) tudak hanya disebabkan oleh cedera kepala
melainkan mempunyai banyak penyebab lainnya.13
TIK normal berkisar antara 50-200 mmH2O atau 4-15 mmHg. TIK dalam keadaan
normal dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat melebihi batas normal.
Aktivitas tersebut antara lain pernapasan perut yang dalam, batuk, dan mengedan. Kenaikan
sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan TIK yang menetap mempunyai
akibat merusak pada kehidupan jaringan otak.13
Mekanisme yang bekerja bila salah satu dari tiga elemen intrakranial meningkat sangat
penting untuk mempertahankan integritas otak. Perubahan kompensatoris meliputi pengalihan
cairan serebrospinal ke rongga spinal, peningkatan aliran vena dari otak, dan sedikit tekanan
pada jaringan otak. Tumor, cedera otak, edema, dan obstruksi aliran cairan serebrospinalis
semua dapat meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi akan menjadi tidak efektif bila
menghadapi peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama. 13
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan TIK dan memiliki
banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit, iskemia serebral,meningitis, dan tentu saja cedera kepala.
TIK pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala,
timbulnya edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan TIK
sampai 33 mmHg ( 450 mmH2O ) mengurangi Aliran Darah Otak (ADO) secara bermakna.
Iskemia yang timbul merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat.
Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi
lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing yang membantu
mempertahankan ADO. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang mengakibatkan peningkatan TIK. Tekanan darah
sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya
dicapai suatu titik dimana TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan
akibat kematian otak. 13
Cedera otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak Sawar Darah
Otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema

24
menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada
gilirannya akan menurunkan Aliran Darah Otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis
(penurunan O2 dan penigkatan CO2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus
berlanjut hingga terjadi kematian sel.13

Gambar 16. Siklus defisit neurologis progresif yang menyertai lesi massa
intrakranial yang membesar (Dikutip dari kepustakaan No.13)

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan jalan napas bertujuan untuk menstabilkan jalan napas dan menyediakan
ventilasi oksigen yang cukup. Dapat dilakukan intubasi endotrakeal. Intubasi nasal atau
nasogastric tube sebaiknya dihindari terutama pada pasien yang dicurigai fraktur basis cranial.
Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena cedera neurologist atau cedera thoraks. 14
2. Penatalaksanaan system kardiovaskular

25
Normotensi dan euvolemia adalah hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
kardiovaskular. Resusitasi volume menggunakan larutan isotonic sebaiknya dilakukan untuk
mempertahankan tekanan pengisian yang adekuat, cardiac output yang normal dan
normotensi. 14
3. Penatalaksanaan terhadap perfusi serebral dan peningkatan tekanan intracranial. 14
Penatalaksanaan peningkatan intracranial termasuk diantaranya menaikkan posisi kepala
sehingga membentuk sudut 30° terhadap tempat tidur dan mempertahankan kepala dan leher
pada posisi midline. Obat-obat sedasi dan paralisis digunakan untuk mencegah agitasi dan
aktivitas muscular yang dapat menigkatkan tekanan intracranial. Penggunaan loop diuretic
atau osmotic diuretic ditujukan untuk menurunkan produksi cairan serebrospinal. 14
4. Penatalaksanaan Perdarahan.
Disseminated intravascular coagulopathy terjadi pada sepertiga pasien trauma kepala dan
membutuhkan manajemen yang aggresif dan koreksi factor-faktor pembekuan untuk
menurunkan resiko. 14
5. Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dibutuhkan pada keadaan epidural dan subdural hematoma
yang berkembang sangat cepat yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial dan
kompresi fokal. 14

Hasil Pemeriksaan Autopsi


1. Fraktur tulang tengkorak. Pada pemeriksaan luar fraktur basis crania dapat ditemukan adanya
lebam periorbital (raccoon eyes), perdarahan sclera, perdarahan retroauricular (Battle’s sign)
dan perdarahan dari telinga. 9

26
Gambar: Manifestasi eksternal fraktur basis cranii. (A) Lebam periorbital (raccoon eyes). (B)
Perdarahan sclera. (C) Perdarahan dari telinga. (D) Lebam dibelakang telinga (Battle’s sign).
2. Epidural Hematom. Temuan autopsi pada epidural hematom yang tidak ditangani sangat jelas.
Terdapat kontusio pada kulit kepala temporal di sisi hematom, hematom yang besar pada
ruang epidural dapat terlihat ketika tulang tengkorak dibuka. Edema serebral berat difus yang
hebat sebagai efek okupansi ruang intracranial oleh hematom dapat diamati, termasuk herniasi
subfalcine, yang meluas dari sisi hematom ke arah yang berlawanan, dan herniasi
transtentorial, yang biasa lebih terlihat pada sisi yang hematom. Pembengkakan hemisfer
serebral dibawah hematom menyebabkan permukaan otak tampak mulus. 9
3. Subdural hematom.
a. Subdural hematom akut. Temuan luar pada kasus subdural hematom akut dapat
mencerminkan penyebab trauma. Banyak kasus pada pada subdural hematom akut, baik
apakah disebabkan oleh serangan atau jatuh, memiliki tanda trauma benda tumpul pada
pemeriksaa luar, lebih umum terdapat di wajah daripada di kepala. Fraktur tengkorak umum
terjadi. Pada kasus di hematom yang tidak ditangani, hematom yang terjadi meluas pada ruang
dibawah duramater karena sifat dari duramater yang kaku. Hematoma tercetak pada
permukaan otak di bawahnya sehingga undulasi kortikal normal tetap terjaga bahkan ketika
terjadi udem otak berat (berkebalikan dengan permukaan otak yang mulus dibawah epidural
hematom. Kecembungan girus pada hemisfer pada arah yang berlawanan mendatar dan sulcus
di dekatnya tertekan, mencerminkan suatu efek space-occupying dari hematom dan udem otak
sekunder. Herniasi transtentorial dan herniasi tonsillar sering terjadi. 9

27
b. Subdural hematom kronik. Pada subdural hematom kronik, terdapat berbagai variasi
penampakan yang berhubungan dengan ukuran dan lamanya. Umumnya, kavitas hematom
sempit dan mengandung darah cair atau cairan yang bercampur dengan darah. Hematom
ditutup oleh lapisan tipis membrane dalam dan lapiran tebal membrane luar. Penampilannya
bermacam-macam, terbentuk dari perdarahan baru, perdarahan lama yang kelabu,
hemosidering kuning dan kolagen pucat serta jaringan fibrotic lainnya. Jika hematom
merupakan penyebab kematian, efek dari space-occupancy akan terlihat pada herniasi
subfalcine, uncal dan tonsillar. 9
4. Perdarahan subarachnoid. Perdarahan pada ruang subarachnoid yang diakibatkan oleh trauma
kranioserebral sering ekstensif karena cairan serebrospinal dan darah subarachnoid yang tidak
membeku mengalir bebas pada ruang subarachnoid. Jumlah perdarahan subarachnoid
proporsional terhadap interval antara waktu trauma dan kematian (dapat minimal apabila
kematian terjadi segera setelah trauma) dan ukuran dari sumber perdarahan, dan, meskipun
jejas darah subarachnoid dapat menyebar luas, biasa yang paling jelas terletak dekat dengan
sumbernya. 9
5. Perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral dapat terjadi dalam bentuk kontusio-
hematom, perdarahan batang otak yang menyebabkan herniasi transtentorial, himatom jauh di
dalam otak terpisah dari konveksitas hemisfer, hematom ekstraganglion atau lobar yang soliter
dan berukuran sedang-besar, hematom serebral yang terisolasi, dan tipe yang jarang di mana
terjadi robekan antara korpus kalosum dorsolateral dan girus cingulated menyebabkan
perdarahan ke dalam ventrikel dan hematom yang membelah white matter antara dasar lateral
korpus kalosum dan girus cingulate. 9
6. Perdarahan intraventrikular. Keberadaan darah yang berlebihan pada ventrikel keempat,
terlihat melalui foramen Luschka dan Magendie sebelum pengirisan otak, dapat diambil pada
saat autopsy sebagai bukti tidak langsung dari perdarahan intraventrikular. 9
7. Kontusi.
a. Kontusi akut. Penampakan umum dari kontusi akut pada permukaan otak bervariasi dari
permukaan otak yang pucat ke kerusakan disertai perdarahan dan nekrosis pada area yang
luas. Perubahan tersebut dapat terletak pada gray matter atau meluas dengan derajat dan
karakteristik yang bervariasi ke white matter di dekatnya. Pada irisan otak, kontusi yang kecil
atau kontusi dengan interval antara trauma dan kematian yang dekat, tampak sebagai
perdarahan linear yang sejajar dengan permukaan pial, mencerminkan jalur pembuluh darah
kortikal dan menggambarkan bagaimana robekan pembuluh darah tersebut mempengaruhi
kontusi. Kontusi-laserasi yang besar tampak sebagai area perdarahan yang terpisah-pisah

28
dengan bentuk yang irregular. Kontusi koup memiliki bentuk menyempit dengan dasarnya
pada permukaan pial. Udem otak terlokalisasi disekitar kontusi yang setara dengan ukuran
kontusi. 9
b. Kontusi lama. Resorpsi darah dan jaringan nekrotik dari kontusi meninggalkan kavitas dan
kistik yang jelas. 9
8. Diffuse Axonal Injury. Cedera kontak pada kulit kepala dan tulang jarang ditemukan, tetapi
bila ada dapat dihubungkan antara cedera aksonal dan kontak pada kepala. Temuan pada
permukaan otak juga jarang. Irisan otak sulit dinilai melalui mata telanjang atau mengandung
robekan perdarahan dengan dimensi yang bervariasi pada korpus kalosum, pada sudut dorsal
dari hemisfer serebral, dan pada kuadran dorsolateral dari batang otak rostral pada sekitar
pedunkel serebellar superior dan tengah. Perdarahan pada thalamus dan ganglia basalis sering
terjadi. 9
9. Diffuse Vascural Injury. Diffuse vascular injury biasanya fatal, korban dapat meninggal pada
tempat kejadian atau bertahan hidup hanya beberapa jam. Cedera kontak pada kepala mungkin
tidak tampak jelas. Pemeriksaan pada otak menunjukkan perdarahan subarachnoid yang
jarang dan perdarahan petechi yang tersebar luas. Hal yang terakhir dapat terlihat dibawah
mikroskop.Perdarahan tampak nyata pada banyak daerah subependymal, pons lateral dan otak
tengah, dan garis tengah hipotalamus dan batang otak rostral. 9
10. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Otak tampak normal atau terlihat pembengkakan difus atau
local non-spesifik dan tampak pucat. Penampakan yang jelas hanya dapat terlihat di bawah
mikroskop dalam bentuk neuron dengan noda sitoplasmik merah terang dan nuclei
hiperkromatik menyusut pada area dengan hematoksilin dan eosin. Gambaran diagnosis
histologis pada nekrosis neuronal iskemik tidak tampak sebelum 6-12 jam setelah cedera. 9
11. Brain Swelling. Gambaran patologis awal dari udem otak adalah pendataran dari permukaan
girus dan penyempitan sulcus. Efek keseluruhan dari udem otak adalah gambaran umum otak
yang mulus dan datar pada undulasi normal pada permukaan hemisfer serebral. Gambaran
otak dari dewasa muda normalnya tampak full sehingga kadang-kadang sulit untuk
membedakan apakah terjadi udem otak atau tidak. 9

29
BAB III
KESIMPULAN

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2. Bagian Ilmu kedokteran Forensik
dan Medikolegal FK-USU. Medan. 2007.
2. Anonimous. Cedera Kepala. Cited from:
http://info.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=687.
3. Luhulima JW. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2003.
4. Japardi, Iskandar, Cedera Kepala, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2004, p. 7-27,
67-76.
5. Wahjoepramono, Cedera Kepala, ISBN 979-98173-2-3, 1 Agustus 2005, p.21-89, 137-
43.
6. Shkrum Michael J, David A.Ramsay, ‘ Craniocerebral Trauma and Vertebrospinal
Trauma’, Forensic Pathology of Trauma, Humana Press, New Jersey, 2007, p. 519-73
7. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Injuries of the Brain’s Coverings’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 112-47
8. Dolinak, David, Evan W. Matshes, Emma O. Lew, ’Forensic Neuropathology’, Forensic
Pathology Principles and Practise, Elsevier Academic Press, USA, 2005, p.423-52
9. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Closed Brain Injury’, Forensic Neuropathology
and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 178-210.
10. Lombardo, Mary Carter, ‘Cedera Susunan Saraf Pusat’, Price, Sylvia A, Lorraine M.
Wilson, Patofisiologi, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, p. 1010-2
11. Singh Jagvir, Arabela Stock. Head Trauma: Treatment & Medication. Cited from:
http://emedicine.medscape.com/article/907273-treatment. 2006.

31

Anda mungkin juga menyukai