Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu

tubuh (suhu rektal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses

ekstrakranial. Kejang demam terjadi 2 - 4% pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun.

Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam

kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi

berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak

berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului

demam, pikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi sistem saraf pusat atau pun

epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan timbulnya demam.3

2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%.

Asia prevalensi kejang demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa

dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3% - 9,9%,

sedangkan di Hong Kong angka kejadian kejang demam sebesar 0,35%, dan di

China mencapai 0,5 – 1,5%, bahkan di Guam insiden kejang demam

mencapai14%.1

Menurut The American Academy of Pediatrics (AAP) usia termuda

bangkitan kejang demam pada usia 6 bulan. Kejang demam merupakan salah satu

kelainan saraf tersering pada anak. Berkisar 2 – 5% anak dibawah 5 tahun pernah

3
4

mengalami bangkitan kejang demam. Lebih dari 90% pendertita kejang demam

terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak kasus bangkitan kejang

demam terjadi pada anak berusia antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden

bangkitan kejang demam tertinggi pada usia 18 bulan.4

3. Klasifikasi

Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam

sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana terjadi dengan

durasi < 15 menit, tipe kejang umum (melibatkan seluruh tubuh), terjadi 1x dalam

24 jam, sedangkan kejang demam kompleks adalah kejang dengan durasi >15

menit, tipe kejang dapat umum ataupun fokal (separuh tubuh) dan terjadi >1x

dalam 24 jam.5

4. Faktor risiko

Faktor resiko terjadinya kejang demam yaitu demam, usia, dan riwayat

keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi, hamil

primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat

badan lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal

(kejang akibat toksik, trauma kepala).

a. Faktor Demam

Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai di atas 37,8°C

aksila atau diatas 38°C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab,

tetapi pada anak tersering disebabkan oleh infeksi. Demam merupakan faktor

utama timbulnya bangkitan kejang demam. Demam disebabkan oleh infeksi virus

merupakan penyebab terbanyak timbul bangkitan kejang demam sebesar 80%.


5

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang

dan eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion

dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu

derajat celcius akan meningkatkan metabolisme karbohidat 10-15%, sehingga

dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan

glukosa dan oksigen.4

Pada demam tinggi akan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk

jaringan otak. Keadaan ini akan menganggu fungsi normal pompa Na+ dan

reuptake asam glutamate oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan

masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamate

ekstrasel. Timbunan asam glutamate akan meningkatkan permeabilitas membrane

sel terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkan masuknya Na+ ke dalam sel.

Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam

akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadapmembrane sel. Perubahan

konsentrasi ion Na+ intra dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan

potensial membrane sel neuron sehingga membrane sel dalam keadaan

depolarisasi. Disamping itu, demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga

fungsi inhibisi terganggu.5

Kenaikan suhu yang terjadi secara mendadak menyebabkan kenaikan

kadar asam glutamate dan menurunkan kadar glutamin. Tetapi sebaliknya

kenaikan suhu tubuh secara pelan tidak menyebabkan kenaikan kadar asam

glutamate. Perubahan glutamin menjadi asam glutamate dipengaruhi oleh


6

kenaikan suhu tubuh. Asam glutamate merupakan eksitator. Sedangkan GABA

sebagai inhibitor tidak dipengaruhi oleh kenaikan suhu tubuh mendadak.5

b. Faktor usia

Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu: 1) neurulasi, 2)

perkembangan prosensefali, 3) proliferasi neuron, 4) migrasi seural, 5) organisasi

dan 6) mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi

sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih

berlanjut sampai bertahun-tahun pertama pascanatal. Pembentukan reseptor untuk

eksitator lebih awal dibandingkan dengan inhibitor. Pada keadaan otak belum

matang reseptor untuk asam glutamate sebagai reseptor eksitator yang aktif,

sedangkan GABA sebagai inhibitor yang kurang aktif, sehingga eksitasi lebih

dominan dibandingkan inhibisi. Corticotropin releasing hormon (CRH)

merupakan neuropeptide eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. pada otak

belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi sehingga berpotensi untuk

terjadinya bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.5

c. Faktor riwayat keluarga

Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang

demam. Namun pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak

ditemukan. Penetrasi autosomal dominan diperkirakan sekitar 60% - 80%.

Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang

demam mempunyai resiko untuk terjadi bangkitan kejang demam sebesar 20% -

22%. Dan apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah
7

menderita kejang demam meningkat menjadi 59% - 64%, tetapi sebaliknya

apabila kedua orang tua penderita tidak pernah mempunyai riwayat kejang demam

maka resiko terjadinya kejang demam hanya 9%.5

d. Usia saat ibu hamil

Usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang

akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat

mengakibatkan berbagai komplikasi dalam kehamilan dan persalinan. Komplikasi

kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat lahir

rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat

mengakibatkan janin dan asfiksia. Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan iskemia.

Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya

fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang

memadai.5

e. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti plasenta previa dan

eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Eklamsia dapat terjadi pada

kehamilan primipara atau usia pada saat hamil diatas 30 tahun. Penelitian terhadap

penderita kejang pada anak sebesar 9% disebabkan oleh karena adanya riwayat

eklamsia selama kehamilan. Asfiksia disebabkan oleh karena adanya hipoksia

pada bayi yang dapat berakibat timbulnya kejang. Hipertensi pada ibu dapat

menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat

keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan bayi berat lahir rendah.5

f. Kehamilan primipara atau multipara


8

Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya kejang. Insiden kejang

ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan

pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan yang

mungkin terjadi adalah partus lama, persalinan dengan alat, dan kelainan letak.

Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat

berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak.

Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai

manifestasi klinisnya.5

g. Pemakaian bahan toksik

Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin selama kehamilan ibu,

seperti menelan obat-obatan tertentu yang daopat merusak otak janin, mengalami

infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat

menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan

perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama

kehamilan meningkatkan resiko kerusakan pada janin. Dampak lain dari merokok

pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat

menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang

sehingga diperlukan seksio sesarea. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir

yang berakibat terjadinya kejang.5

h. Asfiksia

Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan

intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses

persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus
9

dan selanjutnya menimbulkan kejang. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia

dan iskemi di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang,

baik pada stadium akut dengan frekuensi bergantung pada derajat beratnya

asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan kejang biasanya

mulai timbul 6 – 12 jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 – 24

jam bangkitan kejang menjadi lebih sering dan hebat. Pada 75% - 90% kasus akan

didapatkan gejala sisa gangguan neurologis yaitu diantaranya kejang. Hipoksia

dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga

terjadi edema otak. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan

atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada

rangsangan yang memadai.5

i. Bayi berat lahir rendah

Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia

otak dan perdarahan intraventrikular. Iskemia otak dapat menyebabkan kejang.

Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia

dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode

perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan kejang pada perkembangan

selanjutnya.5

j. Kelahiran premature dan postmatur

Pada bayi premature, perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna

sehingga belum berfungsi dengan baik. Pada 50% bayi premature menderita

apnea, asfiksia berat, dan sindrom gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi

hipoksia. Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak berkurang. Bila keadaan
10

ini sering timbul dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka kemungkinan

timbulnya kerusakan otak yang permanen lebih besar.5

Pada bayi yang dilahirkan lewat waktu atau postmatur akan terjadi proses

penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun.

Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang

tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologis.5

k. Partus lama

Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari

1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II 1,5 jam.

Sedangkan pada multigravida , kala I selama 7 jam dan kala II 1 – 5 jam.

Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik

dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat

berupa kejang.5

5. Patofisiologi

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, diperkirakan

bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan

demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan

lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan

ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan

menyebabkan potensial membrane cenderung turun atau kepekaan sel saraf

meningkat.5 Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di

otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan

menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.


11

Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,

hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini

akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme otak. 5 Demam

dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:

a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum

matang

b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan

gangguan permeabilitas membrane sel

c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO 2

yang akan merusak neuron

d. Demam meningkatkan cerebral blood flow (CBF) serta meningkatkan

kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan pengaliran ion-

ion keluar masuk sel.

Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan

meninggalkan gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit)

biasanya diikuti dengan apnea, hipoksemia (disebabkan oleh meningkatnya

kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet), asidosis laktat

(disebabkan oleh metabolisme anaerob), hiperkapnea, hipoksi arterial, dan

selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian

diatas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi

hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.

6. Diagnosis
12

Dari kriteria Livingston yang telah dimodifikasi sebagai pedoman untuk

membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu:1

a. Dari anamnesa yang didapatkan

 Umur pasien kurang dari 6 tahun

 Kejang didahului demam

 Kejang berlangsung hanya satu kali selama 24 jam dan kurang dari 5

menit

 Kejang umum dan tonik klonik

 Kejang berhenti sendiri

 Pasien tetap sadar setelah kejang

b. Dari pemeriksaan fisik yang didapatkan

 Suhu tubuh aksila 38,2ºC

 Tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah

bangkitan kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5

tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi

intrakranial atau penyebab lain. Penggolongan kejang demam menurut kriteria

Nationall Collaborative Perinatal Project adalah kejang demam sederhana dan

kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang

lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada satu episode

demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15

menit baik bersifat fokal atau multipel. Kejang demam berulang adalah kejang

demam yang timbul pada lebih dari satu episode demam. Penggolongan tidak lagi
13

menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang diprovokasi demam tetapi

dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan pengobatan

rumat.3

Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh karena infeksi. Pada

anak-anak infeksi yang sering menyertai kejang demam adalah tonsilitis, infeksi

traktus respiratorius (38-40% kasus), otitis media (15-23%), dan gastroenteritis

(7-9%). Anak-anak yang terkena infeksi dan disertai demam, bila dikombinasikan

dengan ambang kejang yang rendah, maka anak tersebut akan lebih mudah

mendapatkan kejang. Berdasarkan data kepustakaan bahwa 11% anak dengan

kejang demam mengalami kejang pada suhu <37,9ºC, sedangkan 14-40% kejang

terjadi pada suhu antara 38°-38,9ºC, dan 40-56% pada suhu antara 39°C-39,9ºC.1

Menurut kepustakaan, pada kejang demam pemeriksaan laboratorium

tidak dikerjakan secara rutin, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan

misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah. Pungsi lumbal untuk memeriksa

cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-

6,7%. Pungsi lumbal menjadi pemeriksaan rutin pada kejang demam bila usia

pasien kurang dari 18 bulan.1

Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang

lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang

unilateral. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak

yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal


14

diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang demam untuk

menyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau

gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang

menderita kejang demam.5

7. Tatalaksana

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk:

a. Mencegah kejang demam berulang

b. Mencegah status epilepsi

c. Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi

d. Normalisasi kehidupan anak dan keluarga

Pengobatan fase akut

Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar

jalan nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk

mencegah aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga

berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus

dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan,

kalori dan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan

kompres air hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10

mg/kgBB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB 4 kali sehari).6

Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang demam fase

akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat. Diazepam dapat

diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan intramuskular absorbsinya

lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara
15

intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering gagal

pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat

diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 12 kg dan 10

mg pada berat badan lebih dari 12 kg. Pemberian diazepam secara rektal aman

dan efektif serta dapat pula diberikan oleh orang tua di rumah. Bila diazepam

tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan intramuskular dengan dosis awal

30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia

lebih dari 1 tahun.7

Mencari dan Mengobati Penyebab

Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain, seperti

meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan serebrospinal

diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2 tahun, karena

gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompoknumur tersebut.

Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontraindikasinya.

Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari penyebab,

seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-

Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh demam dan

pertama kali terjadi.7

Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan

keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang

menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu: (7)


16

• Profilaksis intermittent pada waktu demam

• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari

Terapi yang diberikan pada pasien untuk mengatasi kejang demam sudah sesuai

dengan memberikan Parasetamol sebagai antipiretik dan diberikan selama pasien

mengalami demam dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali dapat diulang setiap 6 jam.

Pemakaian Diazepam penting sebagai profilaksis intermiten, dimana diazepam

dapat diberikan pada pasien yang suhunya mencapai 38,5 °C untuk mencegah

timbulnya kejang kembali. Pemberian Diazepam sebagai profilaksis intermitten

merupakan pilihan tepat dibanding obat anti kejang lain. Pemberian Diazepam

ditambah antipiretik jauh lebih efektif untuk mencegah terulangnya kejang

dibandingkan pemberian antipiretik saja.7

Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari

Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:

• Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan

perkembangan neurologis.

• Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau

saudara kandung.

• Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis

sementara atau menetap.

• Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi

kejang multipel dalam satu episode demam.

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 – 2 tahun

setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1 – 2 bulan.


17

Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya

kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya epilepsi di kemudian

hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16

mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah

berulangnya kejang demam.

Efek samping fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif

ditemukan pada 30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi

dengan menurunkan dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproate

yang memiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis asam

valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB perhari. Efek samping yang ditemukan adalah

hepatotoksik, tremor dan alopesia. Fenitoin dankarbamazepin tidak memiliki efek

profilaksis terus menerus. Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam

upaya mencegah dan menghadapi kejang demam diantara lain adalah sebagai

berikut:

Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi mengenai

penanganan demam dan kejang.

Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam dosis 0,5

mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam. Sebagai alternatif

dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan fenobarbital.

Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang.

Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian sebaiknya

dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar fenobarbital
18

dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau keadaan tingkah laku

dan psikologis anak.

Pada pasien kejang demam, keadaan dan kebutuhan oksigen, cairan,

kaloridan elektrolit harus diperhatikan. Suhu tubuh juga dapat diturunkan dengan

mengkompres pasien dengan air hangat (diseka) secara aktif selain dengan

pemberian antipiretik. Orang tua atau pengasuh anak juga harus diberi

cukupinformasi mengenai penanganan demam dan kejang. Dengan

penanggulangan yang sesuai dan cepat, maka prognosis pada pasien baik dan

tidak menyebabkan kematian.1

Anda mungkin juga menyukai